A. Latar Belakang Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia
Timbulnya pembaruan pemikiran Islam di Indonesia baik
dalam bidag agama, social, dan pendidikan diawali latar belakangi oleh
pembaruan pemikiran Islam yang ditimbul dibelahan dunia Islam lainnya, terutama
diawali oleh pembaruan pemikiran Islam yang ditimbul di Mesir Turki, dan India.
Latar belakang pembaruan yang timbul
di Mesir dimulai sejak kedatangan poleon ke Mesir.
Diturki
juga mengalami hal yang sama, yaitu telah dirasakan keunggulan bangsa eropa
dari bangsa Turki. Kesadaran ini muncul ketikabangsa Turki selalu kalah
berperang dengan bangsa Eropa. Kekalahan demi kekahlan ini membuat bangsa Turki
ingin mengetahui penyebabnya. Akhirnya diketahuilah bahwa bangsa Eropa lebih
unggul dari bangsa Turki dalam bidang ilmu pengetahuan dan sekaligus berdampak
terhadap persenjataan serta siyasat perang bangsa Eropa yang lebih unggul pula
dari bangsa Turki.
Dari
berbagai kenyataan ini menunjukkan bahwa bangsa Eropa itu lebih unggul dalam
bidang pengetahuan dari kaum muslimin baik yang tinggal di Mesir, Turki, dan daerah
lain. Kontak dengan Eropa itu menimbulkan kesadaran bagi masyarakat muslim
terutama tokoh-tokohnya tentang kemajuan Eropa dan ketinggalan mereka.
Peristiwa
ini meimbulkan kesadaran umat Islam untuk mengubah diri. Kesadaran mengubah
diri itulah menimbulkan fasepembaruan dalam periodesasi sejarah Islam. Fase
pembaruan itu muncul sebagai sahutan tuntutan kemajuan zaman dan sekaligus juga
sebagai respons umat Islam atas ketertinggalan mereka ketika itu dalam bidang
ilmu pengetahuan. Muncullah tokoh-tokoh dunia Islam yang berteriak agar umat
Islam mengubah diri guna menuju kemajuan, meninggalkan pola-pola lama menuju
pola baru yang berorientasi kepada kemajuan zaman.
Gaung
kemajuan dan gema pembaruan itu sampai juga ke Indonesia. Di awal abad ke-20
muncullah beberapa tokoh-tokoh pembaru pemikiran Islam di Indonesia. Para pemabru itu banyak bergerak
dibidang organisasi sosial, pendidikan dan politik. Diantaranya Syekh Muhammad
Jamil Jambek, Syekh Thaher jalaluddin, Haji Karim Amrullah, Haji Abdullah
Ahmad, Syekh Ibrahim Musa, Zainuddin Labai Al Yunusi, yang kesemuanya ini
berasal dari Minangkabau.
Di Jawa muncul tokoh H. Ahmad Dahlan, dengan gerakan
Muhammadiyah, H. Hasan, dengan gerakan Persatuan Islam (Persis), Haji Halim
dengan gerakan perserikatan Ulama. KH. Hasyim Asy’ari dengan organisasi
Nahdatul Ulama. Tokoh-tokoh ini semuanya banyak bergerak dibidang pendidikan.
Muncullah upaya-upaya untuk memperbarui pendidikan Islam di Indonesia.
Latar belakang pembaruan pendidikan Islam di Indonesia dipengaruhioleh dua faktor. Pertama, pembaruan yang bersumber dari ide-ide yang muncul dari luar yang dibawa oleh tokoh atau ulama yang pulang ketahan air setelah beberapa lama bermukim diluar negeri (Mekkah, Madinah dan Kairo). Ide-ide yang mereka peroleh diperantauan itu menjadi wacana pembaruan setelah mereka kembali ke tanah air. Selain dari itu, faktor yang bersumber dari kondisi tanah air juga banyak mempengaruhi pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Kondisi tanah air Indonesia pada awal abad ke 20 adalah dikuasai oleh kaum penjajah barat. Dalam bidang pendidikan pemerintah kolonial Belanda melakukan kebijakan pendidikan deskriminatif. Lembaga pendidikan dikala itu tanah air dibagi atas tiga strata. Stratapertama adalah strata tertinggi yaitu sekolah anak-anak Belanda ELS, HBS dan seterusnya keperguruan tinggi. Sementara itu dikalangan umat Islam memiliki lembaga pendidikan pesantren, rangkang, dayah, surau. Dengan menekankan mata pelajaran agama yang bersumberdari kitab-kitab klasik. Pendidikan pesantren ini sama sekali amat berbeda sistemnya dengan sekolah-sekolah pemerintah. Meilhat kondisi yang demikian itu, maka sebagian dari tokoh-tokoh umat Islam berupaya untuk melaksanakan pembaruan dalam bidang pendidikan.
B. Pembaruan dan Kebangkitan Pendidikan Islam Di Indonesia
Steenbrink, meneybutkan ada beberapa faktor pendorong bagi pembaruan pendidikan Islam di Indonesia pada permulaan abad kedua puluh yaitu: (1) Sejak tahun 1900, telah banyak pemikiran untuk kembali ke Al-Quran dan Sunnah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada. Tema senteralnya adalah menolak taklid. Dengan demikian ke Al-Quran dan sunah mengakibatkan perubahan dalam bermacam-macam kebiasaan agama. (2) Dorongan kedua, adalah sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda. (3) Dorongan ketiga, adalah adanya usaha-usaha umat Islam untuk memperkuat organisasinya dibidang sosial ekonomi. (4) Dorongan keempat, berasal dari pembaruan pendidikan Islam. Dalam bidang ini cukup banyak orang dan organisasi Islam, tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari Quran dan studi agama.
Masuknya
ide-ide pembaruan pemikiran Islam ke Indonesia, sangat besar pengaruhnya bagi
terealisasinya pembaruan pendidikan. Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia
ini dimulai dengan munculnya sekolah Adabiyah. Sekolah ini adalah setara dengan
HIS, yang didalamnya agam dan Al-Quran diajarkan secara wajib. Menurut Mahmud
Yunus sekolah Adabiyah ini adalah sekolah (agama) yang pertama memakai system
klasikal, berbeda dengan pendidikan disurau-surau yang tidak berkelas-kelas,
tidak memakai bangku, meja, papan tulis, hanya duduk bersila saja.
Pada
tahun 1915 Zainuddin Labai al Yunusi mendirikan Diniyah School (Madrasah
Diniyah) di Padang Panjang. Madrasah ini mendapat perhatian besar dari masyarakat
Minangkabau. Setelah itu tersebarlah madrasah-madrasah pada beberapa kota dan
desa Minangkabau khususnya, dan di Indonesia umumnya.
Sesudah
tahun 1931 madrasah mengalami modernisasi, yaitu dengan memasukkan sejumlah
mata pelajaran umum. Inisiatif memasukkan mata pelajaran umum ke madrasah,
dipelopori oleh pelajar-pelajar yang pulang dari Mesir. Di Mesir mereka
menerima pelajaran umum. Madrasah yang mula-mula memasukkan pengetahuan umum
dalam rencana pelajarannya.
Usaha-usaha pembaruan pendidikan Islam di Indonesia pada mulanya telah dimulai sejak awal abad kedua puluh. Dimotivasi baik oleh kondisi intern umat Islam maupun faktor ekstern. Dari uaraian yang dikemukakan terdahulu dapat dimaklumi bahwa pembaruan itu terkonsentrasi kepada dua hal yaitu sistemnya, dan materi pelajaran. Materi pelajaran sebelum masuk ide-ide pembaruan berpusat pada mata pelajaran agama melulu, dengan berpedoman kepada kitab-kitab klasik, dan setelah diinspirasi oleh ide-ide pembaruan mata pelajarannya telah berimbang antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.
C. Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Pembaruan
Pendidikan
Islam sebelum dimasuki oleh ide-ide pembaruan terpusat di pesantran, rangkang,
dayah, surau. Ciri pendidikan dilembaga pendidikan tersebut adalah pertama,
nonklasikal, kedua metode sorogan, wetonan, dan hafalan. Ketiga materi
pelajaran adalah berpusat kepada kitab-kitab klasik. Tinggi rendahnya ilmu
seseorang diukur dari penguasaannya kepada kitab-kitab tersebut.
Dengan
masuknya ide-ide baru dalam bidang pendidikan, maka beberapa ciri dari lembaga
pendidikan sebelum masuknya ide-ide pembaruan tersebut disesuaikan dengan
ide-ide pembaruan. System nonklasikal berubah menjadi klasikal dilengkapi
dengan management pendidikan yang sudah barang tentu pada tahap awal masih
sederhana. Metode mengajar guru tidak lagi semata-mata berpedoman kepeda metode
sorogan, wetonan dan hafalan, tetapi telah bervariasi sesuai dengan tuntunan
sistemklasikal. Materi pelajaran tidak
lagi semata-mata berpegang kepada materi pelajaran agama dan titik tumpu pada
kitab-kitab klasik. Masuknya mata pelajaran nonkeagamaan adalah merupakan salah
satu indikasi penting tentang masuknya ide-ide pembaruan disunia Islam.
Salah
seorang dianatar pelajar Indonesia yang sedang belajar di Mekkah yang mendapat
masukan ide-ide pembaruan ini adalah Haji Abdullah Ahmad. Belia lahir di Padang
Panjang 1878. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya disekolah pemerintah dan
pendidikan agamanya dirumah, ia pergi ke Mekkah pada tahun 1895 dan kembali ke
Indonesia tahun 1899, ia mengajar di Pandang Panjang, ikut serta memberantas
bid’ah dan melalui publikasi dengan jalan menjadi agen dari berbagai majalah
pembaruan.
Haji
Abdullah Ahmad tertarik mendirikan pendidikan yang sistemastis, sebab tidak
semua anak-anak dari Padang Panjang dapat masuk sekolah-sekolah pemerintah. Hal
ini mendorongnya untuk membuka sekolah Adabiyah, dengan bantuan para pedagang
pada tahun 1909 setelah ia mengunjungi sekolah Iqbal di Singapore.
Seirama
dengan lahirnya Sekolah Adabiyah di Padang Panjang, maka berbagai tempat lain
di Sumatera Barat muncul pula beberapa lembaga pendidikan madrasah. Pada 1910
Syekh M.Thaib Umar mendirikan Madrasah School. Tiga tahun kemudian madrasah ini
ditutup, dan dibuka kembali pada tahun 1918 oleh Mahmud Yunus, dan pada tahun
1923 madrasah ini menjadikan Diniyah School. Rangkayo Rahmah el Yunusiah pada
tahun 1923 mendirikan Madrasah Diniyah Putri di Padang Panjang, sedangkan
sebelumnya yakni tahun 1915 Zainuddin Labai el Yunusi mendirikan Madrasah
Diniyah di Padang Panjang.
Sama
halnya dengan Sumatera Barat, di Jawa juga berkembang madrasah. Pada tahun 1914
KHA Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansur mendirikan Madrasah Taswirul Afkar, pada
mulanya madrasah ini hanya sebagai tempat kursus, diskusi dan musyawarah selanjutnya
menjadi madrasah. Pada tahun 1919 KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Madrasah
Salafiyah.
Beberapa
organisasi Islam yang berdiri di Jawa pada awal abad kedua puluh banyak pula
terlibat dengan dengan mendirikan madrasah, misalnya Muhammadiyah yang didirikan
oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912, disamping mendirikan sekolah umum yang
mengambil nama dari nama sekolah Belanda, organisasi ini juga mendirikan
madrasah.
Ada
dua sekolah yang diasuh oleh Muhammadiyah. Pertama sekolah-sekolah umum
berbasis mata pelajaran umum dengan menambah mata pelajaran agama sebagai ciri
khas yang wajib diberikan disekolah-sekolah Muhammadiyah. Kedua,
sekolah-sekolah agama yang berbasis ilmu-ilmu keagamaan, sekolah-sekolah ini
yang digolongkan kepada kelompok madrasah. Madrasah Muhammadiyah ini dibagi
kepada tingkat dasar, menengah pertama, menengah atas. Al-Irsyad didirikan
Jakarta pada tahun 1913. Organisasi ini juga mengasuh sekolah umum dan
madrasah. Mathla’ul Anwar didirikan di Menes, Banten, oleh KH. Mohammad Yasin
juga mengasuh madrasah pada tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah dan Aliyah.
Organisasi
Perhimpunan Umat Islam (PUI) yang didirikan oleh KH. Halim pada tahun 1917,
juga mendirikan Madrasah Diniyah (6 tahun), Madrasah Tsanawiyah (4 tahun) dan
Madrasah pertanian (4 tahun). Nahdatul Ulama yang didirikan tahun 1926
mendirikan madrasah Awaliah (2 tahun), Madrasah Ibtidaiyah (2 tahun), Madrasah
Tsanawiyah (3 tahun) Madrasah Muallimin Ulya (3 tahun), Al-Jamiyatul Washliyah
yang didirikan di Medan pada tahun 1930, mendirikan madrasah dengan sususnan
sebagai berikut: Madrasah Tajhiziyah (2 tahun), Madrasah Ibtidaiyah (4 tahun),
Madrasah Tsanawiyah (3 tahun), Madrasah Qismul Ali (3 tahun), Madrasah
Takhassur (2 tahun).
Dari
deskripsi diatas dapat dimaklumi bahwa mulai dari sejak awal abad kedua puluh
di Indonesia telah popular nama madrasah, sehingga banyak muncul
lembagapendidikan Islam yang mengambil nama madrasah, oleh karena madrasah ini
tumbuh dan berkembang secara independen baik yang dibangun oleh perorangan
maupun organisasi, maka madrasah-madrasah tersebut tidak memiliki keseragaman
baik mengenai tingkatan begitu juga renacana pelajarannya.
Perkembangan berikutnya madrasah berevolusi dari system pendidikan Islam yang pada mulanya lebih menekankan kepada ilmu-ilmu keagamaan, berkembang menjadi lembaga pendidikan yang dikelompokkan kepada lembaga pendidikan sekolah yang berciri khas agama Islam. Pada saat madarasah telah mengubah diri menjadi sekolah yang berciri khas agama Islam bermakna bahwa madrasah telah menitik beratkan mata pelajaran umu. Penjelasan diajarkan di dalamnya adalah mata pelajaran yang diajarkan didalamnya adalah mata pelajaran umum.
D. Ciri-ciri Pendidikan Pembaruan Islam Pada Masa Pembaruan
Ada beberapa
indikasi pendidikan Islam sebelum dimasuki oleh ide-ide pembaruan:
1. Pendidikan yang
bersifat nonklasikal. Pendidikan ini tidak dibatasi atau ditentukan lamanya
belajar seseorang berdasarkan tahun.
2.
Mata pelajaran
adalah semata-mata pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik.
Tidak ada diajarkan mata pelajaran umum.
3.
Metode yang
digunakan adalah metode sorogan, wetonan, hafalan, dan mudzakarah.
4. Tidak
mementingkan ijazah sebagai bukti yang bersangkutan telah menyelesaikan atau
menamatkan pelajarannya.
5. Tradisis kehidupan pesantren amat dominan dikalangan santri dan kiai. Ciri dari tradisi itu adalah antara lain kentalnya hubungan antara kiai dan santri. Hubungan bathin ini berlangsung terus sepanjang masa.
Dari
berbagai uaraian terdahulu dapat dikemukakan beberapa indikasi terpenting dari
pendidikan Islam pada masa pembaruan, yakni. Pertama, dimasukkannya mata
pelajran umum ke madrasah. Kedua penerapan system klasikal dengan segala
kaitannya. Ketiga, ditata dan dikelola administrasi sekolah dengan tetap
berpegang kepada prinsip manajemen pendidikan. Keempat lahirnya lembaga
pendidikan Islam yang baru yang diberi nama dengan madrasah.
0 Post a Comment:
Posting Komentar