Sumber Ilmu.com-Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam bukunya, Al Tirb al-Masbuk fi
Nashihah al-Muluk bercerita. Adalah Zaid bin Aslam (w. 136 H). ia seorang
“Tabi’in”, generasi sesudah sahabat dan termasuk ahli fiqih Madinah pada
masanya. Ia orang yang dimerdekakan oleh Umar bin Khattab. Pada suatu hari Zaid
bercerita:
Suatu malam aku melihat Umar bin
Khattab, sang pemimpin, melakukan ronda malam bersama para petugas ronda malam
itu. Aku mengikutinya dari belakang. Aku meminta diizinkan menemani mereka.
Manakala kami berada di luar kota, kami melihat cahaya api. Kami menduga ada
musafir yang beristirahat di sana. Kami mendekat dan melihat perempuan janda
dengan tiga anaknya yang sedang menangis. Sang ibu sedang meletakkan panic di
atas tungku yang menyala. Bibirnya bergetar sambil mengadu kepada Tuhan:
“Tuhanku, berikan keadilan atas Umar kepadaku dan tuntutlah agar dia memberikan
hak kami. Dia kenyang sendiri, sementara kami lapar.”
Ketika mendengar ucapannya, Umar
masuk sambil mengucapkan salam dan meminta izin untuk masuk. Sang ibu menjawab,
“Jika engkau bermaksud baik baik, masuklah.” Umar lalu masuk dan bertanya
tentang keadaannya dan anak-anaknya. Perempuan itu mengatakan, aku ketakutan
dan mereka lapar. Kami dalam keadaan amat payah dan sangat lapar. Mereka tidak
dapat tidur lelap.” Apakah gerangan yang ada dalam panic ini?” Tanya Umar
sambil menunjuk panci diatas tungku itu. “Aku masukkan air di dalamnya agar
mereka mengira aku aku sedang masak nasi, sehingga mereka bisa bersabar
menunggunya.” Jawab perempuan tersebut.
Sesudah mendengar cerita ibu
tersebut, Umar keluar menuju warung rempah-rempah untuk membeli bumbu
secukupnya dan ke warung lain untuk membeli beras (gandum) satu karung. Sesudah
itu ia kembali ke gubuk itu. Umar memikul sendiri barang-barang yang dibelinya.
Tetapi Zaid segera memintanya untuk membawanya, “Tuan, biarkan aku yang
membawanya.” Umar menjawab:
“Jika engkau yang memikulnya, siapa
yang akan memikul dosaku dan siapa pula yang akan menghalangi terkabulnya
pengaduan (doa) perempuan dan anak-anaknya itu atasku.”
Sepanjang perjalanan ketempat
mereka, Umar tak henti-hentinya menangis. Umar menyerahkan kepadanya semua
bahan makanan tersebut. Si ibu menerimanya dan mengucapkan terima kasih:
“Semoga Allah membalas budi baikmu, nak.” Umar lalu memasukkan bahan-bahan
tersebut ke dalam panci dan menyalakan api. Manakala api meredup, dia meniup bara api itu hingga
debu beterbangan mengenai wajahnya yang bersih. Ketika telah masak, Umar
kemudian meletakkannya ke atas piring sambil mempersilakan mereka makan.
Umar mengatakan, “Ibu, tolong jangan mendoakan
yang buruk atas Umar, karena dia tidak mendengar apapun tentang nasib ibu dan
anak-anak ini.”
0 Post a Comment:
Posting Komentar