A. Masjid dan Surau
a.
Masjid
Mesjid fungsi utamanya adalah untuk tempat shalat yanglimawaktu
ditambah dengan sekali dalam satu minggu shalat Jum’at dan dua kali dalam satu
tahun untuk shalat hari raya. Selain dari mesjid ada juga tempat ibadah yang
disebut dengan langgar bentuknya lebih kecil dari mesjid dan hanya di gunakan
untuk shalatlimawaktu, bukan untuk shalat jum’at.
Selain dari fungsi utama, mesjid di fungsikan juga untuk tempat
pendidikan di tempat ini dilakukan pendidikan buat orang dewasa maupun
anak-anak. Pengajian buat orang dewasa adalah penyampaian-penyampaian ajaran
Islam oleh mubaligh kepada para jama’ah dalam bidang yang berkenaan dengan
akqidah, ibdah dan akhlak. Sedangkan pengajian yang dilaksanakan ialah
anak-anak berpusat kepada pengajian Al-Qur’an menitik beratkan kepada kemampuan
membaca dengan baiksesuai dengan kaidah-kaidah bacaan, selain dari itu
anak-anak juga diberikan pendidikan keimanan, ibadah dan akhlak.
Sistem pengajaran di masjid, sering memakai sistem halaqah, yaitu
guru membaca dan menerangkan pelajaran sedangkan siswa mempelajari atau
mendengar saja, hampir mirip dengan sistem klasikal yang berlaku sekarang.
Salah satu sisi baik dari sistem halaqah ialah pelajar-pelajar diminta terlebih
dahulu mempelajari sendiri materi-materi yang akan diajarkan oleh gurunya,
sehingga seolah-olah pelajar meselaraskan pemahamannya dengan pemahaman gurunya
tentang maksud dari teks yang ada dalam sebuah kitab. Sistem ini mendidik
palajar belajar secara mandiri.
Adapun metode yang digunakan adalah metode bandongan atau sorogan.
metode bandongan adalah metode dimana seorang guru membacakan dan menjelaskan
isi sebuah kitab, dikerumuni oleh sejumlah murid yang masing-masing memegang
kitab yang serupa, mendengarkan dan mencatat keterangan yang diberikan gurunya
berkenaan dengan bahasan yang ada dalam kitab tersebut pada lembaran kitab atau
pada kertas catatan yang lain. Sedagkan metode sorogan merupakan metode dimana
santri menyodorkan sebuah kitab dihadapan gurunya, kemudian guru memberikan
tuntunan bagaimana cara membacanya, menghafalkannya, dan pada jenjang
berikutnya bagaimana menterjemahkan serta menafsirkannya.
b.
Surau
Dalam kamus bahasa Indonesia, surau di artikan tempat (rumah) ummat
islam melakukan ibadahnya (shalat, mengaji dan sebagainya), pengertian apabila
dirinci mempunyai arti bahwa surau berarti suatu tempat bangunan kecil untuk
tempat shalat, tempat belajar mengaji anak, tempat wirid (pengajian agama) bagi
orang dewasa.
Di pandang dari sudut budaya keberadaan suarau sebagai perwujudan
dari budaya Minagkabau yang matriachat. Anak-anak yang sudah akil
baligh, tidak lagi layak tinggal dirumah orang tuanya, sebab saudara-saudara
perempuannya akan kawin. Surau berfungsi sebagai lembaga sosial budaya, dalah
fungsinya sebagai tempat pertemuan par apemuda dalam upaya mensosialisasikan
diri mereka. Selain dari itu suarau juga berfungsi sebagai tempat persinggahan
dan peristirahatan para musafir yang sedng menempuh perjalanan, dengan demikian
suarau mempunya multifungsi.
Sistem pendidikan disuaru banyak kemiripannya dengan sistem
pendidikan di pesantren. Murid tidak terikat dengan sistem administrasi yang
ketat. Syekh atau guru mengajar dengan metode bendongan dan sorongan, ada juga
murid yang berpindah kesurau lain dia sudah merasa cukup memperoleh ilmu di
surau terdahulu. Dari segi mata pelajaran yang diajarkan di surau sebelum
masuknya ide-ide pembaruan pemikiran islam pada awal abad ke-20 adalah mata
pelajaran agama yang berbasis kepada kitab-kitab klasik. Surau sebagaimana
layaknya pesantren juga memiliki kekhususan-kekhususan. Ada suarua yang
kekhususannya dalam ilmu alat, seperti surau kamang, ada spesialis ilmu mantik,
ma’ani, suarau kota godang, dalam ilmu tafisr dan faraid, surau sumantik,
sedangkan suarau Talang spesialis dalam ilmu nahu. Surau sebagai tempat praktik sufi atau tarekat bukanlah sesuatu yang aneh,
sebab surau yang pertama yang dibangun di Minangkanau oleh Burhanuddin Ulakan
adalah adalah untuk memperaktekkan ajaran tarekat di kalangan masyarakat
Minangkabau, khususnya pengikut syekh Burhanuddin Ulakan.
Surau Ulakan sebagaimana yang di tuliskan Azumardi Azra, adalah
merupakan pusat tarekat, murid-murid yang belajar di Surau Ulakan itu,
membangun pulau surau di tempat-tempat lain yang mencontoh Surau Ulakan itu
sendiri yang merupakan prototipe dari surau tarekat. Dengan demikian surau
memiliki fungsi ganda, dan yang utama di antaranya adalah fungsi pendidikan.
Pendidikan yang ada di surau mirip dengan apa yang ada di pesantren. Inti
pelajarannya adalah ilmu-ilmu agama, yang pada tingkat-tingkat tertentu
mendasarkannya kepada pengajian kitab-kitab klasik.
B. Pesantren
Pesantren adalah sekolah Islam berasrama yang terdapat di Indonesia
yang bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur’an dan Sunnah Rasul
dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa-bahasa Arab.
Pesantren merupakan pendidikan islam tertua di Indonesia yang berfungsi sebagai
pusat dakwah dan pengembangan agama islam. Kata pesantren berasal dari bahsa
tamil yang berarti “guru mengaji” namun ada juga yang menyebut berasal dari
bahsa sansekerta “shstri” yang berarti orang-orang yang mempelajari buku-buku
suci atau orang yang melek huruf.
Ada dua dua pendapat mengenai asal-usul berdirinya pesantren di
Indonesia. Pertama, pesantren berasal dari tradisi tarekat. Penyiaran agama
islam di indoensia pada walnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan
tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid-wirid tertentu.
Pemimpin tarekat yang disebut Kiai itu mewajibkan pengikutnya untuk
melaksanakan suluk, selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara
tinggal bersama dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah
bimbingan Kiai. Untuk keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus
untuk penginapan dan tempat-tempat khusus yang terdapat di kiri kanan masjid.
Disamping itu juga diajarkan kitab-kitab berbagai cabang ilmu pengetahuan agama
islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian
dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini
tumbuh dan berkembang menjadi lembaga Pesantren.
Kedua, pesantren yang ada saat ini merupakan akulturasi dari mandala
atau patapan pada zaman Hindu-Budha. Anggapan ini muncul karena model
pendidikan yang sama seperti pesantren telah ada sejak zaman Hindu-Budha. Zaman
sebelum islam itu, sudah dikenal mandala, yaitu tempat suci berupa komplek
pusat kegiatan keagamaan untuk wiku, pendeta, murid dan pengikutnya. Mereka
hidup di dalam mandala dengan dipimpin oleh dewa guru. Konsep mandala ini
dianggap sama dengan pesantren. Santri dan kaiayi hidup dalam satu tempat yang
sama untu belajar agama islam, dan pimpinan tertinggi pesantren berada di
tangan Kiayi. Anggapan ini diperkuat dengan tidak ditemukannya system
pendidikan seperti pesantren di Negara-negara islam, tetapi sebaliknya, system
seperti ini banyak ditemukan di Negara-negara penganut Hindu-Budha seperti
India, Myanmar dan Thailand.
Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Belum diketahui secara persis pada tahun berapa pertama kali pesantren muncul sebagai pusat pendidikan agama islam di Indonesia. Agama islam mulia menyebar ke seluruh Indonesia pada abad ke-15, tetapi Islam diduga telah masuk ke Indonesia sejak abad ke-8, tepatnya di daerah Perlak dekat selat Malaka. Namun, pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaannya dan berkembang pada abad ke-16. Pesantren yang dianggap sebagai pesantren pertama yang muncul di Indonesia adalah Pesantren Ampel Denta yang didirikan oleh Sunan Ampel. Dari pesantrennya ini lahirlah para wali yang menyebarkan agama islam di pulau jawa khususnya, yaitu sunan Giri, sunan bonang dan sunan drajat.
C. Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk
mengenyam proses pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan
atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran.
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah
atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya
yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah
madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
Madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad
ke-10 atau ke-11 M. pada masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara
luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab
atau pemikirannya. Pembagian bidang ilmu pengetahuan tersebut bukan saja
meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan hadis, seperti
ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu tasawwuf tetapi juga
bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang
ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan.
Aliran-aliran yang timbul akibat dari perkembangan tersebut saling berebutan pengaruh di kalangan umat Islam, dan berusaha mengembangkan aliran dan mazhabnya masing-masing. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pikiran, mazhab atau aliran. Itulah sebabnya sebahagian besar madrasah didirikan pada masa itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang masyhur pada masanya, misalnya madrasah Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah atau Hanbaliyah.
D. Perguruan Tinggi Islam
Ada
beberapa lembaga dari perguruan tinggi islam, antara lain: Pendidikan Tinggi
Islam Mahmud Yunus mengemukakan bahwa di Padang Sumatera Barat pada tanggal 9
Desember 1940 telah berdiri perguruan tinggi Islam yang dipelopori oleh Persatuan
Guru-Guru Agama Islam (PGAI). Menurut Mahmud Yunus perguruan tinggi yang
pertama di Sumatera Barat bahkan di Indonesia. Tetapi, ketika Jepang masuk ke
Sumatera Barat pada tahun 1941, pendidikan tinggi ditutup sebab Jepang hanya
mengizinkan di buka tingkat dasar dan menengah. Pendidikan ini di buka dari dua
fakultas, yaitu:
Fakultas Syari’ah (Agama) dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab
Untuk
lebih meningkatkan efektivitas keluasan jangkauan maka muncullah untuk mengubah
menjadi univesitas. Dan kemudian menjadian menjadi Universitas Islam Indonesia
(UII) dengan membuka 4 fakultas, yaitu Agama, Hukum, Pendidikan, Ekonomi. Dalam perkembangan berikutnya fakultas agama UII ini di negerikan,
sehingga ia terpisah dari UII menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri)
E. Pendidikan Islam Non Formal
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 26 telah memberikan batasan
tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan nonformal tersebut, satuan
pendidikan non formal tersebut terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta
satuan pendidikan sejenisnya.
Di Indonesia, jauh sebelumnya adanya pendidikan Islam formal di
pesantren, sekolah, madrasah dan pendidikan tinggi, telah berlangsung pendidikan
non formal. Para Mubaligh berdatangan dari luar Indonesia melakukan pendidikan
secara non formal. Mesjid atau tempat-tempat lain merupakan pusat kegiatan
pendidikan tersebut. Pendidikan nonformal ini ditunjukkan kepada masyarakat
ramai, sedangkan untuk mendidika murid-murid mereka, mereka lakukan dengan cara
khusus.
Selain dari kegiatan pendidikan
formal tersebut di kalangan masyarakat terdapat pula pendidikan agama
nonformal. Pendidikan agama nonformal ini di Indonesia lebih terkenal dengan
sebutan majelis taklim.
Kegiatan
majlis taklim ini adalah bergerak dalam bidang dakwah Islam, lazimnya
disampaikan dalam bentuk ceramah, tanya jawab oleh seorang ustadz atau kiai di
hadapan para jamaahnya. Kegiatan ini telah dijaadwalkan waktu dab ditentukan tempatnya.
Ada beberapa esensi dari majlis
taklim ini, yaitu:
1.) Lembaga pendidikan Islam nonformal
2.) Pendidik
3.) Peserta didik (jama’ah)
4.) Adanya materi yang disampaikan
5.) Dilaksanakan secara teratur
6.) Tujuan untuk mencapai derajat ketakwaan kepada Allah SWT.
Di pandang
dari sudut teori pendidikan, bahwa majlis Taklim adaldah salah satu di antara
pusat pendidikan di samping rumah tangga dan sekolah. Ki Hajar Dewantara
menyebutkan ada tiga pusat pendidikan (tri pusat) pendidikan rumah tangga,
sekolah, dan masyarakat. Majlis Taklim ini tergolong pada pendidikan Islam di
Masyarakat.
Selain
dari Majlis Taklim di kalangan remaja muncul pula lembaga pendidikan nonformal
dalam bentuk pesantren kilat. Kegiatan berlangsung satu atau dua minggu, yang
lebih tepat dikelompokkan pada pelatihan. Dengan demikian, pendidikan Islam itu bisa dilaksanakan dalam bentuk
lembaga kursus, misalnya kursus membaca dan menafsirkan Al-Qur’an, bisa dalam
bentuk pelatihan, misalnya pesantren kilat, bisa dalam bentuk kelompok belajar
dan pusat kegiatan belajar masyarakat serta yang terbanyak tersebar di
masyarakat adalah Majlis Taklim.
0 Post a Comment:
Posting Komentar