Oleh: Mhd. Reza Fahlevi, M.Pd
Rabiatul binti
Ismail Adawiyyah adalah seorang wali atau orang yang dekat dengan Allah. Beliau
lahir pada tahun 95 H/713 M berdekatan dengan kota Bashrah, Iraq, dan meninggal
sekitar tahun 185 H/ 801 M. Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya
perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain karena ia
merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Pernah suatu ketika ayahnya
berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Keinginan untuk memperoleh
anak laki-laki ini disebabkan karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk
keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh
penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya,
sementara anak-anaknya saat itu masih terbilang kecil-kecil. Apalagi dengan
kehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah
berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban
penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh
keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.
Diceritakan,
sewaktu bayi Rabi’ah lahir malam hari, di rumahnya sama sekali tidak ada minyak
sebagai bahan untuk penerangan, termasuk kain pembungkus untuk bayi Rabi’ah.
Karena tak ada alat penerangan, ibunya lalu meminta sang suami, Ismail, untuk
mencari minyak di rumah tetangga. Namun, karena suaminya terlanjur berjanji
untuk tidak meminta bantuan pada sesama manusia (kecuali pada Tuhan), Ismail
pun terpaksa pulang dengan tangan hampa. Saat Ismail tertidur untuk menunggui
putri keempatnya yang baru lahir tersebut, ia kemudian bermimpi didatangi oleh
Nabi Muhammad Saw dan bersabda: “Janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu
yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung, yang pengaruhnya akan
dianut oleh 7.000 umatku.” Nabi kemudian bersabda lagi: “Besok kirimkan surat
kepada Isa Zadzan, Amir kota Basrah, ingatkanlah kepadanya bahwa ia biasanya
bershalawat seratus kali untukku dan pada malam Jum’at sebanyak empat ratus
kali, tetapi malam Jum’at ini ia melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus
membayar denda kepadamu sebanyak empat ratus dinar.”
Ayah Rabi’ah kemudian terbangun dan menangis. Tak lama, ia pun menulis surat dan mengirimkannya kepada Amir kota Basrah itu yang dititipkan kepada pembawa surat pemimpin kota itu. Ketika Amir selesai membaca surat itu, ia pun berkata: “Berikan dua ribu dinar ini kepada orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu dan katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaannya dengan janggutku.”
KEHIDUPAN RABI'AH AL ADAWIYYAH
Aththar
menceritakan mengenai nasib malang yang menimpa keluarga Rabi’ah. Saat Rabi’ah
menginjak dewasa, ayah dan ibunya kemudian meninggal dunia. Jadilah kini ia
sebagai anak yatim piatu. Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah
kota Basrah dilanda kelaparan hebat. Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa
harus berpencar, sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itu sendirian.
Suatu hari, ketika sedang berejalan-jalan di kota Basrah, ia berjumpa dengan
seorang laki-laki yang memiliki niat buruk. Laki-laki itu lalu menarik Rabi’ah
dan menjualnya sebagai seorang budak seharga enam dirham kepada seorang
laki-laki. Dalam statusnya sebagai budak, Rabi’ah benar-benar diperlakukan
kurang manusiawi. Siang malam tenaga Rabi’ah diperas tanpa mengenal istirahat.
Suatu ketika, ada seorang laki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa
mengenakan cadar. Ketika laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan
kemudian jatuh terpeleset. Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata: “Ya
Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan
seorang budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak
bersedih hati oleh kejadian ini, hanya aku ingin sekali ridla-Mu. Aku ingin
sekali mengetahui apakah Engkau Ridla terhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia
mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari
Perhitungan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan
Allah di dalam surga.” Setelah itu, Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan
tetap menjalankan ibadah puasa sambil melakukan pekerjaannya sehari-hari.
Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinya hingga
siang hari.
Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dan dari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalam shalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang Maha Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti perintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, maka aku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah kepada-Mu, ya Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.” Tatkala Rabi’ah masih khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat ada sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun yang mengikatnya. Lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa Hebrew “Shekina”, artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.
Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah tentu
saja merasa ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ke tempat tidurnya
semula. Sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing. Tak lama setelah itu ia
memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya dengan baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah
sebagai budak. Rabi’ah pun pamitan pergi dan meneruskan pengembaraannya di
padang pasir yang tandus.
Dalam pengembaraannya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia berangkat juga dengan ditemani seekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya, belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati di tengah jalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah dan mereka menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang miliknya. Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin meminta bantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percaya pada bantuan Allah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya. Orang-orang itu pun memahami keinginan Rabi’ah, sehingga mereka meneruskan perjalanannya. Rabi’ah terdiam dan kemudian menundukkan kepalanya sambil berdoa, “Ya Allah, apalagi yang akan Engkau lakukan dengan seorang perempuan asing dan lemah ini? Engkau-lah yang memanggilku ke rumah-Mu (Ka’bah), tetapi di tengah jalan Engkau mengambil keledaiku dan membiarkan aku seorang diri di tengah padang pasir ini.” tiba di tengah ia melihat Ka’bah datang menghampiri dirinya. Rabi’ah lalu berkata, “Tuhanlah yang aku rindukan, apakah artinya rumah ini bagiku? Aku ingin sekali bertemu dengan-Nya yang mengatakan, ‘Barangsiapa yang mendekati Aku dengan jarak sehasta, maka Aku akan berada sedekat urat nadinya.’ Ka’bah yang aku lihat ini tidak memiliki kekuatan apa pun terhadap diriku, kegembiraan apa yang aku dapatkan apabila Ka’bah yang indah ini dihadapkan pada diriku?” Singkat cerita, sekembalinya Rabi’ah dari menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia kemudian menetap di Basrah dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah seraya melakukan perbuatan-perbuatan mulia.
KEISTIMEWAAN RABI'AH AL ADAWIYYAH
Sebagai seorang sufi ada beberapa keistimewaan yang dimiliki Rabi'ah, diantaranya adalah: Pada saat beliau memanjatkan do'a kepada Allah SWT, beliau sering mendapat bisikan"Jangan engkau bersedih, karena kelak dikemudian hari orang-orang yang dekat denganKu (Allah SWT) akan cemburu melihat kedudukanmu" Rabi'ah dapat meluluhkan hati majikannya yang keras dan kejam setelah mendengar do'a yang dipanjatkan oleh Rabi'ah pada suatu malam. Setelah mendengar do'a Rabi'ah itu, pagi harinya Rabi'ah dibebaskan oleh majikannya dan beliau kembali ke desa asal tempat kelahirannya. Sebagai seorang sufi, Rabi'ah sangat cinta kepada Allah SWT hingga orang-orang datang ke rumahnya untuk meminta saran, pelajaran atau sekedar berkah dari padanya, bahkan hanya untuk sekedar bersilaturrahmi. Banyak pula para tokoh-tokoh sufi yang bersilaturrahmi kepada Rabi'ah diantaranya Malik Bin Dinar, Sofyan Tsauri dan tokoh-tokoh yang lain.
Pada suatu malam Rabi'ah pernah di datangi pencuri, ketika pencuri itu tiba di rumah Rabi'ah, di temuinya Rabi'ah sedang berdo'a, dan pencuri itu (entah kenapa) rela menunggu Rabi'ah sampai selesai berdo'a. Setelah selesai berdo'a, Rabi'ah menemui pencuri itu dan mengajak untuk memanjatkan do'a bersama-sama dan pencuri itu menerima ajakan Rabi'ah dan setelah selesai memanjatkan do'a, pencuri itu pulang dan pada pagi harinya pencuri itu ikut sebagai jama'ah pengajian Rabi'ah.
POKOK PIKIRAN RABI'AH AL ADAWIYYAH
Ada
beberapa pokok pikiran pada diri Rabi'ah, diantaranya adalah:
Hidup atas dasar Zuhud, dan mengisinya dengan selalu beribadah kepada Allah SWT
yang akan menjadi tumpuan cintanya kepada Allah SWT, sebagaimana yang beliau
katakan, "Aku tinggalkan cintanya Laila dan Su'da mengasing diri Dan
kembali bersama rumahku yang pertama. Dengan berbagai kerinduan mengimbauku,
Tempat-tempat kerinduan cinta abadi". Cinta Rabi'ah adalah cinta abadi
kepada Tuhan yang melebihi segala yang ada, cinta abadi yang tidak takut pada
apapun walau pada neraka sekalipun. pernyataan beliau yang terkenal ialah, "Kujadikan Engkau teman percakapan hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap
dengan insani. Jasadku biar biar bercengkrama dengan tulangku, Isi hati
hanyalah tetap pada-Mu jua..."Ibadah yang ditegakkan siang dan malam,
semata-mata karena cinta abadi itu. Sebagaimana pernyataannya, "Sekiranya
aku beribadah kepada Engkau Karena takut akan siksa neraka, Biarkanlah neraka
itu bersamaku. Dan jika aku beribadah karena mengharap surga, Maka jauhkanlah
surga itu dariku. Tetapi bila aku beribadah karena cinta semata, Maka limpahkan
lah keindahan-Mu selalu..."
Rabi’ah
telah mencapai puncak dari maqam itu, yakni Mahabbahtullah. Untuk menjelaskan
bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Allah, tampaknya agak sulit untuk didefinisikan
dengan kata-kata. Dengan kata lain, Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat
dielaborasi secara pasti, baik melalui kata-kata maupun simbol-simbol. Para
sufi sendiri berbeda-beda pendapat untuk mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab,
pendefinisian Cinta Ilahi lebih didasarkan kepada perbedaan pengalaman
spiritual yang dialami oleh para sufi dalam menempuh perjalanan ruhaninya
kepada Sang Khalik. Cinta Rabi’ah adalah Cinta spiritual (Cinta qudus), bukan
Cinta al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau Cinta yang lain. Ibnu Qayyim
al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian.
Pertama, mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain juga mencintai Allah.
Kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat dengan cinta ini.
Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
Keempat, Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.
Pokok
ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, bahkan mengkhususkan
hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklah semua Cinta itu hanya kepada
Allah, tidak mencintai yang lain bersamaan mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu
itu hanyalah karena Allah dan berada di jalan Allah.
Cinta
sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih
(Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya sudah
engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah engkau cemburu (ghirah), bila ada
orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu kepada-Nya. Sebuah sya’ir
mengatakan:
Aku cemburu kepada-Nya,Karena aku Cinta kepada-Nya, Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku, Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku Oleh karena itu, setiap Cinta yang bukan karena Allah adalah bathil. Dan setiap amalan yang tidak dimaksudkan karena Allah adalah bathil pula. Maka dunia itu terkutuk dan apa yang ada di dalamnya juga terkutuk, kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya.
MENJELANG KEMATIAN RABIAH AL ADAWIYYAH
Dikisahkan,
Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kurang lebih 90 tahun. Dan selama
itu, ia hanya mengabdi kepada Allah sebagai Pencipta dirinya, hingga Malaikat
Izrail menjemputnya. Tentu saja, Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana
Allah selalu berada dekat dengannya. Para ulama yang mengenal dekat dengan
Rabi’ah mengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam
akhirat, tak pernah terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali hanya
ta’zhim (mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali meminta
kepada makhluk ciptaan-Nya.
Berbagai
kisah menjelang kematian Rabi’ah menyebutkan, di antaranya pada masa menjelang
kematian Rabi’ah, banyak sekali orang alim duduk mengelilinginya. Rabi’ah lalu
meminta kepada mereka: ‘Bangkit dan keluarlah! Berikan jalan kepada
pesuruh-pesuruh Allah Yang Maha Agung!’ Maka semua orang pun bangkit dan
keluar, dan pada saat mereka menutup pintu, mereka mendengar suara Rabi’ah
mengucapkan kalimat syahadat, setelah itu terdengar sebuah suara: “Wahai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya. Maka
masuklah bersama golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS.
89: 27-30).
Setelah
itu tidak terdengar lagi suara apa pun. Pada saat mereka kembali masuk ke kamar
Rabi’ah, tampak perempuan tua renta itu telah meninggalkan alam fana. Para
dokter yang berdiri di hadapannya lalu menyuruh agar jasad Rabi’ah segera
dimandikan, dikafani, disalatkan, dan kemudian dibaringkan di tempat yang
abadi.
Kematian
Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnya hampir tak percaya, bahwa
perempuan suci itu akan segera meninggalkan alam fana dan menjumpai Tuhan yang
sangat dicintainya. Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan
yang selama hidupnya penuh penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada
manusia. Setiap orang sudah pasti akan mengenang Rabi’ah, sebagai sufi yang
telah berjumpa dengan Tuhannya.
Karenanya,
setelah kematian Rabi’ah, seseorang lalu pernah memimpikanya. Dia mengatakan
kepada Rabi’ah, “Ceritakanlah bagaimana keadaanmu di sana dan bagaimana engkau
dapat lolos dari Munkar dan Nakir?” Rabi’ah menjawab, “Mereka datang
menghampiriku dan bertanya, “Siapakah Tuhanmu?’ Aku katakan, “Kembalilah dan
katakan kepada Tuhanmu, ribuan dan ribuan sudah ciptaan-Mu, Engkau tentunya
tidak akan lupa pada perempuan tua lemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu di
dunia, tidak pernah melupakan-Mu. Sekarang, mengapa Engkau harus bertanya,
‘Siapa Tuhanmu?’”
Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.
KESIMPULAN
Rabiatul binti Ismail Adawiyyah adalah seorang wali atau orang yang dekat dengan Allah. Beliau lahir pada tahun 95 H/713 M berdekatan dengan kota Bashrah, Iraq, dan meninggal sekitar tahun 185 H/ 801 M. Dilahirkan dalam keadaan yang sederhana, sehingga kesederhanaan itu selalu melekat pada dirinya hingga dia mencapai dewasa dan menjadi dasar menuju jalan mahabbah kepada Allah dan menjadikannya sufi wanita yang pertama kali membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharapkan balasan. Justru, yang yang dia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan. Selain zuhud jalan yang lain ia lakukan juga dengan cara tidak menikah seumur hidup. Dialah perempuan yang selama hidupnya penuh penderitaan, namun tidak pernah bergantung kepada manusia, karena bagi Rabi’ah Allah adalah segala-galanya. Konsep cinta menurut Rabi’ah adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridho kepada hamba yang mencintai-Nya.
KOMENTAR PENULIS
Bagi kita
generasi Islam khususnya wanita hendaklah kita meneladani kehidupan Rabi’ah
yang penuh kesederhanaan dalam menjalani hidup, karena pada dasarnya semua
adalah milik Allah yang sewaktu-waktu pasti akan diambil-Nya. Dan janganlah
mementingkan cinta dunia, karena sesungguhnya makna cinta ialah jalan menuju
Ilahi dan cinta sejati kita tentu saja Allah Swt.
Dari kisah diatas bisa diambil pelajaran sifat Rabiatul Adawiyyah untuk diteladani yaitu: Rabiatul Adawiyyah seorang yang sabar dan ridho, melazim taubat, bersyukur, bergantung hati kepada Allah, zuhud, cinta akan Allah, mengutamakan akhirat, takut akan Allah, dan berserah diri.
0 Post a Comment:
Posting Komentar