A. Pendidikan Islam Pada Masa Kolonial Belanda
Pada abad 17 dan 18 tanah air kita dijajah oleh belanda, kekuasaan negara dipegang oleh pemerintah belanda yang tidak menghendaki perkembangan pendidikan dan pengajaran agama islam, sehingga bangsa tidak mengalami perkembangan sebagaimana mestinya. Kerajaan Mataram dibawah Sultan Agung terdesak, sehingga kerajaan kehilangan sebagian besar kekuasaannya dan daerahnya, kerajaan mataram itu kelak ibu kotanya dipindahkan ke Kartasura pada tahun 1680 dan dipindahkan lagi ke Surakarta. Pada tahun 1755 dipecah menjadi 2 yaitu: Surakarta dan Yogyakarta. Tahun 1757 Surakarta pecah menjadi 2 lagi yaitu Surakarta dan Mangkunegara, Yogyakarta pecah pula menjadi Kasultanan dan Paku Alaman. Mulai zaman Kartasura kekuasaan kerjaan menjadi terbatas sekali, lapangan pendidikan dan pengajaran diurus oleh masyarakat sendiri, tidak oleh pemerintah raja-raja. Pemerintah kerajaan tidak berkuasa lagi untuk memajukan pendidikan, juga pondok pesantren, sedang pemerintah belanda terus berusaha menghalanginya.
Tujuan awal VOC ke Indonesia mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, inilah bahaya besar yang dihadapi oleh raja-raja islam di Indonesia dan Semenanjung Tanah Melayu, dan inilah akan menentukan nasib kepulauan ini sampai tiga abad kemudian.
Kegiatan
pendidikan yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan di bagian timur
indonesia dimana agama katolik telah berakar dan di batavia (jakarta), pusat
administrasi kolonial. Pada tahun 1607 didirikan sekolah pertama di Ambon untuk
anak-anak indonesia, karena pada saat itu belum ada anak belanda. Tujuan utama
rupanya untuk melenyapkan agama katolik dengan menyebarkan agama protestan.
Jumlah sekolah cepat bertambah, pada tahun 1632 telah ada 16 sekolah di ambon,
di tahun 1645 meningkat menjadi 33 buah dengan 1300 murid.
Sekolah
pertama di jakarta dibuka pada tahun 1630 untuk mendidik anak belanda dan jawa
agar menjadi pekerja yang kompeten pada VOC. Pada tahun 1636 jumlahnya menjadi
3 buah dan pada tahun 1706 telah ada 34 guru dan 4873 murid. Sekolah-sekolah
itu terbuka bagi semua anak tanpa perbedaan kebangsaan.
Kurikulum
sekolah-sekolah selama VOC bertalian erat dengan gereja, menurut intruksi
Heeren XVII, badan tertinggi VOC di negeri belanda terdiri dari atas 17 orang
anggota, tahun 1617, gubernur di indonesia harus menyebarluaskan agama kristen
dan mendirikan sekolah untuk tujuan itu. Menurut peraturan sekolah 1643 tugas
guru ialah memupuk rasa takut terhadap Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama
kristen, mengajar anak berdoa, bernyayi, pergi kegereja, mematuhi orang tua,
penguasa, dan guru-guru.
Walaupun tidak
ada kurikulum yang ditentukan, biasanya sekolah menyajikan pelajaran tentang
katekismus, agama juga membaca, menulis, dan bernyanyi. Demikian pula tidak
ditentukan lama belajar. Peraturan hanya menentukan bahwa anak pria lebih dari
usia 16 dan anak wanita lebih dari 12 tahun hendaknya jangan dikeluarkan dari
sekolah. Kemudian usia itu diturunkan menjadi 12 tahun untuk anak pria dan 10
tahun untuk anak wanita. Pembagian dalam 3 kelas untuk pertama kali dilakukan
tahun 1778. Di kelas 3, kelas terendah, anak-anak belajar abjad, dikelas 2
membaca, menulis dan bernyanyi dan dikelas 1, kelas tertinggi membaca, menulis,
katekismus, bernyanyi dan berhitung.
Masalah yang
rumit dalam pendidikan ialah soal bahasa pengantar disekolah. Guru pertama
disekolah pertama di ambon, yang ingin menjadikan tanah jajahan sungguh-sungguh
koloni belanda yang berbahasa belanda seperti yang dicita-citakan oleh
atasannya, menggunakan bahasa belanda disekolah. Rupanya ia gagal dan guru
berikutnya mengunakan bahasa melayu dan portugis.
Perkembangan
pendidikan mulai merosot pada pertengahan abad ke-18. Jakarta yang berpenduduk
16.000 jiwa hanya mempunyai 270 murid, surabaya hanya 24 dan diseluruh pulau
jawa hanya 350 murid. Pada tahun 1890 tidak ada lagi diberikan khotbah di ambon
karena ketiadaan guru agama atau pendeta. Banyak gereja digunakan sebagai
gudang, keadaaan di jakarta tidak lebih baik. Pada tahun 1800 sejumlah uang
disumbangkan kepada sekolah di jakarta tak diketahui apa yang harus diperbuat
dengan uang itu karena saat itu tidak ada seorang pun guru belanda disana. Pada
saat yang sama VOC dibubarkan.
Setelah ambruknya VOC tahun 1816,
pemerintah belanda menggantikan kedudukan VOC Statuta Hindia Belanda tahun 1801
dengan terangan-terangan menyatakan: “bahwa tanah jajahan harus memberikan
keuntungan yang sebesar-besarnya kepada perdagangan dan kepada kekayaan negeri
belanda. Pada tahun 1842, Merkus, menteri jajahan memberikan perintah
agar Gubernur Jenderal berusaha dengan segenap tenaga memperbesar keuntungan
bagi negerinya. Walaupun setiap gubernur jenderal pada penobatannya berjanji
dengan khidmat bahwa ia akan memajukan kesejahteraan Hindia Belanda dengan
segenap usaha, ternyata Hindia Belanda sebagai negeri yang direbut harus terus
memberikan keuntungan kepada negeri belanda sebagai tujuan pendudukan itu.
Sekolah pertama bagi anak belanda dibuka di jakarta pada tahun 1817 yang segera diikuti oleh pembukaan sekolah di kota-kota lain di jawa. Dari tahun ketahun jumlahnya meningkat, dari 7 sekolah di tahun 1820 menjadi 19 di tahun 1835. Lalu meningkat lagi ditahun 1845 menjadi 25 sekolah, dan menjadi 57 di tahun 1857. Prinsip yang dijadikan pegangan tercantum di Statuta 1818 bahwa bahwa sekolah-sekolah harus dibuka ditiap tempat bila diperlukan oleh penduduk belanda dan dizinkan oleh keadaan atau secara lebih khusus, apabila jumlah murid mencapai 20 siswa untuk jawa atau 15 siswa untuk di luar jawa. Seorang inspektur pendidikan diangkat dan pada tahun 1830 telah terdapat sekolah dikebanyakan kota. Pada akhir abad ke 19 hampir tercapai taraf pendidikan universal bagi anak-anak belanda di seluruh indonesia. Berikut secara singkat perjalanan pendidikan masa belanda:
1. Pendidikan Rendah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu: (a) ELS sekolah dasar: lama sekolah ini adalah tujuh tahun dan yang bersekolah dalam sekolah dasar ini campuran yang terdiri dari orang Eropa, Timur Asing, dan Bumi putera. Tidak semau bumi putera dapat masuk pada ELS, tetapi hanya anak tokoh-tokoh terkemuka saja. (B) HSC adalah sekolah cina yang didirikan oleh belanda. Sekolah ini didirikan khusus bagi anak-anak keturunan cina dan asia timur asing. (c) HIS lama pendidikannya tujuh tahun dan yang dapat masuk kesekolah ini adalah Indonesia asli, bangsawan, pegawai negeri, dan tokoh-tokoh terkemuka.
2. Sekolah Rendah berbeda dengan ELS dan HIS. Sekolah rendah menggunkan satu bahasa, yaitu bahasa daerah. Sekolah ini khusus bagi anak-anak bumi putera dan lamanya 5 tahun. Sekolah ini terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
a.
Inlandsche School dan Tweede Klasse
b.
Volkschool (sekolah desa) 3 tahun, bumi putera
c.
Vervolgscool (sekolah lanjutan desa), bumi putera, pembelajaran selama 2 tahun.
d. Sekolah Peralihan (Schakel School). Untuk mengakomodasi pendidikan pendidikan yang lebih tinggi, maka belanda mendirikan sekolah peralihan. Sekolah peralihan diperuntukkan untuk melanjutkan dari sekolah desa ke sekolah dasar. Sekolah peralihan menggunakan bahasa belanda. Lama pendidikan disekolah peralihan adalah 5 tahun dan sekolah ini diperuntukkan bagi warga bumi putera.
3. Pendidikan Menengah, setelah menempuh pendidikan rendah, maka masyarakat dapat melanjutkan ke pendidikan menengah. Adapun jenis pendidikan menengah antara lain: (a) MULO (Meer Uitgebraeid Lagere Onderijs) Pendidikan di MULO menggunakan bahasa belanda, lama pendidikan dapat ditempuh dari 3-4 tahun dan sekolah ini diperuntukkan bagi masyarakat bumi putera dan timur asing. (b) AMS (Algemeene Middelbare School) Seperti MULO, AMS juga menggunakan bahasa belanda dan diperuntukkan bagi bumi putera dan masyarakat timur asing. Disekolah AMS sudah mulai dikenal adanya penjurusan. Ada dua penjuruan, yaitu bagian A (Kebudayaan) dan bagian B (pengetahuan alam) (c) HBS (Hoogere Burger School) HBS adalah sekolah warga negara tinggi. Sekolah ini merupakan lanjutan dari ELS. Siswa yang masuk kesekolah ini boleh dari mana saja (peserta campuran). Bahasa yang digunakan selama belajar di HBS adalah bahasa belanda dan lama pendidikan yang ditempuh selama 3-5 tahun.
4. Pendidikan Kejuruan (Vakonderwijs), selain sekolah umum seperti diuraikan diatas, maka pada saat itu berdiri pula sekolah kejuruan. Sekolah kejuruan ini terdiri dari beberapa jenis, yaitu: (a) Sekolah pertukaran (Ambachts Leergang) (b) Sekolah ini menggunakan bahasa melayu, siswa yang dapat masuk kesekolah petukangan adalah lulusan sekolah kelas dua (5tahun) dan Vervolgschool.
5. Sekolah pertukangan (Ambachts
School), yang dapat masuk kesekolah pertukangan adalah lulusan HIS dan
lulusan sekolah peralihan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa belanda. Sekolah
pertukangan memiliki beberapa jurusan, yaitu jurusan montir mobil, listrik,
kayu, penata batu. Sekolah pertukangan di peruntukkan untuk mencetak mandor
yang dapat bekerja di pabrik-pabrik.
6. Sekolah Teknik (Technisch Onderwijs).
7. Pendidikan Dagang (Landbouw Onderwijs)
8. Pendidikan Kejuruan Wanita (Meijes
Vakonderwijs)
9. Pendidikan Keguruan (kweekschool)
10. Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)
seperti: hukum, teknik, dan kedokteran.
B. Sistem Pendidikan Islam
Kondisi
pendidikan bagi umat islam pada zaman belanda dari waktu kewaktu demikian
memprihatinkan karena terus menerus mendapatkan tekanan dan perlakuan yang
tidak menggembirakan. Namun demikian, umat islam secara terus menerus pula
tetap berjuang dan melakukan perlawanan, hingga akhirnya pendidikan islam
mengalami kebangkitan dan kemajuan. Kemajuan pendidikan islam tersebut
terinspirasi antara lain oleh gerakan yang lahir dari timur tengah, khususnya
saudi arabia dan mesir yang dibawa oleh orang-orang yang pulang dari menuntut
ilmu di Mekkah dan Mesir.
Sejarah
telah membuktikan selama abad ke-19 saja, Kolonial belanda cukup sibuk
menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang kebanyakan dilancarkan sebagai
“perang sabil” atas nama islam. Tercatat pemberontakan-pemberontakan yang
terkenal pada abad ini antara lain, Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera
Barat, Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawah Tengah, dan yang terlama adalah
Perang Aceh dari tahun 1871-1912. Pemberontakan-pemberontakan tersebut cukup
membahayakan dan sempat mengancam kelangsungan hidup penjajahan belanda di
indonesia, disamping tidak kecil kerugian-kerugian yang diderita belanda
karenanya. Maka dari itu wajarlah apabila belanda yang menginginkan berusaha
sekuat tenaga menjinakkan dan sekaligus melumpuhkan islam sebagai kekuatan
politik di indonesia yang dapat membahayakan penjajahannya di negara tersebut.
Kesadaran bahwa
pemerintahan kolonial merupakan pemerintah kafir yang menjajah agama dan bangsa
mereka, semakin dalam tertanam dibenak para santri. Pesantren (kaum
tradisionalis) yang pada waktu itu merupakan pusat pendidikan islam mengambil
mengambil sikap anti-belanda. Karena demikian benci dan anti terhadap belanda,
maka uang yang diterima sebagai gaji dari pemerintah belanda dianggap sebagai
uang haram. Demikian pula celana dan dasi juga dianggap haram, karena dianggap
sebagai identitas belanda. Sikap ini secara umum diambil oleh kalangan pesantren
yang sering disebut kaum santri tradisional. Dengan berdasar pada dalil Alquran
dan Hadits yang berisi perintah memerangi orang kafir, dan tidak boleh
mengambil pimpinan dari orang kafir, ditambah lagi dengan sikap belanda
menyengsarakan rakyat indonesia, membuat kaum pesantren menaruh sikap curiga
dan memusuhi belanda. Mereka menolak bentuk bantuan apapun dari pemerintah
belanda, dan melarang melakukan berbagai hal yang berbau belanda.
Sejalan dengan sikap non-kooperatif dan non-akomodatif tersebut yang dilakukan kalangan pesantren, mereka selain mengambil jarak dengan pemerintahan belanda dengan membangun pesantren didaerah pedesaan, juga dengan membangun sistem pendidikan tradisional, yang antara ditandai sebagai berikut:
- Visinya menjadikan Islam sebagaimana terdapat dalam fikih sebagai pedoman hidup yang harus diamalkan dan diajarkan.
- Misinya menanamkan dan mengajarkan ajaran islam, memupuk persatuan diantara sesama umat islam dan melakukan jihad dengan segenap raya dan kemampuan yang dimilkinya.
- Tujuannya mencetak para ulama ahli agama islam untuk diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat dengan tugas sebagai pemimpin agama, guru, dan penasihat keagamaan.
- Kurikulumnya hanya meliputi ilmu agama islam baik yang disusun oleh ulama lokal, maupun ulama mancanegara (kitab kuning).
- Pendekatan yang digunakan adalah teacher centris, yakni proses pembelajaran sepenuhnya dilakukan oleh guru, yakni guru menyampaikan dan mentranferkan ilmu agama yang terdapat didalam berbagai kitab kuning tersebut, baik dalam cara membacanya maupun memahaminya.
- Metode yang digunakan adalah metode yang sejalan dengan pendekatan yang berpusat pada guru tersebut, seperti halaqah, yaitu guru duduk dihadapan para santri, kemudian membacakan dan menjelaskan isi kitab dan diakhiri dengan meminta beberapa santri untuk mengulanginya, sedangkan murid menyimak bacaan guru, memberi harakat, memberi terjemah atau arti kata perkata yang terdapat dalam kitab tersebut dan mengulangi bacaannya dihadapan guru.
- Guru yang bertugas terdiri dari tiga lapis, yang tertinggi adalah kiai (syekh), yang kedua guru senior (mursyid/ustadz), dan yang ketiga guru junior (mu’id/asisten).
- Santri (murid) yang belajar adalah putra putri yang berasal dari daerah sekitar pesantren, dan ada pula beberapa santri yang datang dari berbagai daerah dan provinsi di indonesia, terutama pada santri yang belajar di pondok pesantren yang tergolong besar dan ternama.
- Sarana dan pra-sarana terdiri dari masjid, pondokan tempat tinggal para santri, rumah kiai, aula tempat belajar, dan kitab kuning.
- Pengelolahan tidak berlaku secara formal, melainkan dilakukan oleh kiai yang dibantu oleh beberapa santri senior dengan menggunakan sekretariat yang terintegrasi dengan rumah kiai, dengan mengunakan manajemen sentralistik yang berbasis pada karisma kiai.
- Biaya berasal dari kekayaan yang dimiliki kiai serta sedekah, infak, dan hibah dari dermawan yang jumlahnya tidak pasti, serta tidak dilakukakn pembukuan, melainkan secara langsung dikelola oleh kiai yang dibantu oleh para santri yang dipercaya.
- Lulusan ditentukan oleh sejumlah kitab yang telah tamat dipelajari dan dipandang cakap untuk mengajarkannya kepada orang lain yang didasarkan pada penilaian kiai dan komunitas pesantren, yakni bahwa santri tersebut sudah menamatkan dan menghafal sejumlah kitab, hafal alquran dan berkepribadian sebagai muslim yang baik. Lulusan tersebut tidak mendapatkan ijazah atau surat tamat belajar, karena orientasinya tidak untuk mendapatkan atau melamar pekerjaan secara formal.
- Kerja sama dilakukan secara informal dan konvensional, yaitu bahwa kerja sama tersebut bersifat gessencheef, yakni didasarkan pada kesamaan asal daerah, asal pendidikan, geneologi, dan hal-hal lain yang bersifat lebih personal, emosional, dan kultural.
- Lingkungan bersifat religius sufistik, yakni lingkungan yang ditandai oleh pengalaman nilai-nilai sufistik, seperti shalat berjamaah, shalat tahajjud, shalat dhuha, zikir, wirid, berdoa, membaca alquran, puasa sunah, praktik hidup sederhana (zuhud), ikhlas, tawakal,ridho, qana’ah, tawadhu’ wara’i,I sabar, syukur dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, yang semuanya ini dapat membentuk kultur atau budaya santri/budaya pesantren.
Ada dua ciri khas pendidikan Islam indonesia pada zaman
penjajahan belanda. Pertama adalah dikotomi. Dalam kamus bahasa indonesia,
pengertian dikotomis adalah dua kelompok yang saling bertentangan.
Dalam hal ini yang
dimaksud adalah pertentangan antara pendidikan Belanda (HIS, MULO, AMS, dan
lain-lain) dengan pendidikan islam (pesantren, dayah, surau). Pertentangan ini
dapat dilihat dari sudut ilmu yang dikembangkan. Disekolah-sekolah belanda di
kembangkan ilmu-ilmu umum (ilmu-ilmu sekuler). Pemerintah kolonial belanda
tidak mengajarkan pendidikan agama sama sekali di sekolah-sekolah yang mereka
asuh.
Pemerintahan Hindia
belanda mempunyai sikap netral terhadap pendidikan agama disekolah-sekolah
umum, ini dinyatakan dalam pasal 179 (2) LS (Indische Staatsregeling)
dan dalam berbagai ordonansi. Secara singkat dinyatakan sebagai berikut:
Pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan
menghormati keyakinan agama masing-masing. Pengajaran agama hanya boleh
diberikan diluar jam sekolah.
Upaya-upaya untuk
memasukkan pendidikan agama disekolah-sekolah umum telah beberapa kali
diusulkan lewat Volksraad, tetapi tetap ditolak oleh pemerintah belanda.
Dan hal ini berlangsung sampai akhir pemerintahan belanda di indonesia.
C. Pengaruh Kebijakan Kolonial Belanda terhadap Pendidikan Islam (politik etis, ordonansi guru/ sekolah liar)
Aliran atau paham yang dikenal sebagai sebagai politik
etis (Etische politiek) merupakan aliran yang timbul dikalangan orang-orang
belanda, untukk memberikan kepada penduduk asli di daerah jajahannya, bagian
dari keuntungan yang diperolehnya selama menguasai mereka (indonesia). Hal
tersebut disebabkan karena perusahaan-perusahaan eropa di indonesia mengalami
kemajuan pesat, berkembang dengan cepat meraih keuntungan yang banyak.
Selanjutnya mereka juga membutuhkan pekerja-pekerja yang terdidik dan ahli.
Namun secara menyeluruh bagi rakyat pada umumnya tidak dirasakan adanya
perbaikan-perbaikan sosial.
Pencetus gagasan politik
etis adalah Van deventer pada tahun 1899 dengan mottonya “hutang kehormatan”
atau “De Eereschuld”. Politik etis ini diarahkan untuk kepentingan penduduk
bumi putera dengan cara memajukan penduduk asli secepatnya melalui pendidikan
secara berat.
Kepada orang-orang
bumiputera harus diperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan barat yang telah
menjadikan belanda bangsa yang besar. Politik baru ini menjadi terkenal
langkahnya antara lain dengan slogan: “Pendidikan, Irigasi, Imigrasi” atau
“Educatie, Irigatio, Emigratie.” Oleh karena itu dalam dua dasawarsa sejak
1900, pemerintah hindia-belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah berorientasi
barat. Berbeda dengan Snouck Hurgronjo yang mendukung pemberian pendidikan
kepada golongan aristokrat bumiputera, maka Van deventer menganjurkan pemberian
pendidikan barat kepada orang-orang golongan bawah. Tokoh ini tidak secara
tegas menyatakan bahwa orang dari golongan rakyat biasa yang harus didahulukan,
tetapi mengajurkan agar rakyat biasa tidak diabaikan. Karena banyak didirikan
sekolah-sekolah yang berorientasi dan berbahasa pengantar bahasa belanda.
Berkaitan dengan “arah
etis” (etische koors) yang menjadi landasan idiil dari langkah-langkah dalam
pendidikan di Hindia-Belanda, maka pemerintah mendasarkan kebijakannya pada
pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
- Pendidikan dan pengetahuan barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk bumiputera, untuk itu bahasa belanda diharapkan dapat menjadi bahasa pengantar disekolah-sekolah.
- Pemberian pendidikan rendah bagi golongan bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Atas dasar itu maka corak dan sistem pendidikan dan
persekolahan di Hindia-Belanda pada abad ke-20 dapat ditempuh melalui dua jalur
tersebut. Di satu pihak melalui jalur pertama diharapkan dapat terpenuhi
kebutuhan akan unsur dari lapisan atas
serta tenaga terdidik bermutu tinggi bagi keperluan industri dan ekonomi, di
lain pihak terpenuhi kebutuhan tenaga menengah dan rendah yang berkependidikan.
Secara tegas tujuan pendidikan selama periode kolonial memang tidak pernah
dinyatakan, tetapi dari uraian-uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
tujuan pendidik antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar
untuk kepentingan kaum modal belanda, disamping ada sebagian yang dilatih dan
dididik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan
lain-lain yang diangkat sebagai pekerja-pekerja kelas dua kelas tiga.
Dalam bidang pendidikan Islam yang dilakukan belanda sangat diskriminatif
adalah ordonansi guru tahun 1905. Ordonansi ini adalah mewajibkan setiap guru
agama islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum
melaksanakan tugasnya sebagai guru agama.
Ordonansi ini dirasakan
oleh guru-guru agama sangat berat terlebih-lebih bagi guru agama yang belum
memiliki administrasi sekolah, selain itu, dampak negatif yang dihasilkan
ordonansi ini bisa digunakan untuk menekan islam dikuatkan dengan stabilitas
keamanan. Perkembangan berikutnya ordonansi guru 1905 itu akhirnya dicabut
karena dianggap tidak relevan lagi maka diganti dengan ordonansi tahun 1925,
yang isinya hanya mewajibkan guru agama untuk memberi tahu bukan meminta izin.
Ordonansi ini mendapat
reaksi yang keras dari umat Islam, misalnya Kongres al-islam di Bogor tahun
1926 menolak cara pengawasan terhadap pendidikan agama ini. Muhammadiyah juga
dalam kongres XVII tahun 1928 dengan sangat keras menuntut agar ordonansi guru ini
ditarik. Demikian juga reaksi yang datang dari Sumatera barat.
Pada tahun 1925 M,
pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan
agama islam, yaitu bahwa tidak semua orang (Kyai) boleh memberikan pelajaran
mengaji. Peraturan ini disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan
islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai serikat islam,
al-ilsyad, Nahdatul Wathan, lain-lain.
Pada tahun 1932 M,
pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang dapat memberantas dan menutup
madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang
tidak disukai oleh pemerintahan yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde
School Ordonantie). Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan
nasionalisme-Islamisme pada tahun 1928 M, berupa Sumpah Pemuda. Selain itu,
untuk lingkungan agama kristen di indonesia yang selalu menghadapi reaksi dari
rakyat, dan untuk menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama disekolah
umum yang kebanyakan muridnya beragama islam, maka pemerintah mengeluarkan
peraturan yang disebut netral agama. Yang dimaksud dengan netral agama
adalah pemerintah berikap tidak memihak kepada salah satu agama sehingga
sekolah pemerintah tidak mengajarkan agama. Pemerintah melindungi tempat peribadatan
agama (Indische Staat Regeling pasal 173-174)
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikemukakan beberapa catatan kesimpulan sebagai berikut.
- Perhatian belanda kepada rakyat jajahannya dalam bidang pendidikan dilakukan pada masa akhir penjajahannya, yaitu setelah meraka mendapat tekanan dari dunia internasional dan dilaksanakannya politik balas budi (politic ethic). Kebijakan belanda dalam bidang pendidikan untuk rakyat indonesia sangat diskriminatif, baik dari segi kualitas, sarana prasarana, tujuan, pembiayaan, dan kelanjutan studi. Belanda memberikan pendidikan yang tidak bermutu kepada rakyat indonesia, dengan tujuan agar rakyat indonesia dapat membaca dan menulis untuk mematuhi peraturan yang dibuat oleh belanda, serta untuk menjadi tenaga rendahan pemerintah belanda.
- Kehadiran belanda di indonesia menimbulkan respon yang berbeda:
a. Respon non-kooperatif, yakni menjauhi,
memusuhi, mencurigai, dan membenci belanda. Upaya ini dilakukan dengan cara
tidak mematuhi berbagai peraturan yang dibuat pemerintah belanda, melarang
meniru budaya belanda, dan mengharamkan segala sesuatu yang berbau belanda.
Respon ini dilakukan oleh kalangan agama dengan lembaga pendidikannya yang
berbasis pesantren.
b. Respons kooperatif, yakni sikap menerima dan
akomodatif secara selektif dan proporsioanal, yakni menerima hal-hal positif
dan meninggalkan hal-hal negatif dari belanda, dengan cara mendirikan madrasah
yang menggunakan sistem belanda, namun dengan jiwa agama dan kebangsaan.
c. Respons menerima sepenuhnya, yaitu mereka yang kurang memiliki dasar agama yang kuat dan banyak dipengaruhi oleh pendidikan dan budaya belanda.
3. Pendidikan islam di indonesia selama masa penjajahan belanda pada umumnya dalam keadaan memprihatinkan, sebagaimana akibat dari kebijakan pemerintah belanda yang sangat diskriminatif. Pendidikan islam yang ada di zaman belanda sebagian besar dalam bentuk pesantren tradisional yang kurang memperhatikan ilmu modern dan kedunian, dan sebagian kecil dalam bentuk madrasah yang sudah menerapkan model dan istem pendidikan belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi, Sejarah Pendidikan,Semarang: CV. Toha Putra, Desember 75
Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011
Ary H Gunawan, Kebijakan-kebijakan
Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1986
Andewi Suhartini,
Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Departemen Agama Republik Indonesia, 2009
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT RajaGranfindo Persada,
Mei 2015
Danasuparta, Sejarah
Pendidikan, Bandung: CV Ilmu, 1976
Haidar Putra
Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Rineka
Cipta, 2009
Haidar Putra
Daulay, Sejarah Pertumbuhan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2007
Hamka, Sejarah
Umat Islam, Pra-kenabian hingga Islam di Nusantara, Jakarta: Gema Insani,
2016
M. Sukardjo,
Ukim Komaruddin, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2009
S Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Zuhairini, dkk,
Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara jakarta dengan
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2013
Effendi, “Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam di Indonesia Dalam Perpektif Sejarah” Vol.8, No. 1 Tahun 2012, h. 94 (di unduh di webset ejournal.radenitan.ac.id, pada tanggal 4, jam 17.00 WIB)
0 Post a Comment:
Posting Komentar