CRITICAL JOURNAL REVIEW
Prof. Dr.
Azyumardi Azra
Jakarta
Rektor IAIN Syarif Hidayatullah
Nama : Mhd. Reza Fahlevi
NIM :
0331173037
Jurusan : Program Magister
Pendidikan Agama Islam
Semester : I (satu)
Fakultas : Ilmu Tarbiyah Dan
Keguruan
Mata
Kuliah : Studi Akidah
Akhlak
Dosen
Pengampu : Dr. Asnil Aidah Ritonga,
MA
Munculnya kembali gagasan tentang
pendidikan budi pekerti, harus diakui berkaitan erat dengan semakin
berkembangnya pandangan dalam masyarakat luas, bahwa pendidikan nasional dalam
berbagai jenjangnya, khusus jenjang menengah dan tinggi,”telah gagal” dalam
membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral dan budi pekerti yang baik.
Lebih jauh lagi, banyak peserta didik yang dinilai tidak hanya kurang memiliki
kesantunan baik disekolah, dirumah dan lingkungan masyarakat, tetapi juga
sering terlibat dalam tindakan kekerasan masaal seperti tawuran, dan
sebagainya.
Pandangan simplitis menganggap,
bahwa kemerosotan akhlak, moral dan etika peserta didik disebabkan gagalnya
pendidikan agama disekolah. Harus diakui, dalam batas tertentu, pendidikan
agama memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, sejak dari jumlah jam yang sangat
minim, materi pendidikan agama yang terlalu banyak teoritis, sampai kepada
pendekatan pendidikan agama yang cenderung bertumpu pada aspek kognisi dari
pada afeksi dan psikomotorik peserta didik. Berhadapan dengan berbagai kendala,
constraints, dan masalah-masalah seperti ini, pendidikan agama tidak
atau kurang fungsional dalam membentuk akhlak, moral, dan bahkan kepribadian
peserta didik.
Krisis Mentalitas dan Moral
Masalah yang
disinggung diatas, hampir bisa dipastikan hanyalah merupakan tif of eceberg
dari krisis yang dihadapi pendidikan nasional umumnya. Krisis yang dihadapi
kelihatannya bukan hanya menyangkut kinerja sekolah atau dunia pendidikan
umunya dalam hal kualitas akademis lulusannya, tetapi juga dalam hal
mentalitas, moral dan karakter. Moral dan etika, atau lebih tegas lagi karakter
peserta didik. Tidak ragu lagi keberhasilan dalam mendidik dan membentuk
akhlak, moral, budi pekerti, atau karakter peserta-peserta didik pada tingkat
dasar dan menengah merupakan langkah paling fundamental dan dasariah dalam
membentuk karakter bangsa nantinya.
Sejauh menyangku krisis mentalitas dan moral
peserta didik, terdapat beberapa masalah pokok yang turut menjadi akar krisis
mentalitas dan moral dilingkungan pendidikan nasional (CF Djohar 1999; Navis). Pertama,
arah pendidikan telah kehilangan obyektivitas. Sekolah dan lingkungannya tidak
lagi merupakan tempat peserta didik melatih diri untuk berbuat sesuatu
berdasarkan nilai-nilai moral dan akhlak, di mana mereka mendapat koreksi
tentang tidakan-tindakannya; salah atau benar, baik atau buruk. Dengan kata lain,
mendapat kecenderungan ketidak peduliaan terhadap nilai dan moral yang
dipraktekkan anak didik; terdapat keengganan di lingkungan guru untuk mendengar
peserta didik yang melakukan tindakan-tindakan peserta didik yang kurang pada
tempatnya.
Kedua, proses
pendewasaan diri tidak berlangsung baik dilingkungan sekolah. Lembaga
pendidikan kita umumnya cenderung lupa pada fungsinya sebagai tempat
sosialisasi dan pembudayaan peserta didik (enkkulturisasi). Sekolah
selain berfungsi pokok untuk mengisi kognisi, afeksi dan psikomotorik peserta
didik, sekaligus juga bertugas untuk mempersiapkan mereka meningkatkan
kemampuan merespon dan memecahkan masalah-masalah dirinya sendiri maupun orang
lain. Dengan demikian terjadi proses “pendewasaan” peserta didik secara
bertahap dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi secara bertanggungjawab.
Pemecahan masalah secara tidak bertanggungjawab, seperti melalui tawuran dan
bentuk-bentuk kekerasan lain, merupakan indikator tidak terjadinya proses
pendewasaan melalui sekolah.
Ketiga, proses
pendidikan di sekolah sangat membelenggu peserta didik dan, bahkan juga para
guru. Hal ini bukan hanya karena formalisme sekolah—bukan hanya dalam hal
administrasi, tetapi juga dalam PBM—yang cenderung sangat ketat, juga karena
beban kurikulum yang sangat berat (overloaded). Akibatnya, hampir tidak
tersisa lagi ruang bagi para peserta didik untuk mengembangkan imajinasi dan
kreativitas kognitis, afeksi dan psikomotoriknya. Lebih parah lagi, interaksi
yang berlangsung di sekolah telah hampir kehilangan human dan personal
touchnya. Jadi proses pendidikan di sekolah hampir sama dengan interaksi
manusia di pabrik yang akan menghasilkan produk-produk serba mekanistis dan
robotis.
Keempat, beban kurikulum
yang demikian berat, lebih parah lagi, hampir sepenuhnya diorientasikan pada
pengembangan ranah kognitif belaka. Dan itupun disampaikan melalui pola delivery
system. Pada pihak lain, ranah afeksi dan psiko motorik hampir tidak
mendapat perhatian pengembangan sebaik-baiknya. Padahal pengembangan kedua
ranah ini sangat penting dalam pembentukan akhlak, moral, budi pekerti atau
singkatnya, watak dan karakter yang baik.
Kelima, kalaupun
ada materi yang dapat menumbuhkan rasa afeksi seperti mata pelajaran agama,
misalnya, umumnya disampaikan dalam bentuk verbalisme, yang juga disertai
dengan rote-memorizing. Akibatnya bisa diduga, mata pelajaran agama
cenderung hanya untuk sekedar untuk diketahui dan dihapalkan agar lulus ujian;
tetapi tidak untuk diinternalisasikan dan dipraktekkan, sehingga betul-betul
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri setiap peserta didik. Kenyataan
tidak menguntungkan ini semakin bertambah parah dengan terdapatnya
kecenderungan dalam masyarakat luas, di mana terdapat diskrepansi yang cukup
mencolok antara keimanan dan ketaatan formal dalam ibadah keagamaan dengan
perilaku sosial.
Keenam, pada
saat yang sama para peserta didik dihadapkan kepada nilai-nilai yang sering
bertentangan (contradictory set of values). Pada satu pihak, mereka
diajar para guru pendidikan agamanya untuk bertingkah laku yang baik; jujur,
hemat, rajin, disiplin dan sebagainya, tetapi pada saat yang sama, banyak orang
di lingkungan sekolah justru melakukan hal-hal seperti itu, termasuk bahkan
kalangan sekolah sendiri.
Ketujuh, selain
itu para peserta didik juga mengalami kesulitan dalam mencari contoh teladan
yang baik (“uswah hasanah”/ living moral exemplary) di
lingkungannya. Mereka mungkin menemukan teladan yang baik di lingkungan
sekolah, di dalam diri guru tertentu. Tetapi mereka kemudian sulit menemukan
keteladanan dalam lingkungan di luar sekolah. Karena itulah dalam berbagai
survei terlihat bahwa banyak remaja justru menemukan tokoh-tokoh teladan di
antara tokoh-tokoh yang sudah wafat.
Ketujuah masalah tersebut jelas
bukanlah daftar yang exhaustive, dan karena itu bisa ditambah banyak
lagi yang lainnya. Yang jelas, kelima masalah yang dikemukakan di atas itu
saling berkaitan satu sama lain. Dan, sebab itu, upaya mengatasinya tidak bisa
dilakukan secara ad hocdan parsial. Bahkan dapat dikatakan, pemecahan
masalah-masalah besar itu meniscayakan reformasi pendidikan nasional secara
keseluruhan.
Pesan Moral dan Etika Pendidikan
Bagaimanapun, krisis mentalitas,
moral dan karakter anak didik jelas berkaitan dengan krisis-krisis lain yang
dihadapi pendidikan nasional kita umunya. Karena itu, kalau kita mau menilai
secara lebih adil dan fair—meskipun makro—krisis mentalitas dan moral
peserta didik merupakan cermin dari krisis lebih luas, yang terdapat dan
berakar kuat dalam masyarakat umunya. Dengan kata lain, krisis mentalitas dan
moral di antara peserta didik pada berbagai jenjang pendidikan---khususnya
jenjang menengah dan tinggi—bagaimanapun, merupakan cermin dari krisis
mentalitas dan moral dalam measyarakat lebih luas. Sebab itu pula, bisa pula
diasumsikan, bahwa upaya mengatasi krisis seperti itu, tidak memadai jika
dilakukan hanya di lingkungan sekolah. Kita harus menyembuhkan krisis mental
dan moral dalam masyarakat luas; dalam rumahtangga dan lingkungan lainnya.
Meski demikian, sekolah bukan tidak
berkewajiban untuk memulai upaya mengatasi krisis mentalitas dan moral itu,
setidaknya dengan memulainya di lingkungannya sendiri. Walaupun upaya itu belum
tentu dapat menyembuhkan semua krisis, tetapi karena sekolah memiliki posisi
yang sangat strategis dalam masyarakat, upaya sekolah dapat menjadi titik pusat
dan awal dari usaha penyembuhan krisis dalam masyarakat kita secara menyeluruh.
Dalam konteks ini, saya memandang
relevan mengutif “World Declaration on Higher Education for the Twenty-First
Century: Vision and Action” (UNESCO 1998). Dalam deklarasikan yang
dirumuskan pada “World Conference on Higher Education” (Paris, 5-9
Oktober 1998) menyangkut missi dan fungsi pendidikan , dalam hal ini perguruan
tinggi, antara lain, dinyatakan; bahwa perguruan tinggi juga memiliki missi dan
fungsi untuk membantu melindungi dan memperkut nilai-nilai sosial dengan
melatih anak-anak muda dalam nilai-nilai yang membentuk dasar kewargaan
demokratis; dan dengan memberikan perspektif kritis dan tidak bias guna
membantu dalam pembahasan tentang pilihan-pilihan strategis, dan penguatan
perspektif humanistik.
Dilihat dari segi ini, hemat saya,
pendidikan—termasuk di perguruan tinggi—bertugas mengembangkan setidak-tidaknya
lima bentuk kecerdasan: Pertama, kecerdasan entelektual; kedua, kecerdasan
emosional; ketiga, kecerdasan praktikal; keempat, kecerdasan
sosial; dan kelima, kecerdasan spritual dan moral. Kelima bentuk
kecerdasan ini harus dikembangkan secara simultan; dan jika berhasil
dilaksanakan dengan baik, akan mampu menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang
bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional,
praktikal, sosial, dan spiritual moral.
Membentuk Budi pekerti; Membangun Karakter
Usulan tentang pendidikan budi
pekerti bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan sebelumnya pelajaran agama menjadi
mata pelajaran wajib, dalam rencana pelajaran pada 1947, yang ada hanyalah mata
pelajaran “didikan budi pekerti”, yang bersumber dari nilai-nilai tradisional,
khsusunya yang terdapat dalam cerita pewayangan. Sejak 1950 (UU No. 4/1950 dan
UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan), pendidikan agama masuk sebagai
mata pelajaran fakultatif. Artinya, ia merupakan mata pelajaran optional,
yang boleh diambil atas keputusannya sendiri. Hal yang sama juga ditetapkan
dalam Tap MPRS No. II/1960 dan Tap MPRS No. XXII/1966 dengan penegasan, bahwa
pendidikan agama diselenggarakan sejak dari SD sampai perguruan tinggi.
Dengan meningkat dan semakin
pentingnya mata pelajaran/mata kuliah pendidikan agama, maka pendidikan budi
pekerti semakin marjinal. Setelah perdebatan yang cukup intens antara pihak
Depdikbud dan Depag, akhirnya sejak 1975, pendidikan budi pekerti
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (Civics),
yang kemudian menjadi mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dalam
Kurikulum 1984, Moral Pancasila diintegrasikan ke dalam empat mata pelajaran:
PMP, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), P4, dan Sejarah Nasional.
Terakhir menurut Kurikulum 1994, subyek ini tercakup ke dalam mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dengan menghilangkan mata pelajaran budi pekerti,
masalah-masalah bangsa yang kian kompleks juga memunculkan masalah-masalah
akhlak dan moral di kalangan peserta didik pada berbagai levelnya. Sekali lagi,
pikiran dan logika yang sedikit simplistis menganggap masalah ini disebabkan
lenyapnya pendidikan budi pekerti dan, karena “kegagalan” pendidikan agama.
Karena inilah berbagai pihak menghidupkan kembali wacana tentang pendidikan
budi pekerti. Berbagai pihak, seperti Depdikbud dan Badan Pertimbangan
Pendidikan Nasional (BPPN) membahas masalah pendidikan budi pekerti ini, dan
kemudian menerbitkan semacam pedoman bagi pendidikan budi pekerti (lihat
bibliografi).
Kesimpulan dan rekomendasi penting
dari wacana tersebut adalah; pertama, bahwa pendidikan budi pekerti
bukan tanggung jawab sekolah saja, tetapi juga tangung jawab kelurga dan
lingkungan sosial lebih luas. Jadi, meski sekolah misalnya menyelenggarakan
pendidikan budi pekerti, tetapi lingkungan masyarakat tidak atau kurang baik,
maka pendidikan budi pekerti di sekolah akan tidak banyak artinya. Kedua, pendidikan
budi pekerti sesungguhnya telah terkadung dalam pendidikan agama dan
matapelajaran-matapelajaran lain. Tetapi kandungan “budi pekerti” tersebut
tidak bias teraktualisasikan karena adanya kelemahan mata pelajaran agama dalam
segi metode maupun muatan yang lebih menekankan pengisian aspek kognitif
daripada aspek afektif (budi pekerti). Meski BPPN dan Depdikbud telah
membincangkan dan merumuskan pesoalan ini sejak 1995, tetapi harus diakui belum
tercapai kesepakatan tuntas tentang epndidikan budi pekerti.
Dalam perkembangan selanjutnya, berkaitan
dengan krisis ekonomi dan politik Indonesia yang juga memicu peninjauan ulang
terhadap pendidikan nasional, maka perdebatan tentang pendidikan budi pekerti
kembali menjadi wacana publik. Tetapi, sekali lagi hasil perumusan Depdiknas
(2000) dan Depag (2000) menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti bukan
menjadi mata pelajaran tersendiri (monolitik), tetapi merupakan program
pendidikan terpadu yang memerlukan perilaku, keteladanan, pembiasan, bimbingan
dan penciptaan lingkungan yang kondusif. Pendidikan budi pekerti dengan
demikian diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran dan program pendidikan,
seperti pendidikan agama dan PPKN. Seperti dapat terlihat, rincian nilai-nilai
budi pekerti yang diberikan Depdiknas dan Depag pada intinya merupakan
nilai-nilai keagamaan dan akhlak, yang secara sosial dan kultural dipandang dan
diakui sebagai nilai-nilai luhur bangsa. Sekali lagi, rumusan-rumusan ini
menekankan bahwa pendidikan budi pekerti yang integratif tersebut merupakan
tanggungjawab seluruh pihak; sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat. Meski
demikian, dalam pendidikan budi pekerti peserta didik, dan akhirnya,
pembentukan karakter anak-anak bangsa, sekolah dapat dan harus melakukan
“sesuatu” sebagaimana disarankan berikut ini.
Pertama, menerapkan pendekatan “modelling” dan “exemplary”.
Yakni mencoba dan membiasakan peserta didik dan lingkungan pendidikan secara
keseluruhan untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai yang benar dengan
memberikan model atau teladan. Dalam hal ini, setiap guru, tenaga administrasi
dan lain-lain di lingkungan sekolah haruslah menjadi “contoh teladan yang
hidup” bagi para peserta didik. Selain itu mereka harus siap untuk bersikap
terbuka dan mendiskusikan nilai-nilai yang baik tersebut dengan para peserta
didik. Dengan demikian terjadi proses internalisasi intelektual bagi peserta
didik.
Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan secara terus menerus tentang
berbagai nilai yang baik atau buruk. Ini bisa dilakukan dengan langkah-langkah:
memberi ganjaran (prizing) dan menumbuh suburkan (cherising)
nilai-nilai baik; secara terbuka dan kontinu menegaskan nilai-nilai yang baik
dan buruk; memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai
alternarif sekap dan tindakan melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang
berbagai konsekuensi dan setiap pilihan sikap dan tindakan; senantiasa
membiasakan bersikap dan bertindak atas niat baik, dan tujuan-tujuan ideal;
membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik, yang diualngi
terus menerus, dan konsisten.
Ketiga, menerapkan
pendidikan berdasarkan karakter (character based education). Hal ini
bisa dilakukan antara lain dengan sebisa mungkin memasukkan character based
approach ke dalam setiap pelajaran yang ada. Atau melakukan reorientasi
baru baik dari segi isi dan pendekatan terhadap matapelajaran yang relevan atau
berkaitan, seperti mata pelajaran pendidikan agama dan PPKN. Bahkan dalam
rumusan Diknas (2000), bias pula mencakup pelajaran Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA, IPS, Penjaskes, KTK, dan mata pelajaran muatan local. Sekali
lagi, beberapa poin yang ditawarkan di atas juga tidaklah exhaustive; banyak
yang bisa ditambahkan. Tetapi jelas, poin-poin itu bukanlah instant solution.
Selain apa yang diajukan di atas, masih panjang jalan yang harus kita
tempuh.
Uraian diatas menjelaskan betapa pentingnya
membentuk akhlak dan budi pekerti peserta didik baik didalam lingkungan sekolah
maupun lingkungan masyarakat. Akhlak merupakan identitas seseorang baik atau
turuknya seseorang ditentukan oleh akhlak seseorang tersebut.
1. Tujuan Penulisan : Adanya penulisan ini diharapkan dapat
menyadarkan kita kembali dimana akhlak merupakan tombak hidup yang sangat
penting dalam menjalani aktivitas
sehari-hari, yang akan menentukan identitas seseorang, baik itu pendidik maupun
peserta didik. Semoga bisa menjadi renungan untuk memperbaiki cara mendidik
anak dengan baik, dan mengevaluasi pembelajaran yang telah selesai.
2. Kelebihan :
Memiliki muatan yang luas dan padat sehingga dapat menjadi masukan bagi
pendidik untuk mengubah cara mendidik akhlak anak, terlebih lagi didalamnya
terkandung makna yang dalam yang dapat memotivasi bagi pembacanya.
3.
Kekuatan : Memiliki jangkauan yang sangat
luas.
4. Kekurangan : Tidak adanya abstrak dan
dalil-dalil penguat tulisan ini berhubung tulisan ini mengenai tentang akhlak
dan budi pekerti hendaknya dimasukkan dalil Al-Quran dan hadits.
0 Post a Comment:
Posting Komentar