"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Selasa, 24 Januari 2023

MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI

 Oleh: Mhd. Reza Fahlevi, M.Pd


PENDAHULUAN

Pendidikan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Usaha-usaha pendidikan bagi manusia menjadi suatu kebutuhan pokok guna menunjang dan meningkatkan potensi yang dimiliki manusia. Potensi tersebut dalam istilah agama Islam sering disebut fitrah (Drs.H.Baharuddin, 2011,hal. 20) sebagaimana dalam al-Quran surat al-Rum(30) ayat 30:

Artinya :

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (al-Rum(30) ayat 30) (Al-Quran dan Terjemahnya, 2005, hal. 407)

Muhammad bin Asyur sebagaimana di kutip oleh Quraish Shihab, menafsirkan kata fitrah pada ayat di atas sebagai bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk, fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya) (Shihab, 2006, hal. 285)

Menurut Achmadi kata fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan khalaqa dan ansyaa, biasanya kata tersebut dalam Al-Quran digunakan untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan, kata-kata yang biasanya digunakan untuk menunjukkan bahwa Allah menyempurnakan pola dasar tersebut adalah kata ja’ala yang artinya menjadikan. Perwujukan dan penyempurnaan selanjutnya diserahkan kepada manusia (Achmadi, 2010,hal. 43)

Manusia membutuhkan pendidikan untuk menjalani kehidupannya. Pendidikan memberi bekal manusia untuk menjalani kehidupan menjadikan dewasa dengan dapat menentukan hal yang baik dan benar, dan menjalani tugas untuk belajar sepanjang hayat, dalam istilah Ghazaly menjadi insan purna yang selalu mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Sulaiman, 1993, hal. 24). Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar adalah manajemen Negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan disempurnakan menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pedoman pelaksanaannyapun telah dibuat melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut dalam bentuk perubahan arah paradigma pendidikan, dari paradigma

lama ke paradigma baru, yang tentu juga berdampak pada proses formulasi kebijakan pendidikan Islam. Secara ideal, paradigma baru pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan pendidikan baik kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun implementatif.

Lahirnya undang-undang SISDIKNAS No 20 tahun 2003, telah memberikan arah baru dalam dunia pendidikan, khususnya dunia pendidikan Islam baik bagi lembaga pendidikan Islam maupun materi pendidikan agama Islam. Kenyataan tersebut, menunjukkan bahwa pendidikan agama mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam pembangunan negara dan masyarakat Indonesia. Dalam PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6, pasal 7 di sebutkan bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum wajib memuat kelompok mata pelajaran agama, (Grafika, 2005)

Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi menagerial dan proses pendidikan Islam. Dalam PP No. 55 tahun 2007 pasal 5 ayat 8 disebutkan “Satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan”. Pada ayat berikutnya disebutkan “Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat berupa tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalaman materi”.

Dari pasal tersebut ada dua hal yang terkait dengan kebijakan Pendidikan Agama Islam, yaitu: 1). Dari sisi kelembagaan bahwa lembaga pendidikan Islam diberi wewenang untuk mengembangkan dan mengelola lembaganya sesuai dengan visi dan misi lembaga, 2). Dari sisi materi yang diberikan kepada anak didikpun dapat di berikan sesuai dengan kebutuhan, baik ditambah secara materi, maupun pendalaman materi. Hal tersebut tentu sejalan dengan tujuan pendidikan agama Islam, dimana pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, bertakwa dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-qur’an dan Hadits melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta penggunaan pengalaman (Depdiknas, 2003, hal. 7), sehingga Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk memberikan nilai spiritual keagamaan.

 Hal ini mengandung arti, agama bukan hanya diajarkan (disampaikan dalam bentuk rumusan-rumusan konsep atau teori) namun harus dididikkan. Artinya, dirumuskan dalam perbuatan-perbuatan nyata yang terakumulasi dalam sebuah kepribadian yang utuh (menyangkut aspek kognitif, afektif, dan aspek psikomotorik) sehingga pendidikan agama Islam akan menghasilkan manusia-manusia yang memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Undang-undang dan peraturan telah disusun sedemikian sempurna, bahkan secara historis semakin lama pendidikan agama Islam memiliki ruang yang luas dan terbuka guna mewujudkan tujuan yang ideal, namun hingga saat ini apa yang dicita-citakan dan apa yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut untuk menghasilkan manusia-manusia yang memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara belum terwujud.

AKurikulum Pendidikan Agama Islam

1.  Pendidikan Agama Islam

Burhanudin Salam yang mengutip Langeveld mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan kepada orang yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan” (Salam, 2002, hal. 3-4.).

Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses bimbingan terbentuknya kepribadian yang utama (Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, 1971, hal. 2).

Anshari mendefinisikan pendidikan sebagai proses bimbingan kepada peserta didik dalam mengembangkan potensi peserta didik dalam kurun waktu tertentu, menggunakan metede tertentu kepada suatu tujuan (H. Endang Syaifuddin Anshari, 2004, hal. 149). Sehingga pendidikan adalah usaha yang secara sadar dilakukan untuk melakukan bimbingan dan arahan dengan menggunakan suatu bahan, matode, alat, menuju terbentuknya kepribadian yang sempurna Pendidikan Agama Islam adalah “upaya mendidikkan agama Islam, atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi pandangan dan sikap hidup, wujudnya yaitu pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran” (Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, 2012, hal. 104).

Abdul Majid mendefinisikan pendidikan agama Islam sebagai usaha mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan (Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran, 2012, hal. 13).

Achmadi mendefinisikan pendidikan agama Islam sebagai usaha yang ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan (religiousitas) subjek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam (DR.Achmadi, 2010, hal. 32)

Ansyari mendefinisikan pendidikan agama Islam sebagai proses bimbingan oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa dan raga objek didik yang materi didiknya adalah akidah Islam, syari’ah (ibadah dan muamalah), dan akhlak (H. Endang Syaifuddin Anshari, 2004, hal. 150)

Dalam kurikulum 2004 tentang standar kompetensi mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, memberikan definisi secara rinci, yaitu: Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertakwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Quran dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Dibarengi tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa (Depdiknas, 2003, hal. 7).

Sehingga dapat disimpulkan Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar yang dilakukan untuk mendidikkan ajaran Islam dan nilai-nilai Islam yang wujudnya adalah berupa bidang studi agama Islam oleh pendidik terhadap peserta didik melalui proses bimbingan. Pendidikan Agama Islam merupakan bagian atau sub sistem dari Pendidikan Islam.

2. Kurikulum

Ketika membicarakan kurikulum ada beberapa pengertian yang berbeda, tergantung dari sudut pandang masing-masing dalam melihat. Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin “a running course dan terdapat pula dalam bahasa Prancis to run yaitu berlari, kemudian istilah ini digunakan untuk sejumlah courses atau mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah” (Nasution, 1993, hal. 9).

Dalam pandangan lama kurikulum diartikan “sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh murid untuk memperoleh ijazah” (Hamalik, Pengembangan Kurikulum Dasar-Dasar dan Perkembangannya, 1990, hal. 4).

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa: Kurikulum terdiri dari mata pelajaran, Mata pelajaran tersebut berisi sejumlah informasi atau pengetahuan, Tujuan untuk mempelajarinya untuk memperoleh gelar atau ijazah.

Dalam perkembangannya, penekanan arti kurikulum terletak pada pengalaman belajar, dengan titik tekan tersebut kurikulum diartikan “sebagai segala pengalaman yang disajikan kepada para siswa di bawah pengawasan dan pengarahan sekolah” (Aly, 1999, hal. 162).

3. Peranan dan Fungsi Kurikulum

Kurikulum sebagai program pendidikan yang telah direncanakan memiliki peranan yang penting bagi pendidikan. Hamalik mengungkapkan paling tidak ada tiga peranan kurikulum yang penting, yaitu :1) Peranan konservatif, yaitu mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial kepada generasi muda, 2) Peranan kritis atau evaluatif, yaitu menilai, memilih unsur-unsur kebudayaan yang akan diwariskan. 3) Peranan kreatif, yaitu mencipta dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan masa yang akan datang dalam masyarakat. (Hamalik, Pengembangan Kurikulum Dasar-Dasar dan Perkembangannya, 1990, hal. 8-10).

Dari uraian di atas, peranan penting yang diemban kurikulum yaitu kurikulum yang disusun dalam sebuah lembaga pendidikan harus mampu untuk mengartikan nilai-nilai luhur yang ada dalam masyarakat agar nilai-nilai luhur tersebut tidak akan musnah terbawa perubahan waktu, sekaligus melakukan seleksi terhadap kebudayaan asing yang masuk sehingga nilainilai luhur yang dimiliki akan tetap terjaga. Agar nilai-nilai luhur tesebut mudah diterima oleh anak didik maka kurikulum harus kreatif, tidak monoton.

Di samping kurikulum memiliki peranan, kurikulum juga memiliki atau mengemban berbagai fungsi. Hamalik mengutip pendapat Alexander Inglis menyatakan bahwa kurikulum memiliki fungsi : 1) Fungsi penyesuaian, 2) Fungsi pengintegrasian, 3) Fungsi deferensiasi, 4) Fungsi persiapan,5) Fungsi pemilihan, 6)Fungsi diagnostik (Hamalik, Pengembangan Kurikulum Dasar-Dasar dan Perkembangannya, 1990, hal. 10-11).

Dalam kehidupan yang serba cepat berkat perkembangan ilmu dan teknologi sehingga kurikulum harus mampu menjalankan fungsinya dengan baik yaitu harus mampu membantu peserta didik untuk adaptasi dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, mengingat peserta didik adalah bagian integral dari masyarakat sehingga selain membantu peserta didik menyesuaian dirinya dengan lingkungan kurikulum juga memiliki fungsi pengintegrasian. Kehidupan masyarakat yang memiliki latar belakang sosial yang berbeda, kurikulum harus mampu memberikan layanan terhadap perbedaanperbedaan tersebut dengan melakukan diagnosa dan memberikan beberapa alternatif pilihan kepada peserta didik sehingga peserta didik siap dalam menghadapi kehidupan.

4Kegiatan Kurikulum

Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa “kurikulum adalah segala pengalaman yang disajikan kepada para peserta didik di bawah pengawasan dan pengarahan sekolah” (Aly, 1999, hal. 162).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 19 disebutkan: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” (Depdiknas, 2003, hal. 4). Sehingga dapat disimpulkan kurikulum adalah seperangkat kegiatan yang direncanakan dan dirancangkan oleh seorang pendidik kepada peserta didik dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan.

Dari pengertian tersebut, kurikulum memiliki tafsiran yang lebih luas, tidak terbatas pada mata pelajaran saja tetapi meliputi seluruh pengalaman yang diberikan kepada peserta didik. Dengan pengertian yang baru tersebut tidak ada pemisahan antara kurikulum formal (intrakurikuler) dan nonformal (kokurikuler dan ekstrakurikuler), karena kegiatan-kegiatan di luar kelas (nonformal) sudah tercakup dalam pengertian kurikulum sehingga pelaksanaan kurikulum tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

Dari konsep ini, kurikulum yang lengkap terdiri dari kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.

(1) Kegiatan Intrakurikuler

Kegiatan intrakurikuler adalah “kegiatan yang dilakukan di sekolah yang penjatahan waktunya telah ditetapkan dalam struktur progam dan dimaksudkan untuk mencapai tujuan minimal (kompetensi dasar) dalam masing-masing mata pelajaran” (Setiawati, 1993, hal. 15).

Pada dasarnya “kegiatan intrakurikuler adalah kegiatan kurikuler pada waktu kegiatan belajar-mengajar berlangsung di sekolah atau di lingkungan sekolah berdasarkan struktur progam yang telah ditetapkan” (Setiawati, 1993, hal. 15), sehingga “dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dalam jadwal, harus mengacu pada tujuan instruksional. khusus (indikator hasil belajar), mengusahakan agar bahan yang diajarkan dipahami peserta didik” (Setiawati, 1993, hal. 16).

(2) Kegiatan Kokurikuler

Kegiatan kokurikuler adalah “kegiatan di luar jam pelajaran biasa yang dilakukan di sekolah ataupun di luar sekolah yang bertujuan untuk menunjang pelaksanaan program intrakurikuler agar peserta didik dapat lebih menghayati bahan atau materi yang telah dipelajarinya” (Setiawati, 1993, hal. 17).

            (3) Kegiatan Ekstrakurikuler

Kegiatan ekstrakurikuler “merupakan kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran (tatap muka) baik dilaksanakan di sekolah maupun di luar sekolah dengan tujuan untuk mengembangkan bakat serta minat peserta didik dalam upaya pembinaan menuju manusia seutuhnya” (Setiawati, 1993, hal. 22).

Lingkup kegiatan ekstrakurikuler “mencakup kegiatan yang dapat menunjang serta mendukung program intrakurikuler maupun program kokurikuler” (Setiawati, 1993, hal. 22). Kegiatan ekstrakurikuler dapat berupa “kegiatan pramuka, palang merah remaja, seni baca al-Qur’an, Patroli Keamanan Sekolah dan Usaha Kesehatan Sekolah, dan sebagainya” (Setiawati, 1993, hal. 23).


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Solo, PT. Tiga Serangkai, (tt.)

Abdul Halim, Nipan M., Mendidik Kesalehan Anak, Pustaka Amani, Jakarta, 2001.

Al-Istanbuly, Mahmud Mahdi, Pendidikan Keluarga Dalam Islam, , Karya Toha Putra, Semarang, (tt.)

Amirul Hadi, H. Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung, 1998.

Asmani, Ma’ruf, Jamal, Tuntutan Lengkap Metodologi Praktis Penelitian Pendidikan, Diva Press, Jogyakarta,2011.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirny, Lembaga Percetakan Al- Qur’an Departemen Agama, Jakarta, 2009.

Gintings, Abdurrahman,Esensi Praktis Belajar Dan Pembelajaran, Humaniora, Bandung, 2008.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001.

Mustaqim, Abdul Wahib, Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.

Patmonodewo, Soemarti, Pendidikan Anak Prasekolah, Rineka Cipta,

Jakarta, 2000.

S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997.

Sardiman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar, Rajawali, Jakarta,

1990.

Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.

Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, (tt.)

Sumadi Suryabarata, Psikologi Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

1993.


Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar

Pengikut

Arsip Blog

Definition List

Unordered List

Support