Tidak ada daya dan upaya yang
dapat kita lakukan selain dari anugerah, ridha serta kasih sayang Allah yang
senantiasa mengiringi langkah kita tanpa terputus oleh suatu hal apapun kepada
kita, sehingga sampai pada saat ini kita masih bisa menghirup udara yang sejuk
dan menikmati hamparan katulistiwa yang masih berkenan memperlakukan kita
dengan baik, jauh dari kerusakan-kerusakan sebagaimana telah diperlihatkan
dimana-mana. Sujud syukur kita tetapkan hanya milik Allah semata, seperti jiwa
dan raga yang masih bersama-sama meski kesalahan demi kesalahan selalu menemani
kita tiap langkah yang kita jalani.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Dr. Khadijah, M.Pd. dan Bapak Dr. Rahmat Hidayat, M.A. selaku dosen
pengajar mata kuliah Studi Alquran Hadis yang telah membimbing kami dan semua
pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
terdapat kekurangan, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dalam kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat, khususnya bagi kami dan pembaca pada umumnya.Amin Ya Rabbal
`Alamin.
Medan, 28 Nopember 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Orang yang bersikap objektif akan menaruh hormat dan
sangat berterimakasih atas upaya para ulama sejak sahabat sampai assunnah
dibukukan secara sempurna yang telah membersihkan assunnah dari pemalsuan. dan
seseorang akan bertambah mengagumi kaidah-kaidah ilmiah yang diaplikasikan oleh
ulama dan metode tertentu yang mereka pergunakan dalam memelihara hadits
rasulullah kita pun mengetahui nilai penelitian kajian ketabahan dan
penelusuran yang mereka lakukan terhadap hadits-hadits palsu yang tidak
terhitung jumlahnya.
Menurut kesaksian Hamad bin Zaid, musuh-musuh Islam telah memalsukan sekitar 14.000 hadis. Abdul Karim bin Abu Auja mengaku telah memalsukan
hadits sebanyak jumlahtersebut. sementara itu Muiz bin Raja seorang pengikut qodariah
yang kemudian bertaubat mengaku bahwa golongan mereka telah memalsukan hadits
tentang qadariah.
Alquran adalah
sumber pertama syariat Islam dan hadis adalah sumber kedua. al-Sunnah
merupakan penjelas Alquran, pemerinci hukum-hukumnya, dan mengeluarkan furū’
cabang dari ushūl pokoknya.[1]
Alquran adalah
petunjuk bagi umat Islam.[2]
Petunjuk-petunjuk Alquran merupakan dasar-dasar pokok yang bersifat ijmali.
Hanya hukum faraidh yang dijelaskan secara tafshīli (detail). Di
samping itu, Alquran yang ijmāli serta ayat-ayatnya yang mutasyābih memerlukan
penjelasan.[3]
Sebagai sumber
hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadis Nabi memiliki
fungsi strategis dalam kajian-kajian keIslaman. Namun karena pembukuan hadits
baru dilakukan dalam rentan waktu yang cukup lama sejak meninggalnya Nabi,
ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan dengan berbagai motif,
maka orisinalitas hadits yang beredar di kalangan umat Islam patut diteliti.
Pada sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering dijadikan celah dan starting point oleh
musuh-musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau berpaling dari hadits
Nabi. Lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang akrab
dengan budaya tulis-menulis. Karena itu keabsahan dan orisinalitas hadits yang
ada memang harus diteliti.
Pada waktu
Rasul Allah masih hidup, para sahabat yang menemukan suatu permasalahan atau
menginginkan suatu penjelasan mengenai suatu ayat, langsung bertanya kepada
Rasul. Rasul menjelaskannya baik melalui perkataan, perbuatan atau taqrir.
Setelah Rasul wafat, para sahabat berpegang kepada penjelasan Rasul. Penjelasan
ini kemudian dikenal dengan nama hadis. Abdul Majid Khon menyatakan bahwa
“fungsi hadis terhadap Alquran secara umum adalah untuk menjelaskan (li
al-bayān) makna kandungan Alquran yang sangat dalam dan global.[4] Ada empat jenis
fungsi al-bayān hadis terhadap Alquran yakni bayān taqrīr, bayān tafsīr,
bayān naskhi dan bayān tasyri.[5]
Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan
dedikasi untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadis-hadis
Nabi. Hal itu dimaksudkan untuk melestarikan hadits Nabi sebagai sumber ajaran
agama yang orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka kemudian menciptakan
seperangkat kaidah, istilah, norma dan metode. Kaidah-kaidah itu, kemudian
karena pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan, baik
yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman yang
paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang
untuk mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadis Nabi.
Sejarah
pembukuan dan penulisan hadits dan ilmu hadits telah melewati serangkaian fase
historis yang sangat panjang mulai dari Rasullullah Saw, kemudian terus kepada
sahabat, tabi’in, dan seterusnya hingga saat sekarang hingga mencapai puncaknya
pada abad ketiga hijriah.
Sebenarnya,
setelah para ulama berhasil menyusun kitab-kitab hadis seperti Shahih
Al-Bukhari, kajian terhadap periwayatan hadis sudah berakhir, tapi sekarang ini
terjadi kecenderungan umat Islam telah melupakan ilmu hadis ini, kebanyakan
mereka hanya mengutip hadis-hadis ulama terdahulu tanpa mengetahui apakah hadis
tersebut shahih atau dha’if.
Sejarah perkembangan hadis merupakan masa
atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam
pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan
memperhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahinya di
zaman Nabi Saw, meneliti dan membina hadis serta segala hal yang mempengaruhi
hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah dalam beberapa periode.
Adapun para ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi sejarah
hadis, ada yang membagi dalam tiga periode, lima periode dan tujuh periode.[6]
B.
Rumusan
Masalah
1. Baagimana
cara penyampaian hadis di zaman Rasulullah?
2. Bagaimana
kodifikasi hadis masa Umar Bin Abdul Aziz?
3. Bagaimana
Pandangan para ulama tentang pengkodifikasian hadis?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah
Studi Qur`an Hadis di semester I Program Magister (S2) Pendidikan Agama Islam
dan sebagai khazanah keilmuan dalam memberikan informasi mengenai sejarah
kodifikasi hadis.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kodifikasi Hadis
Yang dimaksud kodifikasi (tadwin)
adalah mengumpulkan, menghimpun atau membukukan, yakni mengumpulkan dan
menertibkannya. Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis adalah menghimpun
catatan-catatan hadis Nabi dalam mushaf. Secara umum dapat disimpulkan
bahwa kodifikasi ialah suatu proses dimana dilakukannya upaya penghimpunan,
pembukuan, pengklasifikasian, pencatat dan pemberian tanda terhadap suatu objek
tertentu. Apabila yang menjadi objek penghimpunan, pengumpulan dan pencatatan
itu adalah hadis-hadis, disebutlah kodifikasi hadis. Dengan demikian, secara
sederhana kodifikasi dapat diartikan sebagai usaha menghimpun, mengumpul dan
mencatat hadis- hadis Rasul saw. dalam buku.
Antara kodifikasi (tadwin)
hadis dan Jam’ul Quran memiliki perbedaan. Sebagaimana dikatakan M.
Quraisy Syihab , pencatatan dan penghimpunan (tadwin) hadis Nabi tidak
sama dengan pencatatan dan penghimpunan (tadwin) hadis Nabi tidak sama
dengan pencatatan dan penghimpunan Alquran (Jam’ul Quran). Dalam tadwin
hadis, tidak dibentuk tim, sedangkan dalam Jam’ul Quran dibentuk tim.
Kegiatan penghipunan hadis dilakukan secara mandiri oleh masing-masing ulama
ahli hadis. Sekiranya penghimpunan hadis itu harus dilakukan oleh sebuah tim,
niscaya tim itu akan menjumpai banyak kesulitan, karena jumlah periwayat hadis
sangat banyak dan tempat tinggal mereka tersebar di berbagai daerah Islam yang
cukup berjauhan.
Di samping itu, hadis Nabi
tidak hanya termuat dalam satu kitab saja. Kitab yang memuat hadis Nabi cukup
banyak ragamnya, baik dilihat dari segi nama penghimpunnya, cara
penghimpunannya, masalah yang dikemukakannya, maupun bobot kualitasnya. Sedangkan
kitab yang menghimpun Seluruh ayat Alquran yang dikenal dengan Mushaf Alquran hanya
satu macam saja. Dengan demikian, penghimpunan hadis Nabi berbeda dengan
penghimpunan Alquran. Masa kodifikasi (tadwin) hadis terbagi
dua, yaitu kodifikasi hadis yang bersifat pribadi (tadwin al-syakhshiy)
dan kodifikasi hadis secara resmi (tadwin al-rasmiy). Kodifikasi yang
bersifat pribadi belum menjadi kebijaksanaan pemerintah secara resmi sudah
dimulai sejak masa Rasul. Sementara kodifikasi hadis secara resmi menjadi
kebijaksanaan pemerintah secara resmi baru dimulai pada masa Umar ibn Abdul
Aziz.
B.
Hadis
Pada Masa Rasulullah
Sesuai dengan
perkembangan hadits, ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah selalu
mengiringinya sejak masa Rasulullah Saw sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara
eksplisit. Pada masa Nabi masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadits tidak
ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah mereka langsung bertemu
dengan beliau untuk mengecek kebenarannya. Pemalsuanpun tidak pernah terjadi
menurut pendapat ulama ahli hadits.[7]
Sekalipun pada
masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadits, tetapi para peneliti hadits
memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran dan hadits Rasulullah Saw. Misalnya
anjuran pemeriksaaan berita yang datang dan perlunya persaksian yang adil.
Firman Allah dalam Alquran surat Al Hujurat(49): 6, demikian juga dalam surat
Al Baqarah(2): 282 dan At Thalaq(65): 2.[8]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا
بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu”.[9]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ
وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ
وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا
يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ
ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ
بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا
رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ
تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ
الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ
كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ
لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا
تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا
شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika
mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak
ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.
Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[10]
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ
عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ
لَهُ مَخْرَجًا
Artinya : “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah
kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan
itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”.[11]
Ayat-ayat di atas menunjukkan pemberitaan dan persaksian
orang fasik tidak diterima. Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa,
meneliti, dan mengkaji berita yang datang dibawa seorang fasik yang tidak adil.
Diperiksa untuk diverifikasi keobyektifannya dari sumber berita tersebut.
Demikian juga sabda Nabi Muhammad dalam haditsnya : Artinya: Allah menerangi
(menggembirakan) seseorang yang mendengar sesuatu daripada kami kemudian ia
menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya.maka banyak orang yang menyampaikan
lebih mengerti daripada yang mendengar”. (HR. Al Turmuzdi).
Ayat dan hadis di atas menjadi dasar perlunya pemeriksaan
dan penelitian berita dan hadits yang
yang dismpaikan oleh seseorang, cara memelihara, dan cara menyampaikannya
kepada orang lain. Apakah pembawa berita memenuhi persyaratan sebagai perawi yang dapat
diterima pemberitannya atau tidak?[12]
Ada suatu keistimewaan pada masa ini, yaitu umat Islam
dapat secara langsung memperoleh hadits Rasulullah Saw sebagai sumber
hadis. Antara Rasulullah dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang
menghambat dan mempersulit pertemuannya.
Dengan demikian, kedudukan Nabi menjadikan semua perkataan,
perbuatan dan taqrir nabi sebagai referensi para sahabat dan para sahabat tidak
menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya
kepadanya tentang segala sesuatu yang tidak diketahuinya baik dalam urusan
dunia maupun urusan akhirat. Mereka mentaati semuanya bahkan menirunya.
Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat
kesempurnaan.
Ada beberapa cara Rasulullah Saw dalam
menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu:[13]
a.
Melalui para jama’ah pada pusat
pembinaannya yang disebut dengan majelis al-‘ ilmi.
b.
Dalam banyak kesempatan Rasulullah Saw juga
menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian
disampaikannya kepada orang lain.
c.
Melalui ceramah atau pidato ditempat
terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathul makkah.
C.
Masa Penulisan Dan
Pembukuan Hadis Secara Resmi
(Hadis
Abad Ke-2 H)
Pada periode ini Hadis-hadis Nabi SAW
mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. “Umar ibn ‘Abd al-Aziz, salah
seorang khalifah dari dinasti Umayyah yang mulai memerintah di penghujung abad
pertama Hijriah, merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan
dan penulisan Hadis Nabi secara resmi, yang selama ini berserakan di dalam
catatan dan hafalan para sahabat dan Tabi’in. Hal tersebut dirasakannya begitu
mendesak, karena pada masa itu wilayah kekusaan Islam telah meluas sampai
kedaerah-daerah diluar jazirah Arabia, disamping para Sahabat sendiri, yang
hafalan dan catatan-catatan pribadi mereka mengenai Hadis Nabi merupakan sumber
rujukan bagi ahli Hadis ketika itu, sebagian besar sudah meninggal dunia karena
faktor usia dan akibat banyaknya terjadi peperangan. Dan pada masa itu, yaitu
awal pemerintahan ‘Umar ibn Abd al-Aziz, Hadis masih belum dibukukan secara
resmi.[14]
D.
Faktor-faktor
yang mendorong pengumpulan dan pengkodifikasian Hadis.
Ada beberapa faktor yang mendorong ‘Umar
ibn Abd al-Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan
pembantunya untuk mengumpulkan dan menuliskan Hadis, diantaranya adalah : Pertama,
tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan Hadis, yaitu
kekhawatiran bercampurnya Hadis dengan Alquran, karena Alquran ketika itu telah
dibukukan dan disebarluaskan. Kedua, munculnya kekhawatiran akan hilang
dan lenyapnya Hadis karena banyaknya para Sahabat yang meninggal dunia akibat
usia lanjut atau karena seringnya terjadi peperangan. Ketiga, semakin
maraknya kegiatan pemalsuan Hadis yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik
dan perbedaan mazhab dikalangan umat Islam. Keadaan ini apabila dibiarkan terus
menerus akan merusak ajaran Islam, sehingga upaya untuk menyelamatkan Hadis
dengan cara pembukuannya setelah melalui seleksi yang ketat harus segera
dilakukan. Keempat, karena telah semakin luasnya daerah kekuasaan Islam
disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh
umat Islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan petujuk-petunjuk
dari Hadis Nabi Saw, selain petunjuk Alquran sendiri. [15]
E.
Pemrakarsa
Pengkodifikasian Hadis Secara Resmi dari Pemerintah
Adalah ‘Umar ibn Abd al-Aziz yang dikenal
secara umum dari kalangan pengusaha yang memprakarsai pembukuan Hadis Nabi SAW
secara resmi. Akan tetapi menurut ‘Ajjaj al-Khathib berdasarkan sumber yang sah
dari Thabaqat ibn Sa’ad, kegiatan pembukuan Hadis ini telah lebih dahulu
diprakarsai oleh ‘Abd al-Aziz ibn Marwan (w.85 H)[16],
ayah dari ‘Umar ibn Abd al-Aziz sendiri, yang ketika itu menjabat sebagai
gubernur di Mesir. Riwayat tersebut menceritakan bahwa ‘Abd al-Aziz telah
meminta Katsir ibn Murrah al-Hadhrami, seorang Tabi’in di Himsha yang pernah
bertemu dengan tidak kurang dari 70 veteran Badar dari kalangan Sahabat, untuk
menuliskan Hadis-Hadis Nabi Saw yang pernah diterimanya dari para Sahabat
selain Abu Hurairah, dan selanjutnya mengirimkanya kepada ‘Abd al-Aziz sendiri.
Dan ‘Abd al-Aziz menyatakan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah sudah dimiliki catatannya yang didengarnya sendiri secara langsung.
Perintah tersebut adalah pertanda bahwa telah dimulainya pembukuan Hadis secara
resmi yang diprakarsai oleh penguasa, dan hal tersebut terjadi pada tahun 75 H.[17]
F.
Kodifikasi
Hadis Masa Umar Bin Abdul Aziz
Meskipun ‘Abd al-Aziz, sebagaimana
yang dikemukakan oleh ‘Ajjaj al-Khathib, telah lebih dahulu memprakarsai
pengumpulan Hadis, namun karena kedudukannya hanya seorang gubernur, maka
jangkauan perintahnya untuk mengumpulkan Hadis kepada aparatnya, adalah
terbatas sekali, sesuai dengan keterbatasan kekuasaan dan wilayahnya. Demikian
juga para ulama ketika itu. Adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz, putra Abd al-Aziz
sendiri yang memprakarsai pengumpulan Hadis secara resmi dan dalam jangkauan
yang lebih luas. Hal tersebut dikarenakan posisinya sebagai khalifah dapat
memerintahkan kepada para gubernurnya untuk melaksanakan tugas pengumpulan dan
pengkodifikasian Hadis. Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm (w.117 H),
gubernur di Madinah, adalah diantara gubernur yang menerima instruksi “Umar ibn
‘Abd al-Aziz untuk mengumpulkan Hadis. Dalam instruksinya tersebut ‘Umar
memerintahkan ibn Hazm untuk menuliskan dan mengumpulkan Hadis yang berasal
dari :
1. Koleksi
Ibn Hazm sendiri;
2. Amrah
binti ‘Abd al-Rahman (w.98 H), seorang faqih, dan muridnya, Sayyidah ‘Aisyah
r.a;
3. Al-Qasim
ibn Muhammad ibn Abu Bakar al-Shiddiq (w.107 H), seorang pemuka Tabi’in dan
salah seorang dari Fuqaha yang tujuh.[18]
Ibn Hazm melaksanakan tugas tersebut
dengan baik, dan tugas yang serupa juga dilaksanakan oleh Muhammad ibn Syihab
al-Zuhri (w.124 H), seorang Ulama besar dihizab dan Syam. Dengan demikian,
kedua ulama diataslah yang merupakan pelopor dalam kodifikasi Hadis berdasarkan
perintah Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz. Dari kedua tokoh diatas, para Ulama
Hadis lebih cenderung memilih Al-Zuhri sebagai kodifikator pertama dari pada
Ibn Hazm. Hal ini adalah karena kelebihan Al-Zuhri dalam hal berikut :
a. Al-Zuhri
dikenal sebagai Ulama besar di bidang Hadis dibandingkan dengan yang lainnya;
b. Dia
berhasil menghimpun seluruh Hadis yang ada di Madinah, sedangkan Ibn Hazm tidak
demikian;
c. Hasil
kodifikasinya dikirimkan ke seluruh penguasa di daerah-daerah sehingga cepat
tersebar.[19]
Meskipun Ibn Hazm dan Al-Zuhri telah
berhasil menghimpun dan mengkodifikasikan Hadis, akan tetapi karya kedua Ulama
tersebut telah hilang dan tidak bisa dijumpai lagi sampai sekarang. Setelah
masa Ibn Hazm dan Al-Zuhri, muncullah para Ulama Hadis yang berperan dalam
menghimpun dan menuliskan Hadis, dibeberapa kota yang telah dikuasai Islam,
seperti ‘Abd al-Malik ibn ‘Abd al-Aziz ibn Juraij al-Bashri (80-150 H / 669-767
M) di Mekah; Malik ibn Anas (93-179 H / 703-798 M), dan Muhammad ibn Ishaq
(w.151 H/768 M) di Madinah;Al-Rabi’ ibn Shabih (w.160 H), Sa’id ibn Abi ‘Arubah
(w.156 H), dan Hammad ibn Salamah (w.167 H) di Basrah; Sufyan al-Tsauri (w.
97-161 H) di Kufah; Khalid ibn Jamil al-‘Abdi dan Ma’mar ibn Rasyid (95-153 H)
di Yaman; ‘Abd al-Rahman ibn ‘Amr Al-Auza’I (w. 88-57 H) di Syam; ‘Abd Allah
ibn al-Mubarak (118-181 H) di Khurasan; Hasyim ibn Basyir (104-183 H) di
Wasith; Jarir ibn ‘Abd al-Hamid (110-188 H) di Rei; dan ‘Abd Allah ibn Wahab
(125-197 H) di Mesir.[20]
G.
Kitab-kitab
Hadis pada Abad ke-2 Hijriah
Sebagaimana telah disebutkan diatas
bahwa kitab yang merupakan hasil kodifikasi pertama sudah hilang dan tidak
ditemukan lagi sampai sekarang. Diantara kitab-kitab yang merupakan hasil
kodifikasi pada abad ke-2 H, yang masih dijumpai sampai sekarang dan banyak
dirujuk oleh para Ulama adalah :
a. Kitab
Al-Muwaththa’, yang disusun oleh Imam Malik atas permintaan Khalifah Abu
Ja’far al- Manshur.
b. Musnad
Al-Syafi’I, karya Imam Al-Syafi’I, yaitu berupa
kumpulan Hadis yang terdapat dalam kitab Al-Umm.
c. Mukhtaliful
Hadis, karya Imam Al-Syafi’I yang isinya
mengandung pembahasan tentang cara-cara mengkompromikan Hadis yang kelihatannya
kontradiktif satu sama lain.
d. Al-Sirat
al-Nabawiyyah, oleh ibn Ishaq, isinya antara lain
tentang perjalanan hidup Nabi SAW dan peperangan-peperangan yang terjadi pada
zaman Nabi.[21]
H.
Ciri dan
Sistem pembukuan Hadis pada abad ke-2 Hijriah
Diantara
ciri kitab-kitab Hadis yang ditulis pada abad ke 2 H ini adalah :
a. Pada
umumnya kitab-kitab Hadis pada ini menghimpun Hadis-Hadis Rasul SAW serta
fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi’in. Yang hanya menghimpun Hadis-Hadis Nabi SAW
adalah kitab yang disusun oleh ibn Hazm. Hal ini sejalan dengan instruksi
Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz yang berbunyi :
لاتقبل إلا حديث الرسول صل الله عليه
وسلم
Artinya
:”Janganlah kamu terima selain dari Hadis Nabi SAW”.
b. Himpunan
Hadis pada masa ini masih bercampurbaur antara berbagai topik yang ada, seperti
yang menyangkut bidang tafsir, sirah, Hukum dan sebagainya, dan belum dihimpun
berdasarkan topik-topik tertentu.
c. Didalam
kitab-kitab Hadis pada periode ini belum dijumpai pemisahan antara Hadis-hadis
yang berkualitas Shahih, Hasan, dan Dha’if.[22]
I.
Pandangan Ulama Tentang Pengkodifikasian
Hadis
Ada beberapa pendapat yang berkembang
mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai.
a.
Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang
menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis
telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H), terbukti adanya Kitab
Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya.
b.
Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir ‘Abdul ‘Aziz bin
Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama HImsy untuk
mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa
perintah ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan
kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya.
c.
Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti ‘Abbasiyyah, ‘Umar
ibn ‘Abdul ‘Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah
kekuasaannya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya:” Perhatikanlah
hadis Rasulullah Saw, lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu
itu dan hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm,
beliau menyatakan: “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan
hadis yang ada pada ‘Amrah (Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H), karena aku mengkhawatirkan
ilmu itu akan hilang dan lenyap.”
Pendapat ketiga
ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah
gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para
gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut
yang nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian
menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.
Dengan demikian,
penulisan hadis yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa
Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal
abad II H, yakni masa ‘Umar bin ‘Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif
tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal
yang sama sebelumnya.
Adapun siapa
kodifikator hadis pertama, muncul nama Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 123 H), karena
beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadis dalam satu kitab dan
menggandakannya untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya:
”Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami
menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau
mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya.
Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadis. Adapun
ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang
mengkodifikasikan hadis pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak
digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke
berbagai wilayah.
Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadis sebelum adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn ‘Abdul ‘Azia telah dilakukan, yakni oleh Khalid bin Ma’dan (w. 103 H). Rasyid Ridha (1282-1354 H) berpendapat seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini ditolak ‘Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual, dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat. Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.
A.
Kesimpulan
Akhirnya, makalah singkat ini menghantarkan kepada
beberapa kesimpulan, antara lain: Ada empat faktor yang mendorong ‘Umar ibn
Abd al-Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan
pembantunya untuk mengumpulkan dan menuliskan Hadis, diantaranya adalah : Pertama,
tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan Hadis. Kedua,
munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya Hadis karena banyaknya para
Sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut atau karena seringnya terjadi
peperangan. Ketiga, semakin maraknya kegiatan pemalsuan Hadis yang
dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab dikalangan umat
Islam. Keempat, karena telah semakin luasnya daerah kekuasaan Islam
disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh
umat Islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan
petujuk-petunjuk dari Hadis Nabi SAW, selain petunjuk Alquran sendiri.
B.
Kritik
dan Saran
Masih banyak kekurangan yang perlu
diperhatikan baik dari segi penulisan maupun dari isi makalah ini. Maka dari
itu, kami selalu menerima kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun agar kedepannya makalah saya lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi,Sejarah
& Pengantar Ilmu Hadis, Semarang;PT.Pustaka Rizki Putra,202.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, Jakarta; PT.Ichtiar Baru van Hoeve, Jil-2, Cet-4, 1997.
Jumantoro, Totok, Kamus
Ilmu Hadis, Jakarta;Bumi Aksara, Cet.I, 1997
Muhaimin, Studi Islam, Dalam Ragam
Dimensi & Pendekatan, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2012.
Solahuddin, M.Agus, dan
Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung:CV. Pustaka Setia, 2011
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta:PT.Mutiara
Sumber Widya,2001.
Ahmad, M. dan Muzakkir,Ilmu Hadis. (Bandung:
Pustaka Setia, 1998)
Al-Khatib, M. Ajjaj,al-Sunnah Qabla Tadwīn, diterjemahkan AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum
Dibukukan (Cet. 1; Gema Insani Press, 1999)
Al-Khatib, M. ‘Ajaj Ushul al-Hadis. terj. M. Qadirun Nur &
Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis (Cet. 1; Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1998)
[1]M. Ajjaj Al-Khatib, al-Sunnah
Qabla Tadwīn, diterjemahkan AH. Akrom Fahmi, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan
(Cet. 1; Gema Insani Press, 1999), h. 21
[2] Lihat QS. Al-Isra’ (79):
9. Lihat uraian Muhammad Abduh mengenai wahyu dan Alquran dalam “Risalah
al-Tauhid” (Cet. 7; Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 144-154 dan h. 185-192.
[3] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Tafsir (Djakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 149. Uraian
yang sama terdapat dalam M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Cet.
2; Bandung; Angkasa, 1994), h. 55.
[4] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis (Cet. 1; Jakarta: Amzah, 2008), h. 16.
[5] Ibid., h. 17-19.
[6] M.Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis
(Bandung:CV. Pustaka Setia, Cet.II, 2011), h. 33.
[7] Abdul Majid Khon, Ulum
Hadis, (Cet. Ke-2, Jakarta: Amzah, 2009),
h. 78
[8] Abdul Majid Khon , Ibid
, h. 79
[9] Q.S. Al Hujurat (49): 6
[10] Q.S. Al Baqarah(2): 282
[11] Q.S. At Thalaq (65): 2
[12] Abdul Majid Khon, Ibid , h. 81-82
[13]Munzier Suparta,. Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 22
[14] Nawir Yuslem, Ulumul
Hadis (Jakarta:PT.Mutiara Sumber Widya,Cet. I, 2001), h. 125-126.
[15] Nawir Yuslem, Ibid, h. 126-127.
[16] ‘Abd al-Aziz ibn Marwan Wafat 85 H/705 M adalah berasal dari dinasti Umayyah, putra Khalifah Marwan I
(memerintah 684-685) dan ayah dari Khalifah Umar II (r. 717-720). Istrinya Umm
Asim Layla binti Asim adalah cucu kedua dari Khalifah Umar ibn al-Khattab, Lihat; http://en.wikipedia.org/wiki/Abd_al-Aziz_ibn_Marwan.
[17] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, h. 128.
[18] Fuqaha yang tujuh adalah : Al-Qasim,
‘Urwah Ibn Zubair, Abu Bakar Ibn Abdir Rahman, Sa’id Ibn Musyyab, Abdillah Ibn
Abdullah Ibn ‘Utbah Ibn Mas’ud, Kharijah Ibn Zaid Ibn Tsabit, dan Sulaiman Ibn
Yassar. Lihat, M.Sholahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadis, h..39.
[19] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 129-130.
[20] Ibid, h. 130.
[21] Ibid, h. 131
[22] Nawir Yuslem, Ibid, h. 131-132.
OLEH:
OKTRIGANA WIRIAN
MUHADRI
ZAINI TANJUNG
RIKA KUMALA SARI
Catatan: Penulis merupakan mahasiswa Program Magister PAI UINSU 2017
0 Post a Comment:
Posting Komentar