"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Senin, 23 Januari 2023

KISAH-KISAH DALAM ALQURAN

 

            Biasanya dalam suatu peristiwa yang dikaitkan dengan hukum kausalitas akan dapat menarik perhatian para pendengar. Apalagi dalam peristiwa itu mengandung pesan-pesan dan pelajaran mengenai berita-berita bangsa terdahulu yang telah musnah, maka rasa ingin tahu untuk menyingkap pesan-pesan dan peristiwanya merupakan faktor paling kuat yang tertanam dalam hati. Dan suatu nasihat dengan tutur kata yang disampaikan secara monoton, tidak variatif tidak akan mampu menarik perhatian akal, bahkan semua isinya pun tidak akan bisa dipahami. Akan tetapi bila nasihat itu dituangkan dalam bentuk kisah yang menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, maka akan dapat meraih apa dituju. Orang pun tidak akan bosan mendengarkan dan memperhatikannya, dia akan merasa rindu dan ingin tahu apa yang dikandungnya. Akhirnya kisah itu akan menjelma menjadi satu nasihat yang mampu mempengaruhinya.

            Sastra yang memuat suatu kisah, dewasa ini telah menjadi disiplin seni yang khusus di antara seni-seni lainya dalam bahasa dan kesusastraan. Tetapi “kisah-kisah nyata” Alquran telah membuktikan bahwa redaksi kearaban yang dimuatnya secara jelas menggambarkan kisah-kisah yang paling tinggi nilanya.

    1. Pengertian Kisah (Qashash)

Kisah berasal dari kata al-aqshshu yang berarti mencari atau mengikuti jejek. Dikatakan, “qashashtu atsarahu” artinya , “saya mengikuti atau mencari jejeknya. “Kata al-qashah adalah bentuk masdar. Seperti firman Allah: Al Kahfi: 64

Maksudnya, kedua orang dalam ayat itu kembali lagi untuk mengikuti jejek dari mana keduanya itu datang. Dan firman-Nya melalui lisan ibu Musa.

Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: Ikutilah dia).”(Al-qashash:11). Maksudnya, ikutilah jejaknya sampai kamu melihat siapa yang mengambilnya.

Qashas berarti berita yang berurutan. Firman Allah: “Sesungguhnya ini adalah berita yang benar).(Ali Imran: 62); “Sesungguhnya pada berita mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.”(Yusuf:111). Sedang al-qishashah berarti urusan, berita, perkara, keadaan.

Qashash Alquran adalah pemberitaan Alquran tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dalam peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Alquran banyak mengandung keterangan tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap ummat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara menarik dan mempesona.[1]

Qashah Alquran menurut pemakalah adalah mencari atau mengikuti jejak tentang kehidupan umat-umat terdahulu dalam peristiwa-peristiwa yang telah terjadi baik tentang hal yang baik, buruk dari umat tersebut, yang bersumber pada Alquran.

2Perbedaan Kisah dengan Sejarah

Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh dan sirah, atau dalam bahasa inggris disebut history. Dari segi bahasa, al-tarikh berarti ketentuan masa atau waktu, sedang “Ilmu Tarikh” ilmu yang membahas penyebutan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian, masa atau tempat terjadinya peristiwa, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut.[2]

Sedangkan menurut pengertian istilah, al-tarikh berarti: “sejumlah keadaan dan peristiwa-peristiwa atau kejadian yang terjadi dimasa lampau, dan benar-benar terjadi pada diri individu auratau masyarakat, sebagaiman benar-benar terjadi, pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia.[3]

Dalam bahasa Indonesia sejarah berarti: silsilah, asal-usul (keturunan); kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sedangkan Ilmu Sejarah adalah “pengetahuan atau uraian tentang peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau”.[4]

Dalam bahasa Inggris sejarah disebut history, berarti ordely desription of past events (uraian secara berurutan tentang kejadian-kejadian masa lampau). Sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan mengungkap peristiwa masa silam, baik peristiwa politik, sosial, maupun ekonomi pada suatu negara, bangsa, benua, atau dunia.[5] Peristiwa atau kejadian masa silam tersebut merupakan catatan yang diabaikan dalam laporan-laporan tertulis dan dalam lingkup yang luas.

Beberapa defenisi sejarah yang dikemukakan diatas lebih melihat bangunan sejarah dalam sisi luarnya, yakni bahwa sejarah dalam sisi luarnya tidak lebih dari rekaman peristiwa atau kejadian masa lampau pada diri individu dan masyarakat, baik dalam aspek politik, sosial, ekonomi, maupun budaya dan agama, dan sebaginya. Menurut Ibnu Khaldun (1332-1406) bahwa dalam melihat bangunan sejarah tidak hanya dari sisi luarnya, tetapi yang lebih penting lagi adalah sisi dalamnya.

Bila ditilik dari sisi dalamnya, maka sejarah adalah suatu penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk mencari kebenaran, suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal asul segala sesuatu; suatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi, oleh karena itu sejarah berakar dalam filsafat, dan dia pantas dipandang menjadi bagian dari filsafat itu.[6] Ibnu Khaldun, sejarah mempunyai tujuan praktis, yaitu untuk menangkap isyarat-isyarat yang di pantulkan oleh ‘ibar (contoh moral) dalam kejadian sejarah. Tetapi untuk menangkap isyarat-isyarat itu tidak akan berhasil tanpa bantuan ilmu lain, yaitu ‘ilm al-umran (Ilmu Kultur). Ilmu yang bertugas mencari pengertian tentang sebab-sebab yang mendorong manusia bertindak, disamping melacak pemahaman tentang akibat-akibat dari tindakan itu, yaitu seperti yang tercermin dalam peristiwa-peristiwa sejarah.[7]

Sejarah memang berbeda dengan hikayat, kisah, legenda, dan sebagainya. Sejarah harus dapat dibuktikan kebenarannya dan harus logis, karena itu semua cerita yang tidak masuk akal apalagi tidak bisa dibuktikan kebenarannya tidak bisa disebut sejarah. Dalam sejarah berlaku hukum sebab-akibat, walaupun tidak semua sebab yang sama melahirkan akibat yang sama, demikian pula tidak selamanya akibat yang sama itu mesti dilahirkan oleh sebab yang sama.

Apa yang menjadi catatan ialah semua prilaku dan tindak tanduk suatu masyarakat yang memberi dampak bagi kejadiannya perubahan sosial/ budaya kearah kemajuan. Karena perilaku dan tindak tanduk masyarakat itu nafasnya dihembuskan oleh pimpinannya pada suatu waktu tertentu, maka para pimimpin yang mendapat porsi terbesar dalam sejarah. Karena mereka di pandang telah membawa pengaruh pada perubahan sosial, maka fokus diarahkan pada ide-ide yang lahir dari sang pemimpin tersebut. Pada titik inilah pengamatan tidak boleh lepas dari ketentuan adanya interaksi antara ide dan peristiwa. Dengan perkataan lain, lahirnya suatu ide didahului oleh adanya suatu peristiwa dan kelahiran ide sendiri melahirkan peristiwa baru bagi interaksi ide dan peristiwa ini menjadi suatu siklus lagi. Interaksi ide dan peristiwa ini menjadi itu menjadi suatu siklus ibarat telur dengan ayam. Oleh karena itu, apa yang dinamakan sejarah bukan hanya catatan atau kejadian itu sendiri, tetapi juga interprestasi dari peristiwa itu dengan melihat hukum sebab dan akibatnya.

Pada saat sejarah hanya berupa catatatn peristiwa atau kejadian, mungkin orang tidak berselisih pendapat, Tetapi tidak menyangkut interpretasinya, maka timbullah perbedaan pendapat. Karena yang membuat sejarah adalah manusia dan yang mencatat atau menulisnya adalah manusia, sehingga keragaman dalam meninterpretasikan suatu peristiwa atau kejadian adalah suatu yang tidak bisa dielakkan selaras dengan pembawaan manusia itu sendiri.

Ibnu Khaldun telah mengamati adanya kelemahan-kelemahan yang sering melekat pada karya Historiolografi, yaitu:

a.       Sikap memihak kepada pendapat dan mazhab-mazhab tertentu;

b.      Terlalu percaya kepada pihak penukil sejarah;

c.       Gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat atau didengar serta   menurunkan laporan atas dasar persangkaan dan perkiraan;

d.      Persangkaan benar yang tidak berdasar terhadap sumber berita;

e.       Kebodohan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya;

f.       Ketidaktahuan tentang mode-mode kebudayaan (al-umran).[8]

 3. Bentuk-bentuk Pengungkapan Kisah

1.    Kisah para nabi. Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwanya, sikap-sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad dan nabi-nabi serta rasul lainnya.

2.      Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Misalnya kisah orang yang keluar dari kampung halaman, yang beribu-beribu jumlahnya karena takut mati, kisah Talut dan Jalut, dua orang putra Adam, penghuni gua, Zurlkarnain, orang-orang yang menangkap ikan pada hari sabtu, Maryam, Ashabul Ukhdud, Ahabul Fil (pasukan gajah) dan lain-lain.

3.      Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah, seperti perang Badar, dan perang Uhud dalam surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surah At-Taubah, perang Ahzab dalam surat Al-Ahzab, hijrah, isra’Mi’raj, dan lain-lain.

 4. Tujuan Kisah dan Rahasia Pengulangannya dalam Alquran        

       a.   Tujuan kisah-kisah dalam Alquran diantaranya:

1.    Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh para nabi,

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami mewahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.”(Al-Anbiya’: 25).

2.   Meneguhkan hati Rasulullah dan hati Umat Muhammad atas agama Allah, memperkuat kepeercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan para pembelanya.

Dan semua kisah rasul-rasul yang Kami ceritakan kepadamu, adalah kisah-kisah dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”(Hud:120).

3. Membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya.

4.  Menampilkan kebenaran Muhammad dalam dakwanya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi.

5.    Menyikap kebohongan ahli kitab dengan cara membeberkan keterangan yang semula mereka sembunyikan, kemudian menantang mereka dengan menggunakan ajaran kitab mereka sendiri yang masih asli, yaitu sebelum kitab itu diubah dan diganti. Misalnya firman Allah:

Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’kub) untuk dirinya sendiri sebelum taurat diturunkan. Katakannlah: ‘(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah ia jika kamu orang-orang yang benar.” (Ali Imran: 93)

6.  Kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar mempengaruhi jiwa. Firman Allah:

Sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.” (Yusuf: 111).

b.      Pengulangan Kisah dan Hikmahnya

Alquran banyak mengandung kisah-kisah yang diungkapkan secara berulang kali di beberapa tempat. Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan dalam Alquran dan dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Di satu tempat ada bagian-bagian yang didahulukan, sedang ditempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang dikemukakan secara ringkas dan kadang-kadang secara panjang lebar. Dan sebagainya. Diantara hikmahnya ialah:

1. Mejelaskan ke-balaghah-an Alquran dalam tingkat paling tinggi. Sebab diantara keistimewaan balaghah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu dikemukakan disetiap tempat dengan uslub yang berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola yang berlinan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karennya, bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan disaat membacanya ditempat lain.

2.  Menunjukkan kehebatan mukjizat Alquran. Sebab mengemukakan suatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat dimana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa Alquran itu datang dari Allah.

3.     Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih berkesan dan melekat dalam jiwa. Karena itu pada dasarnya pengulangan merupakan salah satu metode pemantapan nilai. Misalnya kisah Musa dengan Fir’aun. Kisah ini menggambarkan secara sempurna perselisihan sengit antara kebenaran dengan kebatilan. Dan sakalipun kisah itu sering diulang-ulang tetapi pengulangannya tidak pernah terjadi dalam sebuah surat.

4.   Setiap kisah memiliki maksud dan tujuan berbeda. Karena itulah kisah-kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya itulah yang diperlukan, sedang makna-makna lainnya dikemukakan ditempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan.

c.       Kisah-kisah dalam Alquran bukan Khayalan

Adalah pantas diingat bahwa seseorang mahasiswa di Mesir mengajukan disertasi untuk memperoleh gelar doktornya dengan judul Al-Fann Al Qashashi fi Al-Quran.[9] Disertasi tersebut telah menimbulkan perdebatan panjang pada tahun 1367 H. Salah seorang anggota tim penguji disertasi, Prof. Ahmad Amin, menulis nota yang diajukan kepada Dekan Fakultas Adab, yang kemudian dipublikasikan dalam majalah Ar-Risalah. Nota itu berisi kritik pedas tehadap apa yang ditulis mahasiswa tersebut. Meskipun promotornya telah membelanya. Ahmad Amin dalam notanya itu mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:

“Saya mendapatkan disertasi itu tidak wajar, bahkan sangat berbahaya. Pada prinsipnya disertasi itu menyatakan, kisah-kisah dalam Alquran merupakan karya-karya seni yang tunduk kepada daya cipta dan kreatifitas seni, tanpa harus memegangi kebenaran sejarah. Dan kenyataannya Muhammad adalah seorang seniman dalam pengertian ini.

Atas dasar dan persepsi inilah, mahasiswa itu menulis disertasinya, dari awal sampai akhir. Saya perlu mengemukakan sejumlah contoh yang dapat memperjelas tujuan penulis disertasi tersebut dan bagaimana menyusunnya.” Ahmad Amin kemudian mengemukakan sejumlah contoh.[10] Misalnya, persepsi penulis disertasi bahwa kisah dalam Alquran tidak memegangi kebenaran sejarah (bersifat khayali), ia sama dengan seseorang satrawan yang membeberkan suatu peristiwa secara artisits. Contoh lainnya ialah pandangannya bahwa Alquran telah menciptakan beberapa kisah, dan bahwa ulama-ulama terdahulu telah melakukan kesalahan dengan menganggap bahwa kisah dalam Quran tersebut sebagai sesuatu peritiwa sejarah yang dapat di pegangi.

Seorang muslim yang benar adalah yang mengimani bahwa Alquran itu Kalamullah. Dia suci dari penggambaran seni yang tidak peduli dengan realitas sejarah. Kisah-kisah Alquran itu semuanya mengandung fakta sejarah yang dilukiskan dengan indah dan menarik.

Nampaknya penulis disertasi ini telah mempelajari seni-seni kisah dalam kesusatraan, lalu mendapatkan bahwa diunsur pentingnya ialah khayalan yang bertumpu pada  suatu tashaur (pemikiran atau imanjinasi). Semakin tinggi unsur khayalannya, maka kisah itu semakin menarik, memikat jiwa, dan dibaca. Kemudian ia membuat suatu analogi anatar kisah Alquran dengan kisah satra tersebut.

Alquran tidak demikian halnya. Ia diturunkan dari sisi Yang Mahatahu, Maha Bijaksana. Dalam berita-beritaNya tidak ada yang sesuai dengan kenyataan. Apabila orang-orang terhormat dikalangan masyarakat enggan berkata dusta dan menganggapnya sebagai perbuatan hina, paling buruk yang dapat merendahkan martabat kemanusian, maka bagaimana seseorang yang berakal dapat menghubungkan kedustaan kepada kalam Yang Mahamulia dan Mahaagung?

Allah adalah Tuhan Yang Haq,

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka  seru selain Dia, itulah yang batil.” (Al-Haj: 62)

            Dia mengutus Rasul-Nya dengan haq pula,

Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran (haq) sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.“ (Fathir: 24);

Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, yaitu Kitab, itulah yang benar (haq).” (Fathir: 31);

Wahai manusia, sungguh telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu.” (An-Nisa’: 170);

Dan Kami telah menurunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran (haq).” (Al-Maidah: 48)

Dan Kitab yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah benar.” (Ar-Ra’d:1)

Semua apa yang dikisahkan Allah dalam Alquran adalah haq pula;

Kami ceritakan kisah meraka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya.” (Al-Kahfi: 13)

Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar (haq).” (Al-Qashash: 3).

d.      Pengaruh Kisah-kisah Alquran Dalam Pendidikan

Tidak diragukan lagi bahwa kisah yang baik dan cermat akan digemari dan dapat menembus relung jiwa manusia dengan mudah sehingga segenap perasaan akan mengikuti alur kisahnya tersebut tanpa merasa jemu, kesal. Akal pun dapat menelusurinya dengan baik. Akhirnya ia memetik dari keindahannya itu aneka ragam “bunga-bunga dan buah-buahan.”

Pelajaran yang disampikan dengan metode khutbah dan ceramah akan menimbulkan kebosanan. Seorang yang masih muda dan baru berkembang akan kesulitan menangkapnya. Oleh karena itu, narasi kisah sangat bermanfaat dan mengandung banyak faedah. Pada umumnya, anak-anak suka mendengarkan cerita-cerita. Biasanya ingatannya lebih cepat menampung sesuatu yang diriwayatkan (diceritakan) kepadanya, selanjutnya ia dapat menirukan dan mengisahkannya.

Inalah fenomena fitrah jiwa yang tentunya perlu mendapat perhatian para pendidik dalam lapangan pendidikan, khususnya pendidikan agama islam yang merupakan esensi pengajaran dan rambu-rambu pendidikan.

Dalam kisah-kisah Alquran terdapat banyak lahan subur yang dapat membantu kesuksesan para pendidik dalam melaksanakan tugasnya, seperti pola hidup para nabi, berita-berita tentang umat terdahulu, sunnatullah dalam kehidupan masyarakat dalam hal ihwal bangsa-bangsa. Semua itu dikatakan dengan benar dan jujur. Para pendidik hendaknya mampu menyuguhkan kisah-kisah Alquran itu dengan uslub bahasa yang sesuai dengan tingkat nalar pelajar dalam segala tingkatan. Sejumlah kisah keagaman yang disusun oleh Sayyid Quthb dan Ustad As Sahr telah berhasil memberikan bekal bermanfaat dan berguna bagi anak-anak kita, dengan keberhasilan yang tiada bandingannya. Demikian pula Al-Jarim telah menyajikan kisah-kisah Alquran dengan gaya bahasa sastra yang indah dan tinggi, serta lebih banyak analisis mendalam. Alangkah baiknya andaikata orang lain pun mengikuti dan meneruskan metode pendidikan baik ini.[11]     

 

DAFTAR PUSTAKA

Syeikh Manna Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu AlQuran. Cet. 14 (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2016), h. 386.

Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h.8.

Majdid Wahab, Kamil al-Muhandis, Mu’jam al-Mushthalahat al-Arabiyah fi al-Lughah wa al-Adab, (Beirut: Maktabah Lubanani), 1984, h.82.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h.798.

AS Hornby, Oxked Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Orderd Unires Press, 1983), h. 405.

Muhsin Mahdi, Ibnu Khaldun’s Philosophy of History,(Chicago: The University of Chicago press, 1971), h. 271

Ibnu Khaldun, al-muqaddimah, (Mesir: Musthara Muhammad) h. 4

 

 

 

               



[1]Syeikh Manna Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu AlQuran. Cet. 14 (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2016), h. 386.             

[2]Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h.8

[3]Majdid Wahab, Kamil al-Muhandis, Mu’jam al-Mushthalahat al-Arabiyah fi al-Lughah wa al-Adab, (Beirut: Maktabah Lubanani), 1984, h.82

[4]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h.798

[5]AS Hornby, Oxked Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Orderd Unires Press, 1983), h. 405  

[6]Muhsin Mahdi, Ibnu Khaldun’s Philosophy of History,(Chicago: The University of Chicago press, 1971), h. 271

[7]Ibnu Khaldun, al-muqaddimah, (Mesir: Musthara Muhammad) h. 4

[8]Ibnu Khaldun, Op.cit, h. 35

[9]Ia adalah Dr. Muhammad Ahmad Khalafullah.

[10]Lihat kritik terhadap kitab “Al-Fannul Qashashi fi Al-Quran,” Oleh Ustaz Muhammad Al-Khidr Husaini, dalam Balaghah Al-Quran, h. 94

[11]Sayyid Abu Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi telah menyusun pula kumpulan kisah para nabi, yang merupakan kisah para pelopor.

Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar

Pengikut

Arsip Blog

Definition List

Unordered List

Support