"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Selasa, 24 Januari 2023

PENDIDIKAN AKHLAK DAN BUDI PEKERTI MEMBANGUN KEMBALI ANAK BANGSA

 

CRITICAL JOURNAL REVIEW

Prof. Dr. Azyumardi Azra

Jakarta

Rektor IAIN Syarif Hidayatullah

Nama                           : Mhd. Reza Fahlevi

NIM                            : 0331173037

Jurusan                        : Program Magister Pendidikan Agama Islam

Semester                      : I (satu)

Fakultas                       : Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan

Mata Kuliah                : Studi Akidah Akhlak

Dosen Pengampu        : Dr. Asnil Aidah Ritonga, MA

 

Munculnya kembali gagasan tentang pendidikan budi pekerti, harus diakui berkaitan erat dengan semakin berkembangnya pandangan dalam masyarakat luas, bahwa pendidikan nasional dalam berbagai jenjangnya, khusus jenjang menengah dan tinggi,”telah gagal” dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral dan budi pekerti yang baik. Lebih jauh lagi, banyak peserta didik yang dinilai tidak hanya kurang memiliki kesantunan baik disekolah, dirumah dan lingkungan masyarakat, tetapi juga sering terlibat dalam tindakan kekerasan masaal seperti tawuran, dan sebagainya. 

Pandangan simplitis menganggap, bahwa kemerosotan akhlak, moral dan etika peserta didik disebabkan gagalnya pendidikan agama disekolah. Harus diakui, dalam batas tertentu, pendidikan agama memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, sejak dari jumlah jam yang sangat minim, materi pendidikan agama yang terlalu banyak teoritis, sampai kepada pendekatan pendidikan agama yang cenderung bertumpu pada aspek kognisi dari pada afeksi dan psikomotorik peserta didik. Berhadapan dengan berbagai kendala, constraints, dan masalah-masalah seperti ini, pendidikan agama tidak atau kurang fungsional dalam membentuk akhlak, moral, dan bahkan kepribadian peserta didik.

Krisis Mentalitas dan Moral

            Masalah yang disinggung diatas, hampir bisa dipastikan hanyalah merupakan tif of eceberg dari krisis yang dihadapi pendidikan nasional umumnya. Krisis yang dihadapi kelihatannya bukan hanya menyangkut kinerja sekolah atau dunia pendidikan umunya dalam hal kualitas akademis lulusannya, tetapi juga dalam hal mentalitas, moral dan karakter. Moral dan etika, atau lebih tegas lagi karakter peserta didik. Tidak ragu lagi keberhasilan dalam mendidik dan membentuk akhlak, moral, budi pekerti, atau karakter peserta-peserta didik pada tingkat dasar dan menengah merupakan langkah paling fundamental dan dasariah dalam membentuk karakter bangsa nantinya.

Sejauh menyangku krisis mentalitas dan moral peserta didik, terdapat beberapa masalah pokok yang turut menjadi akar krisis mentalitas dan moral dilingkungan pendidikan nasional (CF Djohar 1999; Navis). Pertama, arah pendidikan telah kehilangan obyektivitas. Sekolah dan lingkungannya tidak lagi merupakan tempat peserta didik melatih diri untuk berbuat sesuatu berdasarkan nilai-nilai moral dan akhlak, di mana mereka mendapat koreksi tentang tidakan-tindakannya; salah atau benar, baik atau buruk. Dengan kata lain, mendapat kecenderungan ketidak peduliaan terhadap nilai dan moral yang dipraktekkan anak didik; terdapat keengganan di lingkungan guru untuk mendengar peserta didik yang melakukan tindakan-tindakan peserta didik yang kurang pada tempatnya. 

Kedua, proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik dilingkungan sekolah. Lembaga pendidikan kita umumnya cenderung lupa pada fungsinya sebagai tempat sosialisasi dan pembudayaan peserta didik (enkkulturisasi). Sekolah selain berfungsi pokok untuk mengisi kognisi, afeksi dan psikomotorik peserta didik, sekaligus juga bertugas untuk mempersiapkan mereka meningkatkan kemampuan merespon dan memecahkan masalah-masalah dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan demikian terjadi proses “pendewasaan” peserta didik secara bertahap dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi secara bertanggungjawab. Pemecahan masalah secara tidak bertanggungjawab, seperti melalui tawuran dan bentuk-bentuk kekerasan lain, merupakan indikator tidak terjadinya proses pendewasaan melalui sekolah.

Ketiga, proses pendidikan di sekolah sangat membelenggu peserta didik dan, bahkan juga para guru. Hal ini bukan hanya karena formalisme sekolah—bukan hanya dalam hal administrasi, tetapi juga dalam PBM—yang cenderung sangat ketat, juga karena beban kurikulum yang sangat berat (overloaded). Akibatnya, hampir tidak tersisa lagi ruang bagi para peserta didik untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas kognitis, afeksi dan psikomotoriknya. Lebih parah lagi, interaksi yang berlangsung di sekolah telah hampir kehilangan human dan personal touchnya. Jadi proses pendidikan di sekolah hampir sama dengan interaksi manusia di pabrik yang akan menghasilkan produk-produk serba mekanistis dan robotis.

Keempat, beban kurikulum yang demikian berat, lebih parah lagi, hampir sepenuhnya diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif belaka. Dan itupun disampaikan melalui pola delivery system. Pada pihak lain, ranah afeksi dan psiko motorik hampir tidak mendapat perhatian pengembangan sebaik-baiknya. Padahal pengembangan kedua ranah ini sangat penting dalam pembentukan akhlak, moral, budi pekerti atau singkatnya, watak dan karakter yang baik.

Kelima, kalaupun ada materi yang dapat menumbuhkan rasa afeksi seperti mata pelajaran agama, misalnya, umumnya disampaikan dalam bentuk verbalisme, yang juga disertai dengan rote-memorizing. Akibatnya bisa diduga, mata pelajaran agama cenderung hanya untuk sekedar untuk diketahui dan dihapalkan agar lulus ujian; tetapi tidak untuk diinternalisasikan dan dipraktekkan, sehingga betul-betul menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri setiap peserta didik. Kenyataan tidak menguntungkan ini semakin bertambah parah dengan terdapatnya kecenderungan dalam masyarakat luas, di mana terdapat diskrepansi yang cukup mencolok antara keimanan dan ketaatan formal dalam ibadah keagamaan dengan perilaku sosial.

Keenam, pada saat yang sama para peserta didik dihadapkan kepada nilai-nilai yang sering bertentangan (contradictory set of values). Pada satu pihak, mereka diajar para guru pendidikan agamanya untuk bertingkah laku yang baik; jujur, hemat, rajin, disiplin dan sebagainya, tetapi pada saat yang sama, banyak orang di lingkungan sekolah justru melakukan hal-hal seperti itu, termasuk bahkan kalangan sekolah sendiri.

Ketujuh, selain itu para peserta didik juga mengalami kesulitan dalam mencari contoh teladan yang baik (“uswah hasanah/ living moral exemplary) di lingkungannya. Mereka mungkin menemukan teladan yang baik di lingkungan sekolah, di dalam diri guru tertentu. Tetapi mereka kemudian sulit menemukan keteladanan dalam lingkungan di luar sekolah. Karena itulah dalam berbagai survei terlihat bahwa banyak remaja justru menemukan tokoh-tokoh teladan di antara tokoh-tokoh yang sudah wafat.

Ketujuah masalah tersebut jelas bukanlah daftar yang exhaustive, dan karena itu bisa ditambah banyak lagi yang lainnya. Yang jelas, kelima masalah yang dikemukakan di atas itu saling berkaitan satu sama lain. Dan, sebab itu, upaya mengatasinya tidak bisa dilakukan secara ad hocdan parsial. Bahkan dapat dikatakan, pemecahan masalah-masalah besar itu meniscayakan reformasi pendidikan nasional secara keseluruhan.

Pesan Moral dan Etika Pendidikan

Bagaimanapun, krisis mentalitas, moral dan karakter anak didik jelas berkaitan dengan krisis-krisis lain yang dihadapi pendidikan nasional kita umunya. Karena itu, kalau kita mau menilai secara lebih adil dan fair—meskipun makro—krisis mentalitas dan moral peserta didik merupakan cermin dari krisis lebih luas, yang terdapat dan berakar kuat dalam masyarakat umunya. Dengan kata lain, krisis mentalitas dan moral di antara peserta didik pada berbagai jenjang pendidikan---khususnya jenjang menengah dan tinggi—bagaimanapun, merupakan cermin dari krisis mentalitas dan moral dalam measyarakat lebih luas. Sebab itu pula, bisa pula diasumsikan, bahwa upaya mengatasi krisis seperti itu, tidak memadai jika dilakukan hanya di lingkungan sekolah. Kita harus menyembuhkan krisis mental dan moral dalam masyarakat luas; dalam rumahtangga dan lingkungan lainnya.

Meski demikian, sekolah bukan tidak berkewajiban untuk memulai upaya mengatasi krisis mentalitas dan moral itu, setidaknya dengan memulainya di lingkungannya sendiri. Walaupun upaya itu belum tentu dapat menyembuhkan semua krisis, tetapi karena sekolah memiliki posisi yang sangat strategis dalam masyarakat, upaya sekolah dapat menjadi titik pusat dan awal dari usaha penyembuhan krisis dalam masyarakat kita secara menyeluruh.

Dalam konteks ini, saya memandang relevan mengutif “World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action” (UNESCO 1998). Dalam deklarasikan yang dirumuskan pada “World Conference on Higher Education” (Paris, 5-9 Oktober 1998) menyangkut missi dan fungsi pendidikan , dalam hal ini perguruan tinggi, antara lain, dinyatakan; bahwa perguruan tinggi juga memiliki missi dan fungsi untuk membantu melindungi dan memperkut nilai-nilai sosial dengan melatih anak-anak muda dalam nilai-nilai yang membentuk dasar kewargaan demokratis; dan dengan memberikan perspektif kritis dan tidak bias guna membantu dalam pembahasan tentang pilihan-pilihan strategis, dan penguatan perspektif humanistik.

Dilihat dari segi ini, hemat saya, pendidikan—termasuk di perguruan tinggi—bertugas mengembangkan setidak-tidaknya lima bentuk kecerdasan: Pertama, kecerdasan entelektual; kedua, kecerdasan emosional; ketiga, kecerdasan praktikal; keempat, kecerdasan sosial; dan kelima, kecerdasan spritual dan moral. Kelima bentuk kecerdasan ini harus dikembangkan secara simultan; dan jika berhasil dilaksanakan dengan baik, akan mampu menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, praktikal, sosial, dan spiritual moral.

Membentuk Budi pekerti; Membangun Karakter

Usulan tentang pendidikan budi pekerti bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan sebelumnya pelajaran agama menjadi mata pelajaran wajib, dalam rencana pelajaran pada 1947, yang ada hanyalah mata pelajaran “didikan budi pekerti”, yang bersumber dari nilai-nilai tradisional, khsusunya yang terdapat dalam cerita pewayangan. Sejak 1950 (UU No. 4/1950 dan UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan), pendidikan agama masuk sebagai mata pelajaran fakultatif. Artinya, ia merupakan mata pelajaran optional, yang boleh diambil atas keputusannya sendiri. Hal yang sama juga ditetapkan dalam Tap MPRS No. II/1960 dan Tap MPRS No. XXII/1966 dengan penegasan, bahwa pendidikan agama diselenggarakan sejak dari SD sampai perguruan tinggi.

Dengan meningkat dan semakin pentingnya mata pelajaran/mata kuliah pendidikan agama, maka pendidikan budi pekerti semakin marjinal. Setelah perdebatan yang cukup intens antara pihak Depdikbud dan Depag, akhirnya sejak 1975, pendidikan budi pekerti diintegrasikan ke dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (Civics), yang kemudian menjadi mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dalam Kurikulum 1984, Moral Pancasila diintegrasikan ke dalam empat mata pelajaran: PMP, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), P4, dan Sejarah Nasional. Terakhir menurut Kurikulum 1994, subyek ini tercakup ke dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dengan menghilangkan mata pelajaran budi pekerti, masalah-masalah bangsa yang kian kompleks juga memunculkan masalah-masalah akhlak dan moral di kalangan peserta didik pada berbagai levelnya. Sekali lagi, pikiran dan logika yang sedikit simplistis menganggap masalah ini disebabkan lenyapnya pendidikan budi pekerti dan, karena “kegagalan” pendidikan agama. Karena inilah berbagai pihak menghidupkan kembali wacana tentang pendidikan budi pekerti. Berbagai pihak, seperti Depdikbud dan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) membahas masalah pendidikan budi pekerti ini, dan kemudian menerbitkan semacam pedoman bagi pendidikan budi pekerti (lihat bibliografi).

Kesimpulan dan rekomendasi penting dari wacana tersebut adalah; pertama, bahwa pendidikan budi pekerti bukan tanggung jawab sekolah saja, tetapi juga tangung jawab kelurga dan lingkungan sosial lebih luas. Jadi, meski sekolah misalnya menyelenggarakan pendidikan budi pekerti, tetapi lingkungan masyarakat tidak atau kurang baik, maka pendidikan budi pekerti di sekolah akan tidak banyak artinya. Kedua, pendidikan budi pekerti sesungguhnya telah terkadung dalam pendidikan agama dan matapelajaran-matapelajaran lain. Tetapi kandungan “budi pekerti” tersebut tidak bias teraktualisasikan karena adanya kelemahan mata pelajaran agama dalam segi metode maupun muatan yang lebih menekankan pengisian aspek kognitif daripada aspek afektif (budi pekerti). Meski BPPN dan Depdikbud telah membincangkan dan merumuskan pesoalan ini sejak 1995, tetapi harus diakui belum tercapai kesepakatan tuntas tentang epndidikan budi pekerti.

Dalam perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan krisis ekonomi dan politik Indonesia yang juga memicu peninjauan ulang terhadap pendidikan nasional, maka perdebatan tentang pendidikan budi pekerti kembali menjadi wacana publik. Tetapi, sekali lagi hasil perumusan Depdiknas (2000) dan Depag (2000) menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti bukan menjadi mata pelajaran tersendiri (monolitik), tetapi merupakan program pendidikan terpadu yang memerlukan perilaku, keteladanan, pembiasan, bimbingan dan penciptaan lingkungan yang kondusif. Pendidikan budi pekerti dengan demikian diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran dan program pendidikan, seperti pendidikan agama dan PPKN. Seperti dapat terlihat, rincian nilai-nilai budi pekerti yang diberikan Depdiknas dan Depag pada intinya merupakan nilai-nilai keagamaan dan akhlak, yang secara sosial dan kultural dipandang dan diakui sebagai nilai-nilai luhur bangsa. Sekali lagi, rumusan-rumusan ini menekankan bahwa pendidikan budi pekerti yang integratif tersebut merupakan tanggungjawab seluruh pihak; sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat. Meski demikian, dalam pendidikan budi pekerti peserta didik, dan akhirnya, pembentukan karakter anak-anak bangsa, sekolah dapat dan harus melakukan “sesuatu” sebagaimana disarankan berikut ini.

Pertama, menerapkan pendekatan “modelling” dan “exemplary”. Yakni mencoba dan membiasakan peserta didik dan lingkungan pendidikan secara keseluruhan untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai yang benar dengan memberikan model atau teladan. Dalam hal ini, setiap guru, tenaga administrasi dan lain-lain di lingkungan sekolah haruslah menjadi “contoh teladan yang hidup” bagi para peserta didik. Selain itu mereka harus siap untuk bersikap terbuka dan mendiskusikan nilai-nilai yang baik tersebut dengan para peserta didik. Dengan demikian terjadi proses internalisasi intelektual bagi peserta didik.

Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik atau buruk. Ini bisa dilakukan dengan langkah-langkah: memberi ganjaran (prizing) dan menumbuh suburkan (cherising) nilai-nilai baik; secara terbuka dan kontinu menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk; memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternarif sekap dan tindakan melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang berbagai konsekuensi dan setiap pilihan sikap dan tindakan; senantiasa membiasakan bersikap dan bertindak atas niat baik, dan tujuan-tujuan ideal; membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik, yang diualngi terus menerus, dan konsisten.

Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character based education). Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan sebisa mungkin memasukkan character based approach ke dalam setiap pelajaran yang ada. Atau melakukan reorientasi baru baik dari segi isi dan pendekatan terhadap matapelajaran yang relevan atau berkaitan, seperti mata pelajaran pendidikan agama dan PPKN. Bahkan dalam rumusan Diknas (2000), bias pula mencakup pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Penjaskes, KTK, dan mata pelajaran muatan local. Sekali lagi, beberapa poin yang ditawarkan di atas juga tidaklah exhaustive; banyak yang bisa ditambahkan. Tetapi jelas, poin-poin itu bukanlah instant solution. Selain apa yang diajukan di atas, masih panjang jalan yang harus kita tempuh.

Uraian diatas menjelaskan betapa pentingnya membentuk akhlak dan budi pekerti peserta didik baik didalam lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Akhlak merupakan identitas seseorang baik atau turuknya seseorang ditentukan oleh akhlak seseorang tersebut.

1.  Tujuan Penulisan : Adanya penulisan ini diharapkan dapat menyadarkan kita kembali dimana akhlak merupakan tombak hidup yang sangat penting dalam menjalani  aktivitas sehari-hari, yang akan menentukan identitas seseorang, baik itu pendidik maupun peserta didik. Semoga bisa menjadi renungan untuk memperbaiki cara mendidik anak dengan baik, dan mengevaluasi pembelajaran yang telah selesai.

2.  Kelebihan : Memiliki muatan yang luas dan padat sehingga dapat menjadi masukan bagi pendidik untuk mengubah cara mendidik akhlak anak, terlebih lagi didalamnya terkandung makna yang dalam yang dapat memotivasi bagi pembacanya.

3.      Kekuatan  : Memiliki jangkauan yang sangat luas.

4.   Kekurangan : Tidak adanya abstrak dan dalil-dalil penguat tulisan ini berhubung tulisan ini mengenai tentang akhlak dan budi pekerti hendaknya dimasukkan dalil Al-Quran dan hadits.

Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar

Pengikut

Arsip Blog

Definition List

Unordered List

Support