"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Senin, 23 Januari 2023

MUNASABAH

 

Pada dasarnya seorang muslim itu diperintahkan untuk membaca, membaca baik yang tersurat maupun yang tersirat. Untuk itu, kita sebagai muslim wajib mengetahui kitabnya yakni Al quran. Al quran merupakan sumber acuan nilai, sikap serta prilaku umat Islam. Sebagai acuan tentunya Al quran harus dipahami lebih dulu, lalu diamalkan. Upaya pemahaman Al quran tersebut dilakukan dengan berbagai macam cara, melalui ilmu asbab nuzul, munasabah dan lainnya.

Pada asbab nuzul itu mengaitkan satu atau sejumlah ayat dengan konteks sejarah. Maka fokus perhatian ilmu munasabah antar ayat dan surat bukan pada kronologi historis dari bagian - bagian teks, tetapi aspek pertautan antar ayat dan surat menurut urutan teks. Bagi para mufassir,  munasabah lebih urgen daripada ilmu asbab nuzul turunnya Al quran. Subhi as-Salih mengatakan, wajar jikalau penjelasan tentang munasabah lebih didahulukan ketimbang asbab nuzul, mengingat begitu banyak manfaat yang timbul dari ilmu munasabah. Apalagi dikatakan dalam kaidah tafsir, yaitu ukuran dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan penyebab turunnya ayat yang bersifat khusus.

Dalam pembahasan makalah ini akan diuraikan makna al-munasabah dalam Al quran, pengertian, landasan pikir tentang adanya al-munasabah, bentuk-bentuk al-munasabah dalam Al quran  serta urgensi mengapa perlu untuk mengetahui al-munasabah itu sendiri. Pada akhirnya Al quran bisa kita fahami bukan sekedar dari harmoni bacaan yang indah dari pelantun yang membacakan, namun juga dapat menjadikan korelasi yang terkait antara ayat, dengan surat yang ada dalam Al quran.

         Pengertian Munasabah

 Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa Arab dari asal kata nasaba- yunasibu-munasabahan, yang mengandung arti satu, berdekatan, mirip, menyerupai. Imam  az-Zarkasyi mengartikan ungkapan tersebut dengan dua orang yang mempunyai kemiripan atau keterdekatan. Kata terdekat lain menurut as-Suyuthi berarti al-musyakalah (keserupaan) dan al-muqorobah (kedekatan)[1]. Yaitu al-munasabah yang dapat dilihat dari dua segi : makna dan kepastian hubungan dalam analogi. Dari segi makna ‘am dan khas atau ‘aqli dan hissi atau khayali, dan dari segi analogi seperti sebab dan akibat (kausalitas), illat dan ma’lul, dua hal yang serupa atau dua hal yang berlawanan. Lebih jelas mengenai pengertian munasabah secara etimologis disebutkan dalam al-Burhan fi Ulumil Quran bahwa munasabah merupakan ilmu yang mulia yang menjadi teka-teki akal fikiran, dan yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang diucapkan.  Munasabah digunakan dalam ‘illat dalam bab qiyas, dan berarti alwasf al-mukarrib li al-hukm (gambaran yang berhubungan dengan hukum)[2]. Selain itu, munasabah diungkapkan pula dengan kata rabth (pertalian). Di dalam buku berbahasa Indonesia dipakai beberapa istilah yang bervariasi sebagai sinonim dari munasabah, seperti kesesuaian, hubungan, korelasi, kaitan, pertalian, tanasub,  relevansi.  

Sedangkan menurut terminologi, yang diambil dari para ahli. Imam al-Alma’i mendefenisikan al-munasabah dengan pertalian antara dua hal dalam aspek apapun dan dari berbagai aspeknya. Adanya aspek hubungan antar satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam himpunan beberapa ayat, ataupun hubungan surat satu dengan surat yang lain. Pengertian al-munasabah yang dikemukakan oleh para ahli ini sangat luas sekali, dan ketika diterapkan dalam ayat dan surat Al quran yang menyajikan segala hubungan (keterikatan) yang terdapat dalam kalimat (dalam satu ayat) antar ayat dan antar surat dalam Al quran. Begitu juga dengan Mann’ al-Qaththan yang mengartikan al-munasabah dengan keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antara surat (di dalam Al quran)[3]. Menurut Ibnu al-Arabi munasabah merupakan keterikatan ayat-ayat Al quran sehingga seolah-olah merupakan satu kesatuan makna dan keteraturan redaksi, munasabah merupakan ilmu yang sangat agung[4]. Al-Biqai’  mengatakan munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al quran, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat[5].

Jadi dalam konteks ulum Al quran, munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antara ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus (rasional atau aqli), persepsi (hadits) atau imajinatis (khayali) atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan dan perlawanan.[6] Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli maka munasabah itu dapat diartikan suatu upaya memahami isi dan kandungan ayat Al quran dengan memperhatikan korelasi antara faktor-faktor yang terdapat dalam setiap bagian Al quran melalui pemikiran yang logis.

       Landasan Teoritis tentang Adanya al-Munasabah dalam Al quran

Asbab al-Nuzul penting dipelajari, namun pengetahuan tentang korelasi ayat dalam Al quran juga tidak kalah pentingnya, karena pengetahuan ini juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu, sebagian ulama mengkhususkan diri mereka untuk menulis buku mengenai pembahasan diantaranya Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim Ibnu Zubair al-Andalusia an-Nahwi al-Hafidz yang wafat pada tahun 807 H. Kitabnya  berjudul al-Burhan fi Munasabati Tartibi suwaril Quran. Dan Syaikh Burhanuddin al-Biqa’i mengarang kitab yang diberi judul Nazmud Durar fi Tanasub al-Ayat was Suwar. Naskah kitab ini terdapat pada Darul Kutub al-Misriyah dalam bentuk manuskrip[7].

 Adapun yang dijadikan landasan bahasan munasabah antara lain terdapat dalam Firman Allah pada surah Hud ayat 1 :

    الٓرۚ كِتَٰبٌ أُحۡكِمَتۡ ءَايَٰتُهُۥ ثُمَّ فُصِّلَتۡ مِن لَّدُنۡ حَكِيمٍ خَبِيرٍ ١

Alif laam raa, (inilah ) suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi sertadijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. “[8]  

Dalam surah yang lain dapat kita lihat pada surah az-Zumar ayat 23 :

ٱللَّهُ نَزَّلَ أَحۡسَنَ ٱلۡحَدِيثِ كِتَٰبٗا مُّتَشَٰبِهٗا مَّثَانِيَ تَقۡشَعِرُّ مِنۡهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمۡ وَقُلُوبُهُمۡ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهۡدِي بِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُضۡلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنۡ هَادٍ ٢٣

Allah telah menurunkan perkataan yang baik yaitu Al quran yang serupa yang (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka diwaktu mengingat Allah. Itulah  petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak seorangpun yang dapat memberi petunjuk.”[9]

 Selain kedua surat dan ayat tersebut dapat disimak salah satu Hadits Nabi Muhammad s.a.w. yang artinya : “Letakkanlah olehmu ayat ini dalam surat yang disebutkan padanya begini.”[10] Setelah memperhatikan nash-nash tersebut para ulama sepakat (ijma’) bahwa tertib surat dan ayat dalam Al quran adalah bersifat tauqifi, yaitu datang dari Allah melalui Nabi Muhammad saw., hal ini berdasarkan beberapa riwayat  sebagai berikut :

·                     Apabila Jibril turun membawa ayat kepada Rasul sambil memberi petunjuk untuk meletakkan ayat pada suratnya, kemudian Nabi membacakan kepada sahabat dan menyuruh pada sahabat pencatat wahyu menuliskannya dalam surat tertentu.

·                 Rasulullah membacakan ayat secara berulang-ulang baik yang pernah dibawanya selama shalat maupun dalam nasehat-nasehatnya.

·                     Jibril setiap tahun mengadakan bacaan ulang ayat-ayat yang pernah dibawanya selama ini bahkan bertadarus dengan Nabi.[11]

Adapun menurut Maududy dalam Mabadi Asasiah fi Fahmil Quran, selain tersebut di atas juga perlu dijadikan dorongan atau teori bahwa setiap ayat yang sudah berulang-ulang direnungkan, tetapi masih belum dipahami, maka usaha selanjutnya adalah merenungkan ayat-ayat berikutnya yang mungkin dapat menjawab persoalan tersebut.

       Letak dan Bentuk – bentuk al Munasabah

Kajian mengenai korelasi dan hubungan antara ayat-ayat atau surah bukanlah hal yang tauqifi, tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap mukjizat Al quran rahasia retorika dan segi keterangannya yang mandiri serta keharmonisan konteksnya[12]. Sehingga seorang mufassir harus mencari kesesuaian setiap ayat, karena Al quran al - Karim turun secara bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Seorang mufassir terkadang dapat menemukan hubungan antara ayat-ayat dan terkadang pula tidak. Oleh sebab itu, ia tidak perlu memaksakan diri untuk menemukan kesesuaian itu, sebab kalau memaksakannya juga maka kesesuaian itu hanyalah dibuat-buat dan hal itu tidak disukai.

Sebagian mufassir telah menaruh perhatian besar untuk menjelaskan korelasi antara kalimat dengan kalimat, ayat3 dengan ayat, atau surah dengan surah dan mereka telah menyimpulkan segi-segi kesesuaian yang cermat. Hal itu disebabkan karena sebuah kalimat terkadang merupakan penguat terhadap kalimat sebelumnya sebagai penjelasan, tafsiran atau sebagai komentar akhir. Dari pembahasan para ulama tentang korelasi antara ayat dengan ayat serta ayat dengan surat yang terdapat dalam Al quran, secara garis besarnya terbagi kepada dua bagian penting yaitu dilihat dari letak dan bentuknya. Pertama,  menurut letaknya dibagi menjadi dua bagian:

1.                      Munasabah antara surat, maksudnya hubungan makna inti dari suatu dengan surat sesudahnya. Letak hubungan makna ini terbagi ke dalam tiga macam:

-          Munasabah antar nama surat, seperti telah dikemukakan antara lain oleh al-Baqa’i, al-Razi, as-Suyuti dan al-Maraghi, antara nama surat baik yang sesudahnya maupun sebelumya terdapat hubungan inti. Seperti surah al-Qital, al-Fath, al-Hujurat artinya kamar-kamar, maksudnya pembagian tugas. Jadi munasabah yang terdapat dalam nama-nama surat tersebut adalah dalam perorangan ada kemenangan, kemenangan itu biasanya dibagi-bagi tugas.[13]

-          Munasabah antara akhir surat dengan awal surat berikutnya. Dapat dilihat di akhir surat al-Fatihah yang menerangkan tentang doa-doa orang-orang yang beriman, agar Tuhan melimpahkan hidayah tersebut pada mereka. Hidayah tersebut berupa jalan yang lurus, yang pernah diberikan-Nya kepada orang-orang baik seperti para Rasul, Nabi dan orang sholeh bukan jalan yang dimurkai-Nya dan sesat. Pada awal surat berikutnya (al-Baqarah), Allah menjawab doa itu “ inilah kitab Al quran yang tidak ada keraguan di dalamnya, dan ia sekaligus merupakan hidayah bagi orang-orang yang bertaqwa.”

-          Munasabah antar surat yang berdampingan. Maksudnya ada keserasian kandungan suatu surat secara umum dengan surat berikutnya. Dapat  disimak diantaranya, keserasian antara surat al-Fatihah dengan al-Baqarah. Al-Fatihah mengandung pokok-pokok ajaran Islam sedang perinciannya terdapat di dalam surat al-Baqarah.

Kedua,  munasabah antara ayat. Maksudnya, ada keserasian antar ayat-ayat yang berdekatan atau antar bagian-bagian dalam satu ayat. Bagian ini mencakup 6 (enam) macam ;

-          Munasabah antara awal suatu surat dengan akhirnya, dikemukakan oleh Al-Biqa’i , as-Suyuti, Ata dan Al-Razi maksudnya isi awal surat berkaitan dengan apa yang disebut pada akhir surat itu sendiri. Contohnya surat al-Baqarah dimulai dengan masalah kitab suci Al quran sebagai  petunjuk bagi orang yang beriman. Dan mereka beriman pula pada kitab-kitab terdahulu. Sedangkan  pada bagian akhir surat tersebut disebutkan pula tentang keimanan Rasulullah dan orang-orang beriman kepada kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para Nabi.

-          Munasabah antar fawatihussuwar dengan kandungan suratnya. Munasabah ini hanya dikemukakan oleh ‘Atha sendiri, contoh yang dikemukakannya seperti yang terdapat dalam surah Qaf dan surah Yunus. Di dalam surat tersebut huruf qaf dan ra disebutkan secara beulang-ulang. Konon, katanya kurang lebih antara 50 dan 200 kali sesuai dengan panjangnya surat.

-          Munasabah antar kandungan pokok suatu surah dengan ayat bagian akhir surat itu sendiri. Ini hanya diungkapkan oleh al-Razi seperti dalam surah ali- Imran ayat 200 yang ditutup dengan ayat, “Hai orang-orang yang beriman bersabarlah dan saling menyebarlah.  Menurutnya dalam ayat tersebut tercakup hal ihwal antara lain yang berhubungan dengan dirinya sendiri dan yang menyangkut dengan orang lain, yaitu yang satu ia harus bersabar dan ia juga harus menyebarkan orang lain.

-          Munasabah antar satu kelompok dengan kelompok yang ada di sampingnya. Misalnya antara ayat 3 sampai 5 dengan ayat 6 dan 7 berikutnya, menurut al-Hijazy bahwa  Allah memulai surat ini dengan pembicaraan tentang Al quran dan sikap manusia terhadapnya. Ia menyebutkan manusia terbagi kepada tipe, antara lain orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh kemenangan baginya, orang kafir dan sombong terhadap kebenaran dan orang munafik. Baik kafir maupun munafik mereka adalah sebagai penghuni neraka.[14]

-          Munasabah antar bagian suatu ayat. Sebagai contoh keserasian antar kalimat alhamdulillah dengan robbil’alamiin, ternyata yang diberi kasih sayang itu tidak terbatas kepada manusia saja. Akan tetapi juga makhluk lainnya.

-   Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan. Seperti dalam Bismillah dengan alhamdulillahi rabbil ‘alamiin. Ayat pertama berisi pengakuan bahwa Allah itu ada dan berhasil atau tidaknya perbuatan seseorang itu bergantung kepadanya. Allah itu Tuhan yang Rahman dan Rahim yang telah memberikan sejumlah nikmat sekalipun termasuk orang kafir. Sebab itu Dia dipuja dan pujiannya bagi semesta alam.

Adapun  menurut bentuknya, khususnya munasabah antar bagian-bagian ayat secara garis besarnya terbagi kepada dua macam, yaitu:

1.      Munasabah yang jals, memurut al-Zarkasy bentuk munasabah ini meliputi;

·         Munasabah dengan bentuk ta’kid, maksunya apabila salah satu ayat atau bagian suatu ayat memperkuat makna atau bagian ayat yang terletak di sampingnya. Seperti ayat alhamdulillahirabbil ‘alamiin diperkuatnya maknanya oleh ayat berikutnya al-Rohmanirrahiim. Artinya Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

·         Munasabah dengan bentuk tafsir, ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat berikutnya. Misalnya, ayat 3-5 al-Baqarah menafsirkan arti muttaqqqin yang terdapat pada ayat 2 sebelumnya. Yaitu dengan mengungkapkan beberapa sifat orang-orang yang bertaqwa. Maka konsep taqwa tersebut menjadi jelas.               

2.      Munasabah yang  berbentuk tsamar, diantaranya:

·         Bentuk medoddah, yaitu antara bagian masing-masing ayat tersebut memiliki makna sebaliknya. Contohnya terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 6, ayat yang terdapat sesudah ayat sebelumnya yang menerangkan tentang Al quran, orang yang beriman dan bertaqwa serta keuntungan mereka. Karenanya makna ayat tersebut erat kaitannya dengan sifat orang kafir sebagai makna lawannya.

·         Bentuk istidrad, yaitu bila suatu ayat atau bagian tertentu dengan berikutnya mengandung makna yang menyimpang, tetapi pada akhir ayat tersebut kembali kepada tujuan semula. Seperti terdapat dalam ayat semula ayat 59 surah Hud. Pada ayat tersebut memiliki dua bagian makna. Pertama, tentang binasanya penduduk Madyan dan kebinasaan kaum Tsamud dari umat nabi Saleh, keduanya memiliki tempat dan waktu yang berbeda. Munasabah disana terdapat dalam kebinasaan mereka akibat kedurhakaannya. Istidradnya, semula membicarakan kaum nabi Syu’aib kepada umat nabi Saleh.

·         Munasabah dengan bentuk takhallus, yaitu apabila suatu ayat atau bagiannya mengarah kepada makna yang lain. Seperti terdapat dalam surat an-Nur ayat 35, dalam ayat tersebut terdapat 5 takhallus antara lain takhallus dengan menyebutkan az-Zujajah dan sifat-sifatnya dari cahaya. Kemudian menyebutkan cahaya dan al-Zait. Juga takhallus dengan mengemukakan kata as-Sajarah. Lalu muncul takhallus dengan menyebutkan sifat-sifat az-Zait, seterusnya menyebutkan minyak dan sifat-sifat cahaya yang ada di dalamnya. Dan terakhir Allah menunjukkan takhallus dengan memberikan petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Untuk meneliti keserasian susunan ayat dalam surah munasabah dalam Al quran diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian, memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat, menentukan tingkatan uraian-uraian atau tidak, dan dalam mengambil kesimpulannya hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasannya dengan benar dan tidak berlebihan.

     Pandangan para Ulama tentang Munasabah

Sebagaimana cabang Ulumul Quran yang lain, ilmu munasabah juga ada pro dan kontra. Ada yang tidak mengakui eksistensi ilmu munasabah dengan alasan bahwa ayat Al quran merupakan unit-unit yang berdiri sendiri (mustaqillah), dan diantara ayat-ayat Quran yang diletakkan berurutan di dalam mushaf, banyak yang turun dengan interval waktu yang sangat panjang, maka bukan suatu keharusan adanya keterkaitan antara satu ayat dengan ayat yang lain (Mahmud Syaltut dan Ma’ruf ad-Dualibi).

Pendapat ulama tentang keberadaan munasabah, secara garis besar, terbagi menjadi dua kelompok. Yang pertama, menampung dan mengembangkan munasabah dalam menafsirkan ayat, tokoh yang mempelopori keberadaan ilmu munasabah, Abu Bakar an-Naysaburi (w. 324 H) selalu mempertanyakan mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat ini dan apa rahasia diletakkan di samping surat ini. Burhanudin al-Baqa’i memandang ayat-ayat Al quran saling terkait, tidak penghentian yang sempurna dalam Al quran, setiap ujung frase, ujung ayat dan ujung surat, memiliki keterkaitan dengan bagian berikutnya. Tafsirnya Nadzem ad-Durar fi Tanabasu al-Ayat waas-Suwar. Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606) menyatakan bahwa umumnya perbendaharaan Al quran terletak pada rangkaian tata urutan dan pertaliannya, dalam kitabnya mafatihul ghoib fi tafsiril quran (kunci keajaiban dalam menafsirkan Al quran). Al -Qadhi Abu Bakar Ibn al-Arabi (468-543H) dengan kitabnya sirajul – muridin wa sirajul muhtadin (lentera orang-orang yang berkehendak dan lentera orang-orang yang meraih petunjuk), mengatakan bahwa hubungan pertalian ayat-ayat Quran antara bagian dengan bagian lainnya laksana kalimat yang sangat teratur dan tersusun rapi penjelasannya.

Al-Imam Badruddin Muhammad bin Abdillah az-Zarkasy mengatakan al-munasabah bersifat rasional, terjangkau oleh akal. Berbagai hubungan antara pembuka surat dan penutup surat maknanya berdasarkan pendekatan penalaran seperti sabab-musabab, illat dan ma’lul dan lain-lain, dapat mengukur kecerdasan seseorang. Izzuddin bin Abdu-Salam (577-660 H) mewakili ahli ilmu Klasik, berpendapat bahwa tidak semua ayat Al quran bermunasabah, sementara ahli ulumul quran kontemporer yang sependapat dengan Izzuddin yaitu Manna al-Qaththan dan Subhi as-Shahih tidak setuju pemaksaan ilmu munasabah untuk seluruh ayat Al quran, ayat Al quran diturunkan dalam rangka menjawab berbagai pertanyaan dan kasus berbeda, pewahyuan Al quran selama 22 tahun 2 bulan, 22 hari, bagaimana merangkai seluruh ayat yang sedemikian banyak dan sedemikian panjang waktu penurunannya. Salah  seorang mufassir kontemporer yang kurang setuju dengan munasabah adalah Syeikh Mahmud Syaltut mantan rektor Al-Azhar Kairo, juga tokoh lainnya yaitu Ma’ruf Dualibi,   usaha sia-sia mencari hubungan ayat dalam surat. Oleh karena itu tidak tepat mengharuskan adanya  keterkaitan antar ayat yang bersifat tafsil, pendapat ini ditulis dalam kitab al-Muwafaqat oleh asy-Syatibi.

  Urgensi Pembahasan Ilmu Munasabah

Dalam memahami Al quran, dengan berbagai macam cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan munasabah antar ayat dan surat. Ayat atau surat Al quran disusun secara runtut dan segar untuk dinikmati. Sehingga pembacanya tidak mau lepas dari mentadabburi halamannya. Sekilas memang terlihat seperti disusun secara acak, namun hal itu membuat semacam dinamika yang apik dan berbeda dengan kitab-kitab lainnya. Karena susunan ayat-ayat dan surat-suratnya dipadu secara dinamis dan menarik untuk dibaca maupun didengar.[15] Pengetahuan tentang munasabah sangat bermanfaat, selain dapat memahami antar makna, keteraturan susunan kalam, keindahan bahasa dan gaya juga menjelaskan keterannya secara terperinci dari mukjizatnya secara retorik. Kajian munasabah adalah segala aspek yang menghubungkan antara kalimat yang satu dengan yang lain, antara ayat satu dengan ayat yang sebelum dan sesudahnya. Atau antara surat satu dengan surat yang lainnya dalam mushaf Al quran sebagaimana firman Allah SWT. Q.S. Hud/11 : 1.

Pengetahuan tentang korelasi antara ayat-ayat dan surat-surat pada dasarnya bukanlah bersifat tauqifi, seperti halnya mushaf Al quran[16]. Namun merupakan ijtihad oleh para mufassir yang berdasarkan riwayat, dirayah, tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al quran, rahasia retorika dan stilistika (susunan huruf-huruf dalam teks Al quran). Dan apabila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteksnya dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu-ilmu bahasa Arab, maka korelasi itu sekiranya dapat diterima. Dan tidak mudah mengkorelasikan Al quran, karena Al quran diturunkan dalam waktu lebih dari 22 tahun, mengenai berbagai macam hukum dan karena sebab yang berbeda.[17]

Dan mengutip pendapat Quraish Shihab sebelumnya atas dapat diterimanya munasabah tersebut atau tidak, sekiranya korelasi tersebut dapat mengenalkan khazanah ulumul quran dan memperkaya pemahaman terhadap Al quran. Ilmu munasabah merelevansikan pemahaman atas isi kandungan Al quran. Karena dapat berperan mengganti ilmu asbab nuzul, apabila kita tidak dapat mengetahui sebab turunnya suatu ayat.[18] Bahkan ilmu munasabah ini melampaui kronologis historis dalam bagian-bagian teks, yaitu urutan ayat-ayat dan surat-surat (tartib at-tilawah) sebagai lawan dari asbab an-nuzul (tartib at-tanzil). Dengan menguasai ilmu ini sekiranya dalam membaca Al quran kita akan merasakan secara mendalam bahwa Al quran merupakan satu kesatuan yang utuh dalam untaian kata-kata yang harmonis dengan makna yang kokoh, tepat dan akurat sehingga tidak adanya sedikitpun kecacatan. Diawali dengan surat al-Fatihah hingga an-Nas dapat dirasakan pada semua ayat dan surat disusun secara harmoni menyatu dalam lafadz-lafadznya yang indah. Keseluruhan teks Al quran menjadi kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling berkaitan adalah keniscayaan, menjadikan pandangan dunia atas Al quran sebagai petunjuk (hudan) dalam mencerahkan dan mencerdaskan pembacanya (umat Islam).

Munasabah dapat menjadi alat peminimalisir pendekatan atomistik, karena akibat dari pendekatan atomistik ini acap kali umat terjebak pada penetapan hukum yang diambil atau didasarkan dari ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagai hukum.[19] Fazlur Rahman dan al-Syatubi (w. 1388) memahami benar akan pemahaman Al quran sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif.[20] Badrudin Muhammad az-Zarkasyi dalam ‘al-Burhan’ menuliskan bahwa manfaat ilmu munasabah antara lain menjadikan sebagian pembicaraan berkaitan dengan sebagian yang lain sehingga hubungannya menjadi kuat, tersusun secara baik dan jelas.

 

   Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu munasabah merupakan ilmu yang mempelajari tentang hakikat keserasian (korelasi) antar satu bagian dengan bagian yang lain, baik antar surat maupun antar ayat dalam Al Quran. Dan ilmu ini sepenuhnya bersifat ijtihadi, bukan bersifat tauqifi. Ilmu munasabah juga memiliki berbagai macam letak dan bentuknya. Juga landasan teori yang mendasari adanya munasabah baik itu dalam Al quran maupun al-Hadits.

Munasabah juga memiliki fungsi ataupun memberikan makna yang tak kalah pentingnya untuk dikaji seperti cabang ilmu asbab an-Nuzul juga cabang Ulumul Quran lainnya. Munasabah dari segi macam maupun bentuknya menunjukkan Al quran memiliki susunan tersendiri. Susunan tersebut jauh berbeda dengan sistematika buku-buku yang kita kenal sekarang dengan susunan bab per bab. Kendatipun demikian Al quran tak sedikitpun menunjukkan suatu sistematika yang kacau, apalagi dikatakan sebagai suatu susunan yang tidak ilmiah, padahal ilmiah adalah merupakan rekayasa insani sedangkan Al quran merupakan Ilahiyah,[21] berasal dari Tuhan. Munasabah juga dapat membantu untuk lebih memahami isi kandungan ayat-ayat Al quran agar kita terus untuk menggali dan mempelajari secara mendalam, sehingga Al quran dapat lebih dirasakan sebagai hudan dan Rahmatan lil Alamiin.

 Wa-Allahu a’lam.                                       

                    Daftar Pustaka         

        Anonim 1995. Al quran dan Terjemahan, Semarang : Toha Putera

        Al-Asqalani, Ibnu Hajar (t.t), Fathul Bari, Beirut : Dar al-Fikr

        Al-Baqi’, Burhanuddin. 1968,  Nazmud Durar fi Tanasub al-Ayatil Karim, Cairo : Dar al Syuruq

        Al-Zarkasyi, Badruddin 1957. al-Burhan fi Ulum Al-Quran, Mesir : al-Halaby

        Al-Maraghi, Mustafa 1969. Mafatih al-Ghaib, Libanon : Dar al-Fikr

        Anwar, Rosihan. 2008. Ulum al-Quran. Bandung : Pustaka Setia

        Djalal,  Abdul. 2008. Ulumul Qur’an. Surabaya : Dunia Ilmu

        Hijazy, Mahmud. 1968. At – tafsir al-Quran al-Karim,  Beirut : Dar  al-Kutub

        Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr, Beirut, t.t, Jilid 1

        Makluf, Ahmad. 1959. I’jaz Al-Qur’an, Beirut : Dar al-Fikr

        Manna’, al-Qaththan. 1973 Mahabits fi ulum al-Quran, Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.tp.,

        Nashruddin, Baidan. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

        Shaleh, Subhi. 1987.  Mabahis fi Ulumil Quran, Beirut : Dar al-Fikr

        Shihab, M. Quraisy. 1996, Membumikan al-Qur’an, Bandung : Mizan    

        http://muhammadyusuf.co.id/2012/02/munasabah-dalam-alquran.html. Dikutip pada tanggal 23 September 2017, pukul 20.00 wib.

                                



[1] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum Al-quran, Dar al-fikr, Beirut, t,t.,jilid 1, h.108

[2] Badr ad-Din Muhammad bin Abdillah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-quran, jilid 1, h.35

[3] Mann al-Qaththan, Mabahit fi ‘Ulum Al quran, Mansyurat al-Ashr al-Hadts, t.tp., 1973, h.97

[4] ibid

[5] Burhanuddin al-Biqa’i. Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar, jilid 1, Majelis Da’irah al-Ma’arif an-Nu’maniyah bi Haiderab, India, 1969, h.6

[6] Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Husni, Mutiara Ilmu-Ilmu Al- quran, terj. Rosihan Anwar, Pustaka Setia, Bandung, 1999, h. 305

[7] Badruddin al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al quran, h.35

[8] Anonim, Al- quran dan Terjemahan, Semarang: Toha Putera, 1985, h. 326

[9] Ibid, h.300

[10] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Beirut : t.t., Dar al-Fikr, h.465

 

[11] Ahmad Makluf, I’jaz Al quran, Beirut. Darul Tsaqafah, 1959, h.25

[12] M.Quraisy Syihab, Membumikan Al Quran, Bandung, Mizan, 1996, h. 131

[13] Mustafa al-Maraghi, Mafatih al-Ghaib, Libanon, Dar al-Fikr, 1969, h. 120

[14] Mahmud Hijazy, Al-Tafsir Al quran al-Karim, Beirut, Dar al-Kutub, 1968, h. 15

[15] Quraish Shihab, Mukjizat Al quran, Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, Mizan, Bandung, 2013, h.132

[16] As-Suyuthi, al – Itqan, t.tp., t.t., h. 176

[17] Lihat az-Zarkasy, op.cit juz 1, h.37, Manna’ al-Qaththan, op.cit, h. 98 dan M.Nor Ichwan, h. 146

[18] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya, P.T. Bina Ilmu, 1993, cet. ke-4, h. 167

[19] Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, P.T. Rosda Karya, Bandung, 2011, h.123-124

[20] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual, terj, Ahsin Mohammad, 1995,  h. vi

[21] http//muhammadyusuf.co.id/2012/02/munasabah-dalam-alquran.html, h. 232

Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar

Pengikut

Arsip Blog

Definition List

Unordered List

Support