Oleh: Mhd. Reza Fahlevi, M.Pd
PENDAHULUAN
Pendidikan memiliki peran penting
dalam kehidupan manusia. Usaha-usaha pendidikan bagi manusia menjadi suatu
kebutuhan pokok guna menunjang dan meningkatkan potensi yang dimiliki manusia.
Potensi tersebut dalam istilah agama Islam sering disebut fitrah (Drs.H.Baharuddin,
2011,hal. 20) sebagaimana dalam al-Quran surat al-Rum(30) ayat 30:
Artinya :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (al-Rum(30) ayat 30) (Al-Quran dan Terjemahnya, 2005, hal. 407)
Muhammad bin Asyur sebagaimana di
kutip oleh Quraish Shihab, menafsirkan kata fitrah pada ayat di atas
sebagai bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk, fitrah
yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia
yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya) (Shihab, 2006, hal.
285)
Menurut Achmadi kata fitrah berasal
dari kata fathara yang sepadan dengan khalaqa dan ansyaa,
biasanya kata tersebut dalam Al-Quran digunakan untuk menunjukkan pengertian
mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar yang
perlu penyempurnaan, kata-kata yang biasanya digunakan untuk menunjukkan bahwa
Allah menyempurnakan pola dasar tersebut adalah kata ja’ala yang artinya
menjadikan. Perwujukan dan penyempurnaan selanjutnya diserahkan kepada manusia
(Achmadi, 2010,hal. 43)
Manusia membutuhkan pendidikan untuk menjalani kehidupannya. Pendidikan memberi bekal manusia untuk menjalani kehidupan menjadikan dewasa dengan dapat menentukan hal yang baik dan benar, dan menjalani tugas untuk belajar sepanjang hayat, dalam istilah Ghazaly menjadi insan purna yang selalu mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Sulaiman, 1993, hal. 24). Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar adalah manajemen Negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan disempurnakan menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pedoman pelaksanaannyapun telah
dibuat melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Konsekuensi
logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut dalam bentuk
perubahan arah paradigma pendidikan, dari paradigma
lama ke paradigma baru, yang tentu juga berdampak pada proses formulasi kebijakan pendidikan Islam. Secara ideal, paradigma baru pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan pendidikan baik kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun implementatif.
Lahirnya undang-undang SISDIKNAS No
20 tahun 2003, telah memberikan arah baru dalam dunia pendidikan, khususnya dunia
pendidikan Islam baik bagi lembaga pendidikan Islam maupun materi pendidikan
agama Islam. Kenyataan tersebut, menunjukkan bahwa pendidikan agama mempunyai
kedudukan dan peranan penting dalam pembangunan negara dan masyarakat
Indonesia. Dalam PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal
6, pasal 7 di sebutkan bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum wajib memuat
kelompok mata pelajaran agama, (Grafika, 2005)
Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan,
diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi menagerial dan proses pendidikan
Islam. Dalam PP No. 55 tahun 2007 pasal 5 ayat 8 disebutkan “Satuan pendidikan
dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan”. Pada ayat berikutnya
disebutkan “Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat berupa tambahan
materi, jam pelajaran, dan kedalaman materi”.
Dari pasal tersebut ada dua hal yang
terkait dengan kebijakan Pendidikan Agama Islam, yaitu: 1). Dari sisi
kelembagaan bahwa lembaga pendidikan Islam diberi wewenang untuk mengembangkan
dan mengelola lembaganya sesuai dengan visi dan misi lembaga, 2). Dari sisi
materi yang diberikan kepada anak didikpun dapat di berikan sesuai dengan
kebutuhan, baik ditambah secara materi, maupun pendalaman materi. Hal tersebut
tentu sejalan dengan tujuan pendidikan agama Islam, dimana pendidikan agama
Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk
mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, bertakwa dan berakhlak mulia
dalam mengamalkan ajaran Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-qur’an dan
Hadits melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta penggunaan
pengalaman (Depdiknas, 2003, hal. 7), sehingga Pendidikan Agama Islam bertujuan
untuk memberikan nilai spiritual keagamaan.
Hal ini mengandung arti, agama bukan hanya diajarkan (disampaikan dalam bentuk rumusan-rumusan konsep atau teori) namun harus dididikkan. Artinya, dirumuskan dalam perbuatan-perbuatan nyata yang terakumulasi dalam sebuah kepribadian yang utuh (menyangkut aspek kognitif, afektif, dan aspek psikomotorik) sehingga pendidikan agama Islam akan menghasilkan manusia-manusia yang memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Undang-undang dan peraturan telah disusun sedemikian sempurna, bahkan secara historis semakin lama pendidikan agama Islam memiliki ruang yang luas dan terbuka guna mewujudkan tujuan yang ideal, namun hingga saat ini apa yang dicita-citakan dan apa yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut untuk menghasilkan manusia-manusia yang memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara belum terwujud.
A. Kurikulum Pendidikan Agama Islam
1. Pendidikan Agama Islam
Burhanudin Salam yang mengutip
Langeveld mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan kepada orang yang
belum dewasa untuk mencapai kedewasaan” (Salam, 2002, hal. 3-4.).
Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses bimbingan terbentuknya kepribadian yang utama (Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, 1971, hal. 2).
Anshari mendefinisikan pendidikan
sebagai proses bimbingan kepada peserta didik dalam mengembangkan potensi
peserta didik dalam kurun waktu tertentu, menggunakan metede tertentu kepada
suatu tujuan (H. Endang Syaifuddin Anshari, 2004, hal. 149). Sehingga
pendidikan adalah usaha yang secara sadar dilakukan untuk melakukan bimbingan
dan arahan dengan menggunakan suatu bahan, matode, alat, menuju terbentuknya
kepribadian yang sempurna Pendidikan Agama Islam adalah “upaya mendidikkan
agama Islam, atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi pandangan dan
sikap hidup, wujudnya yaitu pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di
lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran” (Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, 2012, hal. 104).
Abdul Majid mendefinisikan
pendidikan agama Islam sebagai usaha mempersiapkan peserta didik untuk
meyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran atau pelatihan (Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran, 2012, hal.
13).
Achmadi mendefinisikan pendidikan
agama Islam sebagai usaha yang ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan
(religiousitas) subjek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam (DR.Achmadi, 2010, hal. 32)
Ansyari mendefinisikan pendidikan
agama Islam sebagai proses bimbingan oleh subjek didik terhadap perkembangan
jiwa dan raga objek didik yang materi didiknya adalah akidah Islam, syari’ah
(ibadah dan muamalah), dan akhlak (H. Endang Syaifuddin Anshari, 2004, hal.
150)
Dalam kurikulum 2004 tentang standar kompetensi mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, memberikan definisi secara rinci, yaitu: Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertakwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Quran dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Dibarengi tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa (Depdiknas, 2003, hal. 7).
Sehingga dapat disimpulkan Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar yang dilakukan untuk mendidikkan ajaran Islam dan nilai-nilai Islam yang wujudnya adalah berupa bidang studi agama Islam oleh pendidik terhadap peserta didik melalui proses bimbingan. Pendidikan Agama Islam merupakan bagian atau sub sistem dari Pendidikan Islam.
2. Kurikulum
Ketika membicarakan kurikulum ada beberapa pengertian yang berbeda, tergantung dari sudut pandang masing-masing dalam melihat. Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin “a running course dan terdapat pula dalam bahasa Prancis to run yaitu berlari, kemudian istilah ini digunakan untuk sejumlah courses atau mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah” (Nasution, 1993, hal. 9).
Dalam pandangan lama kurikulum diartikan “sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh murid untuk memperoleh ijazah” (Hamalik, Pengembangan Kurikulum Dasar-Dasar dan Perkembangannya, 1990, hal. 4).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa: Kurikulum terdiri dari mata pelajaran, Mata pelajaran tersebut berisi sejumlah informasi atau pengetahuan, Tujuan untuk mempelajarinya untuk memperoleh gelar atau ijazah.
Dalam perkembangannya, penekanan arti kurikulum terletak pada pengalaman belajar, dengan titik tekan tersebut kurikulum diartikan “sebagai segala pengalaman yang disajikan kepada para siswa di bawah pengawasan dan pengarahan sekolah” (Aly, 1999, hal. 162).
3. Peranan dan Fungsi Kurikulum
Kurikulum sebagai program pendidikan
yang telah direncanakan memiliki peranan yang penting bagi pendidikan. Hamalik
mengungkapkan paling tidak ada tiga peranan kurikulum yang penting, yaitu :1)
Peranan konservatif, yaitu mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial
kepada generasi muda, 2) Peranan kritis atau evaluatif, yaitu menilai, memilih
unsur-unsur kebudayaan yang akan diwariskan. 3) Peranan kreatif, yaitu mencipta
dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan masa
yang akan datang dalam masyarakat. (Hamalik, Pengembangan Kurikulum Dasar-Dasar
dan Perkembangannya, 1990, hal. 8-10).
Dari uraian di atas, peranan penting
yang diemban kurikulum yaitu kurikulum yang disusun dalam sebuah lembaga
pendidikan harus mampu untuk mengartikan nilai-nilai luhur yang ada dalam
masyarakat agar nilai-nilai luhur tersebut tidak akan musnah terbawa perubahan
waktu, sekaligus melakukan seleksi terhadap kebudayaan asing yang masuk
sehingga nilainilai luhur yang dimiliki akan tetap terjaga. Agar nilai-nilai
luhur tesebut mudah diterima oleh anak didik maka kurikulum harus kreatif,
tidak monoton.
Di samping kurikulum memiliki
peranan, kurikulum juga memiliki atau mengemban berbagai fungsi. Hamalik
mengutip pendapat Alexander Inglis menyatakan bahwa kurikulum memiliki fungsi :
1) Fungsi penyesuaian, 2) Fungsi pengintegrasian, 3) Fungsi deferensiasi, 4)
Fungsi persiapan,5) Fungsi pemilihan, 6)Fungsi diagnostik (Hamalik,
Pengembangan Kurikulum Dasar-Dasar dan Perkembangannya, 1990, hal. 10-11).
Dalam kehidupan yang serba cepat berkat perkembangan ilmu dan teknologi sehingga kurikulum harus mampu menjalankan fungsinya dengan baik yaitu harus mampu membantu peserta didik untuk adaptasi dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, mengingat peserta didik adalah bagian integral dari masyarakat sehingga selain membantu peserta didik menyesuaian dirinya dengan lingkungan kurikulum juga memiliki fungsi pengintegrasian. Kehidupan masyarakat yang memiliki latar belakang sosial yang berbeda, kurikulum harus mampu memberikan layanan terhadap perbedaanperbedaan tersebut dengan melakukan diagnosa dan memberikan beberapa alternatif pilihan kepada peserta didik sehingga peserta didik siap dalam menghadapi kehidupan.
4. Kegiatan Kurikulum
Pada bagian terdahulu telah
disebutkan bahwa “kurikulum adalah segala pengalaman yang disajikan kepada para
peserta didik di bawah pengawasan dan pengarahan sekolah” (Aly, 1999, hal.
162).
Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 19 disebutkan: “Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” (Depdiknas, 2003, hal. 4). Sehingga
dapat disimpulkan kurikulum adalah seperangkat kegiatan yang direncanakan dan
dirancangkan oleh seorang pendidik kepada peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dari pengertian tersebut, kurikulum
memiliki tafsiran yang lebih luas, tidak terbatas pada mata pelajaran saja
tetapi meliputi seluruh pengalaman yang diberikan kepada peserta didik. Dengan
pengertian yang baru tersebut tidak ada pemisahan antara kurikulum formal
(intrakurikuler) dan nonformal (kokurikuler dan ekstrakurikuler), karena
kegiatan-kegiatan di luar kelas (nonformal) sudah tercakup dalam pengertian
kurikulum sehingga pelaksanaan kurikulum tidak hanya di dalam kelas, tetapi
juga di luar kelas, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Dari konsep ini, kurikulum yang lengkap terdiri dari kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
(1) Kegiatan Intrakurikuler
Kegiatan intrakurikuler adalah
“kegiatan yang dilakukan di sekolah yang penjatahan waktunya telah ditetapkan
dalam struktur progam dan dimaksudkan untuk mencapai tujuan minimal (kompetensi
dasar) dalam masing-masing mata pelajaran” (Setiawati, 1993, hal. 15).
Pada dasarnya “kegiatan
intrakurikuler adalah kegiatan kurikuler pada waktu kegiatan belajar-mengajar
berlangsung di sekolah atau di lingkungan sekolah berdasarkan struktur progam
yang telah ditetapkan” (Setiawati, 1993, hal. 15), sehingga “dalam
pelaksanaannya harus sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dalam jadwal,
harus mengacu pada tujuan instruksional.
(2) Kegiatan Kokurikuler
Kegiatan kokurikuler adalah “kegiatan di luar jam pelajaran biasa yang dilakukan di sekolah ataupun di luar sekolah yang bertujuan untuk menunjang pelaksanaan program intrakurikuler agar peserta didik dapat lebih menghayati bahan atau materi yang telah dipelajarinya” (Setiawati, 1993, hal. 17).
(3) Kegiatan Ekstrakurikuler
Kegiatan ekstrakurikuler “merupakan
kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran (tatap muka) baik dilaksanakan di
sekolah maupun di luar sekolah dengan tujuan untuk mengembangkan bakat serta
minat peserta didik dalam upaya pembinaan menuju manusia seutuhnya” (Setiawati,
1993, hal. 22).
Lingkup kegiatan ekstrakurikuler
“mencakup kegiatan yang dapat menunjang serta mendukung program intrakurikuler
maupun program kokurikuler” (Setiawati, 1993, hal. 22). Kegiatan ekstrakurikuler
dapat berupa “kegiatan pramuka, palang merah remaja, seni baca al-Qur’an, Patroli
Keamanan Sekolah dan Usaha Kesehatan Sekolah, dan sebagainya” (Setiawati, 1993,
hal. 23).
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Solo, PT. Tiga Serangkai, (tt.)
Abdul Halim, Nipan M., Mendidik
Kesalehan Anak, Pustaka Amani, Jakarta, 2001.
Al-Istanbuly, Mahmud Mahdi, Pendidikan
Keluarga Dalam Islam, , Karya Toha Putra, Semarang, (tt.)
Amirul Hadi, H. Haryono, Metodologi
Penelitian Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung, 1998.
Asmani, Ma’ruf, Jamal, Tuntutan Lengkap Metodologi Praktis
Penelitian Pendidikan, Diva Press, Jogyakarta,2011.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Tafsirny, Lembaga Percetakan Al- Qur’an Departemen Agama, Jakarta,
2009.
Gintings, Abdurrahman,Esensi Praktis Belajar Dan Pembelajaran,
Humaniora, Bandung, 2008.
Moleong, Lexy J., Metodologi
Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001.
Mustaqim, Abdul Wahib, Psikologi
Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Patmonodewo, Soemarti, Pendidikan
Anak Prasekolah, Rineka Cipta,
Jakarta, 2000.
S. Margono, Metodologi Penelitian
Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997.
Sardiman AM, Interaksi dan
Motivasi Belajar-Mengajar, Rajawali, Jakarta,
1990.
Slameto, Belajar dan
Faktor-faktor yang mempengaruhinya, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.
Sugiyono,Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, (tt.)
Sumadi Suryabarata, Psikologi
Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1993.
0 Post a Comment:
Posting Komentar