"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Senin, 12 Juni 2023

RAGAM STRATEGI PEMBELAJARAN

Mengingat belajar adalah proses bagi peserta didik dalam  membangun gagasan atau pemahaman sendiri, maka kegiatan pembelajaran hendaknya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan hal itu secara lancar dan termotivasi. Suasana belajar yang diciptakan guru harus melibatkan peserta didik secara aktif, misalnya mengamati, bertanya dan mempertanyakan, menjelaskan, dan sebagainya. Belajar aktif tidak dapat terjadi tanpa adanya partisipasi peserta didik. Terdapat berbagai cara untuk membuat proses pembelajaran yang melibatkan keaktifan peserta didik dan mengasah ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Proses pembelajaran aktif dalam memperoleh informasi, keterampilan, dan sikap akan terjadi melalui suatu proses pencarian dari diri peserta didik. Para peserta didik hendaknya lebih dikondisikan berada dalam suatu bentuk pencarian dari pada sebuah bentuk reaktif. Yakni, mereka mencari jawaban terhadap pertanyaan baik yang dibuat oleh guru maupun ditentukan oleh mereka sendiri. Semua ini dapat terjadi ketika peserta didik diatur sedemikian rupa sehingga berbagai tugas dan kegiatan yang dilaksanakan sangat mendorong mereka untuk berfikir, bekerja, dan merasa.

Strategi pembelajaran berikut ini adalah diantara cara dapat digunakan oleh guru untuk dapat mengaktifkan peserta didik. Guru diharapkan mengembangkan atau mencari strategi pembelajaran lain yang dipandang lebih tepat. Sebab, pada dasarnya tidak ada strategi yang paling ideal. Masing-masing strategi mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri. Hal ini sangat bergantung pada tujuan yang hendak dicapai, penggunaan strategi (guru), ketersediaan fasilitas, dan kondisi peserta didik.

A.    Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)

1.      Pengertian Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) atau biasa disingkat CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dunia kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.

Strategi pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan memotivasi peserta didik untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini sejalan dengan yang dipaparkan oleh Alexander yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning bertujuan menjadikan siswa lebih memahami materi yang dipelajari. (Alexander, B. 2006 : 32). Sehingga peserta didik memiliki pengetahuan atau keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan/konteks kepermasalahan/konteks lain.

Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih  bermakna bagi peserta didik. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan peserta didik bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke pserta didik. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu peserta didik mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru  mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (peserta didik).

Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru dikelas yang dikelola dengan pendekatan pembelajaran. CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapanya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: kontruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).

2.      Langkah-Langkah CTL

CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimana keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garus besar, langkah-langkah yang harus ditempuh dalam CTL adalah sebagai berikut:

a.   Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.

b.      Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topic.

c.       Mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya.

d.      Menciptakan masyarakat belajar.

e.       Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran.

f.       Melakukan refleksi diakhir pertemuan.

g.      Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

3.      Karakteristik Pembelajaran CTL

Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hafalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar (Mulyasa, 2004: 63). Adapun beberapa karakteristik pembelajaran CTL antara lain:

a.       Kerjasama

b.      Saling menunjang

c.       Menyenangkan, tidak membosankan.

d.      Belajar dengan bergairah

e.       Pembelajaran terintegrasi

f.       Menggunakan berbagai sumber

g.      Peserta didik aktif

h.      Sharing dengan teman

i.        Peserta didik krisis guru kreatif

j.     Dinding dan lorong-lorong penuh dangan hasil kerja peserta didik, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain.

k.      Laporan kepada orang tua bukan hanya rapot tetapi hasil karya peserta didik, laporan hasil pratikum, karangan peserta didik dan lain-lain.

4.      Elemen-elemen Pembelajaran CTL

Dalam pembelajaran kontektual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi scenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama peserta didiknya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessment-nya. Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama peserta didiknya. Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangan program untuk pembelajaran kontekstual ebih menekankan pada scenario pembelajarannya.

Dengan mengutip pemikiran Zahorik, E. Mulyasa (2003) mengemukakan ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, yaitu:

a.   Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik.

b.  Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus)

c.     Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: (a) menyusun konsep sementara, (b) melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain; dan (c) merevisi dan mengembangkan konsep.

d.    Pembelajaran ditekankan pada upaya memperaktekkan secara langsung apa-apa yang dipelajari.

e.    Adanya refelksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari.

B.     Bermain Peran (Role Playing)

1.      Pengertian Bermain Peran (Role Playing)

Metode Role Playing atau dikenal juga metode simulasi adalah metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar yang dalam prakteknya siswa bisa memainkan peran seperti tokoh yang menjadi pengambaran materi yang diajarkan. Menurut Dawson (1962) yang dikutip oleh Moedjiono & Dimyati (1992:80) mengemukakan bahwa simulasi merupakan suatu istilah umum berhubungan dengan menyusun dan mengoperasikan suatu model yang mereplikasi proses-proses perilaku. Sedangkan menurut Ali (1996: 83) mengemukakan bahwa metode simulasi adalah suatu cara pengajaran dengan melakukan proses tingkah laku secara tiruan. Dengan demikian pembelajaran bermain peran merupakan salah satu strategi pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antar manusia (interpersonal relationsip), terutama yang menyangkut kehidupan sekolah, keluarga maupun perilau masyarakat sekitar peserta didik.

Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi: kemampuan kerjasama, komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian. Melalui bermain peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antar manusia dengan cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeskplorasi perasaan-perasaan, sikap-siakp, nilai-nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah.

Berdasarkan kutipan tersebut, berarti metode bermain peran adalah metode pembelajaran yang didalamya menampakkan adanya perilaku pura-pura dari siswa yang terlihat atau peniruan situasi dari tokoh-tokoh sejarah sedemikian rupa. Dengan demikian metode bermain peran adalah metode yang melibatkan siswa untuk berpura-pura memainkan peran tokoh yang terlibat dalam proses sejarah, atau perilaku masyarakat misalnya bagaimana menggugah masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan, menjaga penghijauan/hutan, keamanan kampung, membnagkitkan semangat wirausaha dan koperasi, dan sebagainya.

2.      Asumsi Pembelajaran Bermain Peran

Menurut Mulyasa (2004: 141) terdapat emapt asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai sosial, yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:

a.  Secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi “disini dan pada saat ini”. Model ini dipercaya bahwa sekolompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy  mengenai situasi kehidupan nyata. Terhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.

b.      Bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian,, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran, sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih di tonjolkan dari pada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.  

c.   Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari penglaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar seperti ini berusaha mengurangi peran guru yang terlalu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.

d.    Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan sistem keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para peserta didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, peserta didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.

Terdapat tigal hal yang menentukab kualitas dan keefektifan bermain peran sebagai model pembelajaran, yakni (1) kualitas pemeranan, (2) analisis dalam diskusi, (3) pandangan peserta didik terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi kehidupan nyata.

3.      Tahapan Pembelajaran

Menurut Sharfel dan Shaftel sebagaimana dikutip oleh E. Mulyasa mengemukakan Sembilan tahap bermain peran yang dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran, yaitu: (1) menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik, (2) memilih partisipasi/peran, (3) menyusun tahap-tahap peran, (4) menyiapkan pengamat, (5) pemeranan, (6) diskusi dan evaluasi, (7) pemeranan ulang, (8) diskusi dan evaluasi tahap dua, (9) membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan.  Kesembilan tahap tersebut dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik. Menghangatkan suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta didik terhadap masalah pembelajaran yang perlu dipelajari. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan. Masalah dapat diangkat dari kehidupan peserta didik, agar dapat merasakan masalah itu hadir dihadapan mereka, dan memiliki hasrat untuk mengetahui bagaimana masalah yang hangat dan actual, langsung menyangkut kehidupan peserta didik, menarik dan merangsang rasa ingin tahu peserta didik, serta memungkinkan berbagai alternatif pemecahan. Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan paling menentukan keberhasilan. Bermain peran akan berhasil apabila peserta didik menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan guru.

Kedua, memilih peran dalam pembelajaran. tahap ini peserta didik dan guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pameran. Jika para peserta didik tidak menyambut tawaran tersebut, guru dapat menunjuk salah seorang peserta didik yang pantas dan mampu memerankan posisi tertentu.

Ketiga, menyusun tahap-tahap peran. Pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dan dalam hal ini ada dialog khusus karena peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan. Guru membantu peserta didik menyiapkan adegan-adegan dengan mengajukan pertanyaan, misalnya dimana pemeranan dilakukan, apakah tempat sudah dipersiapkan, dan sebagainya. Persiapan ini penting untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi seluruh peserta didik, dan mereka siap untuk memainkannya.

Keempat, menyiapkan pengamat. Sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya. Menurut Shurfel dan Shaftel, agar pengamat turut terlibat, mereka perlu diberi tugas. Misalnya menilai apakah peran yang yang dimainkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya? Bagaimana keefektifan  perilaku yang ditunjukkan pemeran? Apakah pemeran dapat menghayati peran yang diaminkan?

Kelima, tahapa pemeranan. Pada tahap ini peserta didik mulai beraksi secara pontan, sesuai dengan peran masing-masing. Mereka berusaha memainkan setiap peran seperti benar-benar dialaminya. Mungkin proses bermain peran tidak berjalan mulus karena para peserta didik ragu dengan apa yang harus dikatakan akan ditunjukkan. Menurut Shurfel dan Shaftel mengemukakan bahwa pemeranan dilakukan secara singkat, sesuai dengan tingkat kesulitan dan kompleksitas masalah yang diperankan serta jumlah peserta didik yang dilibatkan, tak perlu memakan waktu yang terlalu lama. Pemeranan dapat berhenti apabila peserta didik telah merasa cukup, dan apa yang seharusnya mereka perankan telah dicoba lakukan. Adakalanya para peserta didik keasyikan bermain peran sehingga tanpa disadari telah memakan waktu yang terlampau lama. Dalam hal ini guru perlu menilai kapan bermain peran dihentikan. Sebaliknya pemeranan dihentikan apada saat terjadinya pertentangan agar memancing permasalahan untuk didiskusikan.

Keenam, diskusi dan evaluasi pembelajaran. Diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional maupun intelektual. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi. Diskusi mungkin dimulai dengan tafsiran mengenai baik tidaknya peran yang dimainkan selanjutnya mengarah pada analisis terhadap peran yang ditampilkan, apakah cukup tepat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.

Ketujuh, Pemeranan ulang. tahap ini dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengani alternatif pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut. Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran lainnya.

Kedelapan, diskusi dan evaluasi tahap dua. Diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas. Para peserta didik menyetujui cara tertentu untuk memecahkan masalah, meskipun dimungkinkan adanya peserta didik yang belum menyetujuinya. Kesepakatan bulat tidak perlu dicapai karena tidak ada cara pasti dalam menghadapi masalah kehidupan.

Kesembilan, membagi pengalaman dan pengambilan kesimpulan. Tahap ini tidak harus menghasilkan generalisasi secara langsung karena tujuan utama bermain peran ialah membantu peserta didik untuk memperoleh pengalaman berharga dalam hidupnya melalu kegiatan interaksional dengan temannya. Mereka bercermin pada orang lain untuk lebih memahami dirinya. Hal ini mengandung implikasi bahwa yang penting dalam bermian peran ialah terjadinya saling tukar pengalaman. Proses ini mewarnai seluruh kegiatan bermain peran, yang ditegaskan lagi pada tahap akhir. Pada tahap ini peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta didik dapat diungkapkan atau muncul secara spontan.

Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal berikut: (1) Melalui model pembelajaran bermain peran para peserta didik dapat berlatih untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Kelas dapat diibaratkan sebagai suatu kehidupan sosial tempat para peserta didik belajar mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain. (2) Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih topik masalah dalam bermain peran agar memadai bagi peserta didik, antara lain usia peserta didik, latar belakang sosial budaya, kerumitan masalah, kepekaan topik yang diangkat sebagai masalah, dan pengalaman peserta didik dalam bermain peran.

Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar

Pengikut

Arsip Blog

Definition List

Unordered List

Support