Biasanya dalam suatu peristiwa yang
dikaitkan dengan hukum kausalitas akan dapat menarik perhatian para pendengar.
Apalagi dalam peristiwa itu mengandung pesan-pesan dan pelajaran mengenai
berita-berita bangsa terdahulu yang telah musnah, maka rasa ingin tahu untuk
menyingkap pesan-pesan dan peristiwanya merupakan faktor paling kuat yang
tertanam dalam hati. Dan suatu nasihat dengan tutur kata yang disampaikan
secara monoton, tidak variatif tidak akan mampu menarik perhatian akal, bahkan
semua isinya pun tidak akan bisa dipahami. Akan tetapi bila nasihat itu
dituangkan dalam bentuk kisah yang menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi
dalam kehidupan, maka akan dapat meraih apa dituju. Orang pun tidak akan bosan
mendengarkan dan memperhatikannya, dia akan merasa rindu dan ingin tahu apa
yang dikandungnya. Akhirnya kisah itu akan menjelma menjadi satu nasihat yang
mampu mempengaruhinya.
Sastra yang memuat suatu kisah, dewasa ini telah menjadi disiplin seni yang khusus di antara seni-seni lainya dalam bahasa dan kesusastraan. Tetapi “kisah-kisah nyata” Alquran telah membuktikan bahwa redaksi kearaban yang dimuatnya secara jelas menggambarkan kisah-kisah yang paling tinggi nilanya.
1. Pengertian Kisah (Qashash)
Kisah
berasal dari kata al-aqshshu yang
berarti mencari atau mengikuti jejek. Dikatakan, “qashashtu atsarahu” artinya , “saya mengikuti atau mencari
jejeknya. “Kata al-qashah adalah
bentuk masdar. Seperti firman Allah: Al Kahfi: 64
Maksudnya,
kedua orang dalam ayat itu kembali lagi untuk mengikuti jejek dari mana
keduanya itu datang. Dan firman-Nya melalui lisan ibu Musa.
“Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa
yang perempuan: Ikutilah dia).”(Al-qashash:11). Maksudnya, ikutilah
jejaknya sampai kamu melihat siapa yang mengambilnya.
Qashas berarti
berita yang berurutan. Firman Allah: “Sesungguhnya
ini adalah berita yang benar).(Ali Imran: 62); “Sesungguhnya pada berita mereka itu terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang berakal.”(Yusuf:111). Sedang al-qishashah berarti urusan, berita, perkara, keadaan.
Qashash Alquran
adalah pemberitaan Alquran tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dalam
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Alquran banyak mengandung keterangan
tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan
peninggalan atau jejak setiap ummat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan
cara menarik dan mempesona.[1]
Qashah Alquran menurut pemakalah adalah mencari atau mengikuti jejak tentang kehidupan umat-umat terdahulu dalam peristiwa-peristiwa yang telah terjadi baik tentang hal yang baik, buruk dari umat tersebut, yang bersumber pada Alquran.
2. Perbedaan Kisah dengan Sejarah
Kata
sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh
dan sirah, atau dalam bahasa inggris
disebut history. Dari segi bahasa, al-tarikh berarti ketentuan masa atau
waktu, sedang “Ilmu Tarikh” ilmu yang membahas penyebutan peristiwa-peristiwa
atau kejadian-kejadian, masa atau tempat terjadinya peristiwa, dan sebab-sebab terjadinya
peristiwa tersebut.[2]
Sedangkan
menurut pengertian istilah, al-tarikh
berarti: “sejumlah keadaan dan peristiwa-peristiwa atau kejadian yang terjadi
dimasa lampau, dan benar-benar terjadi pada diri individu auratau masyarakat,
sebagaiman benar-benar terjadi, pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia.[3]
Dalam
bahasa Indonesia sejarah berarti: silsilah, asal-usul (keturunan); kejadian dan
peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sedangkan Ilmu Sejarah
adalah “pengetahuan atau uraian tentang peristiwa-peristiwa dan
kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau”.[4]
Dalam
bahasa Inggris sejarah disebut history,
berarti ordely desription of past events (uraian
secara berurutan tentang kejadian-kejadian masa lampau). Sejarah sebagai cabang
ilmu pengetahuan mengungkap peristiwa masa silam, baik peristiwa politik,
sosial, maupun ekonomi pada suatu negara, bangsa, benua, atau dunia.[5]
Peristiwa atau kejadian masa silam tersebut merupakan catatan yang diabaikan
dalam laporan-laporan tertulis dan dalam lingkup yang luas.
Beberapa
defenisi sejarah yang dikemukakan diatas lebih melihat bangunan sejarah dalam
sisi luarnya, yakni bahwa sejarah dalam sisi luarnya tidak lebih dari rekaman
peristiwa atau kejadian masa lampau pada diri individu dan masyarakat, baik
dalam aspek politik, sosial, ekonomi, maupun budaya dan agama, dan sebaginya.
Menurut Ibnu Khaldun (1332-1406) bahwa dalam melihat bangunan sejarah tidak
hanya dari sisi luarnya, tetapi yang lebih penting lagi adalah sisi dalamnya.
Bila
ditilik dari sisi dalamnya, maka sejarah adalah suatu penalaran kritis dan
usaha yang cermat untuk mencari kebenaran, suatu penjelasan yang cerdas tentang
sebab-sebab dan asal asul segala sesuatu; suatu pengetahuan yang mendalam
tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi, oleh karena itu
sejarah berakar dalam filsafat, dan dia pantas dipandang menjadi bagian dari
filsafat itu.[6]
Ibnu Khaldun, sejarah mempunyai tujuan praktis, yaitu untuk menangkap
isyarat-isyarat yang di pantulkan oleh ‘ibar
(contoh moral) dalam kejadian sejarah. Tetapi untuk menangkap isyarat-isyarat
itu tidak akan berhasil tanpa bantuan ilmu lain, yaitu ‘ilm al-umran (Ilmu Kultur). Ilmu yang bertugas mencari pengertian
tentang sebab-sebab yang mendorong manusia bertindak, disamping melacak
pemahaman tentang akibat-akibat dari tindakan itu, yaitu seperti yang tercermin
dalam peristiwa-peristiwa sejarah.[7]
Sejarah
memang berbeda dengan hikayat, kisah, legenda, dan sebagainya. Sejarah harus
dapat dibuktikan kebenarannya dan harus logis, karena itu semua cerita yang
tidak masuk akal apalagi tidak bisa dibuktikan kebenarannya tidak bisa disebut
sejarah. Dalam sejarah berlaku hukum sebab-akibat, walaupun tidak semua sebab
yang sama melahirkan akibat yang sama, demikian pula tidak selamanya akibat
yang sama itu mesti dilahirkan oleh sebab yang sama.
Apa
yang menjadi catatan ialah semua prilaku dan tindak tanduk suatu masyarakat
yang memberi dampak bagi kejadiannya perubahan sosial/ budaya kearah kemajuan.
Karena perilaku dan tindak tanduk masyarakat itu nafasnya dihembuskan oleh
pimpinannya pada suatu waktu tertentu, maka para pimimpin yang mendapat porsi
terbesar dalam sejarah. Karena mereka di pandang telah membawa pengaruh pada
perubahan sosial, maka fokus diarahkan pada ide-ide yang lahir dari sang
pemimpin tersebut. Pada titik inilah pengamatan tidak boleh lepas dari
ketentuan adanya interaksi antara ide dan peristiwa. Dengan perkataan lain,
lahirnya suatu ide didahului oleh adanya suatu peristiwa dan kelahiran ide
sendiri melahirkan peristiwa baru bagi interaksi ide dan peristiwa ini menjadi
suatu siklus lagi. Interaksi ide dan peristiwa ini menjadi itu menjadi suatu
siklus ibarat telur dengan ayam. Oleh karena itu, apa yang dinamakan sejarah
bukan hanya catatan atau kejadian itu sendiri, tetapi juga interprestasi dari
peristiwa itu dengan melihat hukum sebab dan akibatnya.
Pada
saat sejarah hanya berupa catatatn peristiwa atau kejadian, mungkin orang tidak
berselisih pendapat, Tetapi tidak menyangkut interpretasinya, maka timbullah
perbedaan pendapat. Karena yang membuat sejarah adalah manusia dan yang
mencatat atau menulisnya adalah manusia, sehingga keragaman dalam
meninterpretasikan suatu peristiwa atau kejadian adalah suatu yang tidak bisa
dielakkan selaras dengan pembawaan manusia itu sendiri.
Ibnu
Khaldun telah mengamati adanya kelemahan-kelemahan yang sering melekat pada
karya Historiolografi, yaitu:
a. Sikap
memihak kepada pendapat dan mazhab-mazhab tertentu;
b. Terlalu
percaya kepada pihak penukil sejarah;
c. Gagal
menangkap maksud-maksud apa yang dilihat atau didengar serta menurunkan laporan atas dasar persangkaan
dan perkiraan;
d. Persangkaan
benar yang tidak berdasar terhadap sumber berita;
e. Kebodohan
dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya;
f. Ketidaktahuan
tentang mode-mode kebudayaan (al-umran).[8]
1. Kisah
para nabi. Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat
yang memperkuat dakwanya, sikap-sikap orang-orang yang memusuhinya,
tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima
oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nuh,
Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad dan nabi-nabi serta rasul lainnya.
2. Kisah-kisah
yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan
orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Misalnya kisah orang yang keluar
dari kampung halaman, yang beribu-beribu jumlahnya karena takut mati, kisah
Talut dan Jalut, dua orang putra Adam, penghuni gua, Zurlkarnain, orang-orang
yang menangkap ikan pada hari sabtu, Maryam, Ashabul Ukhdud, Ahabul Fil (pasukan
gajah) dan lain-lain.
3. Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah, seperti perang Badar, dan perang Uhud dalam surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surah At-Taubah, perang Ahzab dalam surat Al-Ahzab, hijrah, isra’Mi’raj, dan lain-lain.
a. Tujuan
kisah-kisah dalam Alquran diantaranya:
1. Menjelaskan
asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawa
oleh para nabi,
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami
mewahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku.”(Al-Anbiya’: 25).
2. Meneguhkan
hati Rasulullah dan hati Umat Muhammad atas agama Allah, memperkuat kepeercayaan
orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya
kebatilan dan para pembelanya.
“Dan semua kisah rasul-rasul yang Kami ceritakan kepadamu, adalah
kisah-kisah dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang
kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang
beriman.”(Hud:120).
3. Membenarkan
para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan
jejak dan peninggalannya.
4. Menampilkan
kebenaran Muhammad dalam dakwanya dengan apa yang diberitakannya tentang hal
ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi.
5. Menyikap
kebohongan ahli kitab dengan cara membeberkan keterangan yang semula mereka
sembunyikan, kemudian menantang mereka dengan menggunakan ajaran kitab mereka
sendiri yang masih asli, yaitu sebelum kitab itu diubah dan diganti. Misalnya
firman Allah:
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang
diharamkan oleh Israil (Ya’kub) untuk dirinya sendiri sebelum taurat
diturunkan. Katakannlah: ‘(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan
sebelum Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah ia jika kamu orang-orang
yang benar.” (Ali Imran: 93)
6. Kisah
termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar
mempengaruhi jiwa. Firman Allah:
“Sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.” (Yusuf: 111).
b.
Pengulangan
Kisah dan Hikmahnya
Alquran banyak mengandung kisah-kisah
yang diungkapkan secara berulang kali di beberapa tempat. Sebuah kisah
terkadang berulang kali disebutkan dalam Alquran dan dikemukakan dalam berbagai
bentuk yang berbeda. Di satu tempat ada bagian-bagian yang didahulukan, sedang
ditempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang dikemukakan secara ringkas
dan kadang-kadang secara panjang lebar. Dan sebagainya. Diantara hikmahnya
ialah:
1. Mejelaskan
ke-balaghah-an Alquran dalam tingkat
paling tinggi. Sebab diantara keistimewaan balaghah adalah mengungkapkan sebuah
makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu
dikemukakan disetiap tempat dengan uslub yang berbeda satu dengan yang lain
serta dituangkan dalam pola yang berlinan pula, sehingga tidak membuat orang
merasa bosan karennya, bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru
yang tidak didapatkan disaat membacanya ditempat lain.
2. Menunjukkan
kehebatan mukjizat Alquran. Sebab mengemukakan suatu makna dalam berbagai
bentuk susunan kalimat dimana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh
sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa Alquran itu datang
dari Allah.
3. Memberikan
perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih berkesan dan
melekat dalam jiwa. Karena itu pada dasarnya pengulangan merupakan salah satu
metode pemantapan nilai. Misalnya kisah Musa dengan Fir’aun. Kisah ini
menggambarkan secara sempurna perselisihan sengit antara kebenaran dengan
kebatilan. Dan sakalipun kisah itu sering diulang-ulang tetapi pengulangannya
tidak pernah terjadi dalam sebuah surat.
4. Setiap kisah memiliki maksud dan tujuan berbeda. Karena itulah kisah-kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya itulah yang diperlukan, sedang makna-makna lainnya dikemukakan ditempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan.
c.
Kisah-kisah
dalam Alquran bukan Khayalan
Adalah pantas diingat bahwa seseorang
mahasiswa di Mesir mengajukan disertasi untuk memperoleh gelar doktornya dengan
judul Al-Fann Al Qashashi fi Al-Quran.[9]
Disertasi tersebut telah menimbulkan perdebatan panjang pada tahun 1367 H.
Salah seorang anggota tim penguji disertasi, Prof. Ahmad Amin, menulis nota
yang diajukan kepada Dekan Fakultas Adab, yang kemudian dipublikasikan dalam
majalah Ar-Risalah. Nota itu berisi
kritik pedas tehadap apa yang ditulis mahasiswa tersebut. Meskipun promotornya
telah membelanya. Ahmad Amin dalam notanya itu mengeluarkan pernyataan sebagai
berikut:
“Saya mendapatkan disertasi itu tidak
wajar, bahkan sangat berbahaya. Pada prinsipnya disertasi itu menyatakan,
kisah-kisah dalam Alquran merupakan karya-karya seni yang tunduk kepada daya
cipta dan kreatifitas seni, tanpa harus memegangi kebenaran sejarah. Dan
kenyataannya Muhammad adalah seorang seniman dalam pengertian ini.
Atas dasar dan persepsi inilah,
mahasiswa itu menulis disertasinya, dari awal sampai akhir. Saya perlu
mengemukakan sejumlah contoh yang dapat memperjelas tujuan penulis disertasi
tersebut dan bagaimana menyusunnya.” Ahmad Amin kemudian mengemukakan sejumlah
contoh.[10]
Misalnya, persepsi penulis disertasi bahwa kisah dalam Alquran tidak memegangi
kebenaran sejarah (bersifat khayali), ia sama dengan seseorang satrawan yang
membeberkan suatu peristiwa secara artisits. Contoh lainnya ialah pandangannya
bahwa Alquran telah menciptakan beberapa kisah, dan bahwa ulama-ulama terdahulu
telah melakukan kesalahan dengan menganggap bahwa kisah dalam Quran tersebut
sebagai sesuatu peritiwa sejarah yang dapat di pegangi.
Seorang muslim yang benar adalah yang
mengimani bahwa Alquran itu Kalamullah.
Dia suci dari penggambaran seni yang tidak peduli dengan realitas sejarah.
Kisah-kisah Alquran itu semuanya mengandung fakta sejarah yang dilukiskan
dengan indah dan menarik.
Nampaknya penulis disertasi ini telah
mempelajari seni-seni kisah dalam kesusatraan, lalu mendapatkan bahwa diunsur
pentingnya ialah khayalan yang bertumpu pada
suatu tashaur (pemikiran atau
imanjinasi). Semakin tinggi unsur khayalannya, maka kisah itu semakin menarik,
memikat jiwa, dan dibaca. Kemudian ia membuat suatu analogi anatar kisah
Alquran dengan kisah satra tersebut.
Alquran tidak demikian halnya. Ia
diturunkan dari sisi Yang Mahatahu, Maha Bijaksana. Dalam berita-beritaNya
tidak ada yang sesuai dengan kenyataan. Apabila orang-orang terhormat
dikalangan masyarakat enggan berkata dusta dan menganggapnya sebagai perbuatan
hina, paling buruk yang dapat merendahkan martabat kemanusian, maka bagaimana
seseorang yang berakal dapat menghubungkan kedustaan kepada kalam Yang
Mahamulia dan Mahaagung?
Allah adalah Tuhan Yang Haq,
Yang demikian itu
adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah
(Tuhan) Yang Hak dan sesungguhnya apa
saja yang mereka seru selain Dia, itulah
yang batil.” (Al-Haj: 62)
Dia
mengutus Rasul-Nya dengan haq pula,
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan
membawa kebenaran (haq) sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan.“ (Fathir: 24);
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu,
yaitu Kitab, itulah yang benar (haq).” (Fathir: 31);
“Wahai manusia, sungguh telah datang Rasul
(Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu.”
(An-Nisa’: 170);
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Alquran
dengan membawa kebenaran (haq).” (Al-Maidah: 48)
“Dan Kitab yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah benar.” (Ar-Ra’d:1)
Semua apa yang dikisahkan Allah dalam
Alquran adalah haq pula;
“Kami
ceritakan kisah meraka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya.” (Al-Kahfi: 13)
“Kami
membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar (haq).”
(Al-Qashash: 3).
d.
Pengaruh
Kisah-kisah Alquran Dalam Pendidikan
Tidak diragukan lagi bahwa kisah yang
baik dan cermat akan digemari dan dapat menembus relung jiwa manusia dengan
mudah sehingga segenap perasaan akan mengikuti alur kisahnya tersebut tanpa
merasa jemu, kesal. Akal pun dapat menelusurinya dengan baik. Akhirnya ia
memetik dari keindahannya itu aneka ragam “bunga-bunga dan buah-buahan.”
Pelajaran yang disampikan dengan
metode khutbah dan ceramah akan menimbulkan kebosanan. Seorang yang masih muda
dan baru berkembang akan kesulitan menangkapnya. Oleh karena itu, narasi kisah
sangat bermanfaat dan mengandung banyak faedah. Pada umumnya, anak-anak suka
mendengarkan cerita-cerita. Biasanya ingatannya lebih cepat menampung sesuatu
yang diriwayatkan (diceritakan) kepadanya, selanjutnya ia dapat menirukan dan
mengisahkannya.
Inalah fenomena fitrah jiwa yang tentunya perlu mendapat perhatian para pendidik
dalam lapangan pendidikan, khususnya pendidikan agama islam yang merupakan
esensi pengajaran dan rambu-rambu pendidikan.
Dalam kisah-kisah Alquran terdapat
banyak lahan subur yang dapat membantu kesuksesan para pendidik dalam
melaksanakan tugasnya, seperti pola hidup para nabi, berita-berita tentang umat
terdahulu, sunnatullah dalam
kehidupan masyarakat dalam hal ihwal bangsa-bangsa. Semua itu dikatakan dengan
benar dan jujur. Para pendidik hendaknya mampu menyuguhkan kisah-kisah Alquran
itu dengan uslub bahasa yang sesuai dengan tingkat nalar pelajar dalam segala
tingkatan. Sejumlah kisah keagaman yang disusun oleh Sayyid Quthb dan Ustad As
Sahr telah berhasil memberikan bekal bermanfaat dan berguna bagi anak-anak
kita, dengan keberhasilan yang tiada bandingannya. Demikian pula Al-Jarim telah
menyajikan kisah-kisah Alquran dengan gaya bahasa sastra yang indah dan tinggi,
serta lebih banyak analisis mendalam. Alangkah baiknya andaikata orang lain pun
mengikuti dan meneruskan metode pendidikan baik ini.[11]
DAFTAR PUSTAKA
Syeikh
Manna Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu
AlQuran. Cet. 14 (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2016), h. 386.
Louis
Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa
al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h.8.
Majdid
Wahab, Kamil al-Muhandis, Mu’jam
al-Mushthalahat al-Arabiyah fi al-Lughah wa al-Adab, (Beirut: Maktabah
Lubanani), 1984, h.82.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h.798.
AS
Hornby, Oxked Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Orderd Unires
Press, 1983), h. 405.
Muhsin
Mahdi, Ibnu
Khaldun’s Philosophy of History,(Chicago: The University
of Chicago press, 1971), h. 271
Ibnu
Khaldun, al-muqaddimah, (Mesir:
Musthara Muhammad) h. 4
[1]Syeikh
Manna Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu
AlQuran. Cet. 14 (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2016), h. 386.
[2]Louis
Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa
al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h.8
[3]Majdid
Wahab, Kamil al-Muhandis, Mu’jam
al-Mushthalahat al-Arabiyah fi al-Lughah wa al-Adab, (Beirut: Maktabah
Lubanani), 1984, h.82
[4]Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h.798
[5]AS Hornby,
Oxked Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Orderd Unires Press,
1983), h. 405
[6]Muhsin
Mahdi, Ibnu
Khaldun’s Philosophy of History,(Chicago: The University of Chicago press,
1971), h. 271
[7]Ibnu
Khaldun, al-muqaddimah, (Mesir:
Musthara Muhammad) h. 4
[8]Ibnu
Khaldun, Op.cit, h. 35
[9]Ia adalah
Dr. Muhammad Ahmad Khalafullah.
[10]Lihat
kritik terhadap kitab “Al-Fannul Qashashi
fi Al-Quran,” Oleh Ustaz Muhammad Al-Khidr Husaini, dalam Balaghah
Al-Quran, h. 94
[11]Sayyid Abu
Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi telah menyusun pula kumpulan kisah para nabi, yang
merupakan kisah para pelopor.
0 Post a Comment:
Posting Komentar