Oleh: Mhd. Reza Fahlevi, M.Pd
Profesi sebagai pendidik merupakan pekerjaan yang sangat mulia dalam pandangan Islam. Hal ini wajar mengingat pendidik merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap masa depan peserta didik. Bahkan Rasulullah menegaskan bahwa salah satu diantara tiga macam hal amal perbuatan yang tidak akan pernah hilang meskipun seseorang telah meninggal dunia adalah pemberian ilmu yang bermanfaat kepada orang lain. Pahala orang yang mengajarkan ilmu dengan ikhlas akan terus megalir selama orang lain atau murid-muridnya mengamalkannya. Karena itu, pendidik dalam pendidikan Islam memiliki sifat khas yang membedakannya dengan yang lain. Berikut Pandangan para cendikiawan Muslim tentang pendidik:
Guru menurut Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina guru yang baik adalah guru
yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik anak, berpenampilan
tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka
masam, sopan santun, bersih dan suci murni.
Ia juga mensyaratkan bahwa guru yang terhormat
dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing
anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak
keras hati dan senantiasa menghias diri. Selain itu, juga harus mengutamakan
kepentingan ummat dari pada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari
meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam
majelis ilmu, sopan dan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.
Dalam pendapatnya itu, Ibnu Sina selain menekankan unsur kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian anak didiknya. Dengan kompetensi itu seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia akan dapat membina mental dan akhlak anak. Guru seperti itu, tampaknya diangkat dari sifat dan kepribadian yang terdapat pada diri Ibnu Sina sendiri, yang selain memiliki kompetensi akhlak yang baik, juga memiliki kecerdasan dan keluasan ilmu.
Guru menurut Al Mawardi
Al- Mawardi memandang bahwa setiap guru harus
memiliki sikap tawadhu’ (rendah hati) serta menjauhi sikap ujub. Menurut
Al Mawardi sikap tawadhu’ (rendah hati) akan menimbulkan simpatik dari
para anak didiknya. Sedangkan sikap ujub akan menyebabkan guru kurang
disenangi. Pada perkembangan selanjutnya, sikap tawadhu tersebut akan
menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi murid-muridnya. Dalam
arti guru akan mengembangkan potensi individu siswa seoptimal mungkin. Guru
dapat menempatkan perananya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam proses
belajar mengajar yang berlangsung dengan utuh dan luwes, dimana seluruh siswa
nya terlibat di dalamnya.
Lebih lanjut Al Mawardi mengatakan bahwa diantara akhlak yang harus dimiliki para guru adalah menjadi keridhoan dan pahala dari Allah Swt sebagai tujuan dalam melaksanakan tugas mengajar dan mendidik muridnya, bukan mengharapkan balasan berupa materi. Al Mawardi melarang mengajar atas motif ekonomi. Hal ini juga dapat dipahami bahwa Al Mawardi mengendaki hendaknya menagajar harus diorientasikan kepada tujuan yang luhur, yakni keridhoan dan pahala Allah. Konsekuensinya harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Keikhlasan dapat membuahkan hal-hal positif
(a) Selalu mempersiapkan segala sesuatu yang berguna dan mendukung pelakanaan proses belajar mengajar, seperti bahan ajar, metode, sumber belajar dan lain sebagainya. (b) Disiplin terhadap aturan dan waktu dalam seluruh hubungan sosial dan profesionalnya. (c) Penggunaan waktu luangnya hanya diarahkan untuk kepentingan profesionalnya. (d) Dalam keseluruhan waktunya akan digunakan secara efisien, baik dalam kaitannya denagn tugas keguruan maupun dalam pengembangan karirnya sehingga akan terjadi peningkatan kualitas pendidikan. (e) Ketekunan dan keuletan dalam bekerja. Keuletan dan ketekunan guru sebagai pribadi yang utuh, akan terbiasa melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang ulet, tekun, penuh kesungguhan dan ketelitian. Memiliki daya kreasi dan inovasi yang tinggi. Hal ini lahir dari kesadaran akan semakin banyaknya tuntutan dan tantangan pendidikan masa mendatang, sejalan denagn kemajuan IPTEK.
Al Mawardi berpendapat bahwa guru adalah figur
startegis. Menurutnya guru harus merupakan figur yang dapat dicontohkan oleh
murid dan masyarakat. Oleh karena itu, segala tingkah laku guru harus sesuai
dan sejalan dengan norma dan nilai ajaran yang berasal dari wahyu.
Sejalan denagn uraian tersebut, maka seorang
guru harus tampil sebagai teladan yang baik. Usaha penanaman nilai-nilai
kehidupan melalui pendidikan tidak akan berhasil, kecuali jika peranan guru
tidak hanya sekedar komunikator nilai, melainkan sekaligus sebagai pelaku nilai
yang menuntut adanya rasa tanggung jawab dan kemampuan dalam meningkatkan
sumber daya manusia yang utuh. Dalam kaitan ini, Al Mawardi mengatakan
hendaknya seorang guru selalu berusaha memenuhi segala tuntutan ilmu. Janganlah
ia termasuk golongan yang dinilai Tuhan sebagai orang Yahudi yang diberi Taurat
tetapi mereka tidak mengamalkannya, tak ubahnya dengan seekor keledai yang
membawa kitab dipunggungnya.
Selain sebagai teladan guru juga harus
memberikan kasih sayang. Denagn posisinya sebagai orang tua kedua guru juga
harus memberikan kasih sayang dan bersikap lemah lembut. Sikap lemah lembut ini
ternyata tidak sepenuhnya berhasil dalam dunia pendidikan. Sa’id mengungkap hal
ini dalam sebuah kisah. Seorang kepala sekolah yang amat keras, dimana
diadapannya para murid tidak berani mengucapkan sepatah kata pun, digantikan
oleh seoarang guru yang lemah lembut dan baik hati. Murid-murid segera
melupakan rasa takut yang pernah mereka alami terhadap kepala sekolah
terdahulu. Karena kemurahan hati kepala sekolah yang baru tersebut, mereka
menjadi nakal, melalaikan belajar mereka dan mengahabiskan waktunya untuk
bermain-main. Kemudian penduduk kota itupun memberhentikan guru yang lemah
tersebut dan menarik kembali guru yang lama kepada jabatannya semula. Saya
heran mengapa penduduk kota menjadikan guru yang jahat itu sebgai malaikat,
hingga guru yang bijaksana tersebut berkesimpulan: “Guru yang keras lebih
berharga bagi anak-anak dari pada cinta orang tua yang buta”.
Peran selanjutnya bagi guru adalah sebagai motivator. Hal ini penting dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar siswa. Peran guru menurut Al Mawardi adalah sebagai pembimbing. Bimbingan dapat diartikan sebagai kegiatan memantau murid dalam perkembangannya denagn jalan menciptakan lingkungan dan arahan sesuai dengan tujuan pendidikan.
Guru menurut Al Ghazali
Menurut Al Ghazali, guru yang dapat diserahi
tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru
yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Denagn kesempurnaan akal yang ia dapat
miliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam. Dengan akhlaknya yang baik ia
dapat menjadi contoh dan teladan bagi muridnya. Denagn kekuatan fisik ia dapat
melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan murid-muridnya.
Selain sifat-sifat umum tersebut, juag terdapat beberapa sifat khusus: (1) Rasa kasih sayang yang akan berujung terciptanya situasi yang kondusif. (2) Mengajar harus dipahami sebagai aktifitas mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini akan berujung pada keikhlasan, tidak mengharapkan apapun dari manusia. (3) Selain mengajar juga berfungsi sebagai pengarah yang jujur dan benar dihadapan muridnya serta tidak melibatkan diri dalam persoalan yang bisa mengalihkan konsentrasinya sebagai guru. (4) Dalam mengajar hendaknya digunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Semua sikap ini akan mempunyai dampak bagi psikis siswa. (5) Tampil sebagai teladan bagi muridnya, bersikap toleran, menghargai kemampuan orang lain, tidak mencela ilmu lain. (6) Mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki merid-muridnya secara individu dan memperlakukan murid sesuai denagn potensi masing-masing. Tentang potensi individu ini Sa’id mengungkapkan bahwa bilamana kemampuan bawaan sejak lahir baik, maka pendidikan akan memberikan suatu pengaruh. Tetapi tidak ada penggosok yang mampu mengkilapkan terhadap sifat (watak) buruk keras. (7) Guru harus memahami bakat, tabi’at dan kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat usianya. (8) Guru harus berpegang teguh pada apa yang diucapkannya, serta berusaha untuk merealisasikannya.
Dari delapan sifat guru diatas, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan dan kemampuan intelektual para siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan masa sekarang.
Guru menurut Ibnu Taimiyah
Menurut Ibnu Taimiyah hendaknya seorang pendidik mencirikan kepribadian seorang sebagai berikut: (1) Guru adalah khulafa’, yaitu orang yang menggantikan misi perjuangan Nabi dalam bidang pengajaran. Kedudukan ini hanya dapat dilaksanakan oleh orang yang mengikuti Rasul dalam hal perjalanan hidup dan akhlanya. Demikian tingginya posisi guru ini hingga dikatakan oleh Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, mufti Madinah saat ini, bahwa bakti seorang anak kepada guru bisa melebihi baktinya kepada kedua orang tuanya. Karena kedua orang tua telah memenuhi kebutuhan fisik sedangkan guru telah mendidik hati nurani. (2) Hendaknya senantiasa menjadi panutan bagi muridnya dalam hal kejujuran, berpegang teguh pada akhlaknya yang mulia dan menegakkan syariat Islam. Berdusta pada murid tentang suatu ilmu adalah kezaliman yang besar. (3) Hendaknya dalam menyebarkan ilmunya tidak main-main atau semobrono. Guru yang saleh adalah mereka yang mengetahui kemampuan yang dimilikinya serta kewajiban yang ada pada dirinya. (4) Membiasakan diri untuk menambah dan menghafal ilmunya terutama Al-Quran dan al Sunnah.
Guru menurut Ibnu Jama’ah
Ibnu Jama’ah memeberikan kriteria seorang guru adalah :
(1) Menjaga akhlak selama melaksanakan tugas pendidikan
(2) Tidak menjadikan profesi guru sebagai kegiatan untuk menutupi keutuhan ekonomis.
(3) Mengetahui situasi sosial kemasyarakatan
(4) Kasih sayang dan sabar
(5) Adil dalam memperlakukan peserta didik
(6) Menolong dengan kemampuan yang dimilikinya.
Secara umum kriteria-kriteria tersebut menampakkan kesempurnaan sifat-sifat dan keadaan pendidik dengan memiliki persyaratan-persyaratan tertentu sehingga layak menjadi pendidik sebagaimana mestinya.
Guru menurut Al Qabisi
Al-Qabisi menyarankan agar guru dalam mengajar
anak-anak kaum muslimin tanpa terpengaruh oleh pandangan dari lingkungan
masyarakat dan oleh perbedaan stratifikasi sosial-ekonomi. Atas dasar pandangan
ini, guru harus mengajar semua anak secara bersama-sama berdasarkan atas rasa
persamaan dan penyediaan kesempatan kesempatan belajar bagi semua secara sama.
Pemberian gaji kepada guru yang mengajar itu
didasarkan pada tuntutan zamannya, yaitu bahwa pemabayaran gaji itu sebagai
imbalan dari pekerjaan lain yang ia tinggalkan, karena harus mengajar. Lebih
dari itu al Qabisi juga memperkenankan guru menerima hadiah pada hari-hari
besar, atau semacam penghargaan lainnya.
Guru harus dapat berperan sebagai panutan atau teladan (qudwah hasanah) ditengah-tengah komunitas muridnya, disamping perannya sebagai pengajar yang mentransfer pengetahuan dan keterampilan. Proses internalisasi nilai dalam pendidikan memamng sangat banyak yang dapat dilakukan melalui keteladanan para guru, dan masalah ini justru sekarang yang menjadi salah satu titik lemah dalam pendidikan modern.
0 Post a Comment:
Posting Komentar