Tonggak berdirinya dinasti Bani
Abbas, berawal sejak merapuhnya sistem internal dan performance penguasa Bani
Umayyah yang berujung pada keruntuhan dinasti Umayah di Damaskus, maka upaya
untuk menggantikannya dalam memimpin umat Islam adalah dari kalangan bani
Abbasiyah. Propaganda revolusi Abbasiyah ini banyak mendapat simpati masyarakat
terutama dari kalangan Syi’ah, karena bernuansa keagamaan, dan berjanji akan
menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktikkan oleh khulafaurrasyidin.1
Nama dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi yang bernama
al-Abbas ibn Abd al-Muthalib ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah
al-Saffah Ibnu Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al- Abbas.2 Orang Abbasiyah
merasa lebih berhak dari pada bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab
mereka adalah dari cabang bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat
dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai khilafah melalui
tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan dinasti Abbasiyah,
mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap
dinasti Umayyah.3 Di antara yang mempengaruhi berdirinya khilafah bani
Abbasiyah adalah adanya beberapa kelompok umat yang sudah tidak mendukung lagi
terhadap kekuasaan imperium bani Umayah yang notabenenya korupsi, sekuler dan
memihak sebagian kelompok diantaranya adalah kelompok Syiah dan Khawarij (Badri
Yatim. 2008:49-50) serta kaum Mawali (orang-orang yang baru masuk islam yang
mayoritas dari Persi). Di saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Umayyah ke
Abbasiyah, wilayah geografis dunia islam membentang dari timur ke barat,
meliputi Mesir, Sudan, Syam.
Jazirah Arab, Iraq, Parsi sampai ke Cina. Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi intensif antara daerah satu dengan daerah lainnya. Interaksi ini memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah. Nyanyian dan musik menjadi tren dan style kehidupan bangsawan dan pemuka istana era Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les khusus supaya pintar dan cakap dalam mendendangkan suara mereka. Seniman-seniman terkenal bermunculan, diantaranya Ibrahim bin Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan anaknya Ishaq. Lingkungan istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari pakaian, makanan, dan hadirnya pelayan-pelayan wanita. Para penguasa Abbasiyah membentuk masyarakat berdasarkan rasa persamaan. Pendekatan terhadap kaum Malawi dilakukan antara lain dengan mengadopsi sistim Administrasi dari tradisi setempat (Persia) mengambil beberapa pegawai dan Menteri dari bangsa Persia dan meletakan ibu[1] kota kerajaannya, Baghdad di wilayah yang dikelilingi oleh bangsa dan agama yang berlainan seperti bangsa Aria dan Sumit dan agama Islam, Kristen, dan Majusi.
Pembagian kelas dalam masyarakat Daulat Abbasiyah tidak lagi berdasarkan ras atau kesukaan, melainkan berdasarkan jabatan, menurut jarzid Zaidan, masyarakat Abbasiyah terbagi dalam 2 kelompok besar, kelas khusus dan kelas umum. Kelas khusus terdiri dari khalifah, keluarga khalifah (Bani Hasyim) para pembesar negara (Menteri, gubernur dan panglima), Kaum bangsawan non Bani Hasyim (Quraisy) pada umumnya. petugas khusus, tentara dan pembantu Istana. Sedangkan kelas umum terdiri dari para seniman, ulama, pujangga fukoha, saudagar dan penguasa buruh dan petani. Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan. Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.
Masa pemerintahan Daulah Abbasiyah khususnya
pada masa kekhalifahan Harun ar-rasyid dan putranya Al Makmun adalah masa
keemasan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dalam dunia Islam Pada masa ini pula
umat Islam telah memberikan kebebasan bagi berperangnya akal dan pikiran untuk
kemajuan manusia saat itu. Pada masa kekhalifahan ini pula hasil pemikiran
manusia dan para ahli ilmu dari berbagai bangsa di dunia yang saat itu
berkembang saling melengkapi dan menambah kemajuan ilmu pengetahuan dalam dunia
islam.4 Yang menarik dari perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Bani
Abbasiyah adalah bahwa sebagian besar orang-orang yang berkecimpung dalam bidang
ini tidak hanya berasal dari bangsa Arab muslim atau dikenal dengan kaum
mawali. Kaum mawali adalah muslim yang berasal dari bangsa non-arab terutama
orang-orang yang berasal dari Persia. Para ilmuwan muslim pada masa Bani
Abbasiyah menjelajahi tiga benua untuk menuntut ilmu pengetahuan. Ketiga benua
yang dipilih adalah benua Asia Eropa dan Afrika. Dari 3 benua ini dianggap
mengalami kemajuan yang sangat pesat dari semua ilmu pengetahuan. Setelah
kembali dari tempat pengembaraan para ilmuwan muslim membaca dan menerjemahkan
buku-buku tersebut. Dalam waktu yang lama mereka berusaha menggali berbagai
pengetahuan dan kemudian menulis berbagai buku terutama buku-buku dalam bentuk
Dairatul Ma'arif atau saat ini lebih dikenal dengan sebutan ensiklopedia. Dari
buku-buku itulah masyarakat muslim saat itu belajar dan terus mengembangkan
pengetahuannya di berbagai masjid yang saat itu dijadikan sebagai pusat
kegiatan pendidikan. Dengan semakin giat nya kaum muslimin mempelajari berbagai
ilmu dari berbagai buku yang ditulis oleh para ilmuwan muslim dan buku-buku
berbahasa asing yang diterjemahkan oleh mereka Maka masyarakat Islam pada masa
itu menunjuk perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat luar biasa. Ilmu
pengetahuan dan kebudayaan Islam berkembang pula di negara-negara barat. Disana
perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban umat Islam berkembang tidak kalah
pesatnya. Berbagai hasil penemuan dan penelitian ilmiah dibukukan oleh para
ilmuwan muslim. Kegiatan penerjemahan dari berbagai buku karya ilmuwan besar Eropa
terus menerus berlangsung. Pembangunan tempat kegiatan kegiatan belajar sangat
pesat dan sangat diperhatikan oleh para penguasa muslim yang ada di sana.
Kegiatan-kegiatan belajar diikuti oleh umat Islam dari berbagai kalangan.
Kota-kota besar dan berbagai peninggalan yang saat ini masih dapat disaksikan
merupakan bukti sejarah kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan umat Islam di
masa Bani Abbasiyah.[2]
Ada yang menarik bahwa perpustakaan
yang dibangun oleh umat Islam juga dikunjungi oleh masyarakat Eropa dari
berbagai agama, mereka membaca buku-buku tentang Islam dalam bahasa Arab
masyarakat Eropa pada waktu itu belajar banyak dari umat Islam itu pula yang
menjadi sebab tertariknya masyarakat Eropa untuk lebih jauh mempelajari Islam
dan akhirnya tak sedikit yang memeluk agama Islam. Dari kegiatan kegiatan
belajar dan perkembangan ilmu pengetahuan inilah kemudian muncul ilmuan-ilmuan
Islam yang terkenal dalam berbagai bidang. Ilmu-ilmu yang berkembang sangat
pesat di saat itu antara lain adalah agama sastra filsafat fiqih Tafsir dan
Hadits.
Masjid-masjid Di samping sebagai tempat
beribadah juga merupakan sekolah utama bagi umat Islam pada masa Bani Abbasiyah
pertama Selain itu masjid juga dijadikan sebagai pusat perkembangan ilmu
pengetahuan dan penelitian. Misalnya masjid Basrah yang ada di Irak. Di masjid
ini kaum muslimin mempelajari ilmu pengetahuan tentang Al Quran Hadits fiqih
tafsir akhlak dan lain-lain. Hal itulah yang menjadikan ilmu pengetahuan di
kota Basrah ini mengalami kemajuan yang luar biasa. Adapun orang-orang yang
berasal dari bukan Arab, mereka harus terlebih dahulu mempelajari bahasa Arab.
Mereka mempelajari bahasa Arab dengan kaidah-kaidahnya dan juga harus mengikuti
etika Islam agar dapat mempelajari ilmu ilmu pengetahuan Islam khususnya
Alquran dan hadis.. Dari waktu ke waktu tempat tempat belajar pada masa Daulah
Abbasiyah berkembang sangat pesat. Hal ini disebabkan dengan semakin pesatnya
gerakan penerjemahan berbagai macam kitab atau buku dari berbagai bahasa dan
bangsa ke dalam bahasa Arab. Hal ini juga didukung dengan berkembangnya
industri kertas yang terus dikembangkan oleh para khalifah untuk menunjang
majunya penerbitan buku buku. Pada
mulanya tempat-tempat belajar pada masa itu tidak berbentuk madrasah atau
sekolah atau Pesantren sebagaimana yang ada pada masa kini. Tempat belajar
ketika itu hanya merupakan tempat orang-orang yang berkumpul untuk belajar ilmu
pengetahuan tempat-tempat tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Kuttab,
yaitu tempat belajar untuk tingkat pendidikan rendah dan menengah. 2. Masjid, ya
itu yang biasa dipakai belajar untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi 3.
Majlis Muhadharah, yaitu majelis Tempat bertemunya para ulama, sarjana, ahli
fikir untuk membahas masalah masalah ilmiah.4 Darul Hikmah, didirikan oleh
Khalifah Al Makmun. Darul Hikmah adalah perpustakaan terbesar pada masa Bani
Abbasiyah. Di tempat ini juga disediakan tempat tempat belajar bagi pengunjung.
Kota-kota yang menjadi pusat ilmu
pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah terus bertambah. Hal ini disebabkan
dengan semakin semangat dan bertambahnya umat Islam yang hendak menuntut dan
sekaligus memperdalam ilmu pengetahuan di berbagai bidang. Kota-kota yang
menjadi pusat ilmu pengetahuan oleh khalifah dilengkapi dengan berbagai
fasilitas atau perlengkapan Hal ini dilakukan untuk mempermudah kaum muslimin
mencari sumber dan informasi tentang ilmu pengetahuan yang diminatinya. Adapun
kota-kota besar yang menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan pada masa
kekhalifahan Bani Abbasiyah antara lain Mekah, Madinah, Kufah, Damaskus,
Fusthat, dan Qairawan. Sedangkan beberapa kota baru yang dibuka sebagai pusat
pengetahuan pada masa Bani Abbasiyah antara lain Baghdad, Isfahan, Naisabur,
Basrah dan lain-lain.
Di antara kemajuan dalam bidang sosial
budaya adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat. Seni
arsitektur yang dipakai dalam pembangunan istana dan kotakota, seperti pada
istana qohsrul dzahabi, dan qoshrul khuldi. Kemajuan juga terjadi pada bidang
sastra bahasa dan seni musik. Pada masa ini lahir seorang sastrawan dan
budayawan terkenal, seperti Abu Nawas Abu athaHiyah, Al-Mutanabby, Abdullah bin
Muqafa dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka masih dapat dibaca hingga
kini.
d. Bidang Politik dan Militer
Pemerintah dinasti Abbasiyah membentuk
Departemen Pertahanan dan Keamanan yang disebut diwanul Jundi. Departemen ini
yang mengatur semua yang berkaitan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan.
Pembentukan lembaga ini didasari atas kenyataan politik militer bahwa
pemerintah dinasti Abbasiyah banyak terjadi pemberontakan dan bahkan beberapa
wilayah berusaha memisahkan diri dari pemerintah dinasti Abbasiyah.
C. Tokoh-tokoh yang berperan dalam kemajuan peradaban Islam pada masa Daulah Abbasiyah:
1. Khalifah Abu Jafar al Mansur
Abu Jafar al
mansur adalah Putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib.
Abu Jafar al mansur dilahirkan di Kota Himaymah pada tahun 101 H. Ibunya
bernama Salamah mantan seorang hamba sahaya. Abu Ja'far al-mansur bersaudara
dengan Ibrahim bin Muhammad dan Abbul Abbas bin Muhammad. Tiga orang bersaudara
inilah yang dianggap sebagai pendiri Daulah Abbasiyah Tetapi hanya 2 orang yang
menjadi khalifah yaitu Abbul Abbas dan Abu Jafar al mansur, sedangkan Ibrahim
meninggal pada saat berperang melawan Marwan bin Muhammad ( khalifah Bani
Umayyah). Para ahli sejarah mengetahui bahwa pendiri Daulah Abbasiyah
sesungguhnya adalah Abu Ja'far al-mansur karena beliau peletak dasar sistem
pemerintahan dan mengatur politik Daulah Abbasiyah. Abu Jafar al mansur dikenal
pula sebagai khalifah yang berpikiran maju pemberani dan rapi dalam
pemerintahan jalur pemerintahan diatur dengan sangat rapi mulai dari daerah
Desa hingga ke tingkat pusat teratur dan terarah dengan baik.6
2.
Masa
kekhalifahan Harun ar-Rasyid
Harun ar-rasyid
adalah khalifah ke-5 dari kekhalifahan Abbasiyah dan memerintah antara tahun
786 m hingga 803 m. ayahnya bernama Muhammad Almahdi dan kakaknya bernama Musa
Al Hadi. Musa Al Hadi adalah khalifah yang ketiga di Daulah Abbasiyah. Era
pemerintahan Harun yang dilanjutkan oleh Makmun ar-rasyid dikenal sebagai masa
keemasan Islam( The Golden Age of Islam) di mana saat itu Baghdad menjadi salah
satu pusat ilmu pengetahuan. Khalifah Harun ar-rasyid terkenal sebagai khalifah
yang taat dalam beragama Dermawan dan mencintai ilmu pengetahuan. Beberapa
usaha khalifah Harun ar-rasyid dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban
Islam antara lain adalah mengangkat Wazir, menjaga keamanan dan ketertiban
negara, mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan, serta meningkatkan
kesejahteraan rakyat.[3]
3. Pada Masa kekhalifahan Abdullah Al Makmun
[4]Nama
lengkapnya adalah Abdullah Al Makmun Ibnu Harun ar-rasyid air pada tahun 170H.
Sejak kecil Al Makmun dididik di lingkungan istana Daulah Abbasiyah. Gurunya
adalah Ja'far bin Yahya, seorang Wazir8 pada masa kekhalifahan Harun ar-rasyid.
Sebelum menjadi khalifah al-makmun dipercaya oleh ayahnya untuk menangani
masalah masalah di bidang pemerintahan. Saat itu ia diberi tanggung jawab
sebagai penguasa wilayah timur Daulah Abbasiyah yaitu wilayah khurasan hingga
ke Hamadan. Al Makmun adalah khalifah yang cerdas dan bijaksana. Khalifah Al
Makmun gemar mengkaji dan mempelajari ilmu pengetahuan. Khalifah Al Makmun juga
menganjurkan seluruh rakyatnya untuk mengkaji dan mengembangkan ilmu
pengetahuan. Untuk keperluan itu, Khalifah Al Makmun menyediakan berbagai
fasilitas, mulai dari menyediakan berbagai buku, membangun perpustakaan (
Baitul Hikmah) hingga membiayai penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani dan persia
ke dalam bahasa Arab. Baitul hikmah (perpustakaan) dibangun pada tahun 830 M di
Baghdad pada masa kekhalifahan Al Makmun. Baitul hikmah adalah perpustakaan
yang Sekaligus berfungsi sebagai tempat belajar. Di dalam Baitul hikmah
terdapat berbagai buku dengan berbagai bahasa yang dibeli oleh Khalifah Al
Makmun. Berbagai buku dengan bahasa asing diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
kemudian diteliti dan dikaji untuk kepentingan pembelajaran. Baitul hikmah
telah melahirkan banyak ilmuwan muslim yang terkenal, antara lain Al-kindi
Hajjaj bin Yusuf dan lain-lain. Jasa terbesar Khalifah Al Makmun dalam
perkembangan peradaban Islam adalah berkembangnya ilmu pengetahuan yang sangat
pesat dan berdirinya Baitul hikmah yang menjadi pusat pembelajaran dunia islam
saat itu.9
Zaman pemerintahan Abbasiyah yang pertama
merupakan puncak keemasan dinasti ini. secara politis, para khalifah
betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran, masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Disamping itu Dinasti Abbasiyah (750-1208 M)
juga merupakan dinasti yang menelurkan konsep-konsep keemasan Islam dalam hal
pengembangan ilmu pengetahuan. zaman keemasan Islam yang ditandai dengan
penguasaan ilmu pengetahuan di berbagai sektor telah membawa kemakmuran
tersendiri pada masyarakat saat itu.
kemajuan di segala bidang yang diperoleh Bani
Abbasiyah menempatkan bahwa Bani Abbasiyah lebih baik dari bani Umayyah di
samping itu pada masa Dinasti ini banyak terlahir tokoh-tokoh intelektual
muslim yang cukup berpengaruh sampai saat ini.
Penulis: Audio Tara, Muhammad
Afrizal, Muhammad Hamdani dan Mumtaza Ibnu Harits
(Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama
Islam STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi)
0 Post a Comment:
Posting Komentar