Mengingat
belajar adalah proses bagi peserta didik dalam
membangun gagasan atau pemahaman sendiri, maka kegiatan pembelajaran
hendaknya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan hal itu
secara lancar dan termotivasi. Suasana belajar yang diciptakan guru harus
melibatkan peserta didik secara aktif, misalnya mengamati, bertanya dan
mempertanyakan, menjelaskan, dan sebagainya. Belajar aktif tidak dapat terjadi
tanpa adanya partisipasi peserta didik. Terdapat berbagai cara untuk membuat
proses pembelajaran yang melibatkan keaktifan peserta didik dan mengasah ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Proses pembelajaran aktif dalam memperoleh
informasi, keterampilan, dan sikap akan terjadi melalui suatu proses pencarian
dari diri peserta didik. Para peserta didik hendaknya lebih dikondisikan berada
dalam suatu bentuk pencarian dari pada sebuah bentuk reaktif. Yakni, mereka
mencari jawaban terhadap pertanyaan baik yang dibuat oleh guru maupun
ditentukan oleh mereka sendiri. Semua ini dapat terjadi ketika peserta didik
diatur sedemikian rupa sehingga berbagai tugas dan kegiatan yang dilaksanakan
sangat mendorong mereka untuk berfikir, bekerja, dan merasa.
Strategi
pembelajaran berikut ini adalah diantara cara dapat digunakan oleh guru untuk
dapat mengaktifkan peserta didik. Guru diharapkan mengembangkan atau mencari
strategi pembelajaran lain yang dipandang lebih tepat. Sebab, pada dasarnya
tidak ada strategi yang paling ideal. Masing-masing strategi mempunyai kelebihan
dan kekurangan sendiri. Hal ini sangat bergantung pada tujuan yang hendak
dicapai, penggunaan strategi (guru), ketersediaan fasilitas, dan kondisi
peserta didik.
A.
Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
1.
Pengertian
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) atau
biasa disingkat CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada
keterkaitan antara materi pembelajaran dunia kehidupan nyata, sehingga peserta
didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam
kehidupan sehari-hari.
Strategi pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses
pembelajaran yang holistik dan bertujuan memotivasi peserta didik untuk
memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi
tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini sejalan dengan
yang dipaparkan oleh Alexander yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning bertujuan
menjadikan siswa lebih memahami materi yang dipelajari. (Alexander, B. 2006 :
32). Sehingga peserta didik memiliki pengetahuan atau keterampilan yang secara
fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan/konteks
kepermasalahan/konteks lain.
Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta
didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi peserta didik. Proses
pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan peserta didik bekerja
dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke pserta didik.
Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil. Dalam kelas
kontekstual, tugas guru adalah membantu peserta didik mencapai tujuannya. Guru
lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang
bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (peserta
didik).
Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru dikelas yang dikelola dengan pendekatan pembelajaran. CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapanya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: kontruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).
2.
Langkah-Langkah
CTL
CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa
saja, dan kelas yang bagaimana keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup
mudah. Secara garus besar, langkah-langkah yang harus ditempuh dalam CTL adalah
sebagai berikut:
a. Mengembangkan
pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri,
dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
b.
Melaksanakan
sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topic.
c.
Mengembangkan
sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya.
d.
Menciptakan
masyarakat belajar.
e.
Menghadirkan
model sebagai contoh pembelajaran.
f.
Melakukan
refleksi diakhir pertemuan.
g. Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
3.
Karakteristik
Pembelajaran CTL
Dalam
pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada
peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang
memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hafalan,
tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta
didik belajar (Mulyasa, 2004: 63). Adapun beberapa karakteristik pembelajaran
CTL antara lain:
a.
Kerjasama
b.
Saling
menunjang
c.
Menyenangkan,
tidak membosankan.
d.
Belajar dengan
bergairah
e.
Pembelajaran
terintegrasi
f.
Menggunakan
berbagai sumber
g.
Peserta didik
aktif
h.
Sharing dengan
teman
i.
Peserta didik
krisis guru kreatif
j. Dinding dan
lorong-lorong penuh dangan hasil kerja peserta didik, peta-peta, gambar,
artikel, humor dan lain-lain.
k.
Laporan kepada
orang tua bukan hanya rapot tetapi hasil karya peserta didik, laporan hasil
pratikum, karangan peserta didik dan lain-lain.
4.
Elemen-elemen
Pembelajaran CTL
Dalam
pembelajaran kontektual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan
kelas yang dirancang guru, yang berisi scenario tahap demi tahap tentang apa
yang akan dilakukan bersama peserta didiknya sehubungan dengan topik yang akan
dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk
mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran,
dan authentic assessment-nya. Dalam konteks itu, program yang dirancang
guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama
peserta didiknya. Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara
program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual.
Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang
akan dicapai (jelas dan operasional), sedangan program untuk pembelajaran
kontekstual ebih menekankan pada scenario pembelajarannya.
Dengan mengutip
pemikiran Zahorik, E. Mulyasa (2003) mengemukakan ada lima elemen yang harus
diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, yaitu:
a. Pembelajaran
harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik.
b. Pembelajaran
dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari
umum ke khusus)
c. Pembelajaran
harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: (a) menyusun konsep sementara,
(b) melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang
lain; dan (c) merevisi dan mengembangkan konsep.
d. Pembelajaran
ditekankan pada upaya memperaktekkan secara langsung apa-apa yang dipelajari.
e. Adanya refelksi
terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari.
B.
Bermain Peran
(Role Playing)
1.
Pengertian
Bermain Peran (Role Playing)
Metode Role
Playing atau dikenal juga metode simulasi adalah metode yang digunakan dalam
proses belajar mengajar yang dalam prakteknya siswa bisa memainkan peran
seperti tokoh yang menjadi pengambaran materi yang diajarkan. Menurut Dawson
(1962) yang dikutip oleh Moedjiono & Dimyati (1992:80) mengemukakan bahwa
simulasi merupakan suatu istilah umum berhubungan dengan menyusun dan
mengoperasikan suatu model yang mereplikasi proses-proses perilaku. Sedangkan
menurut Ali (1996: 83) mengemukakan bahwa metode simulasi adalah suatu cara
pengajaran dengan melakukan proses tingkah laku secara tiruan. Dengan demikian
pembelajaran bermain peran merupakan salah satu strategi pembelajaran yang
diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan
antar manusia (interpersonal relationsip), terutama yang menyangkut kehidupan
sekolah, keluarga maupun perilau masyarakat sekitar peserta didik.
Pengalaman
belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi: kemampuan kerjasama,
komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian. Melalui bermain peran,
peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antar manusia dengan
cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para
peserta didik dapat mengeskplorasi perasaan-perasaan, sikap-siakp, nilai-nilai,
dan berbagai strategi pemecahan masalah.
Berdasarkan kutipan tersebut, berarti metode bermain peran adalah metode pembelajaran yang didalamya menampakkan adanya perilaku pura-pura dari siswa yang terlihat atau peniruan situasi dari tokoh-tokoh sejarah sedemikian rupa. Dengan demikian metode bermain peran adalah metode yang melibatkan siswa untuk berpura-pura memainkan peran tokoh yang terlibat dalam proses sejarah, atau perilaku masyarakat misalnya bagaimana menggugah masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan, menjaga penghijauan/hutan, keamanan kampung, membnagkitkan semangat wirausaha dan koperasi, dan sebagainya.
2.
Asumsi
Pembelajaran Bermain Peran
Menurut Mulyasa
(2004: 141) terdapat emapt asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran
untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai sosial, yang kedudukannya sejajar dengan
model-model mengajar lainya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:
a. Secara implisit
bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan
menitikberatkan isi pelajaran pada situasi “disini dan pada saat ini”. Model
ini dipercaya bahwa sekolompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan
analogy mengenai situasi kehidupan
nyata. Terhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik
dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
b.
Bermain peran
memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak
dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk
mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis
bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian,,
terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran
dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa
diskusi setelah pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral
dari pembelajaran, sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan
emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam
psikodrama bobot emosional lebih di tonjolkan dari pada bobot intelektual,
sedangkan pada bermain peran keduanya memegang peranan yang sangat penting
dalam pembelajaran.
c. Model bermain
peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk
kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari
orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah
yang sedang diperankan. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari
pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya
dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian,
para peserta didik dapat belajar dari penglaman orang lain tentang cara
memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan
dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar seperti ini berusaha
mengurangi peran guru yang terlalu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan
tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif
dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain
berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.
d. Model bermain
peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai,
perasaan dan sistem keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi
pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para peserta didik dapat menguji
sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang
dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, peserta
didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
Terdapat tigal
hal yang menentukab kualitas dan keefektifan bermain peran sebagai model
pembelajaran, yakni (1) kualitas pemeranan, (2) analisis dalam diskusi, (3)
pandangan peserta didik terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan
situasi kehidupan nyata.
3.
Tahapan
Pembelajaran
Menurut Sharfel dan Shaftel sebagaimana dikutip oleh E. Mulyasa
mengemukakan Sembilan tahap bermain peran yang dapat dijadikan pedoman dalam
pembelajaran, yaitu: (1) menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik, (2)
memilih partisipasi/peran, (3) menyusun tahap-tahap peran, (4) menyiapkan
pengamat, (5) pemeranan, (6) diskusi dan evaluasi, (7) pemeranan ulang, (8)
diskusi dan evaluasi tahap dua, (9) membagi pengalaman dan mengambil
kesimpulan. Kesembilan tahap tersebut
dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik.
Menghangatkan suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta didik terhadap
masalah pembelajaran yang perlu dipelajari. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan
mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan. Masalah
dapat diangkat dari kehidupan peserta didik, agar dapat merasakan masalah itu
hadir dihadapan mereka, dan memiliki hasrat untuk mengetahui bagaimana masalah
yang hangat dan actual, langsung menyangkut kehidupan peserta didik, menarik
dan merangsang rasa ingin tahu peserta didik, serta memungkinkan berbagai alternatif
pemecahan. Tahap ini
lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada
masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan paling
menentukan keberhasilan. Bermain peran akan berhasil apabila peserta didik
menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan guru.
Kedua, memilih peran dalam pembelajaran. tahap
ini peserta didik dan guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa
yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka
kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk
menjadi pameran. Jika para peserta didik tidak menyambut tawaran tersebut, guru
dapat menunjuk salah seorang peserta didik yang pantas dan mampu memerankan
posisi tertentu.
Ketiga, menyusun tahap-tahap peran. Pada tahap
ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dan
dalam hal ini ada dialog khusus karena peserta didik dituntut untuk bertindak
dan berbicara secara spontan. Guru membantu peserta didik menyiapkan
adegan-adegan dengan mengajukan pertanyaan, misalnya dimana pemeranan
dilakukan, apakah tempat sudah dipersiapkan, dan sebagainya. Persiapan ini
penting untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi seluruh peserta didik,
dan mereka siap untuk memainkannya.
Keempat, menyiapkan pengamat. Sebaiknya
pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang akan
dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati peran yang
dimainkan dan aktif mendiskusikannya. Menurut Shurfel dan Shaftel, agar
pengamat turut terlibat, mereka perlu diberi tugas. Misalnya menilai apakah
peran yang yang dimainkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya? Bagaimana
keefektifan perilaku yang ditunjukkan
pemeran? Apakah pemeran dapat menghayati peran yang diaminkan?
Kelima, tahapa pemeranan. Pada tahap ini
peserta didik mulai beraksi secara pontan, sesuai dengan peran masing-masing.
Mereka berusaha memainkan setiap peran seperti benar-benar dialaminya. Mungkin
proses bermain peran tidak berjalan mulus karena para peserta didik ragu dengan
apa yang harus dikatakan akan ditunjukkan. Menurut Shurfel dan Shaftel
mengemukakan bahwa pemeranan dilakukan secara singkat, sesuai dengan tingkat
kesulitan dan kompleksitas masalah yang diperankan serta jumlah peserta didik
yang dilibatkan, tak perlu memakan waktu yang terlalu lama. Pemeranan dapat
berhenti apabila peserta didik telah merasa cukup, dan apa yang seharusnya
mereka perankan telah dicoba lakukan. Adakalanya para peserta didik keasyikan
bermain peran sehingga tanpa disadari telah memakan waktu yang terlampau lama.
Dalam hal ini guru perlu menilai kapan bermain peran dihentikan. Sebaliknya
pemeranan dihentikan apada saat terjadinya pertentangan agar memancing
permasalahan untuk didiskusikan.
Keenam, diskusi dan evaluasi pembelajaran.
Diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam
bermain peran, baik secara emosional maupun intelektual. Dengan melontarkan
sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi.
Diskusi mungkin dimulai dengan tafsiran mengenai baik tidaknya peran yang
dimainkan selanjutnya mengarah pada analisis terhadap peran yang ditampilkan,
apakah cukup tepat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
Ketujuh, Pemeranan ulang. tahap ini dilakukan
berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengani alternatif pemeranan. Mungkin
ada perubahan peran watak yang dituntut. Perubahan ini memungkinkan adanya
perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan
mempengaruhi peran lainnya.
Kedelapan, diskusi dan evaluasi tahap dua.
Diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya
dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan masalah
pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas. Para peserta didik menyetujui cara
tertentu untuk memecahkan masalah, meskipun dimungkinkan adanya peserta didik
yang belum menyetujuinya. Kesepakatan bulat tidak perlu dicapai karena tidak
ada cara pasti dalam menghadapi masalah kehidupan.
Kesembilan, membagi pengalaman dan pengambilan
kesimpulan. Tahap ini tidak harus menghasilkan generalisasi secara langsung
karena tujuan utama bermain peran ialah membantu peserta didik untuk memperoleh
pengalaman berharga dalam hidupnya melalu kegiatan interaksional dengan
temannya. Mereka bercermin pada orang lain untuk lebih memahami dirinya. Hal
ini mengandung implikasi bahwa yang penting dalam bermian peran ialah
terjadinya saling tukar pengalaman. Proses ini mewarnai seluruh kegiatan
bermain peran, yang ditegaskan lagi pada tahap akhir. Pada tahap ini peserta
didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya dalam berhadapan dengan orang
tua, guru, teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta didik dapat
diungkapkan atau muncul secara spontan.
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut di
atas, maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal berikut: (1) Melalui model
pembelajaran bermain peran para peserta didik dapat berlatih untuk menerapkan
prinsip-prinsip demokrasi. Kelas dapat diibaratkan sebagai suatu kehidupan
sosial tempat para peserta didik belajar mengemukakan pendapat dan menghargai
pendapat orang lain. (2) Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih
topik masalah dalam bermain peran agar memadai bagi peserta didik, antara lain
usia peserta didik, latar belakang sosial budaya, kerumitan masalah, kepekaan
topik yang diangkat sebagai masalah, dan pengalaman peserta didik dalam bermain
peran.
0 Post a Comment:
Posting Komentar