A. Kondisi Bangsa Indonesia Pada
Masa Orde Lama
Jepang telah menyerbu ke
Indonesia pada tanggal 11 Januari 1942, telah mendarat di Tarakan, Kalimantan
timur. Keesokan harinya tepatnya pada tanggal 12 juni tahun 1942 Komandan
Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer Belanda di Kalimantan Timur menyerah pada
tanggal 12 Januari tahun 1942 kepada Jepang.
Jepang menjalankan agresi militer ke berbagai daerah di Indonesia. Pada tanggal 24 Januari tahun 1942, pemerintah Jepang berhasil menguasai Balik Papan yang merupakan sumber minyak. Pada tanggal 29 Januari tahun 1942 Pontianak berhasil di duduki atas pemerintahan Jepang. Pada tanggal 3 Februari tahun 1942 pemerintah Jepang berhasil menguasai Samarinda. Sesampai di Kotabangun pada tanggal 5 Februari tahun 1942 tentara jepang melanjutkan penyerbuannya ke lapangan terbang Samarinda II yang dikuasi oleh tentara Hindia Belanda. Dengan direbutnya lapangan Samarinda II terbang maka dengan mudah Banjarmasin diduduki oleh Jepang tanggal 10 Februaari tahun 1942.
Pemerintah Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura di Indonesia pada tanggal 8 maret 1942 kembalilah berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Indonesia memasuki periode baru, yaitu periode pendudukan militer Jepang. Berbeda dengan zaman Hindia Belanda di Indonesia terdapat satu pemerintahan sipil. pada pemerintahan Jepang di Indonesia terdapat tiga pemerintahan militer yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara.
1. Pemerintahan militer Angkatan Darat (tentara kedua puluh lima) untuk Sumatera dengan pusatnya di Bukkit Tinggi.
2. Pemerintahan militer Angkatan Darat (tentara keenam belas) untuk Jawa dan Madura dengan pusat di Jakarta.
3. Pemerintahan militer Angkatan Laut (Armada selatan ke dua) untuk daerah yang meliputi Sulawesi, Kalimantan dan Maluku, dengan pusat di Makasar.
Abad 20 sebagai abad imperialisme, dengan laba tanam paksa, Bandung dijadikan sebagai pusat kereta api yang multi pungsi yaitu: pertama sebagai jasa transportasi masa, kedua dibidang niaga sebagai pengangkut hasil tanam paksa, Ketiga dibidang operasi militer sebagai benteng, seluruh wilayah yang ada perlawanan para ulama dan santri untuk mempersempit ruang gerak perlawanan ulama dan santri serta memperlemah pengembangan Islam.
Menurut abuddin Nata dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam menerangkan lima gambaran tentang keadaan kondisi Negara pada masa orde lama, sebagai berikut:
Pertama, Negara Republik Indonesia dapat diibaratkan seperti bayi yang baru lahir. Tubuhnya masih lemah, otaknya masih kosong, pengalaman belum ada, teman-teman tampak dan lain sebagainya masih perlu diusahakan. Struktur kenegaraan republic Indonesia masih sedang dibangun dengan berdasarkan pada konsep tertentu. Komunikasi dan dukungan dari berbagai Negara lain di dunia masih harus dibangun, dan modal utama untuk membangun Negara tersebut, baik dalam bentuk SDM dan material, masih harus diusahakan.
Kedua, Belanda yang baru meninggalkan Indonesia karena terdesak oleh Jepang, ingin kembali menjajah Indonesia dengan memboncengi tentara Sekutu Amerika Serikat. Belanda mengerahkan segala daya dan kemampuann untuk menguasai kembali Indonesia. Dengan keadaan yang masih bayi tersebut, Indonesia dengan seluruh rakyat dan pimpinannya terpaksa harus bangkit mempertahankan kemerdekaannya dengan berperang melawan Belanda dan tentara sekutu yang baru saja menang dalam Perang Dunia I. Gangguan Belanda dan Sekutu baru berakhir setelah mereka mengetahui kegigihan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, serta keberhasilan para pemimpin Indonesia yang berjuang secara diplomatic di forum internasional. Dengan adadnya pengakuan dari berbagai Negara di dunia, seperti Mesir yang pertama kali mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia, maka Belanda dan Sekutu harus menghentikan agresinya.
Ketiga, secara politik berbagai kekuatan yang dimiliki Negara Indonesia yang baru merdeka itu belum terkonsolidasikan dengan baik. Rumusan tentang dasar dan falsafah serta peraturan perundang-undangan yang akan menjadi dasar membangun Indonesia ke depan masih harus dirumuskan dan ditentukan dengan tegas dan tepat. Demikian pula visi, misi, dan tujuan dari seluruh komponen bangsa Indonesia yang memiliki latar belakang ideologi untuk membangun Indonesia ke depan juga msih harus dirumuskan. Sejarah mencatat tentang adanya perbedaan pendapat bahkan pertentangan yang sengit yang terjadi diantara para elite pemimpin bangsa yang disebabkan karena perbedaan ideologi. Pada masa itu paling kurang terdapat dua aliran ideologi yang saling berebut pengaruh atas Indonesia, yaitu Ideologi Nasionalisme yang digags oleh Soekarno, Mohammad Hatta, dan lain-lain, juga Ideology Islam yang digagas oleh Kahar Mudzakar, Mohammad Natsir, dan lain-lain.
Keempat, secara diplomatik berdirinya negara Republik Indonesia ini baik ke dalam maupun ke luar harus diperjuangkan. Pimpinan nasional harus melakukan konsolidasi dan menyatukan visi, misi, dan tujuan dengan kalangan elite Indonesia. Selain itu, pimpinan nasional juga harus melakukan konsolidasi dengan Negara-negara lain di dunia dalam rangka memperoleh dukungan politik yang selanjutnya memberikan dukungan di bidang lainnya.
Kelima, membentuk dan mengisi struktur pemerintahan negara. Dalam hubungan ini, pemerintah haris mendirikan nernagai departemen yang akan mengurusi dan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan dalam segala bidang. Untuk mendirikan agama dan pendidika agama, pemerintah mendirikan Departemen Agama. Adapun untuk mengurusi kepentingan pendidikan secara umum, pemerintah mendirikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
B. Pendidikan Agama Pada Orde Lama
Masalah pendidikan agama di
Indonesia sudah menjadi perdebatan dan dianggap sebagai persoalan yang cukup
pelik dalam urusan tata pelayanan publik sejak awal kelahiran republik ini.
Kerumitan tersebut menjadi Presiden konstasi Ki Hajar Dewantara (RM.
Soewardi Soerjaningrat) yang menegaskan bahwa “Agama di dalam pengajaran di
sekolah adalah soal lama dan terus menerus menjadi persoalan yang sulit”. Biang kesulitan terjadi karena adanya “tuntutan supaya sifat keagamaan tadi
diberi bentuk pasti dan tertentu”.
Sementara itu sejak masa-masa awal terdapat kelompok kelompok yang tidak sepakat memasukkan pelajaran agama ke dalam daftar pelajaran sebagai “imperatif mata pelajaran”, di samping ada yang menuntut pelajaran tersebut diberikan pada dan ditempatkan di luar jam pelajaran. Terdapat juga tuntutan agar jam pelajaran dan isi pelajaran diperbanyak.
1. Pendidikan
Agama pada Masa Revolusi
Beberapa saat setelah Proklamasi kemerdekaan RI, langkah pertama
pemerintahan dalam bidang pendidikan adalah dengan dibentuknya Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K) Dengan terbentuknya Departemen tersebut
diadakanlah berbagai usaha terutama mengubah system pendidikan dan menyesuaikannya
dengan keadaan yang baru. Bentuk usahanya dengan mengeluarkan “Rencana Usaha Pendidikan dan Pengajaran”,
yang telah dipersiapkan pada hari-hari terakhir pendudukan Jepang. Dengan
segera Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pertama, Ki Hajar
Dewantara, mengeluarkan instruksi umum berupa SK Menteri departemen Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K), yang memerintahkan kepada seluruh
Kepala Sekolah dan guru-guru, pertama, pengibaran bendera merah putih
tiap hari di halaman sekolah, kedua, melagukan lagu kebangsaan Indonesia
raya, ketiga, menurunkan bendera Jepang dan menghapus Kamigayo, keempat,
menghapus bahasa Jepang dan segala upacara yang berasal dari bala tentara
Jepang, kelima, memberikan semangat kebangsaan kepada murid. Dalam Rencana
Usaha Pendidikan dan Pengajaran tersebut, Pasal 31, 32 dan 33 UUD 1945
dijadikan sebagai pedoman pertama dalam merumuskan kebijakan-kebijakan
pendidikan.
Situasi
keamanan di zaman revolusi yang tidak stabil membuat SKB kedua menteri tersebut
tidak dapat dilaksanakan. Daerah-daerah luar Jawa masih banyak yang memberikan
pendidikan agama mulai kelas I SR. Untuk itu pemerintah membentuk Majelis
Pertimbangan Pengajaran Agama pada tahun 1947, yang dipimpin oleh Ki Hajar
Dewantara dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Prof. Drs. Abdullah
Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya mengatur pelaksanaan pengajaran agama
yang diberikan di sekolah umum. Dari hasil kerja sama tersebut, pendidikan agama mendapatkan tempat pada setiap
jenjang pendidikan, baik Kurikulum SR 1947, Kurikulum SMP 1947 dan Kurikulum
SMA 1947. Kurikulum 1947 tersebut berlaku sampai dengan tahun 1952.
2. Pendidikan
Agama Pada Masa Demokrasi Parlementer
Setelah UU tersebut dikeluarkan,
pemerintah membentuk panitia bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari
Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen PP & K. Hasil rumusan dari
panitia tersebut adalah sebuah SKB yang dikeluarkan Januari 1951 yang isinya:
1. Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar).
2. Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya di Kalimantan, Sumatra dan lain-lain), maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV.
3. Di sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingkat atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
4. Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua/walinya.
5. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Sejak tahun 1951 itulah lembaga
pendidikan swasta bermunculan, baik dalam bentuk meneruskan kegiatan yang telah
ada sebelumnya maupun dalam bentuk mendirikan sekolah-sekolah baru.
Sekolah-sekolah swasta tersebut selain bercirikan keagamaan, terdapat pula
sekolah-sekolah yang bercirikan kebangsaan dan netral. Setelah itu ada upaya penyempurnaan yang disahkan oleh Menteri Agama pada tahun
1952. Sebenarnya, usaha ini merupakan kerjasama antara Menteri Agama (No. K/1/15771)
dengan Menteri PP dan K (No. 36923/Kab) yang mengeluarkan instruksi pada 14
Oktober 1952, sebagai pedoman pelaksanaan SKB tahun 1951 di atas tentang pengawasan
pelajaran Agama yang dilakukan oleh Departemen Agama. Pada pasal 9 dinyatakan
bahwa terhadap sekolah-sekolah pertikulir, pengurusannya atas dasar permintaan
langsung yang bersangkutan kepada kantor pendidikan agama tingkat propinsi.
Kemudian, pada tahun 1958, keluar PP No. 32/1958, di mana dalam pasal 5
disebutkan bahwa sekolah berdasarkan suatu agama atau kepercayaan tertentu
mendapat bantuan dimaksud pasal 4 ayat 1, 2, 3, dengan persyaratan harus
memberikan kebebasan pada murid-muridnya, pegawai-pegawainya dan tenaga
pengajarnya untuk memeluk agama/kepercayaannya yang mendasari sekolah tersebut.
C. Pendidikan Agama pada Masa
Demokrasi Terpimpin
Sejak Dekrit
Presiden Soekarno, 5 Juli 1959, mulai terjadi perubahan arah politik yang di
kemudian hari mempengaruhi iklim pendidikan nasional. Perubahan tersebut,
terutama terletak pada “konsep” tujuan pendidikan nasional. UU No. 4/1950 atau
UU No. 12/1954 menetapkan bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran adalah
“Membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masayarakat dan tanah air,” (pasal 3). Setelah itu pelan tapi pasti tujuan dan arah pendidikan nasional mengalami
pergeseran seiring dengan iklim politik pemerintah Soekarno yang menganut
sistem Demokrasi Terpimpin. Soekarno memperkuat dekrit tersebut dengan sebuah
Manifesto Politik dan USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Kepribadian Indonesia) yang disampaikan pada 17 Agustus1959. Pengaruh dan kekuatan politik presiden sedemikian kuat, sehingga baik Dekrit
maupun Manipol menjadi “acuan” bagi MPRS yang bersidang di tahun 1960.
Kebijakan-kebijakan di atas, juga diikuti oleh pihak Kementrian Pendidikan dan Pengajaran, di mana pada 17 agustus 1959, Prijono Menteri Muda Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan mengeluarkan Instruksi No. 1 yang disebut Sapta Usaha Tama, yang terdiri: pertama, penertiban aparatur dan usaha-usaha kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Kedua, menggiatkan kesenian dan olahraga. Ketiga, mengharuskan “usaha halaman”. Keempat, mengharuskan penabungan. Kelima, mewajibkan usaha-usaha Koperasi. Keenam, mengadakan kelas masyarakat. Ketujuh, membentuk “regu kerja” di kalangan SLA dan Universitas. Kemudian, pada 17 Agustus 1961, Prijono mengeluarkan instruksi No. 2 berisi 3 (tiga) hal : Pertama, Menegaskan Pancasila dengan Manipol sebagai pelengkapnya, sebagai asas pendidikan nasional. Kedua, menetapkan Panca Wardhana sebagai sistem pendidikan yang berisikan prinsip-prinsip: (1) Perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasional/- internasional/keagamaan. (2) Perkembangan intelegensi. (3) Perkembangan emosional-artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir dan batin. (4) Perkembangan keprigelan (kerajinan) tangan. (5) Perkembangan jasmani. Ketiga, menyelenggarakan hari Krida atau hari untuk kegiatan–kegiatan dalam lapangan kebudayaan, kesenian, olahraga dan permainan pada tiap-tiap hari Sabtu. Sejak saat itu, seluruh kegiatan sekolah, baik kurikuler maupun ekstrakulikuler banyak berubah dan disesuaikan dengan instruksi di atas. Kemudian, sistem Pancawardhana itu disempurnakan melalui berbagai keputusan Presiden, diantaranya Keppres No. 19, tanggal 25 Agustus 1965. Pancasila dan Manipol Usdek menjadi “Ideologi” pendidikan nasional saat itu, dan menjadi pelajaran wajib dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Mengenai pendidikan agama, terdapat perbedaan antara UUPP No. 4 tahun 1950, pasal 20 ayat 1 dengan TAP MPRS No. II/MPRS/1960 Bab II Pasal 3. Bila UUPP No. 4 tahun 1950, pasal 20 ayat 1 menyatakan bahwa “sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut,” maka pada TAP MPRS No.II/MPRS/1960 Bab II Pasal 3 ditetapkan bahwa “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum mulai sekolah rendah (dasar) sampai Universitas, dengan pengertian bahwa murid berhak tidak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali/murid dewasa menyatakan keberatannya”. Pada hari proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1960, presiden Soekarno menegaskan hubungan Pancasila dan Manipol-USDEK dengan kata-kata: “Manifesto Politik adalah pemantjaran dari Pantja Sila! USDEK adalah pemantjaran dari Pantja Sila! Manifesto Politik, USDEK dan Pantja Sila ta’ dapat dipisahkan satu sama lain.”
Pengaruh Manipol Usdek juga nampak pada UU No. 22/1961 tentang Perguruan Tinggi. Pada Bab I Pasal 2 disebutkan bahwa tujuan pendidikan, terutama dilingkungan Perguruan Tinggi adalah membentuk manusia susila yang bertanggngjawab akan terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, material da spiritual. Kata-kata ‘bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia’, menunjukkan adanya pengaruh yang sangat kuat dari “Ideologi” Manipol Usdek. Rezim Demokrasi Terpimpin era Manipol Usdek juga mengeluarkan Kurikulum Sekolah Dasar 1964, SMP 1962 dan SMA (sebelumnya tahun 1952), diganti tahun 1961, kemudian 1964, yang diberlakukan pada tahun 1965. Sejak tahun 1964 pula, istilah Sekolah Rakyat diganti menjadi Sekolah Dasar.
Adapun kurikulum SMA tahun 1961 dikembangkan melalui pertemuan antara SMA Teladan Surakarta dalam konferensi yang diselenggarakan pada 6-13 November 1961. Konferensi ini hanya mengembangkan kurikulum 1952 dengan menghasilkan keputusan tentang tujuan pendidikan SMA, penggolongan mata pelajaran SMA yang dibagi dalam empat kelompok: kelompok dasar, khusus, penyerta dan prakarya. Konferensi juga memutuskan bahwa penjurusan di SMA dimulai kelas III dan menghapus jurusan A, B, dan C di atas, lalu menggantinya dengan jurusan Budaya, Sosial, Ilmu Pasti dan Ilmu Alam. Kurikulum SMA 1961 ini lantas disebut dengan istilah Kurikulum Gaya Baru. Tidak ada perubahan yang berarti dalam mata pelajaran. Pelajaran Pendidikan Agama tetap dimasukkan dalam kurikulum SMA. Menyusul berbagai hasil rumusan kurikulum di atas dan berbagai kebijakan dalam dunia pendidikan tersebut, semangat Manipol Usdek dan Sosialisme ala Soekarno memuncak pada tahun 1965, dengan mengeluarkan Keputusan Presiden R.I No. 145 Th 1965 tentang Nama dan Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional. Di sini ditetapkan bahwa tujuan pendidikan nasional baik yang diselenggarakan pemerintah maupun pihak swasta, dari pendidikan prasekolah sampai pendidikan tinggi supaya melahirkan warga negara sosialis, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun material dan yang berjiwa Pancasila, yaitu: a) Ketuhanan Yang Maha Esa, b) Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab, c) Kebangsaan, d) Kerakyatan, e) Keadilan Sosial seperti yang dijelaskan oleh Manipol/USDEK.
Dari uraian di atas, pendidikan agama menjadi bagian dari filsafat Manipol Usdek, terintegasi ke dalam konsep Panca Wardhana perkembangan moral untuk jenjang Sekolah Dasar. Pada jenjang SMP Pendidikan Agama masuk dalam Kelompok Dasar, dan begitu masuk SMA, Pendidikan Agama hanya menjadi kelompok pelajaran pelengkap. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan siswa, maka semakin berkurang pula posisi dan urgensi pendidikan Agama. Sementara, pada saat yang sama, tujuan pendidikan nasional adalah menciptakan masyarakat sosialis Indonesia. Ideologi Manipol Usdek yang diterapkan kepada semua sekolah itu, ternyata ditolak oleh banyak masyarakat karena dinilai bercorak kiri dan dipengaruhi oleh ideologisme komunisme. Kebijakan Soekarno dalam bidang pendidikan ini terus berlanjut. Pada Sekolah Dasar yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di kelas I, II, dan III, pendidikan agama/budi pekerti dialokasikan sebanyak 2 jam pelajaran tiap minggu, kecuali kelas I hanya 1 jam pelajaran.
Seperti halnya SD, pelajaran Pendidikan Agama di SMP diusahakan dan diselenggarakan oleh Departemen Agama dengan beberapa ketentuan:
1. Guru-guru agama (termasuk staf guru pada sekolahnya) ditempatkan serta diangkat oleh Departemen Agama.
2. Rencana Pelajaran Agama dibuat oleh Departemen Agama dan disampaikan kepada sekolah-sekolah yang bersangkutan.
3. Jam pelajaran agama termasuk dalam daftar jam pelajaran pada tiap-tiap sekolah.
Pada tingkat SMA, pendidikan Agama/Budi Pekerti dikategorikan dalam kelompok pelengkap meski semula dimasukkan dalam kelompok dasar dengan alokasi waktu selama 2 jam pelajaran tiap minggu tiap kelas, tanpa membedakan jurusan yang dipilih sejak kelas II. Yang spesifik dalam Rencana Pendidikan 1964 adalah penempatan Pelajaran Agama sebagai pelajaran alternatif, bilamana seorang murid tidak mengikuti pelajaran agama, ia harus mengikuti pelajaran Budi Pekerti.
D. Perkembangan Pesantren Pada Masa Orde Lama
Setelah Indonesia berhasil meraih
kemerdekaan yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama
bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Berkat kemerdekaan ini
melahirkan kehidupan baru di berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan. Dalam
upaya menjalankan sistem pendidikan nasional, pemerintah memberi penghargaan
tinggi bagi pendidikan Islam, termasuk madrasah dan pondok pesantren.
Sebagai realisasi dari agama sebagai
pondasi dalam membangun bangsa dan negara, pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk
Departemen Agama yang mengawasi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah
umum dan mengawasi sekolah-sekolah agama seperti madrasah dan pondok pesantren.
Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di
Indonesia meskipun belum maksimal. Menindaklanjuti peraturan dan kebijakan
pemerintah Indonesia terhadap pendidikan Islam termasuk pondok pesantren maka
pondok pesantren sebagaimana tujuannya untuk membentuk kepribadian luhur
menjadi ulama yang intelek dan intelek yang ulama dengan giat bergerak pada
bidang pendidikan.
Orientasi usaha Departemen Agama
dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan
agama diajarkan di sekolah-sekolah secara spesifik. Usaha ini ditangani oleh
satu bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan agama. Dalam salah satu
dokumen disebutkan bahwa tugas bagian pendidikan di lingkungan Departemen Agama
itu meliputi; (1) Memberi pengajaran agama di sekolah negeri dan partikuler,
(2) Memberi pengetahuan umum di madrasah dan pondok pesantren, (3) Mengadakan
Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Dari tugas-tugas ini, Departemen Agama dapat dikatakan sebagai representasi
umat Islam dalam memperjuangkan penyelenggaraan pendidikan Islam secara lebih
luas di Indonesia.
Pada tahun 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri dalam Negeri dan Menteri Agama tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah melalui SKB ini madrasah diharapkan mempelopori posisi yang sama dengan sekolah-sekolah umum dan sistem pendidikan nasional, sehingga lulusan madrasah dapat melanjutkan dan pindah ke sekolah-sekolah umum dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi, karena mutunya pada dasarnya sama. Mencermati peraturan di atas, diharapkan lembaga pendidikan pondok pesantren membuka pendidikan formal berupa sekolah atau madrasah, agar para santrinya dapat melanjutkan ke pendidikan formal. Langkah yang ditempuh dan kerelaan pondok pesantren untuk membuka pendidikan formal menjadikan santri dan alumni pondok pesantren dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.
E. Perkembangan Madrasah Pada Masa Orde Lama
Mempelajari perkembangan madrasah
terkait erat dengan peran Departemen Agama sebagai andalan politis yang dapat
mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian yang terus menerus
dari kalangan pengambil kebijakan. Tentunya, tidak juga melupakan usaha-usaha
keras yang sudah dirintis oleh sejumlah tokoh seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari
dan Mahmud Yunus. Dalam hal ini, Departemen Agama secara lebih tajam
mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah.
Madrasah sebagai lembaga
penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal pada tahun 1950.
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1946 dan peraturan Menteri Agama Nomor 7
Tahun 1950 Madrasah Mengandung Makna sebagai berikut :
a. Tempat pendidikan dan diatur sebagai sekolah dan membuat
pendidikan dan ilmu pengetahuan agama menjadi pokok pengajarannya.
b. Pondok dan pesantren yang memberi pendidikan setingkat dengan madrasah.
Berdasarkan Undang-Undang No. 4 1950
tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah pasal 10 menyatakan
bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama,
sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar.3 Untuk mendapat pengakuan dari
Departemen Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata
pelajaran pokok paling sedikit enam jam seminggu secara teratur disamping mata
pelajaran umum.
Perkembangan madrasah yang cukup
penting pada masa Orde Lama adalah berdirinya madrasah Pendidikan Guru Agama
(PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuan pendiriannya untuk
mencetak tenaga-tenaga profesional yang siap mengembangkan madrasah sekaligus
ahli keagamaan yang profesional. PGA pada dasarnya telah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Khususnya di
wilayah Minangkabau, tetapi pendiriannya oleh Departemen Agama menjadi jaminan
strategis bagi kelanjutan madrasah di Indonesia.
F. Pendidikan Agama Di Sekolah Umum
Peraturan resmi pertama tentang
pendidikan agama di sekolah umum, dicantumkan dalam Undang-Undang Pendidikan
tahun 1950 No. 4 dan Undang-Undang Pendidikan tahun 1954 No. 20, (tahun 1950
hanya berlaku untuk Republik Indonesia Serikat di Yogyakarta). Undang-Undang
Pendidikan tahun 1954 No. 20 berbunyi :
1. Pada sekolah-sekolah negeri
diselenggarakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya
mengikuti pelajaran tersebut atau tidak.
2. Cara menyelenggarakan
pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur melalui ketetapan Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) bersama dengan Menteri Agama.
Penjelasan pasal ini antara lain menetapkan bahwa pengajaran agama tidak
mempengaruhi kenaikan kelas para murid.
Sebelumnya, telah ada ketetapan bersama Departemen PKK dan Departemen Agama yang dikeluarkan pada 20 Januari 1951. ketetapan itu menegaskan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat selama 2 jam per minggu. Di lingkungan yang istimewa, pendidikan agama dapat dimulai pada kelas I dan jam pelajarannya boleh ditambah sesuai kebutuhan, tetapi tidak lebih dari 4 jam per minggu, dengan syarat bahwa mutu pengetahuan umum di sekolah rendah itu tidak boleh kurang bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah di lingkungan lain. Di Sekolah Menengah Pertama, pelajaran agama diberikan 2 jam per minggu, sesuai dengan agama para murid. Untuk pelajaran ini, harus hadir sekurang-kurangnya 10 orang murid untuk agama tertentu. Selama berlangsungnya pelajaran agama, murid yang beragama lain boleh meninggalkan ruang belajar. Sedangkan kurikulum dan bahan pelajaran ditetapkan oleh Menteri Agama dengan persetuan Menteri PKK.
Pada tahun 1960, sidang MPRS menetapkan bahwa pendidikan agama diselenggarakan di perguruan tinggi umum dan memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk mengikuti ataupun tidak. Namun, pada tahun 1967 (periode awal Orde Baru), ketetapan itu diubah dengan mewajibkan mahasiswa mengikuti mata kuliah agama dan mata kuliah ini termasuk kedalam system penilaian.
KESIMPULAN
Lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti penahapan perkembangan sebagai berikut: kegiatan pendidikan Islam di Indonesia lahir dan tumbuh serta berkembang bersamaan dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Perkembangan pendidikan Islam pada masa Orde Lama sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. lembaga ini secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Secara lebih spesifik, usaha ini ditangani oleh suatu bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan agama.
Pemerintahan
memandang bahwa agama mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dan
strategis. Peran utama agama sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam
pembangunan nasional, agama juga berpengaruh untuk membersihkan jiwa manusia
dan kemakmuran rakyat, Agama sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan
diamalkan oleh setiap individu, warga dan masyarakat hingga akhirnya dapat
menjiwai kehidupan bangsa dan negara. Sehingga Pendidikan Agama dapat kita
rasakan hingga sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alaiddin, Koto M.A, 2012, Persatuan
Tarbiah Islamiah Sejarah Paham Keagamaan dan Pemikiran politik 1945-1970,
Jakarta:Raja Grapindo persada.
Assegaf, Abd. Rachman, 2005, Politik Pendidikan Nasional:
Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Pra-proklamasi ke Reformasi, Jogjakarta:
Kurnia Kalam.
Badri Yatim, 2001, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Daulay, Haidar Putra, 2007, Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana.
Deliar Noer, 1983, Administrasi
Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali.
Dewantara, Ki Hajar, 1977, Pendidikan. Jogjakarta: Majelis
Luhur Persatuan Taman Siswa.
Djamas
N., 2009, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan. Jakarta:Rajawali
Press.
Djoned, Marwati Posponegoro Nugroho
Notosusanto, 1993, Sejarah Nasional Indonesia VI Departemen Pendidikan
dan kebudayaan, Jakarta:balai Pustaka.
Hanun Asrohah, 1999, Sejarah
Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Khodir,
Abdul, 2015, Sejarah Pendidikan Islam Dari Masa Rasullah hingga Reformasi di
Indonesia, Bandung:Pustaka Setia.
Mahmud Yunus, 1968, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Widya.
Maksum, 1999, Madrasah, Sejarah
dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Mansur, Ahmad Surya, 2009, Negara API Sejarah 1,
Bandung, Penerbit Salamadani.
-------------------------------,
2012, Negara API Sejarah 2, Bandung, Penerbit Salamadani.
Mudyaharjo, Redja, 2002, Pengantar Pendidikan, Sebuah Studi Awal
tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta:
Rajawali.
Mustafa, A. dan Abdullah Aly, 1999, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, Bandung: Pustaka Setia.
Nata,
Abuddin, 2014, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Kencana
Ricklefs.M.C., 2011, Sejarah
Indonesia Moderen, Yogyakarta, GajahMada University Press.
Saile, Said, 2009, Pemekaran
Wilayah : Sebagai Buah Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Restu Agung.
Sarijo, Marwan, 1980, Sejarah
Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bhakti.
Seregeg,
Wayan, 1985, Pendidikan Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Surabaya:Surabaya
Post.
Shaleh, Abdurrahman, 1984, Penyelenggaraan
Madrasah, Peraturan Perundangan. Jakarta: Dharma Bakti.
Steenbrink, Karel, 1994, Pesantren, Madrasah, Sekolah:
Pendidikan Islam dalan Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.
Tilaar, H.A.R., 1995, Lima Puluh Tahun Pengembangan pendidikan
Nasional 1945-1995: Suatu Analisa Kebijakan, Jakarta : Grasindo.
Tim Penyusun Departemen Agama, 1986,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Depag RI
Zuhairini, 1997, Sejarah
Pendidikan Islam, Cet, I; Jakarta: Bumi Aksara.
0 Post a Comment:
Posting Komentar