"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Kamis, 31 Agustus 2023

FUNGSI HADIS NABI DALAM MENENTUKAN HUKUM ISLAM

Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan Allah. Al-Qur’an sebagai penyempurna dari kitab-kitab Allah yang pernah diturunkan sebelumnya. Dalam AlQur’an terkandung petunjuk dan aturan berbagai aspek kehidupan manusia. Ayat-ayat Makkiyyah misalnya banyak berbicara tentang persoalan tauhid, keimanan, kisah para nabi dan rasul terdahulu, dan lain sebagainya. Sementara ayat-ayat Madaniyyah banyak menjelaskan tentang ibadah, muamalah, ḥudūd, jihad, dan lain sebagainya. Secara umum kandungan Al-Qur’an dapat dibagi kepada tiga hal pokok, yaitu prinsip-prinsip akidah, ibadah, dan mu’amalah. Namun meskipun demikian Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dengan hadis.

Al-Qur’an memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, yang memerlukan penjelasan lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah hadis berfungsi menjelaskan Al-Qur’an. Mengenai fungsi hadis terhadap Al-Qur’an, kalangan ulama menyebutkan secara beragam. Imam Malik bin Anas, menyebutkan lima macam fungsi hadis, yaitu; bayān al-taqrῑr, bayān al-tafsῑr, bayān al-tas,ḥīl, bayān al-bast,, dan bayān at-tasyri’. Imam al-Syafi’i menyebutkan lima fungsi yaitu; bayān al-tas,ḥīl, bayān al-takhsīs,, bayān at-ta’yῑn, bayῑn at-tasyri’, dan bayān al-nasakh. Dalam kitab al-Risālah, al-Syafi’i menambahkan bayan al-isyārah. Imam Ah,mad bin Ḥanbal menyebutkan empat fungsi yaitu; bayān al-taqyῑd, bayῑn al-tafsῑr, bayān al- tasyri’, dan bayān al-takhsiṣ.

Bayān al-Taqrῑr

Bayān al-taqrῑr disebut juga bayān al-ta’qῑd atau bayān al-iṣbāt,, adalah apabila sunnah/hadis sesuai dengan dan atau menetapkan serta memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkuat isi atau kandungan Al-Qur’an. Misalnya hadis Nabi Muhammad SAW.:

Artinya: Rasulullah SAW. bersabda: "Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats hingga dia berwudlu." (HR. al-Bukhāri)

Hadis tersebut sejalan dengan ketentuan Al-Qur’an bahwa orang yang hendak mendirikan shalat harus berwudlu terlebih dahulu. Firman Allah:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (membasuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah [5]: 6)

Ayat tersebut menjelaskan tentang keharusan berwudlu sebelum seseorang melakukan shalat. Seseorang yang melakukan shalat tanpa wudlu dinilai tidak sah karena wudlu merupakan salah satu syarat sah shalat. Hadis yang disabdakan Nabi Saw. tersebut di atas memperkuat pernyataan yang terkandung dalam ayat bahwa sebelum shalat seseorang harus wudlu terlebih dahulu.

Istilah bayān at-taqrῑr atau bayān at-ta’qῑd atau bayān al-iśbāt ini disebut pula dengan bayān al-muwāfiq li naṣ al-kitāb. Karena munculnya hadis-hadis itu sealur atau sesuai dengan nas ̣ Al-Qur’an.

Bayān Tafṣῑl

Bayān al-Tafṣῑl berarti penjelasan dengan memerinci kandungan ayat-ayat yang mujmal, ayat yang masih bersifat global yang memerlukan mubayyin (penjelasan). Ayatayat yang maknanya kurang dipahami atau bahkan tidak jelas kecuali ada penjelasan atau perincian, maka diperlukan hadis untuk menjelaskan dengan memerinci kandungannya. Penjelasan hadis terhadap ayat-ayat yang mujmāl ini dapat dijumpai pada masalahmasalah yang terkait dengan kewajjiban shalat, zakat, puasa, haji dan ibadah-ibadah lain yang terdapat dalam Al-Qur’an dalam bentuknya yang mujmāl dan memerlukan sunnah atau hadis untuk menjelaskannya secara rinci.

Kewajiban shalat misalnya, dalam Al-Qur’an dinyatakan dalam bentuk yang masih mujmal, karena Allah SWT. tidak menjelaskan tentang waktunya, bilangan rakaatnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang membatalkannya, serta cara-cara pelaksanaannya. Kemudian Rasulullah SAW. menjelaskan kepada kaum muslimin mengenai prosesi shalat sebagaimana sabdanya: : “ … shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat…” (HR. al-Bukhāri)

Pada hadis yang lain Nabi saw juga menjelaskan secara rinci mengenai bilangan shalat, dan waktu-waktunya juga. Demikian juga mengenai kewajiban zakat yang disebutkan dalam Al-Qur’an, juga masih dalam bentuk mujmāl. Misalnya firman Allah SWT. dalam QS. Al-Baqarah [2]: 43, 83, 110, dan ayat- ayat lain yang senada, seperti; “Dan berikanlah zakat.” Perintah yang demikian ini masih belum jelas pengertiannya, bagaimana zakat yang dimaksud, harta apa saja yang dizakati, berapa nishabnya, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang mungkin akan sulit untuk menjawabnya. Di sinilah fungsi hadis sebagai penjelas dan perinci ayat-ayat tersebut. Kemudian Rasulullah SAW. menjelaskan ke-mujmal-an perintah zakat ini.

Seandainya tidak ada sunnah/hadis Rasul saw, kewajiban shalat dan zakat sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an, tidak terlaksana dengan baik, karena tidak mendapat petunjuk untuk melaksanakannya. Oleh karenanya, sunnah/hadis menjadi sangat penting untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang sifatnya masih mujmal (global) tersebut.

Bayān Taqyῑd

Bayān at-taqyῑd adalah penjelasan hadis dengan cara membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dengan sifat, keadaan, atau syarat tertentu. Kata mutlak artinya kata yang merujuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya tanpa memandang jumlah atau sifatnya. Penjelasan Nabi berupa taqyῑd terhadap ayat- ayat Al-Qur’an yang mutlak. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Maidah [5] :38:

Artinya: “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Maidah [5]: 38).

Kata yadd (tangan) pada ayat di atas belum jelas maknanya atau batasan tangan yang dimaksud. Demikian juga kata al-qaṭ’u (memotong) juga belum jelas pengertiannya, sebab bisa berarti memutuskan (memotong) dan bisa juga berarti melukai. Dalam ayat tersebut juga tidak dijelaskan tentang ukuran dan batas materi yang dicurinya. Terkait dengan hal itu, terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang hal tersebut.

Dijelaskan dalam sebuah hadis bahwa yang dimaksud dengan yadd (tangan) pada ayat tersebut adalah tangan kanan dengan batasan potong tangan tersebut hanya sampai pergelangan tangan, tidak sampai pada siku atau bahkan bahunya. Rasul bersabda: Artinya: “Rasulullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.”

Dalam riwayat lain juga dijelaskan tentang ukuran barang yang dicuri sehingga seorang pencuri harus dijatuhi hukuman potong tangan. Hal ini sebagaimana hadis Nabi: Dari ‘Aisyah dari Nabi saw bersabda, “«tangan pencuri dipotong jika curian senilai seperempat dinar. (HR. al-Bukhari).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa yang wajib dikenai hukuman potong tangan adalah pencuri yang mencuri barang senilai seperempat dinar atau lebih.

Bayān Takhsīs

Bayān at-Takhṣīṣ adalah penjelasan Nabi Saw. dengan cara membatasi atau mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum (‘ām), sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu yang mendapat perkecualian. Sebagai misal, hadis Nabi tentang masalah waris di kalangan para nabi: “Rasulullah saw. pernah bersabda: "Kami (para nabi) tidak mewarisi sesuatu pun, dan yang kami tinggalkan hanya berupa sedekah.” (HR. Muslim).

Hadis tersebut merupakan pengecualian dari keumuman ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang disyariatkannya waris bagi umat Islam. Firman Allah SWT: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisā’[4]: 11)

Allah SWT. mensyariatkan kepada umat Islam agar membagi warisan kepada ahli waris, di mana anak laki-laki mendapatkan satu bagian dan anak perempuan separuhnya. Syariat waris itu tidak berlaku khusus pada para nabi, sehingga keumuman ayat tersebut dikhususkan (di-takhṣiṣ) oleh hadis di atas. Dengan kata lain, secara umum, mewariskan harta peninggalan wajib kecuali bagi para nabi.

Bayān Tasyri’

Bayān at-tasyri’ adalah penjelasan hadis yang berupa penetapan suatu hukum atau aturan syar’i yang tidak didapati nashnya dalam Al-Qur’an. Menurut Abbas Muthawali Hamadah bayān at-tasyri’ disebut dengan bayān zāid ‘alā al-Kitāb al-Karῑm, yaitu penjelasan sunnah/hadis yang merupakan tambahan terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hadis yang berfungsi sebagai bayān al-tasyri’ ini sangat banyak jumlahnya. Di antaranya adalah hadis tentang zakat fitrah sebagai berikut, sabda Nabi Muhammad SAW.: “Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW.shallallahu ‹alaihi wasallam telah mewajibkan zakat Fithrah di bulan Ramadlan atas setiap orang muslim, baik dia itu merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan, yaitu satu sha› kurma atau satu ṣa' gandum.” (HR. Muslim)

Menurut sebagian ulama bahwa zakat fitrah itu ditetapkan oleh sunnah/hadis sebagai tambahan atas Al-Qur’an. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa zakat itu penjabaran dari Al-Qur’an. Mereka mengambil dari hadis tersebut dalil yang menjadi rincian dari Al-Qur’an, karena Rasulullah tidak mewajibkan zakat kecuali kepada orang Islam. Dengan demikian sesuai dengan Al-Qur’an, karena zakat itu sebagai pembersih (mensucikan), sementara kesucian hanya untuk orang Islam. Allah swt berfirman: “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka…” (QS. At-Taubah [9]: 103)

Sunnah/hadis Rasulullah SAW. sebagai bayān at-tasyrī’ ini wajib untuk ditaati dan diamalkan berdasarkan perintah Allah swt dalam Al-Qur’an sebagaimana wajibnya mentaati dan mengamalkan hadis-hadis yang lainnya.

Bayan Nasakh

Secara etimologi, nasakh memiliki beberapa arti, di antaranya; menghapus dan menghilangkan, mengganti dan menukar, memalingkan dan merubah, menukilkan dan memindahkan sesuatu. Sedangkan dalam terminologi studi hadis, bayān nasakh adalah penjelasan hadis yang menghapus ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hadis yang datang setelah Al-Qur’an menghapus ketentuan-ketentuan Al Qur’an.

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya hadis menasakh Al-Qur’an. Ulama yang membolehkanpun juga berbeda pendapat tentang kategori hadis yang boleh menasakh Al-Qur’an. Para ulama mengemukakan contoh hadis: “Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abū Dāwud).

Hadis tersebut me-nasakh ketentuan dalam QS. Al-Baqarah [2]:180:  “Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. AlBaqarah [2]: 180)

Menurut para ulama yang menerima adanya nasakh hadis terhadap Al- Qur’an, hadis di atas menasakh kewajiban berwasiat kepada ahli waris, yang dalam ayat di atas dinyatakan wajib. Dengan demikian, seseorang yang akan meninggal dunia tidak wajib berwasiat untuk memberikan harta kepada ahli warisnya, karena ahli waris itu akan mendapatkan bagian harta warisan dari yang meninggal tersebut.

Sumber : Hadisa Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas X

 

 

Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar

Pengikut

Arsip Blog

Definition List

Unordered List

Support