"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Senin, 23 Januari 2023

SEJARAH KODIFIKASI HADIS

                   



                   KATA PENGANTAR

Tidak ada daya dan upaya yang dapat kita lakukan selain dari anugerah, ridha serta kasih sayang Allah yang senantiasa mengiringi langkah kita tanpa terputus oleh suatu hal apapun kepada kita, sehingga sampai pada saat ini kita masih bisa menghirup udara yang sejuk dan menikmati hamparan katulistiwa yang masih berkenan memperlakukan kita dengan baik, jauh dari kerusakan-kerusakan sebagaimana telah diperlihatkan dimana-mana. Sujud syukur kita tetapkan hanya milik Allah semata, seperti jiwa dan raga yang masih bersama-sama meski kesalahan demi kesalahan selalu menemani kita tiap langkah yang kita jalani.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Khadijah, M.Pd. dan Bapak Dr. Rahmat Hidayat, M.A. selaku dosen pengajar mata kuliah Studi Alquran Hadis yang telah membimbing kami dan semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dalam kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi kami dan pembaca pada umumnya.Amin Ya Rabbal `Alamin.

 

                                                                           Medan, 28 Nopember 2017                                                             

                                                                                                                              

BAB I  

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Orang yang bersikap objektif akan menaruh hormat dan sangat berterimakasih atas upaya para ulama sejak sahabat sampai assunnah dibukukan secara sempurna yang telah membersihkan assunnah dari pemalsuan. dan seseorang akan bertambah mengagumi kaidah-kaidah ilmiah yang diaplikasikan oleh ulama dan metode tertentu yang mereka pergunakan dalam memelihara hadits rasulullah kita pun mengetahui nilai penelitian kajian ketabahan dan penelusuran yang mereka lakukan terhadap hadits-hadits palsu yang tidak terhitung jumlahnya.

Menurut kesaksian Hamad bin Zaid, musuh-musuh Islam telah memalsukan sekitar 14.000 hadis. Abdul Karim bin Abu Auja mengaku telah memalsukan hadits sebanyak jumlahtersebut. sementara itu Muiz bin Raja seorang pengikut qodariah yang kemudian bertaubat mengaku bahwa golongan mereka telah memalsukan hadits tentang qadariah.

Alquran adalah sumber pertama syariat Islam dan hadis adalah sumber kedua. al-Sunnah merupakan penjelas Alquran, pemerinci hukum-hukumnya, dan mengeluarkan furū’ cabang dari ushūl pokoknya.[1]

Alquran adalah petunjuk bagi umat Islam.[2] Petunjuk-petunjuk Alquran merupakan dasar-dasar pokok yang bersifat ijmali. Hanya hukum faraidh yang dijelaskan secara tafshīli (detail). Di samping itu, Alquran yang ijmāli serta ayat-ayatnya yang mutasyābih memerlukan penjelasan.[3]

Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadis Nabi memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian keIslaman. Namun karena pembukuan hadits baru dilakukan dalam rentan waktu yang cukup lama sejak meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadits yang beredar di kalangan umat Islam patut diteliti. Pada sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering dijadikan celah dan starting point  oleh musuh-musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau berpaling dari hadits Nabi. Lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis. Karena itu keabsahan dan orisinalitas hadits yang ada memang harus diteliti.

Pada waktu Rasul Allah masih hidup, para sahabat yang menemukan suatu permasalahan atau menginginkan suatu penjelasan mengenai suatu ayat, langsung bertanya kepada Rasul. Rasul menjelaskannya baik melalui perkataan, perbuatan atau taqrir. Setelah Rasul wafat, para sahabat berpegang kepada penjelasan Rasul. Penjelasan ini kemudian dikenal dengan nama hadis. Abdul Majid Khon menyatakan bahwa “fungsi hadis terhadap Alquran secara umum adalah untuk menjelaskan (li al-bayān) makna kandungan Alquran yang sangat dalam dan global.[4] Ada empat jenis fungsi al-bayān hadis terhadap Alquran yakni bayān taqrīr, bayān tafsīr, bayān naskhi dan bayān tasyri.[5]

Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan dedikasi untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadis-hadis Nabi. Hal itu dimaksudkan untuk melestarikan hadits Nabi sebagai sumber ajaran agama yang orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka kemudian menciptakan seperangkat kaidah, istilah, norma dan metode. Kaidah-kaidah itu, kemudian karena pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman yang paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang untuk mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadis Nabi.

Sejarah pembukuan dan penulisan hadits dan ilmu hadits telah melewati serangkaian fase historis yang sangat panjang mulai dari Rasullullah Saw, kemudian terus kepada sahabat, tabi’in, dan seterusnya hingga saat sekarang hingga mencapai puncaknya pada abad ketiga hijriah.

Sebenarnya, setelah para ulama berhasil menyusun kitab-kitab hadis seperti Shahih Al-Bukhari, kajian terhadap periwayatan hadis sudah berakhir, tapi sekarang ini terjadi kecenderungan umat Islam telah melupakan ilmu hadis ini, kebanyakan mereka hanya mengutip hadis-hadis ulama terdahulu tanpa mengetahui apakah hadis tersebut shahih atau dha’if.

Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan memperhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahinya di zaman Nabi Saw, meneliti dan membina hadis serta segala hal yang mempengaruhi hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah dalam beberapa periode. Adapun para ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi sejarah hadis, ada yang membagi dalam tiga periode, lima periode dan tujuh periode.[6]

B.     Rumusan Masalah

1.      Baagimana cara penyampaian hadis di zaman Rasulullah?

2.      Bagaimana kodifikasi hadis masa Umar Bin Abdul Aziz?

3.      Bagaimana Pandangan para ulama tentang pengkodifikasian hadis?

C.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Studi Qur`an Hadis di semester I Program Magister (S2) Pendidikan Agama Islam dan sebagai khazanah keilmuan dalam memberikan informasi mengenai sejarah kodifikasi hadis.


PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kodifikasi Hadis

Yang dimaksud kodifikasi (tadwin) adalah mengumpulkan, menghimpun atau membukukan, yakni mengumpulkan dan menertibkannya. Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis adalah menghimpun catatan-catatan hadis Nabi dalam mushaf. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kodifikasi ialah suatu proses dimana dilakukannya upaya penghimpunan, pembukuan, pengklasifikasian, pencatat dan pemberian tanda terhadap suatu objek tertentu. Apabila yang menjadi objek penghimpunan, pengumpulan dan pencatatan itu adalah hadis-hadis, disebutlah kodifikasi hadis. Dengan demikian, secara sederhana kodifikasi dapat diartikan sebagai usaha menghimpun, mengumpul dan mencatat hadis- hadis Rasul saw. dalam buku.

Antara kodifikasi (tadwin) hadis dan Jam’ul Quran memiliki perbedaan. Sebagaimana dikatakan M. Quraisy Syihab , pencatatan dan penghimpunan (tadwin) hadis Nabi tidak sama dengan pencatatan dan penghimpunan (tadwin) hadis Nabi tidak sama dengan pencatatan dan penghimpunan Alquran (Jam’ul Quran). Dalam tadwin hadis, tidak dibentuk tim, sedangkan dalam Jam’ul Quran dibentuk tim. Kegiatan penghipunan hadis dilakukan secara mandiri oleh masing-masing ulama ahli hadis. Sekiranya penghimpunan hadis itu harus dilakukan oleh sebuah tim, niscaya tim itu akan menjumpai banyak kesulitan, karena jumlah periwayat hadis sangat banyak dan tempat tinggal mereka tersebar di berbagai daerah Islam yang cukup berjauhan.

Di samping itu, hadis Nabi tidak hanya termuat dalam satu kitab saja. Kitab yang memuat hadis Nabi cukup banyak ragamnya, baik dilihat dari segi nama penghimpunnya, cara penghimpunannya, masalah yang dikemukakannya, maupun bobot kualitasnya. Sedangkan kitab yang menghimpun Seluruh ayat Alquran yang dikenal dengan Mushaf Alquran hanya satu macam saja. Dengan demikian, penghimpunan hadis Nabi berbeda dengan penghimpunan Alquran. Masa kodifikasi (tadwin) hadis terbagi dua, yaitu kodifikasi hadis yang bersifat pribadi (tadwin al-syakhshiy) dan kodifikasi hadis secara resmi (tadwin al-rasmiy). Kodifikasi yang bersifat pribadi belum menjadi kebijaksanaan pemerintah secara resmi sudah dimulai sejak masa Rasul. Sementara kodifikasi hadis secara resmi menjadi kebijaksanaan pemerintah secara resmi baru dimulai pada masa Umar ibn Abdul Aziz. 

B.     Hadis Pada Masa Rasulullah

Sesuai dengan perkembangan hadits, ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah Saw sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Pada masa Nabi masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadits tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis  dalam suatu masalah mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya. Pemalsuanpun tidak pernah terjadi menurut pendapat ulama ahli hadits.[7]

Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadits, tetapi para peneliti hadits memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran dan hadits Rasulullah Saw. Misalnya anjuran pemeriksaaan berita yang datang dan perlunya persaksian yang adil. Firman Allah dalam Alquran surat Al Hujurat(49): 6, demikian juga dalam surat Al Baqarah(2): 282 dan At Thalaq(65): 2.[8]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.[9]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[10]

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

Artinya : “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”.[11]

Ayat-ayat di atas menunjukkan pemberitaan dan persaksian orang fasik tidak diterima. Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang datang dibawa seorang fasik yang tidak adil. Diperiksa untuk diverifikasi keobyektifannya dari sumber berita tersebut. Demikian juga sabda Nabi Muhammad dalam haditsnya : Artinya: Allah menerangi (menggembirakan) seseorang yang mendengar sesuatu daripada kami kemudian ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya.maka banyak orang yang menyampaikan lebih mengerti daripada yang mendengar”. (HR. Al Turmuzdi).

Ayat dan hadis di atas menjadi dasar perlunya pemeriksaan dan penelitian  berita dan hadits yang yang dismpaikan oleh seseorang, cara memelihara, dan cara menyampaikannya kepada orang lain. Apakah pembawa berita memenuhi persyaratan sebagai perawi yang dapat diterima pemberitannya atau tidak?[12]

Ada suatu keistimewaan pada masa ini, yaitu umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadits Rasulullah Saw sebagai sumber hadis. Antara Rasulullah dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang menghambat dan mempersulit pertemuannya.

Dengan demikian, kedudukan Nabi menjadikan semua perkataan, perbuatan dan taqrir nabi sebagai referensi para sahabat dan para sahabat tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang tidak diketahuinya baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Mereka mentaati semuanya bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.

Ada beberapa cara Rasulullah Saw dalam menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu:[13]

a.      Melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut dengan majelis al-‘ ilmi.

b.      Dalam banyak kesempatan Rasulullah Saw juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain.

c.      Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathul makkah.


C.    Masa Penulisan Dan Pembukuan Hadis Secara Resmi                     

(Hadis Abad Ke-2 H)

Pada periode ini Hadis-hadis Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. “Umar ibn ‘Abd al-Aziz, salah seorang khalifah dari dinasti Umayyah yang mulai memerintah di penghujung abad pertama Hijriah, merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan dan penulisan Hadis Nabi secara resmi, yang selama ini berserakan di dalam catatan dan hafalan para sahabat dan Tabi’in. Hal tersebut dirasakannya begitu mendesak, karena pada masa itu wilayah kekusaan Islam telah meluas sampai kedaerah-daerah diluar jazirah Arabia, disamping para Sahabat sendiri, yang hafalan dan catatan-catatan pribadi mereka mengenai Hadis Nabi merupakan sumber rujukan bagi ahli Hadis ketika itu, sebagian besar sudah meninggal dunia karena faktor usia dan akibat banyaknya terjadi peperangan. Dan pada masa itu, yaitu awal pemerintahan ‘Umar ibn Abd al-Aziz, Hadis masih belum dibukukan secara resmi.[14]

D.    Faktor-faktor yang mendorong pengumpulan dan pengkodifikasian Hadis.

Ada beberapa faktor yang mendorong ‘Umar ibn Abd al-Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menuliskan Hadis, diantaranya adalah : Pertama, tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan Hadis, yaitu kekhawatiran bercampurnya Hadis dengan Alquran, karena Alquran ketika itu telah dibukukan dan disebarluaskan. Kedua, munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya Hadis karena banyaknya para Sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut atau karena seringnya terjadi peperangan. Ketiga, semakin maraknya kegiatan pemalsuan Hadis yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab dikalangan umat Islam. Keadaan ini apabila dibiarkan terus menerus akan merusak ajaran Islam, sehingga upaya untuk menyelamatkan Hadis dengan cara pembukuannya setelah melalui seleksi yang ketat harus segera dilakukan. Keempat, karena telah semakin luasnya daerah kekuasaan Islam disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan petujuk-petunjuk dari Hadis Nabi Saw, selain petunjuk Alquran sendiri. [15]

E.     Pemrakarsa Pengkodifikasian Hadis Secara Resmi dari Pemerintah

Adalah ‘Umar ibn Abd al-Aziz yang dikenal secara umum dari kalangan pengusaha yang memprakarsai pembukuan Hadis Nabi SAW secara resmi. Akan tetapi menurut ‘Ajjaj al-Khathib berdasarkan sumber yang sah dari Thabaqat ibn Sa’ad, kegiatan pembukuan Hadis ini telah lebih dahulu diprakarsai oleh ‘Abd al-Aziz ibn Marwan (w.85 H)[16], ayah dari ‘Umar ibn Abd al-Aziz sendiri, yang ketika itu menjabat sebagai gubernur di Mesir. Riwayat tersebut menceritakan bahwa ‘Abd al-Aziz telah meminta Katsir ibn Murrah al-Hadhrami, seorang Tabi’in di Himsha yang pernah bertemu dengan tidak kurang dari 70 veteran Badar dari kalangan Sahabat, untuk menuliskan Hadis-Hadis Nabi Saw yang pernah diterimanya dari para Sahabat selain Abu Hurairah, dan selanjutnya mengirimkanya kepada ‘Abd al-Aziz sendiri. Dan ‘Abd al-Aziz menyatakan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sudah dimiliki catatannya yang didengarnya sendiri secara langsung. Perintah tersebut adalah pertanda bahwa telah dimulainya pembukuan Hadis secara resmi yang diprakarsai oleh penguasa, dan hal tersebut terjadi pada tahun 75 H.[17]

F.     Kodifikasi Hadis Masa Umar Bin Abdul Aziz

Meskipun ‘Abd al-Aziz, sebagaimana yang dikemukakan oleh ‘Ajjaj al-Khathib, telah lebih dahulu memprakarsai pengumpulan Hadis, namun karena kedudukannya hanya seorang gubernur, maka jangkauan perintahnya untuk mengumpulkan Hadis kepada aparatnya, adalah terbatas sekali, sesuai dengan keterbatasan kekuasaan dan wilayahnya. Demikian juga para ulama ketika itu. Adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz, putra Abd al-Aziz sendiri yang memprakarsai pengumpulan Hadis secara resmi dan dalam jangkauan yang lebih luas. Hal tersebut dikarenakan posisinya sebagai khalifah dapat memerintahkan kepada para gubernurnya untuk melaksanakan tugas pengumpulan dan pengkodifikasian Hadis. Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm (w.117 H), gubernur di Madinah, adalah diantara gubernur yang menerima instruksi “Umar ibn ‘Abd al-Aziz untuk mengumpulkan Hadis. Dalam instruksinya tersebut ‘Umar memerintahkan ibn Hazm untuk menuliskan dan mengumpulkan Hadis yang berasal dari :

1.      Koleksi Ibn Hazm sendiri;

2.      Amrah binti ‘Abd al-Rahman (w.98 H), seorang faqih, dan muridnya, Sayyidah ‘Aisyah r.a;

3.      Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar al-Shiddiq (w.107 H), seorang pemuka Tabi’in dan salah seorang dari Fuqaha yang tujuh.[18]

Ibn Hazm melaksanakan tugas tersebut dengan baik, dan tugas yang serupa juga dilaksanakan oleh Muhammad ibn Syihab al-Zuhri (w.124 H), seorang Ulama besar dihizab dan Syam. Dengan demikian, kedua ulama diataslah yang merupakan pelopor dalam kodifikasi Hadis berdasarkan perintah Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz. Dari kedua tokoh diatas, para Ulama Hadis lebih cenderung memilih Al-Zuhri sebagai kodifikator pertama dari pada Ibn Hazm. Hal ini adalah karena kelebihan Al-Zuhri dalam hal berikut :

a.      Al-Zuhri dikenal sebagai Ulama besar di bidang Hadis dibandingkan dengan yang lainnya;

b.      Dia berhasil menghimpun seluruh Hadis yang ada di Madinah, sedangkan Ibn Hazm tidak demikian;

c.      Hasil kodifikasinya dikirimkan ke seluruh penguasa di daerah-daerah sehingga cepat tersebar.[19]

Meskipun Ibn Hazm dan Al-Zuhri telah berhasil menghimpun dan mengkodifikasikan Hadis, akan tetapi karya kedua Ulama tersebut telah hilang dan tidak bisa dijumpai lagi sampai sekarang. Setelah masa Ibn Hazm dan Al-Zuhri, muncullah para Ulama Hadis yang berperan dalam menghimpun dan menuliskan Hadis, dibeberapa kota yang telah dikuasai Islam, seperti ‘Abd al-Malik ibn ‘Abd al-Aziz ibn Juraij al-Bashri (80-150 H / 669-767 M) di Mekah; Malik ibn Anas (93-179 H / 703-798 M), dan Muhammad ibn Ishaq (w.151 H/768 M) di Madinah;Al-Rabi’ ibn Shabih (w.160 H), Sa’id ibn Abi ‘Arubah (w.156 H), dan Hammad ibn Salamah (w.167 H) di Basrah; Sufyan al-Tsauri (w. 97-161 H) di Kufah; Khalid ibn Jamil al-‘Abdi dan Ma’mar ibn Rasyid (95-153 H) di Yaman; ‘Abd al-Rahman ibn ‘Amr Al-Auza’I (w. 88-57 H) di Syam; ‘Abd Allah ibn al-Mubarak (118-181 H) di Khurasan; Hasyim ibn Basyir (104-183 H) di Wasith; Jarir ibn ‘Abd al-Hamid (110-188 H) di Rei; dan ‘Abd Allah ibn Wahab (125-197 H) di Mesir.[20]

G.    Kitab-kitab Hadis pada Abad ke-2 Hijriah

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa kitab yang merupakan hasil kodifikasi pertama sudah hilang dan tidak ditemukan lagi sampai sekarang. Diantara kitab-kitab yang merupakan hasil kodifikasi pada abad ke-2 H, yang masih dijumpai sampai sekarang dan banyak dirujuk oleh para Ulama adalah :

a.       Kitab Al-Muwaththa’, yang disusun oleh Imam Malik atas permintaan Khalifah Abu Ja’far al- Manshur.

b.      Musnad Al-Syafi’I, karya Imam Al-Syafi’I, yaitu berupa kumpulan Hadis yang terdapat dalam kitab Al-Umm.

c.       Mukhtaliful Hadis, karya Imam Al-Syafi’I yang isinya mengandung pembahasan tentang cara-cara mengkompromikan Hadis yang kelihatannya kontradiktif satu sama lain.

d.      Al-Sirat al-Nabawiyyah, oleh ibn Ishaq, isinya antara lain tentang perjalanan hidup Nabi SAW dan peperangan-peperangan yang terjadi pada zaman Nabi.[21]

H.    Ciri dan Sistem pembukuan Hadis pada abad ke-2 Hijriah

Diantara ciri kitab-kitab Hadis yang ditulis pada abad ke 2 H ini adalah :

a.       Pada umumnya kitab-kitab Hadis pada ini menghimpun Hadis-Hadis Rasul SAW serta fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi’in. Yang hanya menghimpun Hadis-Hadis Nabi SAW adalah kitab yang disusun oleh ibn Hazm. Hal ini sejalan dengan instruksi Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz yang berbunyi :

لاتقبل إلا حديث الرسول صل الله عليه وسلم

Artinya :”Janganlah kamu terima selain dari Hadis Nabi SAW”.

b.      Himpunan Hadis pada masa ini masih bercampurbaur antara berbagai topik yang ada, seperti yang menyangkut bidang tafsir, sirah, Hukum dan sebagainya, dan belum dihimpun berdasarkan topik-topik tertentu.

c.       Didalam kitab-kitab Hadis pada periode ini belum dijumpai pemisahan antara Hadis-hadis yang berkualitas Shahih, Hasan, dan Dha’if.[22]

I.       Pandangan Ulama Tentang Pengkodifikasian Hadis

Ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai.

a.       Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H), terbukti adanya Kitab Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya.

b.      Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama HImsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya.

c.       Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti ‘Abbasiyyah, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya:” Perhatikanlah hadis Rasulullah Saw, lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm, beliau menyatakan: “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadis yang ada pada ‘Amrah (Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H), karena aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.”

Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.

Dengan demikian, penulisan hadis yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa ‘Umar bin ‘Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya.

Adapun siapa kodifikator hadis pertama, muncul nama Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 123 H), karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadis dalam satu kitab dan menggandakannya untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya: ”Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadis. Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan hadis pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah.

Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadis sebelum adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn ‘Abdul ‘Azia telah dilakukan, yakni oleh Khalid bin Ma’dan (w. 103 H). Rasyid Ridha (1282-1354 H) berpendapat seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini ditolak ‘Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual, dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat. Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.                                                                                 

 PENUTUP

A.    Kesimpulan

Akhirnya, makalah singkat ini menghantarkan kepada beberapa kesimpulan, antara lain: Ada empat faktor yang mendorong ‘Umar ibn Abd al-Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menuliskan Hadis, diantaranya adalah : Pertama, tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan Hadis. Kedua, munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya Hadis karena banyaknya para Sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut atau karena seringnya terjadi peperangan. Ketiga, semakin maraknya kegiatan pemalsuan Hadis yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab dikalangan umat Islam. Keempat, karena telah semakin luasnya daerah kekuasaan Islam disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan petujuk-petunjuk dari Hadis Nabi SAW, selain petunjuk Alquran sendiri.

B.     Kritik dan Saran

Masih banyak kekurangan yang perlu diperhatikan baik dari segi penulisan maupun dari isi makalah ini. Maka dari itu, kami selalu menerima kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun agar kedepannya makalah saya lebih baik lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi,Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis, Semarang;PT.Pustaka Rizki Putra,202.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta; PT.Ichtiar Baru van Hoeve, Jil-2, Cet-4, 1997.

Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadis, Jakarta;Bumi Aksara, Cet.I, 1997

Muhaimin, Studi Islam, Dalam Ragam Dimensi & Pendekatan, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2012.

Solahuddin, M.Agus, dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung:CV. Pustaka Setia, 2011

Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta:PT.Mutiara Sumber Widya,2001.

Ahmad, M. dan Muzakkir,Ilmu Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 1998­)

Al-Khatib, M. Ajjaj,al-Sunnah Qabla Tadwīn, diterjemahkan AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan (Cet. 1; Gema Insani Press, 1999)

Al-Khatib, M. ‘Ajaj Ushul al-Hadis. terj. M. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis (Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998)

 


[1]M. Ajjaj Al-Khatib, al-Sunnah Qabla Tadwīn, diterjemahkan AH. Akrom Fahmi, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan (Cet. 1; Gema Insani Press, 1999), h. 21

[2] Lihat QS. Al-Isra’ (79): 9. Lihat uraian Muhammad Abduh mengenai wahyu dan Alquran dalam “Risalah al-Tauhid” (Cet. 7; Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 144-154 dan h. 185-192.

[3] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (Djakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 149. Uraian yang sama terdapat dalam M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Cet. 2; Bandung; Angkasa, 1994), h. 55.

[4] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Cet. 1; Jakarta: Amzah, 2008), h. 16.

[5] Ibid., h. 17-19.

[6] M.Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, Cet.II, 2011), h. 33.              

 

[7] Abdul Majid Khon, Ulum Hadis, (Cet. Ke-2, Jakarta: Amzah, 2009),  h. 78

[8] Abdul Majid Khon , Ibid , h. 79

[9] Q.S. Al Hujurat (49): 6

[10] Q.S. Al Baqarah(2): 282

[11] Q.S. At Thalaq (65): 2

[12] Abdul Majid Khon, Ibid , h. 81-82

[13]Munzier Suparta,. Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001),  h. 22

[14] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta:PT.Mutiara Sumber Widya,Cet. I, 2001), h. 125-126.

[15] Nawir Yuslem, Ibid, h. 126-127.

[16] ‘Abd al-Aziz ibn Marwan Wafat 85 H/705 M adalah berasal dari dinasti Umayyah, putra Khalifah Marwan I (memerintah 684-685) dan ayah dari Khalifah Umar II (r. 717-720). Istrinya Umm Asim Layla binti Asim adalah cucu kedua dari Khalifah Umar ibn al-Khattab, Lihat; http://en.wikipedia.org/wiki/Abd_al-Aziz_ibn_Marwan.

[17] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis,  h. 128.

[18] Fuqaha yang tujuh adalah : Al-Qasim, ‘Urwah Ibn Zubair, Abu Bakar Ibn Abdir Rahman, Sa’id Ibn Musyyab, Abdillah Ibn Abdullah Ibn ‘Utbah Ibn Mas’ud, Kharijah Ibn Zaid Ibn Tsabit, dan Sulaiman Ibn Yassar. Lihat, M.Sholahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, h..39.

[19] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,  h. 129-130.

[20] Ibid, h. 130.

[21] Ibid, h. 131

[22] Nawir Yuslem, Ibid, h. 131-132.




OLEH:

OKTRIGANA WIRIAN

MUHADRI

ZAINI TANJUNG

RIKA KUMALA SARI


Catatan: Penulis merupakan mahasiswa Program Magister PAI UINSU 2017 

 

Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar

Pengikut

Arsip Blog

Definition List

Unordered List

Support