A.
Keadaan
Pendidikan Islam Zaman Orde Baru
Pada zaman
Orde Baru pemerintah menggenjot ekonomi sebagai sektor utamanya, namun lahirnya
Orde Baru juga memberikan warna baru dalam pendidikan Islam. Sejak tahun 1966
terjadi perubahan besar pada bangsa Indonesia, baik menyangkut kehidupan
sosial, agama, maupun politik. Hal ini didukung dengan adanya keputusan sidang MPRS yang dalam keputusannya dalam bidang pendidikan agama, yaitu “Pendidikan Agama
menjadi hak yang wajib mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi”.
Dengan hasil keputusan sidang MPRS tersebut maka pendidikan agama menjadi mata
pelajaran yang harus dipelajari dari sekolah dasar sampai jenjang pendidikan
tinggi.
Terkait dengan
lembaga pendidikan Islam (Madrasah dan Pesantren) pada awal masa pemerintahan
Orde Baru, kebijakan yang muncul hanya bersifat melanjutkan dan memperkuat
kebijakan Orde Lama. Pendidikan Madrasah belum dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan secara
nasional dan dianggap sebagai lembaga pendidikan otonom yang berada dibawah
Kementerian Agama. Hal ini menjadi pil pahit, karena pendidikan madrasah lebih
di dominasi pada muatan-muatan agama, belum menggunakan kurikulum yang
terstandar, memiliki struktur yang tidak seragam, serta managemen pendidikannya
yang kurang dapat untuk dikontrol oleh pemerintah.
Langkah yang
ditempuh dengan cara menegerikan sejumlah madrasah dengan kriteria tertentu
yang diatur oleh pemerintah, disamping itu juga mendirikan madrasah-madrasah
negeri yang baru. Untuk strukturisasi kurikulum dilakukan dengan mengatur
perumusan kurikulum yang cenderung sama dengan perjenjangan dan kurikulum yang
dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada tahap
berikutnya, pemerintah mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah
kedalam Sistem Pendidikan Nasional. Usaha menuju ke arah ini agaknya tidak
sederhana karena secara konstitusional pendidikan nasional masih diatur oleh UU
No. 4 Tahun 1950 dan No 12 Tahun 1954 yang mengabaikan pendidikan madrasah.
Pemerintah melakukan penguatan struktur madrasah baik dalam jenjang maupun
kurikulumnya sehingga lulusannya memperoleh pengakuan yang sama dengan lulusan
sekolah dan dapat memperoleh pengakuan yang sama dengan lulusan sekolah dan
dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di sekolah yang
dikelola Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini dimulai dengan lahirnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB 3
Menteri),
yaitu Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Di dalam SKB
3 Menteri tersebut antara lain menyatakan bahwa lulusan madrasah dapat
melanjutkan ke jenjang pendidikan umum dan sebaliknya, berhak mendapatkan
bantuan sarana prasaran, biaya, dan diakui ijazahnya. Terlebih dari pada itu,
di dukung pula lahirya Undang-Undang No.2 Tahun 1989 yang memasukkan pendidikan
Islam mulai dari Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional yang berhak mendapatkan perlakuan yang sama dalam
bidang regulasi, bantuan dana keuangan serta sumber daya manusia. Dengan munculnya SKB 3 menjadi langkah nyata kemajuan pendidikan Islam.
Dengan adanya
SKB 3 Menteri betul memberikan dampak positif
bagi Madrasah seperti lulusan Madrasah Ibtidaiyah dapat diterima di SMP
Negeri, siswa lulusan Madrasah Tsanawiyah dapat diterima di SLA Negeri dan
Lulusan Aliyah dapat diterima diberbagai Fakultas seperti Fakultas Hukum,
Sosial, Ekonomi, Sastra dan sebagainya, kecuali Fakultas Eksakta. Namun, menurut Karel A Steenbrink terdapat kelemahan dan hambatan dalam SKB 3
Menteri yang perlu diatasi, yaitu meliputi:
1. Perbandingan pelajaran umum dan agama dengan persentase 70:30, masih menimbulkan reaksi masyarakat sebagai usaha pendangkalan agama pada Madrasah.
2. Tamatan Madrasah serba tanggung; pengetahuan agama dan bahasa Arabnya kurang mendalam dianggap sebagai input kurang baik bagi Perguruan Tinggu Islam, begitu pula pengetahuan umum tamatan Madrasah rendah menyebabkan tamatan Madrasah kalah saing dalam memasuki perguruan Tinggi Umum dengan siswa SLTA umum.
3. Timbul keraguan masyarakat apakah kualitas Madrasah dapat menyamai kualitas Madrasah sebelum SKB 3 Menteri dan Sekolah Umum.
4. Sambutan positif SKB 3 Menteri bagi madrasah belum bisa segera diimbangi dengan penyedian bantuan tenaga guru, buku, alat-alat dan sarana prasarana lainya oleh ketiga Menteri yang terkait dalam SKB 3 Menteri.
Menyikapi
polemik yang terjadi pembaharuan dilakukan pada lembaga pendidikan Islam baik
madrasah maupun pesantren dibagian fisik maupun nonfisik lembaga tersebut. Pada aspek fisik dilakukan dengan pembenahan
berbagai peningkatan dalam hal sarana dan prasarana baik saran di dalam ataupun
diluar seperti pengadaan buku pembelajaran, perpustakaan sebagai sumber
literasi, dan peralatan laboratorium. Aspek nonfisik dapat diumpamakan seperti
manajemen lembaga pendidikan Islam, kurikulum, mutu pendidik, proses
pengajaran, jaringan IT dan lain sebagainya.
Pada
perbaikan fisik dilihat sejak Repelita II diupayakan perluasan dan pemerataan
belajar, diutamakan di Sekolah Dasar, melalui pembangunan unit gedung baru
(UGB) untuk menampung tambahan murid sebanyak 720.000 selama Repelita II,
sehingga menjadi 20,9 juta anak pada Repelita III. Daya tampung SD terus
meningkat pada repelita-repelita selanjutnya, sehingga jadi 29,6 juta murid SD
termasuk Madrasah Ibtidaiyah, atau setidaknya sejak PJP I (Program Jangka
Panjang) daata tampung sekolah dasar bertambah sebanyak 16 juta murid. Dilihat
pula melalui distibsi buku sejak akhir Repelita II (1976/1977) sampai Repelita
V (1993/1994) dikirim buku pelajaran pokok sebanyak 635,9 juta eksemplar dan
buku perpustakaan sebanyak 310,7 juta pada jenjang pendidikan dasar. Secara subtansi kurikulum juga
diperbaiki dengan keluarnya SKB 2 Menteri sebagai penguat SKB 3 Menteri, SKB 2
Menteri antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama, No.
0299/U/1984 (Dikbud); No. 045 Tahun 1984 (Agama) tentang Pengaturan Pembakuan
Kurikulum Sekolah Umum dan Sekolah Madrasah yang menyamakan mutu lulusan
Madrasah dan dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah Umum yang lebih
tinggi.
Dengan
penyetaraan lulusan, maka lulusan madrasah dan pesantren memiliki peluang untuk
memasuki lapangan kerja yang lebih luas, sehingga ummat Islam tidak hanya
menjadi penonton pembangunan, melainkan ikut secara aktif sebagai pelaku
membangun negeri ini dari berbagai aspek dan bidang. Sebagai wujud nyata
pengakuan menyamakan mutu lulusan tersebut, banyak tamatan madrasah dan
pesantren tidak hanya melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi Islam, melainkan juga dapat memasuki perguruan tinggi
agama dan umumm yang bergengsi baik di dalam maupun luar negeri. Diantaranya terdapat lulusan madrasah dan pesantren melanjutkan studinya ke
Universitas al-Azhar Kairo, Mesir; Universitas Ummul Qura di Mekah, dan
Universitas Madinah serta beberapa perguruan tinggi Islam lainnya di Afrika
Utara, Maroko, Sudan, dan Turki. Lulusan madrasah dan pesantren dapat
melanjutkan ke universitas umum di dalam negeri seperti Universitas Indonesia
(UI), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Teknik Bandung (ITB) dan Institut
Pertanian Bogor (IPB) serta berbagai perguruan tinggi terkemuka di Amerika,
Kanada, Inggris, Jerman dan Australia.
Selain itu
pemerintah masa Orde baru telah mendukung lahirnya berbagai pranata ekonomi,
sosial, budaya dan kesenian Islam. Lahirnya Ikatan Cendikiawan Muslim
se-Indonesia (ICMI), Bank Muamalat Indonesia (BMI), Harian Umum Repubika,
Undang-undang peradilan agama, Festival Istiqlal, Bayt Al-Quran dan Lainya. Selain itu Muncul pula organisasi buruh
(FBSI), tani (HKTI), wanita (KOWANI), pramuka, nelayan (HNSI), pengusaha muda
(HIPMI) dan lain sebagainya, yang merupakan realisasi semangat pembangunan. Meskipun demikian terjadi perubahan dan pergerakan arah pemikiran atas lahirnya
orde baru meskipun bermula sebagai alat penguasa.
B. Faktor-Faktor Pendukung Kemajuan
Pendidikan Islam
Pertumbuhan
dan perkembangan Islam pada masa Orde baru disebabkan beberapa faktor, yaitu:
Pertama, semangkin
membaiknya hubungan dan kerja sama antar umat Islam dan Pemerintah. Pemerintah
Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto berkuasa lebih kurang 32 Tahun yang dapat dibagikan kedalam dua bagian. Pada 16 tahun pertama, hubungan antara umat Islam dengan pemerintah Orde Baru
dalam keadaan konflik, saling menaruh curiga bahkan tak jarang diwarnai dengan
konflik, misalnya peristiwa yang terjadi di Tanjung Periok,
pembajakan pesawat yang diduga dilakukan oleh Islam garis keras. Sebenarnya
bersitegang ini ditengarai dari sebagaian tokoh Masyumi dan gerakan lainnya
yang ingin mendirikan negara Islam.
Namun, pada 16 Tahun kedua hubungan ini berangsur-angsur mencair dan
menunjukkan keharmonisan. Hal ini dilihat dari pendekatan Islam sebagai sebuah
agama yang membawa misi rahmatan lil alamin. Sehingga membawa misi
sebagai rahmat bagi seluruh alam yang diterjemahkan ke dalam program-program
konkret terkait dengan masalah umat, seperti pembodohan, kemiskinan,
kertertinggalan dan lingkungan kumuh.
Dengan adanya
pendekatan ini berangsur-angsur ketegangan ini hilang. Pendekatan ini
dipelopori oleh Nurcholis Madjid dan Kawan-kawannya di Himpunan Mahasiswa
Indonesia. Pada saat sebagian kelompok Islam masih mengedepankan pendekatan
ideologis politis, Nurcholis Madjid misalnya menggunakan statment “ Islam yes,
partai Islam no”. Meski pada awalnya mendapat respon penolakan dari
golongan Islam tradisionil, namun karena kegigihannya ide dan gagasan ini
menunjukkan keberhasilanya.
Kedua, semangkin
bangkitnya ekonomi nasional yang menjadi fokus pemerintah. Sejak awal memang
fokus utama pemerintah adalah melalui sektor ekonomi. Pembagunan sektor ini
didukung oleh program kinerja pemerintah melalui pembangunan, selain itu
ditambah lagi dengan sumber daya minyak, hasil tambang dan lainnya dapat
diberdayakan secara maksimal. Melalui hasil penjualan minyak, Indonesia dapat
menghimpun dana amat besar bagi pembangunan nasional. Dengan demikian maka pemerintah orde baru akan mampu membantu program
pembaharuan pendidikan Islam.
Ketiga, Dalam pola
dasar Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Bidang Agama menjadi sasaran
bidang pembangunan. Hal ini dinyatakan bahwa diusahakan untuk mengembangkan dan
mempertebal Iman bagi umat yang sudah bergama, memperluas fasilitas-fasilitas
yang diperlukan bagi pelaksanaan ibadah seperti perbaikan dan perluasan
tempat-tempat ibadah, memperbanyak dan penyebaran kitab-kitab suci, fasilitas
pendidikan agama dan sebagainya, yang satu sama lain sesuai dengan agama
masing-masing, dengan selalu memegang tegu dasar toleransi agama. Sehingga wajar saja muncul peningkatan drastis dari mulai pembangunan madrasah,
menegrikan madrasah dan munculnya majelis taklim.
Keempat, stabilitas negara semangkin membaik. Sehingga Indonesia menjadi negara aman dan stabil di kawasan Asia Tenggara. Melalui program penatara P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), masyarakat Indonesia tampak makin rukun dan damai. Keadaan ini mendorong Investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dan berbagai kegiatan pembangunan dalam bidang pendidikan Islam dapat berjalan lebih baik lagi.
Kesimpulan
Latar
belakang berdirnya orde baru merupakan kritik atas kekeliruan yang dilakukan
pada pemerintahan yang lama sehingga menggangp terjadinya penyelewengan yang
dilakukan kekuasaan yang lama dari Undang-Undang Dasar dan Pancasila. Oleh
karena itu, munculah wacana mengembalikan negara Republik Indonesia ke dalam
sebuah tatanan yang sesuai dengan haluan negara sebagaimana yang terdapat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 serta falsafah negara pancasila secara murni dan
konsekuen.
Kebijakan
ekonomi dan politik dilakukan secara monoloyalitas dan sentralistik dengan
tujuan yang terpusat dan membantu pemerintah dalam pembangunan. Dalam ekonomi
monoloyalitas dan sentralistik dapat dilihat dari mulai dibentuknya
kelompok-kelompok yang semua bermuara demi kepentingan pemerintah seperti
kelompok tani dan nelayan. Sedangkan untuk politik dilakukan penyederhanaan
partai politi dan dikenal istilah yang disebut tiga dalam satu.
Kondisi
pendidikan Islam pada zaman Orde Baru lebih berkembang dibandingkan dengan
kekuasaan sebelumnya. Perbaikan pendidikan Islam dilihat dari perbaikan fisik
maupun nonfisik. Terlebih munculnya berbagai kebijakan diantaranya SKB 3
Menteri.
Faktor yang
mendorong kemajuan pendidikan Islam adalah semangkin membaiknya hubungan dan
kerja sama antar umat Islam dan Pemerintah,
semangkin bangkitnya ekonomi nasional, pola dasar Rencana Pembangunan
Lima Tahun (Repelita) Bidang Agama menjadi sasaran bidang pembangunan, dan
stabilitas negara semangkin membaik.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin, Nata, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2014.
Ahmadi, Abu, Sejarah Pendidikan. Semarang: Toha Putra. 1975.
Ali, Fachry dan Bantiar Effendy. Menambah Jalan Baru Islam : rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.1992.
Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam dalam Lintas Sejarah. Jakarta: Kencana. 2014. Hal. 211
Kasenda, Peter, Hari-hari terakhir Sukarno. Jakarta: Komunitas Bambu. 2012.
Kodir, Abdul. Sejarah Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2015.
Maksum. Madrasah: Sejarah Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999
Mudyahardjo, Redja, Pengantar Pendidikan; Sebuah studi tentang dasar-dasar pendidikan pada umumnya dan di Indonesia. Jakarta :Radja Grafindo Persada. 2013
Ramayulis. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. 2011.
Republika. Aspirasi dijawab peluru dan penjara. diakses melalui http://republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/09/17/owedm8385-priok-12-september-1984-ketika-aspirasi-dijawab-peluru-dan-penjara. pada 30 April 2018
Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern. Jakarta: Pustaka LP3ES. 1994.
Syamsuddin, M. Dien. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logo Wacana Ilmu. 2001.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2015.
Yuningsih, Heni, Kebijakan Pendidikan Islam Masa Orde Baru. JURNAL TARBIYA. Vol 1. No: 1. 2015.
0 Post a Comment:
Posting Komentar