"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Selasa, 24 Januari 2023

Paradigma Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Analisis berbagai Kritik terhadap PAI)

 Rekayasa Ide : Mhd. Reza Fahlevi, M.Pd

Abstrak

Pendidikan Agama Islam saat ini cenderung masih memiliki kelemahan, sehingga membutuhkan gagasan atau pengembangan untuk kemajuan ilmu pendidikan agama Islam. Pada mulanya Pendidikan Agama Islam, khususnya di Indonesia di berikan dalam surau-surau (masjid), tapi sekarang sudah berkembang dalam sebuah wadah yang terorganisir dan tertata dengan rapi yaitu madrasah. Selain madrasah yang notabennya memang berbasis agama, pendidikan agama Islam juga masuk dalam kurikulum pendidikan umum, walaupun tidak sebanyak d madrasah ilmu agama yang disampaikan. Karena ilmu pendidikan agama Islam adalah ilmu yang masih berupaya untuk berkembang, tidak heran kalau masih banyak kritik yang mengarah pada pendidikan agama Islam.

Kata Kunci: Pendidikan Agama Islam, Sekolah, dan Pengembangan

PENDAHULUAN

Atas dasar kepercayaan Bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia benar-benar selaras dalam hubungan dengan-Nya, sesama manusia dan alam sekitarnya, memiliki kemantapan keseimbangan dalam kehidupan lahiriah, serta mempunyai jiwa yang dinamis dan semangat gotong-royong. Uraian ini menggambarkan eratnya hubungan antara agama dan masyarakat beserta segala aspeknya, sehingga memperkuat pendapat bahwa agama selain berfungsi sebagai dimensi masyarakat juga berfungsi sebagai dimensi kebudayaan. Oleh karenanya, sangatlah wajar jika agama wajib diteruskan, ditanamkan, dan dikembangkan melalui pendidikan dan dipelajari di sekolah.

Akan tetapi, pendidikan agama saat ini menuai berbagai kritikan yang tajam karena ketidakmampuannya dalam menanggulangi berbagai isu penting dalam kehidupan masyarakat, seperti menghargai kepercayaan dan keragaman kultural yang beraneka ragam yang sering melahirkan ketidakharmonisan dan konflik berbau SARA. Sejumlah persoalan tersebut terkait dengan penyelenggaraan pendidikan agama di lapangan, sehingga peran dan keefektifannya dipertanyakan. Karena dalam mata pelajaran agama dan akhlak mulia, misalnya dikatakan “dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama” tapi kenyataannya masih jauh dari harapan. Masih banyak anak yang berperiaku kurang mulia dan berbudi pekerti baik.

Di samping itu, pendidikan agama di sekolah juga dipandang belum mampu menjadi roh atau semangat yang mendorong pertumbuhan harmoni kehidupan dalam kehidupan sehari-hari. Akan menjadi tidak adil bila munculnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan hanya ditimpakan kepada pendidikan agama di sekolah, sebab pendidikan agama bukan satu-satunya faktor pembentuk watak dan kepribadian peserta didik, namun kenyataannya peran guru agama sebagai pengembang kurikulum sangat besar berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian peseta didik.

    

KAJIAN TEORI

A.    Kurikulum Pendidikan Islam

Dalam konteks pendidikan Islam kurikulum dapat diartikan sebagai seperangkat rencana, tujuan, isi dan bahan ajar serta cara yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya kearah tujuan tertinggi pendidikan Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Syamsul Bahri Tanrere memberikan pengertian kurikulum pendidikan Islam adalah semua kegiatan, pengetahuan, pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam. Materi dalam kurikulum pendidikan Islam menurutnya meliputi tiga pokok persoalan yaitu keimanan (akidah), keislaman (syariah), ihsan (akhlak).

Dari pengertian di atas dapat di ambil benang merah bahwa pendidikan Islam adalah seperangkat rencana, tujuan, isi dan bahan ajar yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didik mencapai tujuan pendidikan Islam yang mencakup tiga aspek pokok yaitu Keimanan (akidah), keislaman (syariah), dan ihsan (akhlak).

Pada intinya ciri khas kurikulum dalam pendidikan Islam memiliki pertautan sempurna dengan agama. Oleh karena itu setiap hal yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk tujuan, isi, metode pembelajaran dan sebagainya yang berlaku dalam pendidikan haruslah berdasarkan agama, akhlak Islam, serta terisi dengan ruh ajaran Islam. Hal yang membedakan kurikulum dalam pendidikan Islam dengan umum terletak pada konsepnya yaitu dalam proses pendidikan Islam mengacu pada konseptualisasi manusia paripurna (insan kamil).

Adapun ciri kurikulum pendidikan Islam selalu memiliki keterkaitan dengan Al Qur’an dan Hadist. Al-Syaibani merinci ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam sebagai berikut: (1) Mengedepankan dan mengutamakan agama dan akhlak dalam berbagai tujuannya. (2) Cakupan kurikulum bersifat menyeluruh yang mencerminkan semangat pemikiran dan ajaran Islam dan menjangkau semua aspek kehidupan. (3) Mempunyai keseimbangan yang relative di dalam muatan keilmuannya.

B.    Kelebihan dan Kelemahan Kurikulum Pendidikan Islam

Kurikulum pendidikan Islam selain memiliki kelebihan juga ada beberapa kelemahan yang harus dibenahi. Menurut Ichlasul Amal, kurikulum pendidikan Islam yang harus dibenahi antara lain: 

1.  Pendidikan seyogyanya diarahkan pada studi kritis tentang al Qur’an, sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi pada lingkup penemuan (context of discovery) bukan sekedar pembenahan hasil-hasil yang telah dicapai (context of justification).

2.   Pendidikan agama Islam seyogyanya mampu mengikuti perubahan sosial yang terjadi sangat cepat sehingga norma agama selalu dipergunakan secara konsisten dalam pengambilan keputusan.

3.  Materi pendidikan seyogyanya didasarkan pada tiga pilar utama yakni landasan aksiologis, epistemologis, dan ontologis.

4.  Pendidikan Islam tidak hanya menyentuh ranah kognitif, tetapi juga harus menyentuh ranah afektif dan psikomotorik. Karena agama bukan hanya system pengetahuan tetapi juga system normative dan tauhid.

C.    Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah

Mengutip pendapat Audrey dan Howard Nichools, Oemar Hamalik mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum (curriculum development) adalah the planning of learning opportunities intended to bring about certain desired in pupils, and assessment of the extend to which these changes have taken place. Artinya, pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa peserta didik ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan serta menilai hingga sejauh mana perubahan itu telah terjadi pada diri peserta didik. Adapun yang dimaksud kesempatan belajar (learning opportunities) adalah hubungan yang telah direncanakan dan terkontrol antara peserta didik, guru, bahan dan peralatan serta lingkungan belajar. Semua kesempatan belajar yang direncanakan oleh guru bagi para peserta didik sesungguhnya adalah kurikulum itu sendiri.

Pengembangan kurikulum merupakan sesuatu hal yang dapat terjadi kapan saja sesuai dengan kebutuhan. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa merupakan hal-hal yang harus segera ditanggapi dan dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum pada setiap jenjang pendidikan.

Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. Rumusan tersebut menunjukkan, faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penyusunan suatu kurikulum, ialah:

1.   Tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi tujuan-tujuan institusional, selanjutnya dirinci menjadi tujuan kurikuler yang pada gilirannya dirumuskan menjadi tujuan-tujuan nstruksional (umum dan khusus), yang mendasari perencanaan pengajaran

2.  Tahap perkembangan peserta didik merupakan landasan psikologis yang mencakup psikologi perkembangan dan psikologi belajar, yang mengacu pada proses pembelajaran.

3.  Kesesuaian dengan lingkungan menunjuk pada landasan sosiologis (kemasyarakatan) atau lingkungan social masyarakat dibarengi oleh landasan bioekologis atau kultur ekologis.

4.   Kebutuhan pembangunan nasional yang mencakup pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan semua sector ekonomi.

5.   Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesesuaian merupakan landasan budaya bangsa dengan multidimensionalnya. 

6.  Jenis dan jenjang satuan pendidikan merupakan landasan organisator di bidang pendidikan. Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya.

            Menurut hasil kajian Muhaimin paradigma pengembangan pendidikan Islam ada tiga peta paradigma yaitu: paradigma dikotomis, dalam paradigma ini aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana. Pendidikan Islam seolah-olah hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual sementara kehidupan ekonomi, politik, social, budaya, dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi bidang pendidikan non agama.


Paradigma mekanisme
, yang memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek dan pendidikan dianggap sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan yang masing-masing bergerak menurut fungsinya. Dalam konteks ini sekolah selama ini masih menjalankan proses sekularisasi ilmu yakni pemisah antara ilmu agama dengan pengetahuan. Nilai keimanan dan ketaqwaan seolah hanya bagian dari mata pelajaran PAI, sementara mata pelajaran lain mengajarkan bidang ilmu seolah tidak ada hubungannya dengan masalah nilai keimanan dan ketaqwaan. Contohnya adalah mata pelajaran agama yang hanya diberikan 2 atau 3 jam perminggu dan didudukkan sebagai mata pelajaran umum.

Paradigma organism, dalam konteks pendidikan Islam, paradigma organism bertolak dari pandangan bahwa aktifitas kependidikan merupakan suatu system yang terdiri dari komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja bersama secara terpadu menuju tujuan tertentu yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama.

Fenomena pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah tampaknya sangat bervariasi. Dalam arti ada yang cukup puas dengan pola horizontal-lateral (independent) yakni bidang studi (non-agama) kadang-kadang berdiri sendiri tanpa dikonsultasikan dan berinteraksi dengan nilai-nilai agama, dan ada yang mengembangkan pola relasi lateral-sekuensial, yakni bidang studi (non-agama) dikonsultasikan dengan nilai-nilai agama. Ada pula yang mengembangkan pola vertical-linier, mendudukkan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi dari berbagai bidang studi. Namun demikian pada umumnya dikembangkan ke pola horizontal-lateral (independent), kecuali bagi lembaga pendidikan tertentu yang memiliki komitmen, kemampuan atau political-will dalam mewujudkan relasi/hubungan lateral-skuensial dan vertical linier.

D.    Kendala-kendala dalam Pengembangan Kurikulum PAI

Pengembangan kurikulum PAI belum efektif hal ini terjadi karena pihak-pihak terkait dengan kurikulum belum siap mengemban tugas tersebut. Adapun penyebab ketidakefektifan pengembangan kurikulum di sekolah akan diuraikan sebagai berikut. 

1)      Kualitas guru

Peran terbesar dalam pengembangan kurikulum di sekolah secara praktis terletak pada kemampuan guru mata pelajaran bersangkutan. Kendala yang dihadapi dalam mengembangkan kurikulum di sekolah adalah kualitas sumber daya guru yang rata-rata belum paham akan kurikulum tersebut serta kurangnya kesadaran guru PAI untuk berusaha menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan sistem pendidikan yang diberlakukan saat itu. Di samping itu, pemahaman guru terhadap perubahan kurikulum dari kurikulum yang sebelumnya belum sama dan merata.

2)      Kepala sekolah dan pengurus yayasan

Kepala sekolah adalah guru yang diberikan tugas tambahan sebagai kepala sekolah namun jabatan tersebut malah memunculkan jarak yang cukup signifikan dengan guru. Kadang secara tidak sadar mereka malah menciptakan kendala yang cukup signifikan terhadap kinerja guru, seperti memperlakukan guru sebagai bawahan dengan membatasi ruang partisipasi guru untuk terlibat dalam berbagai penentuan kebijakan yang dikeluarkan sekolah. Demikian juga dalam mengembangkan dan melaksanakan kurikulum, guru diperlakukan seolah bagai karyawan dan kepala sekolah sebagai atasan.

3)      Pengawas Pendidikan Agama Islam

Keberadaan pengawas pendidikan Islam dianggap kurang kreatif dan aktif dalam melakukan tugas pengawasan, penilaian, dan pembimbingan dalam pengembangan kurikulum PAI. Peran pengawas PAI dalam melakukan tugasnya tidak lebih sebagai peninjau dan bersifat formalitas. Ketiadaan peran efektif pengawas baik sebagai supervisor, pembina, pembimbing, pendamping dan mitra kerja guru menyebabkan tidak ada koreksi ataupun peningkatan kualitas kerja yang harusnya dicapai guru PAI.

4)      Masyarakat dan komite

Terkait dengan pengembangan kurikulum PAI peran serta masyarakat belum nampak. Hal ini terjadi karena selama ini mereka tidak terbiasa terlibat dalam urusan teknis edukasi dan mempercayakan sepenuhnya kepada sekolah. Koordinasi masyarakat dan komite sekolah hanya terjadi pada program yang menyangkut pendanaan. Permasalahan yang terkait dengan pendidikan di sekolah, komite sekolah tidak terlalu peduli. Bagi mereka tampaknya yang penting adalah anak mereka dilayani dengan baik agar menjadi anak pandai. Terkait dengan pengembangan kurikulum PAI di sekolah, peran serta masyarakat kurang memberikan dukungan terhadap eksistensi sekolah bagi masyarakat, sehingga guru PAI sulit untuk membangun motivasi peserta didik. 

E.    Kritik Terhadap Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Selama ini pelaksanaan pendidikan agama berlangsung di sekolah masih mengalami banyak kelemahan. Mochtar Buchori menilai pendidikan agama masih gagal. Kegagalan ini disebabkan karena praktik pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama) dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volitif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai ajaran agama. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama atau dalam praktik pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi bermoral, padahal intisari dari pendidikan agama adalah pendidikan moral.

Menurut istilah Kommarudin Hidayat, pendidikan agama lebih berorientasi pada belajar tentang agama, sehingga hasilnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya. Mochtar Buchori juga menyatakan bahwa kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks. Karena itu seharusnya para guru/pendidik agama bekerja sama dengan guru-guru non-agama dalam pekerjaan mereka sehari-hari.

Dilain pihak, Rasidah mengemukakan beberapa kelemahan pendidikan Islam di sekolah baik dalam pelaksanaannya yaitu (1) dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada faham fatalistic; (2) bidang akhlak berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama; (3) bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian; (4) dalam bidang hukum (fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum Islam; (5) agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalias serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan; (6) orientasi mempelajari al Qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.

Thowaf telah mengamati adanya kelemahan-kelemahan pendidikan agama Islam di sekolah antara lain: (1) pendekatan masih cenderung normative, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian; (2) kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancang di sekolah kurang menawarkan minimum kmpetensi atau minimum informasi, sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh; (3) guru PAI kurang menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton; (4) pendidikan agama Islam yang diklaim sebagai aspek yang penting sering kali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas.

Atho’ Mudzhar mengemukakan hasil studi Litbang Agama dan Diklat Keagamaan tahun 2000, bahwa merosotnya moral dan akhlak peserta didik di sebabkan antara lain akibat kurikulum pendidikan Islam yang telalu padat materi, dan materi tersebut lebih mengedepankan aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran keberagaman yang utuh. Selain itu, meodologi pendidikan agama kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai keagamaan, serta terbatasnya bahan bacaan keagamaan.

Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa berbagai kritik dan sekaligus yang menjadi kelemahan dari pelaksanaan pendidikan agama Islam lebih banyak bermuara pada aspek metodologi pembelajaran PAI dan orientasi yang lebih bersifat normative, teoretis dan kognitif, termasuk di dalamnya menyangkut muatan aspek kurikulum atau materi pendidikan agama, sarana pendidikan agama, buku-buku dan bahan ajar.

Thowaf telah mengamati adanya kelemahan-kelemahan pendidikan agama Islam di sekolah antara lain: (1) pendekatan masih cenderung normative, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian; (2) kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancang di sekolah kurang menawarkan minimum kmpetensi atau minimum informasi, sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh; (3) guru PAI kurang menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton; (4) pendidikan agama Islam yang diklaim sebagai aspek yang penting sering kali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas.

Atho’ Mudzhar mengemukakan hasil studi Litbang Agama dan Diklat Keagamaan tahun 2000, bahwa merosotnya moral dan akhlak peserta didik di sebabkan antara lain akibat kurikulum pendidikan Islam yang telalu padat materi, dan materi tersebut lebih mengedepankan aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran keberagaman yang utuh. Selain itu, meodologi pendidikan agama kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai keagamaan, serta terbatasnya bahan bacaan keagamaan.

Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa berbagai kritik dan sekaligus yang menjadi kelemahan dari pelaksanaan pendidikan agama Islam lebih banyak bermuara pada aspek metodologi pembelajaran PAI dan orientasi yang lebih bersifat normative, teoretis dan kognitif, termasuk di dalamnya menyangkut muatan aspek kurikulum atau materi pendidikan agama, sarana pendidikan agama, buku-buku dan bahan ajar.

Kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan Islam- dalam konteks madrasah- di Indonesia bersifat positf dan konstruktif, khususnya dalam dua decade terakhir 1980-an sampai dengan 1990-an. Pada masa pemerintah Orde Baru, lembaga pendidikan (madrasah) dikembangkan dalam rangkanpemerataan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan. Pada awal-awal masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan tentang madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan Orde Lama. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Hal ini disebabkan pendidikan madrasah belum didominasi oleh muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum terstandar, memiliki struktur yang tidak seragam, dan kurang terpantauanya manajemen madrasah oleh pemerintah. 

F.    Paradigma baru Pendidikan Agama Islam

Setelah SKB Tiga Menteri, usaha pengembangan madrasah selanjutnya adalah dikeluarkannya SKB Menteri P&K Nomor 299/u/1984 dengan Menteri Agama Nomor 45 Tahun 1984, tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah untuk melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi. Dalam keputusan itu terjadi perubahan berupa perbaikan dan penyempurnaan kurikulum sekolah umum dan madrasah. Perubahan tersebut tertuang dalam KMA No. 99 Tahun 1984 untuk tingkat MI, KMA Nomor 100 untuk tingkat MTs, dan KMA Nomor 101 untuk tingkat PGAN. Keempat KMA tersebut merupakan upaya untuk memperbaiki kurikulum madrasah agar lebih efektif dan efesian antara lain dalam hal: a) mengorganisasikan program pengajaran (tingkat madrasah); b) untuk membentuk manusia memiliki ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta kehormanisan sesama manusia dan lingkungannya; c) mengefektifkan proses belajar mengajar; dan d) mengoptimalkan waktu belajar.

Sejumlah keputusan yang memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan lagi sehingga menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah. di antara beberapa pasal yang cukup strategis antara lain pertama, dalam Bab I Pasal I ayat 2 berbunyi: madrasah itu meliputi tiga tingkatan, a) Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar; b) Madrasah Tsanawiyah setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama; dan c) Madrasah Aliyah setngkat Sekolah Menengah Atas. Kemudian dalam peningkatan mutu pendidikan, pada madrasah diupayakan tingkat mata pelajaran umumnya mencapai tingkat yang sama dengan mata pelajaran umum di sekolah. hal ini member pengaruh kepada pengakuan ijazah, lulusan dan status siswa madrasah. Kedua, dalam bab II Pasal 2 disebutkan bahwa: a) ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; b) lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas; dan c) siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.

KESIMPULAN

Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu instrumen pokok dalam pembentukan karakter siswa, namun dalam pelaksanaannya PAI hanya mendapat alokasi waktu berapa jam saja dalam satu minggu. Padahal begitu banyak materi yang akan disampaikan. Dengan minimnya alokasi waktu tersebut berimbas pada penyampaian materi yang kurang efektif, bahkan untuk penyampaian materi dalam bentuk praktik pun menjadi terhalang.

PAI sebagai sebuah mata pelajaran yang terdapat disekolah seyogyanya tidak dipandang sebatas pengguguran kewajiban oleh guru dalam penyampaian materi. PAI perlu dipandang sebagai bagian dari upaya internalisasi nilai-nilai ke-Islam-an yang tidak sekedar bersifat dogmatis, namun juga praktis, baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat dan keluarga.

 

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. 2012. Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam. Yogyakarta: Diva Press.

Hamalik, Oemar. 2011. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Rosdakarya.

Hamalik, Oemar. 2013. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Rosdakarya.

Hasan, Hamid. 2008. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT Rosdakarya.

Muhaimin. 2012. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo.

Mustafa, Ali Jufri. 2013. Kurikulum Pendidikan Islam (Sebentuk Analissi Terhadap Kurikulum Pendidikan I Dayah MUDI Samalanga-Bireuen. Aceh: SEFA Bumi Persada.

Nizar, Samsul. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Raharjo, Rahmat. 2010. Inovasi Kurikulum PAI (Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran). Yogyakarta: Magnum Pustaka.

Suparta. 2016. Pengentar teori dan aplikasi pengembangan kurikulum PAI. Jakarta: Raja Grafindo.




Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar

Pengikut

Arsip Blog

Definition List

Unordered List

Support