"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Sabtu, 21 Januari 2023

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PENGKODIFIKASIAN HADIS

 


OLEH: 

  • DEWI KHAIRINI
  • ILHAM AGAM SETIAWAN  
  • RIKA KUMALA SARI    
  • ZAINI TANJUNG                                                                                                                       

A. FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI KODIFIKASI HADIS

Munculnya kegiatan pengkodifikasian hadis pada dasarnya dilatar belakangi oleh banyak faktor, baik secara internal maupun eksternal. Muhammad Al-Zafzaf menyebutkan bahwa diantara dua faktor yang melatarbelakangi pengkodifikasian hadis diantaranya adalah para ulama hadis yang telah tersebar ke berbagai negeri, sehingga akan hilangnya hadis bersama dengan wafatnya ulama tersebut sementara generasi penerus atau sesudahnya kurang menaruh perhatian terhadap hadis. Faktor kedua adalah banyak berita yang dengan sengaja diada-adakan oleh orang yang suka membuat bid’ah seperti khawarij, rifadhah, syiah dan lainnya berupa pembuatan hadis palsu.[1]

Faktor-faktor yang mendorong pengkodifikasian hadis secara umum dapat dilihat menjadi dua klasifikasi. Yaitu internal dan faktor eksternal.  Faktor internal ini berupa: pertama, pentingnya menjaga autentisitas dan eksistensi hadis, karena hadis disamping sebagai sumber agama islam yang kedua setelah Alquran, juga merupakan panduan bagi umat Islam dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat. Kedua, semangat untuk menjaga hadis, sebagai salah satu warisan Nabi yang sangat berharga karena Nabi memang pernah bersabda beliau meninggalkan dua perkara kepada umat-Nya sebagai warisan yakni Alquran dan sunnah beliau.[2]  

Semangat keilmuan yang tertananam dikalangan umat Islam itu sendiri didalam tulis-menulis dan meriwayat hadis juga menjadi faktor pendorong hadis. Selain itu telah diperolehnya izin menulis hadis. Faktor internal lainnya adalah rasa bangga dan puas ketika mampu menjaga hadis dan menghafal kemudian meriwayatkannya.[3] Hal-hal inilah yang menjadi faktor internal pengkodifikasian hadis.

Faktor eksternal lainnya antara lain: pertama, wilayah Islam yang semangkin luas sehingga banyak periwayat hadis yang tersebar keberbagai daerah. Kedua, kemunculan pemalsuan hadis disebabkan perbedaan pandangan politik.[4] Pembahasan ini lebih rinci akan dibahas pada pembahasan berikutnya.

B.     PERTIKAIAN POLITIK

Pertikaian politik memiliki pengaruh erat yang berkaitannya dengan faktor pendorong terjadinya pengkodifikasian hadis. Hal ini ditandai, setelah terjadinya perang Jamal dan Shifin yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Tholib yang menimbulkan pergolakan politik. Pertikaian yang muncul sebab terbunuhnya khalifah ketiga Ustman bin Affan, dari kejadian tersebut yang cukup berkepanjangan dan berlarut-larut maka terpecahlah umat Islam kedalam beberapa kelompok diantaranya adalah Khawarij, Syiah, Mu’awiyah dan golongan yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut.

Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan tersebut mendorong akan adanya keperluan dan kepentingan golongan mereka masing-masing. Oleh karena itu mereka mendatangkan hujjah dan keterangan untuk mendukung asumsi mereka. Pada awal mulanya mereka mencari ayat-ayat alquran dan hadis sebagai hujjah. Apabila mereka tidak menemukannya, mereka akan menakwil ayat-ayat Alquran dan hadis sesuai dengan golongannya. Sebagai langkah terakhir apabila mereka tidak mendapatkan sumber dari keduanya, maka mereka akan memalsukan hadis-hadis, dan yang pertama mereka palsukan adalah hadis berkenaan dengan orang-orang yang mereka agung-agungkan.[5] Misalnya pada kelompok Syiah membuat hadis berkenaan tentang pengagungan terhadap Ali bin Abu Tholib.

Tentunya adanya hal pertikaian politik dan perpecahan tersebut yang menyebabkan persoalan baru yaitu berkenaan dengan munculnya hadis-hadis palsu. Hadis-hadis palsu tersebut sengaja dibuat untuk mempertahankan ideologi golongannya demi mempertahankan madzhab mereka tersebut.[6] Oleh karenanya para sahabat sangatlah berhati-hati dalam menerima hadis karena telah muncul bibit-bibit hadis palsu pada masa Ali bin Abi Tholib dan semangkin kuat ketika masa Muawiyah bin Abu Sufyan. Misalnya hadis “Ali sebaik-baiknya manusia, barang siapa yang meragukannya maka dia kafir”.  Hadis ini digunakan sebagai salah satu landasan pembelaan kelompok Syiah terhadap Ali.

Kemudian salah satu diantara yang lainnya adalah “sosok yang berkarakter jujur ada tiga: aku, jibril dan Muawiyah” yang digunakan sebagai legistimasi kekuasaan dinasti baru setelah kekhalifahan Ali bin Abu Tholib yakni dinasti Umayyah dengan Muawiyah sebagai khalifahnya.[7] Kaum Rifadhah Syi’ah yang merupakan pendukung Ali bin Abu Tholib merupakan golongan yang paling banyak memalsukan hadis.

Kaum Rifadhah Syi’ah sendiri disinyalir telah memalsukan hadis lebih dari 13.000 hadis yang isinya tidak lain merupakan sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Tholib dan kecaman terhadap dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab.[8] Namun disisi lain juga berdampak positif yaitu timbulnya upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan hadis. Hal ini pula yang mendorong adanya keinginan Umar bin Abdul Aziz untuk membersihkan dan memelihara hadis dari hadis-hadis maudhu yang sengaja dibuat guna mempertahankan ideologi golongan atau mempertahankan madzhabnya.

C.    KHILAFIYAH DALAM BIDANG TEOLOGI DAN FIQH

Faktor pendorong pengkodifikasian hadis juga berasal pada khilafiyah dalam bidang teologi dan fiqih. Hal ini dapat dilihat dari penyusunan kitab hadis yang berkembang pada kurun waktu abad ke-II Hijriah sampai dengan abad ke-IV H dapat dipolakan menjadi bentuk metode kitab Hadis, yaitu sunan, mushananf, jami, dan musnad.[9]Tiga model yang pertama pada hakikatnya berada pada wilayah yang sama yaitu mengakomodasi kepentingan fikih yang memang pada saat itu menjadi kebutuhan dan lebih dapat diterima pada masyarakat Islam umumnya. Munculnya kitab-kitab Hadis yang bercorak fiqih mulai abad II H ini yang kemudian dikenal dengan sebutan sunan menjadi pertanda dikalangan masyarakat islam bahwa faktor fiqh juga menjadi penyebab pengkodifikasian hadis. Sunan adalah kitab Hadis yang disusun berdasarkan urutan tema-tema fikih dan (secara umum karena faktanya terdapat beberapa hadis yang dinilai mawquf  di dalam kitab-kitab sunan) tidak memuat riwayat-riwayat yang dinilai mawquf.

Selain itu, ada juga ulama yang menyusun kitab hadis pada Abad ke-II seperti Imam Malik, beliau menyusun kitab Hadis pada Abad ke-II H atas anjuran Abu Ja’far Al-Mansur, seorang Khalifah Bani Abbasiyah takkala bertemu pada musim haji. Kitab tersebut dinamakan dengan Al-Muwatta dengan alasan adanya harapan agar kelak ia dapat dijadikan pijakan (pegangan) bagi masyarakat. Dalam penyusunan kitab Al-Muwatta Imam Malik lebih menekankan pada hadis bermateri hukum yang bervariasi dan hampir seluruh bab-babnya dalam disiplin Ilmu Fiqih.[10]  Dalam bab-bab pembahasannya, pada urutan pertama dikemukakan hadis Nabi, athsar sahabat dan kemudian fatwa tabi’in.

D.    PENDEKATAN KEPADA PENGUASA

Tak kala kekhalifahan dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99 H. Beliau merupakan seorang khalifah pada dinasti Muawiyah yang sangat adil serta wara’ dalam kepemimpinannya. Umar bin Abdul Aziz mulai timbul rasa khawatir dengan kelestarian hadis. Apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dari para perawinya kemungkinan terbesar yang terjadi adalah lenyapnya hadis bersama para penghafalnya yang wafat.[11] Ditambah lagi beberapa motif lain seperti khawatir akan hilangnya dan lenyapnya hadis dari perbendaharaan masyarakat karena belum didewankan, belum lagi ditambah dengan adanya kelompok-kelompok yang memproduksi hadis-hadis palsu guna mempertahankan ideologi golongan dan mempertahankan mazhabnya.

Selain motif tersebut terdapat pula motif lain seperti kekhawatiran becampur aduknya Al-quran dengan hadis telah hilang, karena alquran telah di kumpulkan dalam satu mushaf dan telah disebar keseluruh pelosok daerah kekuasaan Islam. Serta bayang-bayang bahwa apabila terjadi perang dengan kaum kafir dan sesama muslim maka jumlah hadis juga akan berkurang, seiring jumlah ulama hadis yang berkurang pula.

Untuk menghilangkan kekhawatiran hilangnya hadis dan memelihara hadis dari munculnya hadis-hadis palsu tersebut. Sebagai Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memiliki sifat adil dan wara’ serta kedekatan terhadap Gubernur atau penguasa untuk membukukan hadis yang terdapat pada para penghafal. Hal ini seperti pada tahun 100 H Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada Gubernur  Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membuku hadis-hadis Nabi dari para penghafalnya.[12] Sejalan dengan hal ini Ramli Abdul Wahid menyebutkan bahwa kodifikasi merupakan pengumpulan dan penulisan hadis atas perintah khalifah kepada penguasa daerah untuk disebarkan kepada masyarakat.[13]

Umar bin Abul Azis menuliskan surat kepada Abu Bakar bin Hamz yang berbunyi:

Artinya:

“Umar bin Abdul Aziz menuliskan kepada Abu Bakr bin Hamz : Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan”.[14]

Atas instruksi ini, Abu Bakr bin Hamz lalu mengumpulkan hadis-hadis nabi baik yang ada pada dirinya sendiri maupun pada Amrah yang merupakan murid kepercayaan Siti Aisyah. Dalam rujukan yang lain dalam kapasitasnya sebagai seorang Khalifah yang memiliki kedekatan dengan para penguasa dan ulama di berbagai daerah, Umar bin Abdul Aziz mengeluarkan surat perintah mengeluarkan surat resmi yang memerintahkan agar seluruh hadis dimasing-masing daerah untuk segera dihimpun.

Adapun surat-surat itu ditujukan kepada Abu Bakar bin Hazm namun sebelum sempat menyelesaikan tugasnya, khalifah telah meninggal dunia. Kemudian digantikan oleh Yazid II (Yazid bin Abdul Maliki) membebastugaskan Ibnu Hazm sebagai gubernur Madinah, sehingga tugasnya pun ikut berhenti serta orang-orang yang membantunya dalam penulisan hadis juga ikut berhenti.

Ibnu Syihab Al-Zuhri seorang ulama besar di Hijaz dan Syam juga mendapat perintah melalui surat yang berisi serupa dari Umar bin Abdul Aziz. Al-Zuhri berhasil melaksanakan tugas penghimpunan hadis sebelum Khalifah Umar bin Abdul Aziz meninggal dunia. Kompilasi hadis dari Al-Zuhri ini bagian-bagiannya segera dikirim ke berbagai daerah sebagai bahan unruk menghimpun hadis berikutnya.[15] Setelah sepeninggalan khalifah, Al-Zuhri tetap melakukan tugasnya untuk menghimpun hadis. Dari sini dilihat begitu dekatnya dan harmonisnya hubungan antara khalifah dengan para penguasa dan ulama.

Pada khalifah Yazid II, Al-Zuhri mendapat dukungan yang mengangkatnya sebagai hakim hingga khalifah Hisyam ibnu Abdul Malik. Bahkan khalifah Hisyam-lah yang mendorongnya agar serius menuuliskan hadis untuk kepentingan pangeran muda, para sekretaris peradilan serta memperkaya perpustakaan khalifah. Kitab ini nantinya yang kemudian menjadi pegangan dan dipelajari oleh para pencari hadis setelahnya untuk dijadikan satu sumber kekuatan baru dan menginspirasi pencari hadis setelahnya yang kemudian melahirkan berbagai bentuk struktur baru (structuring structure) dari tangan-tangan muhaddis setelahnya, misalnya muncul berbagai bentuk kitab hadis dan mengalami titik kemajuan ketika lahirnya kutubusittah.

Selain pada tokoh diatas Umar bin Abdul Aziz  juga menuliskan surat kepada para penguasa diseluruh wilayah kekuasaannya yang bernada sama dengan surat yang ditunjukkan kepada Abu Bakar bin Hazm dan Al-Zuhri meskipun pada akhirnya Al-Zuhri-lah yang merespon paling cepat dan dipandang lebih lengkap dibandingkan dengan Abu Bakar bin Hazm.

E.     MOTIVASI BERLEBIHAN

Motivasi berlebihan sebagai faktor yang mendorong pengumpulan hadis bukan hanya muncul dari diri Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Namun semangat menemukan dan mengumpulkan hadis juga dialami oleh beberapa sahabat-sahabat bahkan sebelum munculnya perintah pengumpulan hadis dari sang khalifah atau bahkan sebelum khalifah memimpin.[16] Namun penghimpunan hadis pada masa ini masih bercampur dengan perkatan dan fatwa-fatwa sahabat serta penghimpunan masih dalam bentuk lembaraan-lembaran atau sahifah-sahifah yang dikumpul tanpa klasifikasi ke dalam tata tertib.

Motivasi berlebihan ini akhirnya menciptakan suasana yang mendorong kegiatan sahabat untuk mengadakan perlawatan mencari hadis atau mencari ilmu karena para sahabat senior paska khulafaurrasyidin (41-98 H) telah berpindah ke bepindah ke berbagai kota lain pada masa perluasan ekspansi wilayah Islam.  Kegiatan perlawatan mencari hadis pada sahabat senior ini disebut rihlah ilmiyah.

Para sahabat junior banyak mengadakan perjalanan jauh untuk menghimpun atau checking kebenaran hadis dari sesamanya atau sahabat yang lebih senior. Hal ini misalnya dilakukan oleh Jubir bin Abdullah yang pernah melakukan perjalanan ke Syam. Jabir pada saat itu segera memberli seekor unta sebagai bekal perjalanan dan ditempuhnya Syam dalam kurun waktu satu bulan. [17] Tujuan Jubir bin Abdullah adalah untuk mencari kebenaran hadis yang berbunyi: “Seluruh manusia atau hamba nanti akan dikumpulkan di hari kiamat dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan, dan buhma.” Di Syam Jubir bin Abdullah berjumpa dengan Abdullah bin Unais dan menanyakan perihal hadist yang berlum pernah didengarnya sebelumnya itu.

Selain Jubir bin Abdullah sahabat lain yang melakukan perjalanan dengan semangat berlebihan adalah Abu Ayyub Al-Anshari mengadakan rihlah dari Madinah ke Mesir untuk menemui Uqbah bin Amir Al-Juhani dan mendengarkan sebuah hadis yang belum pernah ia dengar. yaitu sabda Nabi SAW  yang berbunyi “Barang siapa yang menutupi cacat kehinaan seorang mukmin di dunia. Maka Allah akan menutupi aibnya besok hari kiamat”.

Selain motivasi positif tadi yang menjadi faktor pendorong pengkodifikasian hadis, motivasi berlebihan hadis dapat pula disandarkan atau didasari pengumpulan seluruh hadis sebanyak-banyaknya, didorong pula dengan faktor mengkumpulkan hadis sebanyak-banyaknya dengan tidak menghiraukan atau belum sempat menyeleksi apakah mereka mendewankan hadis nabi semata-mata, ataukah termasuk ikut didalamnya fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Bahkan jauh dari itu mereka belum mampu mengklarifikasi kandungan nash-nash hadis menurut kategori-kategorinya.[18]  Hasilnya karya muncullah kitab-kitab hadis yang belum dipisahkan antara hadis marfu’, mauquf dan maqthu’ dan diantara hadis yang shahih, hasan dan dhaif. [19] Nantinya pengelompokkan hadis menurut klasifikasinya tersebut dimulai pada perkembangan hadis pada abad ke III.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Secara umum faktor pengumpulan hadis didasarkan kepada berbagai hal diantaranya para ulama hadis yang telah tersebar ke berbagai negeri, sehingga akan hilangnya hadis bersama dengan wafatnya ulama tersebut sementara generasi penerus atau sesudahnya kurang menaruh perhatian terhadap hadis. Faktor kedua adalah banyak berita yang dengan sengaja diada-adakan oleh orang yang suka membuat bid’ah seperti khawarij, rifadhah, syiah dan lainnya berupa pembuatan hadis palsu.

Selain itu faktor yang menjadi pendorong pengkodifikasian hadis lainnya adalah pergolakan politik antara kelompok syiah dan muawiyah serta khawarij. Hal ini menimbulkan munculnya hadis baru diantara kelompok sebagai dalih memperkuat ideologi masing-masing.

Khilafiyah dalam teologi dan fiqih dimana terdapat ulama yang menyusun kitab hadis berdasarkan hukum-hukum saja yang didalamnya juga memuat fatwa para tabi’in misalnya adalah kitab al-Muwatta karya Imam Malik. Selain itu terdapat pula kekhawatiran khalifah Umar bin Abdul Aziz akan lenyapnya hadis dan karena kedekatan dengan penguasa memerintahkan pengumpulan hadis. Serta munculnya sikap semangat dan rasa bangga diantara sahabat untuk mempelajari, menghafal serta meriwayatkan hadis seperti Jubir bin Abdullah.


 

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Abu Ya’la al-Kholil bin Al-Irsyad fi Ma’rifati ‘Ulama al-hadits, dalam CD Maktabah Syamilah.

Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir.Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2004.

Al-Suyuthi, Jalal Al-Din.Jami’ Al-Shagir.Beirut: Dar al-Fikr.tth.

Arifin,  Zainul. Studi Kitab Hadis. Surabaya:Al-Muna.2013.

Az-zahrani, tadwin as-sunahan-nabawiyah,

Fakhi, Rifqi Muhammad Dominasi Paradigma Fikih dalam Periwayatan dan Kodifikasi Hadis. Ahkam. Vol.XII.No.2. Juli 2012.

Ibn ‘Abd al-Barr, Jami‘ Bayan al-‘Ilm, juz I.

Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual.:Telaah  Ma’ani Al-Hadits Tentang Ajaran Islam  Yang Universal. Jakarta:Bulan Bintang. 1994.

Mudasir,  H. Ilmu Hadits.Bandung:Pustaka Setia.2005.

Mudasir. Ilmu Hadis. Surabaya:Pustaka Setia.2008.

Qudsy,  Saifuddin Zuhri Umar bin Abdul Aziz  dan Semangat Penulisan Hadis. ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013. Hal.259

Rijal, Abu Ismail Muhammad ”Perjalanan Panjang Meraih Ilmu” .Asy-Syariah.Edisi 100.28 Juli 2015.

Shiddieqy, T.M Hasb Ash. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta:Bulan Bintang.1998.

Yuslem,  Nawir Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.2001.

Zaini, Muhammad Metode Pemahaman Hadis Dari Masa Ke Masa. Banda Aceh:Ar-Raniry Press.2013.

Zainul Arifin. Studi Kitab Hadis. Surabaya:Al-Muna.2013.



[1] M. Syuhudi Ismail. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual.:Telaah  Ma’ani Al-Hadits Tentang Ajaran Islam  Yang Universal. Jakarta:Bulan Bintang. 1994. Hal. 104

[2] Jalal Al-Din Al-Suyuthi.Jami’ Al-Shagir.Beirut: Dar al-Fikr.tth.Hal.130

[3] M. Syuhudi Ismail..... Hal. 104

[4] M. Syuhudi Ismail. ....Hal. 105

[5] Zainul Arifin. Studi Kitab Hadis. Surabaya:Al-Muna.2013. Hal. 37

[6] H Mudasir. Ilmu Hadits.Bandung:Pustaka Setia.2005. Hal.91-93

[7] Saifuddin Zuhri Qudsy. Umar bin Abdul Aziz  dan Semangat Penulisan Hadis. ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013. Hal.259

[8] Abu Ya’la al-Kholil bin Abdillah, Al-Irsyad fi Ma’rifati ‘Ulama al-hadits, dalam CD

Maktabah Syamilah.

[9] Rifqi Muhammad Fakhi. Dominasi Paradigma Fikih dalam Periwayatan dan Kodifikasi Hadis. Ahkam. Vol.XII.No.2. Juli 2012. Hal.104

[10] Zainul Arifin. Studi Kitab Hadis. Surabaya:Al-Muna.2013. Hal. 59

[11] T.M Hasb Ash Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta:Bulan Bintang.1998.Hal.78

[12] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir.Ulumul Hadis.Bandung:Pustaka Setia.2004.Hal.32

[13] Muhammad Zaini. Metode Pemahaman Hadis Dari Masa Ke Masa.Banda Aceh:Ar-Raniry Press.2013.Hal.26.

[14] Saifuddin Zuhri Qudsy. Umar bin Abdul Aziz  dan Semangat Penulisan Hadis. ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013. Hal.270

[15] Ibn ‘Abd al-Barr, Jami‘ Bayan al-‘Ilm, juz I, hlm. 76. Sebagian sumber menyebutkan bahwa proses kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis yang dilakukan oleh Al-Zuhri adalah dengan cara menghimpun hadis-hadis yang berkisar pada satu tema dan masing-masing tema disusun dalam satu karya (kitab) tersendiri. Sebut saja sebagai contoh, kitab tentang salat,kitab tentang zakat, kitab tentang puasa, dan kitab tentang talak.

[16] Az-zahrani, tadwin as-sunahan-nabawiyah, Hal 88

[17] Abu Ismail Muhammad Rijal.”Perjalanan Panjang Meraih Ilmu” .Asy-Syariah.Edisi 100.28 Juli 2015. Hal 1.

[18] Mudasir. Ilmu Hadis. Surabaya:Pustaka Setia.2008.Hal.129

[19] Nawir Yuslem. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.2001.Hal.122.

Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar

Pengikut

Arsip Blog

Definition List

Unordered List

Support