OLEH:
- DEWI KHAIRINI
- ILHAM AGAM SETIAWAN
- RIKA KUMALA SARI
- ZAINI TANJUNG
A. FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI KODIFIKASI HADIS
Munculnya
kegiatan pengkodifikasian hadis pada dasarnya dilatar belakangi oleh banyak
faktor, baik secara internal maupun eksternal. Muhammad Al-Zafzaf menyebutkan
bahwa diantara dua faktor yang melatarbelakangi pengkodifikasian hadis diantaranya
adalah para ulama hadis yang telah tersebar ke berbagai negeri, sehingga akan
hilangnya hadis bersama dengan wafatnya ulama tersebut sementara generasi
penerus atau sesudahnya kurang menaruh perhatian terhadap hadis. Faktor kedua
adalah banyak berita yang dengan sengaja diada-adakan oleh orang yang suka
membuat bid’ah seperti khawarij, rifadhah, syiah dan lainnya berupa pembuatan
hadis palsu.[1]
Faktor-faktor
yang mendorong pengkodifikasian hadis secara umum dapat dilihat menjadi dua
klasifikasi. Yaitu internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini berupa: pertama, pentingnya
menjaga autentisitas dan eksistensi hadis, karena hadis disamping sebagai
sumber agama islam yang kedua setelah Alquran, juga merupakan panduan bagi umat
Islam dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat. Kedua, semangat untuk
menjaga hadis, sebagai salah satu warisan Nabi yang sangat berharga karena Nabi
memang pernah bersabda beliau meninggalkan dua perkara kepada umat-Nya sebagai
warisan yakni Alquran dan sunnah beliau.[2]
Semangat
keilmuan yang tertananam dikalangan umat Islam itu sendiri didalam
tulis-menulis dan meriwayat hadis juga menjadi faktor pendorong hadis. Selain
itu telah diperolehnya izin menulis hadis. Faktor internal lainnya adalah rasa
bangga dan puas ketika mampu menjaga hadis dan menghafal kemudian
meriwayatkannya.[3]
Hal-hal inilah yang menjadi faktor internal pengkodifikasian hadis.
Faktor eksternal lainnya antara lain: pertama, wilayah Islam yang semangkin luas sehingga banyak periwayat hadis yang tersebar keberbagai daerah. Kedua, kemunculan pemalsuan hadis disebabkan perbedaan pandangan politik.[4] Pembahasan ini lebih rinci akan dibahas pada pembahasan berikutnya.
B.
PERTIKAIAN POLITIK
Pertikaian politik memiliki pengaruh erat yang berkaitannya dengan faktor
pendorong terjadinya pengkodifikasian hadis. Hal ini ditandai, setelah
terjadinya perang Jamal dan Shifin yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin
Abi Tholib yang menimbulkan pergolakan politik. Pertikaian yang muncul sebab
terbunuhnya khalifah ketiga Ustman bin Affan, dari kejadian tersebut yang cukup
berkepanjangan dan berlarut-larut maka terpecahlah umat Islam kedalam beberapa
kelompok diantaranya adalah Khawarij, Syiah, Mu’awiyah dan golongan yang tidak
masuk kedalam ketiga kelompok tersebut.
Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan tersebut mendorong
akan adanya keperluan dan kepentingan golongan mereka masing-masing. Oleh
karena itu mereka mendatangkan hujjah dan keterangan untuk mendukung asumsi
mereka. Pada awal mulanya mereka mencari ayat-ayat alquran dan hadis sebagai
hujjah. Apabila mereka tidak menemukannya, mereka akan menakwil ayat-ayat
Alquran dan hadis sesuai dengan golongannya. Sebagai langkah terakhir apabila
mereka tidak mendapatkan sumber dari keduanya, maka mereka akan memalsukan hadis-hadis,
dan yang pertama mereka palsukan adalah hadis berkenaan dengan orang-orang yang
mereka agung-agungkan.[5]
Misalnya pada kelompok Syiah membuat hadis berkenaan tentang pengagungan
terhadap Ali bin Abu Tholib.
Tentunya adanya hal pertikaian politik dan perpecahan tersebut yang
menyebabkan persoalan baru yaitu berkenaan dengan munculnya hadis-hadis palsu. Hadis-hadis
palsu tersebut sengaja dibuat untuk mempertahankan ideologi golongannya demi
mempertahankan madzhab mereka tersebut.[6] Oleh
karenanya para sahabat sangatlah berhati-hati dalam menerima hadis karena telah
muncul bibit-bibit hadis palsu pada masa Ali bin Abi Tholib dan semangkin kuat
ketika masa Muawiyah bin Abu Sufyan. Misalnya hadis “Ali sebaik-baiknya
manusia, barang siapa yang meragukannya maka dia kafir”. Hadis ini digunakan sebagai salah satu
landasan pembelaan kelompok Syiah terhadap Ali.
Kemudian salah satu diantara yang lainnya adalah “sosok yang
berkarakter jujur ada tiga: aku, jibril dan Muawiyah” yang digunakan
sebagai legistimasi kekuasaan dinasti baru setelah kekhalifahan Ali bin Abu
Tholib yakni dinasti Umayyah dengan Muawiyah sebagai khalifahnya.[7]
Kaum Rifadhah Syi’ah yang merupakan pendukung Ali bin Abu Tholib merupakan
golongan yang paling banyak memalsukan hadis.
Kaum Rifadhah Syi’ah sendiri disinyalir telah memalsukan hadis
lebih dari 13.000 hadis yang isinya tidak lain merupakan sanjungan terhadap
Khalifah Ali bin Abi Tholib dan kecaman terhadap dua khalifah pertama yaitu Abu
Bakar dan Umar bin Khattab.[8] Namun
disisi lain juga berdampak positif yaitu timbulnya upaya penyelamatan dari
pemusnahan dan pemalsuan hadis. Hal ini pula yang mendorong adanya keinginan
Umar bin Abdul Aziz untuk membersihkan dan memelihara hadis dari hadis-hadis
maudhu yang sengaja dibuat guna mempertahankan ideologi golongan atau
mempertahankan madzhabnya.
C.
KHILAFIYAH DALAM BIDANG TEOLOGI
DAN FIQH
Faktor pendorong pengkodifikasian hadis juga berasal pada
khilafiyah dalam bidang teologi dan fiqih. Hal ini dapat dilihat dari
penyusunan kitab hadis yang berkembang pada kurun waktu abad ke-II Hijriah
sampai dengan abad ke-IV H dapat dipolakan menjadi bentuk metode kitab Hadis,
yaitu sunan, mushananf, jami, dan musnad.[9]Tiga
model yang pertama pada hakikatnya berada pada wilayah yang sama yaitu
mengakomodasi kepentingan fikih yang memang pada saat itu menjadi kebutuhan dan
lebih dapat diterima pada masyarakat Islam umumnya. Munculnya kitab-kitab Hadis
yang bercorak fiqih mulai abad II H ini yang kemudian dikenal dengan sebutan sunan
menjadi pertanda dikalangan masyarakat islam bahwa faktor fiqh juga menjadi
penyebab pengkodifikasian hadis. Sunan adalah kitab Hadis yang disusun
berdasarkan urutan tema-tema fikih dan (secara umum karena faktanya terdapat
beberapa hadis yang dinilai mawquf
di dalam kitab-kitab sunan) tidak memuat riwayat-riwayat yang
dinilai mawquf.
Selain itu, ada juga ulama yang menyusun kitab hadis pada Abad
ke-II seperti Imam Malik, beliau menyusun kitab Hadis pada Abad ke-II H atas
anjuran Abu Ja’far Al-Mansur, seorang Khalifah Bani Abbasiyah takkala bertemu
pada musim haji. Kitab tersebut dinamakan dengan Al-Muwatta dengan alasan
adanya harapan agar kelak ia dapat dijadikan pijakan (pegangan) bagi masyarakat.
Dalam penyusunan kitab Al-Muwatta Imam Malik lebih menekankan pada hadis
bermateri hukum yang bervariasi dan hampir seluruh bab-babnya dalam disiplin
Ilmu Fiqih.[10] Dalam bab-bab pembahasannya, pada urutan
pertama dikemukakan hadis Nabi, athsar sahabat dan kemudian fatwa tabi’in.
D.
PENDEKATAN KEPADA PENGUASA
Tak kala kekhalifahan dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz pada tahun
99 H. Beliau merupakan seorang khalifah pada dinasti Muawiyah yang sangat adil
serta wara’ dalam kepemimpinannya. Umar bin Abdul Aziz mulai timbul rasa
khawatir dengan kelestarian hadis. Apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan
dari para perawinya kemungkinan terbesar yang terjadi adalah lenyapnya hadis
bersama para penghafalnya yang wafat.[11]
Ditambah lagi beberapa motif lain seperti khawatir akan hilangnya dan lenyapnya
hadis dari perbendaharaan masyarakat karena belum didewankan, belum lagi
ditambah dengan adanya kelompok-kelompok yang memproduksi hadis-hadis palsu
guna mempertahankan ideologi golongan dan mempertahankan mazhabnya.
Selain motif tersebut terdapat pula motif lain seperti kekhawatiran
becampur aduknya Al-quran dengan hadis telah hilang, karena alquran telah di
kumpulkan dalam satu mushaf dan telah disebar keseluruh pelosok daerah
kekuasaan Islam. Serta bayang-bayang bahwa apabila terjadi perang dengan kaum
kafir dan sesama muslim maka jumlah hadis juga akan berkurang, seiring jumlah
ulama hadis yang berkurang pula.
Untuk menghilangkan kekhawatiran hilangnya hadis dan memelihara
hadis dari munculnya hadis-hadis palsu tersebut. Sebagai Khalifah Umar bin
Abdul Aziz yang memiliki sifat adil dan wara’ serta kedekatan terhadap Gubernur
atau penguasa untuk membukukan hadis yang terdapat pada para penghafal. Hal ini
seperti pada tahun 100 H Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin
Hazm supaya membuku hadis-hadis Nabi dari para penghafalnya.[12]
Sejalan dengan hal ini Ramli Abdul Wahid menyebutkan bahwa kodifikasi merupakan
pengumpulan dan penulisan hadis atas perintah khalifah kepada penguasa daerah
untuk disebarkan kepada masyarakat.[13]
Umar bin Abul Azis menuliskan surat kepada Abu Bakar bin Hamz yang
berbunyi:
Artinya:
“Umar bin Abdul Aziz menuliskan
kepada Abu Bakr bin Hamz : Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis
Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya
ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan
ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat
mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan”.[14]
Atas instruksi ini, Abu Bakr bin Hamz lalu mengumpulkan hadis-hadis
nabi baik yang ada pada dirinya sendiri maupun pada Amrah yang merupakan murid
kepercayaan Siti Aisyah. Dalam rujukan yang lain dalam kapasitasnya sebagai
seorang Khalifah yang memiliki kedekatan dengan para penguasa dan ulama di
berbagai daerah, Umar bin Abdul Aziz mengeluarkan surat perintah mengeluarkan
surat resmi yang memerintahkan agar seluruh hadis dimasing-masing daerah untuk
segera dihimpun.
Adapun surat-surat itu ditujukan kepada Abu Bakar bin Hazm namun
sebelum sempat menyelesaikan tugasnya, khalifah telah meninggal dunia. Kemudian
digantikan oleh Yazid II (Yazid bin Abdul Maliki) membebastugaskan Ibnu Hazm
sebagai gubernur Madinah, sehingga tugasnya pun ikut berhenti serta orang-orang
yang membantunya dalam penulisan hadis juga ikut berhenti.
Ibnu Syihab Al-Zuhri seorang ulama besar di Hijaz dan Syam juga
mendapat perintah melalui surat yang berisi serupa dari Umar bin Abdul Aziz. Al-Zuhri
berhasil melaksanakan tugas penghimpunan hadis sebelum Khalifah Umar bin Abdul
Aziz meninggal dunia. Kompilasi hadis dari Al-Zuhri ini bagian-bagiannya segera
dikirim ke berbagai daerah sebagai bahan unruk menghimpun hadis berikutnya.[15]
Setelah sepeninggalan khalifah, Al-Zuhri tetap melakukan tugasnya untuk
menghimpun hadis. Dari sini dilihat begitu dekatnya dan harmonisnya hubungan
antara khalifah dengan para penguasa dan ulama.
Pada khalifah Yazid II, Al-Zuhri mendapat dukungan yang
mengangkatnya sebagai hakim hingga khalifah Hisyam ibnu Abdul Malik. Bahkan
khalifah Hisyam-lah yang mendorongnya agar serius menuuliskan hadis untuk
kepentingan pangeran muda, para sekretaris peradilan serta memperkaya
perpustakaan khalifah. Kitab ini nantinya yang kemudian menjadi pegangan dan
dipelajari oleh para pencari hadis setelahnya untuk dijadikan satu sumber
kekuatan baru dan menginspirasi pencari hadis setelahnya yang kemudian
melahirkan berbagai bentuk struktur baru (structuring structure) dari
tangan-tangan muhaddis setelahnya, misalnya muncul berbagai bentuk kitab hadis
dan mengalami titik kemajuan ketika lahirnya kutubusittah.
Selain pada tokoh diatas Umar bin Abdul Aziz juga menuliskan surat kepada para penguasa
diseluruh wilayah kekuasaannya yang bernada sama dengan surat yang ditunjukkan
kepada Abu Bakar bin Hazm dan Al-Zuhri meskipun pada akhirnya Al-Zuhri-lah yang
merespon paling cepat dan dipandang lebih lengkap dibandingkan dengan Abu Bakar
bin Hazm.
E.
MOTIVASI BERLEBIHAN
Motivasi berlebihan
sebagai faktor yang mendorong pengumpulan hadis bukan hanya muncul dari diri
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Namun semangat menemukan dan mengumpulkan hadis
juga dialami oleh beberapa sahabat-sahabat bahkan sebelum munculnya perintah
pengumpulan hadis dari sang khalifah atau bahkan sebelum khalifah memimpin.[16]
Namun penghimpunan hadis pada masa ini masih bercampur dengan perkatan dan
fatwa-fatwa sahabat serta penghimpunan masih dalam bentuk lembaraan-lembaran
atau sahifah-sahifah yang dikumpul tanpa klasifikasi ke dalam tata
tertib.
Motivasi berlebihan ini akhirnya menciptakan suasana yang mendorong
kegiatan sahabat untuk mengadakan perlawatan mencari hadis atau mencari ilmu
karena para sahabat senior paska khulafaurrasyidin (41-98 H) telah berpindah ke
bepindah ke berbagai kota lain pada masa perluasan ekspansi wilayah Islam. Kegiatan perlawatan mencari hadis pada
sahabat senior ini disebut rihlah ilmiyah.
Para sahabat junior banyak mengadakan perjalanan jauh untuk
menghimpun atau checking kebenaran hadis dari sesamanya atau sahabat yang lebih
senior. Hal ini misalnya dilakukan oleh Jubir bin Abdullah yang pernah
melakukan perjalanan ke Syam. Jabir pada saat itu segera memberli seekor unta
sebagai bekal perjalanan dan ditempuhnya Syam dalam kurun waktu satu bulan. [17] Tujuan
Jubir bin Abdullah adalah untuk mencari kebenaran hadis yang berbunyi: “Seluruh
manusia atau hamba nanti akan dikumpulkan di hari kiamat dalam
keadaan
telanjang, tidak berkhitan, dan buhma.” Di Syam Jubir bin Abdullah berjumpa dengan
Abdullah bin Unais dan menanyakan perihal hadist yang berlum pernah didengarnya
sebelumnya itu.
Selain Jubir bin Abdullah sahabat lain yang
melakukan perjalanan dengan semangat berlebihan adalah Abu Ayyub Al-Anshari
mengadakan rihlah dari Madinah ke Mesir untuk menemui Uqbah bin Amir Al-Juhani
dan mendengarkan sebuah hadis yang belum pernah ia dengar. yaitu sabda Nabi
SAW yang berbunyi “Barang siapa yang
menutupi cacat kehinaan seorang mukmin di dunia. Maka Allah akan menutupi
aibnya besok hari kiamat”.
Selain motivasi positif tadi yang menjadi faktor pendorong pengkodifikasian hadis, motivasi berlebihan hadis dapat pula disandarkan atau didasari pengumpulan seluruh hadis sebanyak-banyaknya, didorong pula dengan faktor mengkumpulkan hadis sebanyak-banyaknya dengan tidak menghiraukan atau belum sempat menyeleksi apakah mereka mendewankan hadis nabi semata-mata, ataukah termasuk ikut didalamnya fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Bahkan jauh dari itu mereka belum mampu mengklarifikasi kandungan nash-nash hadis menurut kategori-kategorinya.[18] Hasilnya karya muncullah kitab-kitab hadis yang belum dipisahkan antara hadis marfu’, mauquf dan maqthu’ dan diantara hadis yang shahih, hasan dan dhaif. [19] Nantinya pengelompokkan hadis menurut klasifikasinya tersebut dimulai pada perkembangan hadis pada abad ke III.
BAB IIIPENUTUP
A.
KESIMPULAN
Secara
umum faktor pengumpulan hadis didasarkan kepada berbagai hal diantaranya para
ulama hadis yang telah tersebar ke berbagai negeri, sehingga akan hilangnya
hadis bersama dengan wafatnya ulama tersebut sementara generasi penerus atau
sesudahnya kurang menaruh perhatian terhadap hadis. Faktor kedua adalah banyak
berita yang dengan sengaja diada-adakan oleh orang yang suka membuat bid’ah
seperti khawarij, rifadhah, syiah dan lainnya berupa pembuatan hadis palsu.
Selain
itu faktor yang menjadi pendorong pengkodifikasian hadis lainnya adalah
pergolakan politik antara kelompok syiah dan muawiyah serta khawarij. Hal ini
menimbulkan munculnya hadis baru diantara kelompok sebagai dalih memperkuat
ideologi masing-masing.
Khilafiyah
dalam teologi dan fiqih dimana terdapat ulama yang menyusun kitab hadis
berdasarkan hukum-hukum saja yang didalamnya juga memuat fatwa para tabi’in
misalnya adalah kitab al-Muwatta karya Imam Malik. Selain itu terdapat pula
kekhawatiran khalifah Umar bin Abdul Aziz akan lenyapnya hadis dan karena
kedekatan dengan penguasa memerintahkan pengumpulan hadis. Serta munculnya
sikap semangat dan rasa bangga diantara sahabat untuk mempelajari, menghafal
serta meriwayatkan hadis seperti Jubir bin Abdullah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Abu Ya’la al-Kholil bin Al-Irsyad fi Ma’rifati ‘Ulama
al-hadits, dalam CD Maktabah Syamilah.
Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir.Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka
Setia. 2004.
Al-Suyuthi, Jalal Al-Din.Jami’ Al-Shagir.Beirut: Dar
al-Fikr.tth.
Arifin, Zainul. Studi
Kitab Hadis. Surabaya:Al-Muna.2013.
Az-zahrani, tadwin as-sunahan-nabawiyah,
Fakhi, Rifqi Muhammad Dominasi Paradigma Fikih dalam Periwayatan
dan Kodifikasi Hadis. Ahkam. Vol.XII.No.2. Juli 2012.
Ibn ‘Abd al-Barr, Jami‘ Bayan al-‘Ilm, juz I.
Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan
Kontekstual.:Telaah Ma’ani Al-Hadits
Tentang Ajaran Islam Yang Universal.
Jakarta:Bulan Bintang. 1994.
Mudasir, H. Ilmu Hadits.Bandung:Pustaka
Setia.2005.
Mudasir. Ilmu Hadis. Surabaya:Pustaka Setia.2008.
Qudsy, Saifuddin Zuhri Umar
bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan
Hadis. ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013. Hal.259
Rijal, Abu Ismail Muhammad ”Perjalanan Panjang Meraih Ilmu”
.Asy-Syariah.Edisi 100.28 Juli 2015.
Shiddieqy, T.M Hasb Ash. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta:Bulan
Bintang.1998.
Yuslem, Nawir Ulumul
Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.2001.
Zaini, Muhammad Metode Pemahaman Hadis Dari Masa Ke Masa. Banda
Aceh:Ar-Raniry Press.2013.
Zainul Arifin. Studi Kitab Hadis. Surabaya:Al-Muna.2013.
[1] M. Syuhudi Ismail. Hadis Nabi Yang Tekstual dan
Kontekstual.:Telaah Ma’ani Al-Hadits
Tentang Ajaran Islam Yang Universal.
Jakarta:Bulan Bintang. 1994. Hal. 104
[2] Jalal Al-Din
Al-Suyuthi.Jami’ Al-Shagir.Beirut: Dar al-Fikr.tth.Hal.130
[3] M. Syuhudi Ismail..... Hal. 104
[4] M. Syuhudi Ismail. ....Hal. 105
[5] Zainul Arifin.
Studi Kitab Hadis. Surabaya:Al-Muna.2013. Hal. 37
[6] H Mudasir. Ilmu
Hadits.Bandung:Pustaka Setia.2005. Hal.91-93
[7] Saifuddin Zuhri Qudsy. Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis. ESENSIA
Vol. XIV No. 2 Oktober 2013. Hal.259
[8] Abu
Ya’la al-Kholil bin Abdillah, Al-Irsyad fi Ma’rifati ‘Ulama al-hadits, dalam
CD
Maktabah
Syamilah.
[9] Rifqi Muhammad
Fakhi. Dominasi Paradigma Fikih dalam Periwayatan dan Kodifikasi Hadis.
Ahkam. Vol.XII.No.2. Juli 2012. Hal.104
[10] Zainul Arifin. Studi Kitab Hadis. Surabaya:Al-Muna.2013.
Hal. 59
[11] T.M Hasb Ash Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta:Bulan
Bintang.1998.Hal.78
[12] Muhammad Ahmad
dan M. Mudzakir.Ulumul Hadis.Bandung:Pustaka Setia.2004.Hal.32
[13] Muhammad Zaini. Metode Pemahaman Hadis Dari Masa Ke Masa.Banda
Aceh:Ar-Raniry Press.2013.Hal.26.
[14] Saifuddin Zuhri Qudsy. Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis. ESENSIA
Vol. XIV No. 2 Oktober 2013. Hal.270
[15] Ibn
‘Abd al-Barr, Jami‘ Bayan al-‘Ilm, juz I, hlm. 76. Sebagian sumber menyebutkan
bahwa proses kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis yang dilakukan oleh
Al-Zuhri adalah dengan cara menghimpun hadis-hadis yang berkisar pada satu tema
dan masing-masing tema disusun dalam satu karya (kitab) tersendiri. Sebut saja
sebagai contoh, kitab tentang salat,kitab tentang zakat, kitab tentang puasa,
dan kitab tentang talak.
[16] Az-zahrani, tadwin as-sunahan-nabawiyah, Hal 88
[17] Abu Ismail Muhammad Rijal.”Perjalanan Panjang Meraih Ilmu” .Asy-Syariah.Edisi
100.28 Juli 2015. Hal 1.
[18] Mudasir. Ilmu Hadis. Surabaya:Pustaka Setia.2008.Hal.129
[19] Nawir Yuslem. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber
Widya.2001.Hal.122.
0 Post a Comment:
Posting Komentar