Oleh: Mhd. Reza Fahlevi, M.Pd
A. Teori Masuknya Islam ke Indonesia
Islam di Indonesia baik secara
historis maupun sosiologis sangat kompleks, terdapat banyak masalah, misalnya
tentang sejarah dan perembangan awal Islam. Oleh
karena itu, para sarjana sering berbeda pendapat. Suatu kenyataan bahwa
kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai. Berbeda dengan penyebaran
Islam di Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan penduduk
wilayah oleh militer Muslim. Islam dalam batas tertentu disebarkan oleh
pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da’i) dan pengembara sufi.
Orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama itu tidak bertendensi apapun
selain bertanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama
mereka berlalu begitu saja. Tidak ada cacatan sejarah atau prasasti pribadi
yang sengaja dibuat mereka untuk mengabadikan peran mereka, ditambah lagi
wilayah Indonesia sangat luas dengan perbedaan kondisi dan situasi. Oleh karena
itu, wajar terjadi perbedaan pendapat tentang kapan, dimana, dan dimana pertama
kali Islam datang ke Nusantara. Namun, secara garis besar perbedaan pendapat
itu dibagi menjadi sebagai berikut.
1.
Pendapat
pertama dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis Belanda, diantaranya Snouck
Hurgrounje yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke 13 M
dari Gujarat (bukan dari arab langsung) dengan bukti yang ditemukannya makam
Sultan yang beragama Islam pertama Malik as Sholeh, raja pertama kerajaan
samudra Pasai yang dikatakan berasala dari Gujarat.
2.
Pendapat kedua
dikemukakan oleh sarjana-sarjana Muslim, diantaranya Prof. Hamka, yang
mengadakan “Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia”di Medan tahun 1963.
Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada
abad pertama Hijriah (abad ke 7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti
jalur pelayaran yang ramai dan bersifat Internasional sudah dimulai jauh
sebelum abad ke 13 M (yaitu sudah ada sejak abad ke 7 M) melalui selat Malaka
yang menghubungkan Dinasti Tang Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara
dan Bani Umayyah di Asia Barat.
3. Sarjana Muslim
Kontemporer seperti Taufiq Abdullah mengkompromikan kedua
pendapat tersebut. Menurut pendapatnya memang benar islam sudah datang ke
Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau abad ke 7 atau ke 8 Masehi, tetapi
baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah
Islam secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abd ke 13 dengan
berdirinya kerajaan samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran
Baghdad ibukota Abbasiyah oleh Halagu. Kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang
Muslim mengalihkan aktivitas perdagangan kea rah Asia Selatan, Asia Timur dan
Asia Tenggara.
Mengenai kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan yang panjang diantara ahli sejarah, mengenai tiga masalah pokok, yakni tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab tiga masalah pokok ini belum tuntas. Tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada. Terdapat kecendrungan kuat adanya suatu teori yang hanya menekankan aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok, tetapi mengabaikan aspek-aspek lainnya. Oleh karena itu, kebanyakan teori yang ada dalam segi-segi tertentu gagal menjelaskan kedatangan Islam, konversi agama yang terjadi, dan proses Islamisasi yang terlibat didalamnya.
Periodesasi masuknya pendakwah Islam ke Indonesia, menurut Muhammad Samsu, dapat dibagi kedalam tiga gelombang, yaitu: (a) Gelombang pertama, yaitu diperkirakan pada akhir abad ke-1 H./7 M. rombongan ini berasal dari Bashrah, kota pelabuhan di Irak, yaitu kaum Syi’ah dikejar-kejar oleh Bani Umayyah yang berkuasa saat itu. (b)Gelombang kedua, yaitu diperkirakan pada abad ke 6 H./13 M. dibawah Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al Husaini yang anak cucunya lebih dari 17 orang tiba di Gresik, Pulau Jawa. Pendakwah lainnya seperti Maulana Malik Ibrahim, Maulana Malik Ishak, Raden Rahmat atau Sunan Ampel, dan sebagainya. (c) Gelombang ketiga, pada abad ke-9 H./13 M. yang dipimpin ulama Arab dan Tarim, Hadramaut. Mereka berjumlah lebih dari 45 orang dan datang berkelompok berkisar, 2, 3atau 5 orang. Mereka mengajar dan menetap di Aceh, Riau, sadang, Kalimantan Barat dan selatan, Sulawesi Tengah dan Utara, Ternate, Bali, Sumba, Timor, dan lain-lain.
B. Saluran dan Cara-cara Islamisasi Di Indonesia
Kedatangan Islam dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan rakyat umumnya, dilakukan secara damai. Apabila situasi politik suatu kerajaan mengalami kekacauan dan kelemahan disebabkan perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana, maka islam dijadikan alat politik bagi golongan bangsawan atau pihak-pihak yang menghendaki kekuasaan itu. Mereka berhubungan dengan pedagang-pedagang Muslim yang posisi ekonominya kuat karena menguasai pelayaran dan perdagangan. Apabila kerajaan Islam sudah berdiri, penguasanya melancarkan perang terhadap kerajaan non-Islam. Hal itu bukanlah karena persoalan agama tetapi karena dorongan politis untuk menguasai kerajaan-kerajaan disekitarnya.
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang berkembang ada enam, yaitu:
1. Saluran Perdagangan
Pada taraf pertama, saluran
islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan lalulintas perdagangan pada abad ke-7
hingga ke-16 M. Membuat pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia, dan India)
turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara
dan Timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melalui perdagangan ini sangat
menguntungkan karena para Raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan
perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat
Tome Pires berkenaan dengan saluran Islamisasi melalui perdagangan ini
dipesisir Pulau Jawa, Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim
banyak yang bermukim di pesisir Pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih
kafir. Mereka berhasil mendirikan mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan
mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya
anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawad an kaya-kaya.
Beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa yang menjabat sebagai Bupati Majapahit yang ditempatkan dipesisir utara banyak yang masuk Islam, bukan hanya karena faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang Muslim. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka mengambil alih perdagangan dan kekuasaan ditempat tinggalnya.
2. Saluran Perkawinan
Secara ekonomi para pedagang Muslim memiliki status social yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, maka banyak penduduk pribumi, terutama putra-putri bangsawan, tertarik menjadi istri saudagar tersebut. Sebelum menikah, wanita-wanita tersebut diislamkan terlebih dahulu. Dan setelah mereka memperoleh keturunan, lingkungan mereka makin luas. Dengan demikian, timbullahperkampungan, daerah, dan kerajaan Muslim. Dalam perkembangan selanjutnya terdapat pula wanita Muslim yang dinikahi pria keturunan bangsawan, tentu saja setelah si wanita itu lebih dahulu masuk Islam. Islamisasi melalui jalur pernikahan ini dianggap menguntungkan, terutama apabila terjadi antara saudagar Muslim dan anak bangsawan atau anak raja, adipati atau bangsawan itu semua, proses islamisasi semakin berjalan dengan lancer dan efektif. Keadaan ini dapat dicontohkan dengan adanya perkawinan antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan nyai Manila, Sunan Gunung Jati dan Puteri Kawunganten, serta Brawijaya dan puteri Campa yang menurunkan Raden patah (raja Pertama Demak), dan lain-lain.
3. Saluran Tasawuf
Di antara para penyiar Islam dari luar yang datang ke Indonesia ada yang mengajarkan teosofi yang sudah bercampur dengan ajaran lokal yang sudah memiliki kemahiran dalam hal-hal yang berkaitan dengan magis dan memiliki kekuatan yang berhubungan dengan penyembuhan berbagai macam penyakit. Para guru tasawuf tersebut ada yang menikahi putra-putri bangsawan setempat. Diantara mereka ada yang mempunyai persamaan dengan alam pikiran para penganut agama sebelumnya, yaitu Hindu. Dengan cara demikian, agama Islam yang dibawa para ahli tasawuf itu mudah diterima masyarakat. Diantara ahli-ahli yang memberikan pelajaran teosofi yang demikian itu adalah Hamzah Fansuri di kerajaan Islam Darussalam Aceh, Syaikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa.
4. Saluran Pendidikan
Islamisasi yang dilakukan melalui pendidikan ini adalah termasuk paling efektif, terprogram, dan berlanjut sampai sekarang. Pesantren maupun pondok yang didirikan dan diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, serta ulama-ulama merupakan salah satu saluran bagi terjadinya proses islamisasi. Dipesantren atau pondok itulah calon ulama, guru agama dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang kekampung masing-masing atau berdakwah ketempat tertentu untuk mengajarkan agama Islam. Di Ampel Denta Surabaya misalnya terdapat pesantern yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel), dan di Giri juga terdapat pesantren yang didirikan oleh Sunan Giri. Para alumni pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam. Selanjutnya di Aceh, proses islamisasi menggunakan meunasah (berasal dari kata madrasah), dayah (berasal dari kata Zawiah), dan rangkang. Demikian pula di Sumatera Barat dijumpai adanya surau yang digunakan sebagai tempat menyelurkan ajaran Islam.
5. Saluran Kesenian
Saluran islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukkan wayang. Sejarah mencatat, bahwa Sunan Kalijaga termasuk tokoh yang mahir melakukan pertunjukkan wayang. Dalam setiap kali pertunjukkannya itu ia tidak pernah meminta upah berupa materi, melainkan meminta para penontonnya untuk mengucapkan dua kaliamat syahadat sebagai pertanda proses masuknya Islam. Selain, itu, sebagian besar cerita wayang yang masih dipetik dari kisah Mahabrata dan Ramayana telah disisipkan ajaran Islam dan nama pahlawan Islam. Kesenian lain yang digunakan bagi proses islamisasi ini adalah sastra berupa hikayat dan babad, serta seni bangunan dan seni ukir.
6. Saluran Politik
Proses Islamisasi melalui politik
terjadi setelah raja-raja yang ada didaerah itu terlebih dahulu memeluk Islam.
Kemudian dengan Islamnya raja dan kebijakannya dikeluarkannya tentang agama
yang dianutnya ini menjadi daya tarik bagi para pegikutnya untuk memeluk agama
Islam. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam didaerah ini. Di
samping itu, baik di Sumatera dan Jawa, maupun di Indonesia bagian timur,
terdapat kerajaan Islam yang memerangi raja-raja non-Muslim, demi kepentingan
politik dakwah Islamiah. Kemenangan kerajaan Islam secara politik banyak
menarik penduduk kerajaan non-Muslim itu masuk Islam.
Adanya berbagai saluran proses
islamisasi sebagaimana tersebut diatas memperlihatkan dengan jelas, bahwa
penyebaran dan pengembangan ajaran Islam membutuhkan semua lapisan masyarakat
dan semua bidang keahlian. Selain membutuhkan para ahli dakwah dan pendidikan,
proses islamisasi juga membutuhkan dukungan para ekonom, pedagang, budayawan,
seniman, politikus, pejabat pemerintah, dan masyarakat pada umumnya. Selain
itu, kenyataan tersebut juga menunjukkan, bahwa islam adalah sebuah agama yang
dapat beradaptasi dan berinteraksi merupakan seluruh aspek kehidupan dalam
masyarakat. Dengan dasar ini maka kerja sama yang erat antara berbagai komponen
dan keahlian dalam masyarakat dalam rangka memajukan Islam merupakan hal yang
perlu dilakukan.
Tahapan-tahapan proses Islamisasi sampai
mencapai tingkat sekarang ini.
Pada tahap pertama,
penyebaran Islam masih relatif di
kota pelabuhan. Tidak lama kemudian Islam mulai memasuki wilayah pesisir
lainnya dan pedesaan. Pada tahap ini pedagang, ulama-ulama guru tarekat (wali
dijawa) dengan murid-murid mereka memegang peranan penting. Islamisasi tahap
ini sangat diwarnai aspek tasawuf, meskipun aspek hokum (syariah) juga tidak
diabaikan. Hal ini karena Islam tasawuf dengan segala penafsiran mistiknya
terhadap Islam dalam beberapa segi tertentu cocokdengan latar belakang
masyarakat setempat yang dipengaruhi asketisme Hindu-Budha dan sinkretisme
kepercayaan lokal.
Tahap kedua, penyebaran Islam terjadi
ketika VOC makin mantap menjadi penguasa di Indonesia. Sebenarnya pada abad 17
VOC baru merupakan slaah satu kekuatan yang ikut bersaing dalam kompetisi
dagang dan politik di kerajaan Islam Nusantara. Akan tetapi pada abad ke 18 VOC
berhasil tampil sebagai pemegang hegemoni politik di Jawa dengan terjadinya
perjanjian Giyanti tahun 1755 yang memecah Mataram menjadi dua: Surakarta dan
Yogyakarta. Perjanjian tersebut menjadikan raja-raja Jawa tidak mempunyai
wibawa karena kekuasaan politik telah jatuh ke tangan penjajah, sehingga raja
menjadi sangat bergantung kepada VOC. Oleh karena itu, ulama keluar dari
keraton dan mengadakan perlawanan sambil memobilisasi petani membentuk
pesantren dan melawan kolonial seperti kasus Syaikh Yusuf al Makassari.
Tahap ketiga, terjadi pada awal abad ke
20, ketika terjadi liberalisasi kebijaksanaan pemerintah Belanda. Ketika
pemerintah Belanda mengalami defisit yang tinggi akibat menanggulangi tiga
perang besar (perang Diponegoro, perang Paderi, dan perang Aceh) Belanda
mengikat Gubernur Jenderal Johanes van den Bosch dengan tugas meningkatkan
produktivitas. Untuk itu van den Bosch memperkenalkan sistem tanam paksa yang mengharuskan petani
membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian yang dipaksakan. Sistem ekonomi
yang disebut ekonomi liberal ini dimulai tahun 1870. Pada masa ini kekuasaan
elit lokal merosot hanya sebagai mandor penanaman. Untuk keperluan ekonomi
liberal prasarana fisik dibangun, perkebunan besar, irigasi, transportasi
kereta api di Jawa dan Sumatera, pengangkutan laut, pelabuhan-pelabuhan baru,
dibangun Tanjung Priuk (1893). Dibangun pula sarana non fisik berupa sarana
pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan
perekonomian Belanda. Dalam perkembangannya, sistem pendidikan yang semula
untuk memenuhi perangkat biokrasi kolonial kemudian melahirkan elit baru,
intelektual modern yang bahkan mengancam kolonialisme itu sendiri. Mereka
tampil sebagai nasionalis yang anti kolonial, yang menciptakan terbentuknya
bangsa baru Indonesia diatas tumpuan kesatuan etnis lama.
Penyebaran Islam yang dulu dilaksanakan atas harapan yang berwatak religio-magis telah diganti oleh organisasi-organisasi yang mempunyai ideologi yang merupakan perumusan strategis dan sistematis dari aspirasi keislaman. Dalam kontesk ini, Islam merupakan peletak dasar bagi nasionalisme Indonesia.
C. Perkembangan Islam di Indonesia
Islam di Indonesia (Asia Tenggara)
merupakan salah satu dari tujuh cabang peradaban Islam (sesudah hancurnya
persatuan peradaban Islam yang berpusat di Baghdad tahun 1258 M). Ketujuh
cabang peradaban Islam itu secara lengkap adalah peradaban Islam Arab, Islam
Persi, Islam Turki, Islam Afrika Hitam, islam anak benua India, Islam Arab Melayu,
dan Islam Cina. Kebudayaan (peradaban) yang disebut Arab Melayu tersebar
diwilayah Asia Tenggara memiliki ciri-ciri universal menyebabkan peradaban itu
tetap mempertahankan bentuk integritasnya, tetapi pada saat yang sama tetap
mempunyai unsur-unsur yang khas kawasan itu.
Terjadinya transformasi
kebudayaan (peradaban) dari sistem keagamaan local kepada system
keagamaan Islam bisa disebut revolusi agama. Transformasi masyarakat melayu
kepada Islam terjadi berbarengan dengan masa perdagangan masa ketika Asia
Tenggara mengalami peningkatan posisi dalam Timur Barat. Kota-kota wilayah
pesisir muncul dan berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan, dan
kekuasaan. Masa ini mengantarkan wilayah Nusantara ke dalam internasionalisasi
perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami
masyarakat dikawasan ini pada masa-masa sebelumnya.
Perubahan-perubahan yang ditimbulkan
oleh Islam, baik dalam bidang politik, sosial dan
peradaban adalah karena Islam selaku agama yang telah mengajarkan tiga nilai
baru.
1.
Islam
mengajarkan adanya kehidupan akhirat yang berkesinabung dengan kehidupan
duniawi. Ajaran ini mendidik pengikutnya untuk mengatur hidup didunia mencapai
hidup diakhirat; bahwa hidup tidak selesai di dunia tetapi ada imbalannya diakhirat,
yan baik atau buruk.
2.
Islam
mengajarkan pemeluknya bertanggung jawab atas nasibnya sendiri diakhirat.
Kepercayaan ini mendorong pemeluknya untuk selalu menghayati dan mengamalkan
norma-norma hokum dan tuntunan akhlak yang benar sebagaimana yang diajarkan
kepeda setiap individu.
3.
Islam
mengajarkan aturan-aturan hidup bermasyarakat dan bernegara dalam cakrawala
kehidupan solidaritas umat Islam sedunia. Umat manusia tidak dikotak-kotakkan
dan terbagi-bagi dalam suku bangsa, tetapi derajat mereka tergantung pada
ketinggian keimanan.
Tiga nilai baru tersebut mendorong
manusia untuk menetapkan tiga hal dasar, yaitu bagaimana hidup yang benar,
berfikir dan mengamalkan dengan benar, dan bagaimana mengorganisasikan sesuatu
yang benar.
KESIMPULAN
Dari paparan diatas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a. Islam datang ke kepulauan Indonesia pada abad ke-7 (abad ke-1 H) yang dibawa oleh pedagang Muslim yang berasal dari Arab, Persia, India. Ketika Islam di Timur Tengah mulai berkembang keluar Jazirah Arab.
b. Tersebarnya Islam ke Indonesia melalui salauran-saluran sebagai berikut: saluran perdagangan, saluran politik, saluran perkawinan, saluran pendidikan, saluran tasawuf dan melalui saluran kesenian. Sedangkan proses islamisasi di Indonesia dilalui tiga tahapan-tahapan sebagai berikut: tahap pertama; penyebaran Islam relatif di kota pelabuhan; tahap kedua, penyebaran Islam terjadi ketika VOC; dan tahapan yang ketiga, terjadi pada awal abad ke 20 pada saat terjadi liberalisasi kebijaksanaan pemerintah Belanda.
c. Kemunculan dan perkembangan Islam dikawasan Indonesia menimbulkan transformasi kebudayaan (peradaban) lokal. Transformasi melalui pergantian agama dimungkinkan karena Islam selain menekankan keimanan yang benar juga mementingkan tingkah laku dan pengalaman yang baik, yang diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Walaupun transformasi (Islam) belum selesai
dan belum sempurna waktu itu, tetapi Islam sudah berfungsi sebagai kekuatan
pendorong perlawanan terhadap penjajah sekaligus lambang pemersatu. Ajaran
Islam dapat menumbuhkan jiwa patriotisme sebagai bagian dari iman yang
berorientasi ke arah persatuan seluruh kepualan Nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,(Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada,2005)
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2008)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2015)
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta: Prenada
Media Group, 2014)
M. Ya’kub, dkk, Sejarah peradaban Islam,
(Medan: Perdana Publishing, 2015)
0 Post a Comment:
Posting Komentar