Al-Qur’an
merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan Allah. Al-Qur’an sebagai
penyempurna dari kitab-kitab Allah yang pernah diturunkan sebelumnya. Dalam
AlQur’an terkandung petunjuk dan aturan berbagai aspek kehidupan manusia.
Ayat-ayat Makkiyyah misalnya banyak berbicara tentang persoalan tauhid,
keimanan, kisah para nabi dan rasul terdahulu, dan lain sebagainya. Sementara
ayat-ayat Madaniyyah banyak menjelaskan tentang ibadah, muamalah, ḥudūd, jihad,
dan lain sebagainya. Secara umum kandungan Al-Qur’an dapat dibagi kepada tiga
hal pokok, yaitu prinsip-prinsip akidah, ibadah, dan mu’amalah. Namun meskipun
demikian Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dengan hadis.
Al-Qur’an
memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, yang memerlukan penjelasan
lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah hadis berfungsi menjelaskan Al-Qur’an.
Mengenai fungsi hadis terhadap Al-Qur’an, kalangan ulama menyebutkan secara
beragam. Imam Malik bin Anas, menyebutkan lima macam fungsi hadis, yaitu; bayān al-taqrῑr, bayān al-tafsῑr, bayān
al-tas,ḥīl,
bayān al-bast,, dan bayān at-tasyri’. Imam al-Syafi’i
menyebutkan lima fungsi yaitu; bayān al-tas,ḥīl, bayān
al-takhsīs,,
bayān at-ta’yῑn, bayῑn at-tasyri’, dan bayān al-nasakh. Dalam kitab al-Risālah, al-Syafi’i menambahkan bayan
al-isyārah. Imam Ah,mad bin Ḥanbal menyebutkan empat fungsi
yaitu; bayān al-taqyῑd, bayῑn al-tafsῑr,
bayān al- tasyri’, dan bayān al-takhsiṣ.
Bayān al-Taqrῑr
Bayān
al-taqrῑr disebut juga bayān al-ta’qῑd atau bayān al-iṣbāt,,
adalah apabila sunnah/hadis sesuai dengan dan atau menetapkan serta memperkuat
apa yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya
memperkuat isi atau kandungan Al-Qur’an. Misalnya hadis Nabi Muhammad SAW.:
Artinya:
Rasulullah SAW. bersabda: "Tidak
akan diterima shalat seseorang yang berhadats hingga dia berwudlu."
(HR. al-Bukhāri)
Hadis
tersebut sejalan dengan ketentuan Al-Qur’an bahwa orang yang hendak mendirikan
shalat harus berwudlu terlebih dahulu. Firman Allah:
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke
siku, dan sapulah kepalamu dan (membasuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata
kaki.” (QS. Al-Maidah [5]: 6)
Ayat
tersebut menjelaskan tentang keharusan berwudlu sebelum seseorang melakukan
shalat. Seseorang yang melakukan shalat tanpa wudlu dinilai tidak sah karena
wudlu merupakan salah satu syarat sah shalat. Hadis yang disabdakan Nabi Saw.
tersebut di atas memperkuat pernyataan yang terkandung dalam ayat bahwa sebelum
shalat seseorang harus wudlu terlebih dahulu.
Istilah
bayān at-taqrῑr atau bayān at-ta’qῑd atau bayān al-iśbāt ini disebut pula
dengan bayān al-muwāfiq li naṣ al-kitāb.
Karena munculnya hadis-hadis itu sealur atau sesuai dengan nas ̣ Al-Qur’an.
Bayān Tafṣῑl
Bayān
al-Tafṣῑl berarti penjelasan dengan memerinci kandungan ayat-ayat yang mujmal,
ayat yang masih bersifat global yang memerlukan mubayyin (penjelasan). Ayatayat
yang maknanya kurang dipahami atau bahkan tidak jelas kecuali ada penjelasan
atau perincian, maka diperlukan hadis untuk menjelaskan dengan memerinci
kandungannya. Penjelasan hadis terhadap ayat-ayat yang mujmāl ini dapat
dijumpai pada masalahmasalah yang terkait dengan kewajjiban shalat, zakat, puasa,
haji dan ibadah-ibadah lain yang terdapat dalam Al-Qur’an dalam bentuknya yang
mujmāl dan memerlukan sunnah atau hadis untuk menjelaskannya secara rinci.
Kewajiban
shalat misalnya, dalam Al-Qur’an dinyatakan dalam bentuk yang masih mujmal,
karena Allah SWT. tidak menjelaskan tentang waktunya, bilangan rakaatnya,
rukun-rukunnya, hal-hal yang membatalkannya, serta cara-cara pelaksanaannya.
Kemudian Rasulullah SAW. menjelaskan kepada kaum muslimin mengenai prosesi
shalat sebagaimana sabdanya: : “ … shalatlah
sebagaimana kamu melihat aku shalat…” (HR. al-Bukhāri)
Pada
hadis yang lain Nabi saw juga menjelaskan secara rinci mengenai bilangan
shalat, dan waktu-waktunya juga. Demikian juga mengenai kewajiban zakat yang
disebutkan dalam Al-Qur’an, juga masih dalam bentuk mujmāl. Misalnya firman
Allah SWT. dalam QS. Al-Baqarah [2]: 43, 83, 110, dan ayat- ayat lain yang
senada, seperti; “Dan berikanlah zakat.” Perintah yang demikian ini masih belum
jelas pengertiannya, bagaimana zakat yang dimaksud, harta apa saja yang
dizakati, berapa nishabnya, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang mungkin akan
sulit untuk menjawabnya. Di sinilah fungsi hadis sebagai penjelas dan perinci
ayat-ayat tersebut. Kemudian Rasulullah SAW. menjelaskan ke-mujmal-an perintah
zakat ini.
Seandainya
tidak ada sunnah/hadis Rasul saw, kewajiban shalat dan zakat sebagaimana
diperintahkan dalam Al-Qur’an, tidak terlaksana dengan baik, karena tidak
mendapat petunjuk untuk melaksanakannya. Oleh karenanya, sunnah/hadis menjadi
sangat penting untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang sifatnya masih mujmal
(global) tersebut.
Bayān Taqyῑd
Bayān
at-taqyῑd adalah penjelasan hadis dengan cara membatasi ayat-ayat yang bersifat
mutlak dengan sifat, keadaan, atau syarat tertentu. Kata mutlak artinya kata
yang merujuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya tanpa memandang jumlah
atau sifatnya. Penjelasan Nabi berupa taqyῑd terhadap ayat- ayat Al-Qur’an yang
mutlak. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Maidah [5] :38:
Artinya:
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang
mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa,
Mahabijaksana.” (QS. Al-Maidah [5]: 38).
Kata
yadd (tangan) pada ayat di atas belum jelas maknanya atau batasan tangan yang
dimaksud. Demikian juga kata al-qaṭ’u
(memotong) juga belum jelas pengertiannya, sebab bisa berarti memutuskan
(memotong) dan bisa juga berarti melukai. Dalam ayat tersebut juga tidak
dijelaskan tentang ukuran dan batas materi yang dicurinya. Terkait dengan hal
itu, terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang hal tersebut.
Dijelaskan
dalam sebuah hadis bahwa yang dimaksud dengan yadd (tangan) pada ayat tersebut
adalah tangan kanan dengan batasan potong tangan tersebut hanya sampai pergelangan
tangan, tidak sampai pada siku atau bahkan bahunya. Rasul bersabda: Artinya: “Rasulullah didatangi seseorang dengan
membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.”
Dalam
riwayat lain juga dijelaskan tentang ukuran barang yang dicuri sehingga seorang
pencuri harus dijatuhi hukuman potong tangan. Hal ini sebagaimana hadis Nabi:
Dari ‘Aisyah dari Nabi saw bersabda, “«tangan
pencuri dipotong jika curian senilai seperempat dinar. (HR. al-Bukhari).
Hadis
tersebut menjelaskan bahwa yang wajib dikenai hukuman potong tangan adalah
pencuri yang mencuri barang senilai seperempat dinar atau lebih.
Bayān Takhsīs
Bayān
at-Takhṣīṣ adalah penjelasan Nabi Saw. dengan cara membatasi atau
mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum (‘ām), sehingga tidak
berlaku pada bagian-bagian tertentu yang mendapat perkecualian. Sebagai misal,
hadis Nabi tentang masalah waris di kalangan para nabi: “Rasulullah saw. pernah bersabda: "Kami (para nabi) tidak mewarisi
sesuatu pun, dan yang kami tinggalkan hanya berupa sedekah.” (HR. Muslim).
Hadis
tersebut merupakan pengecualian dari keumuman ayat Al-Qur’an yang menjelaskan
tentang disyariatkannya waris bagi umat Islam. Firman Allah SWT: “Allah
mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk)
anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan.” (QS. An-Nisā’[4]: 11)
Allah
SWT. mensyariatkan kepada umat Islam agar membagi warisan kepada ahli waris, di
mana anak laki-laki mendapatkan satu bagian dan anak perempuan separuhnya.
Syariat waris itu tidak berlaku khusus pada para nabi, sehingga keumuman ayat
tersebut dikhususkan (di-takhṣiṣ) oleh hadis di atas. Dengan kata lain, secara
umum, mewariskan harta peninggalan wajib kecuali bagi para nabi.
Bayān Tasyri’
Bayān
at-tasyri’ adalah penjelasan hadis yang berupa penetapan suatu hukum atau
aturan syar’i yang tidak didapati nashnya dalam Al-Qur’an. Menurut Abbas
Muthawali Hamadah bayān at-tasyri’
disebut dengan bayān zāid ‘alā al-Kitāb
al-Karῑm, yaitu penjelasan sunnah/hadis yang merupakan tambahan terhadap
hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hadis yang berfungsi sebagai bayān
al-tasyri’ ini sangat banyak jumlahnya. Di antaranya adalah hadis tentang zakat
fitrah sebagai berikut, sabda Nabi Muhammad SAW.: “Dari Ibnu Umar bahwa
Rasulullah SAW.shallallahu ‹alaihi wasallam telah mewajibkan zakat Fithrah di
bulan Ramadlan atas setiap orang muslim, baik dia itu merdeka atau hamba,
laki-laki atau perempuan, yaitu satu sha› kurma atau satu ṣa' gandum.” (HR.
Muslim)
Menurut
sebagian ulama bahwa zakat fitrah itu ditetapkan oleh sunnah/hadis sebagai
tambahan atas Al-Qur’an. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa zakat itu
penjabaran dari Al-Qur’an. Mereka mengambil dari hadis tersebut dalil yang
menjadi rincian dari Al-Qur’an, karena Rasulullah tidak mewajibkan zakat
kecuali kepada orang Islam. Dengan demikian sesuai dengan Al-Qur’an, karena
zakat itu sebagai pembersih (mensucikan), sementara kesucian hanya untuk orang
Islam. Allah swt berfirman: “Ambillah
zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka…” (QS.
At-Taubah [9]: 103)
Sunnah/hadis
Rasulullah SAW. sebagai bayān at-tasyrī’
ini wajib untuk ditaati dan diamalkan berdasarkan perintah Allah swt dalam
Al-Qur’an sebagaimana wajibnya mentaati dan mengamalkan hadis-hadis yang
lainnya.
Bayan Nasakh
Secara
etimologi, nasakh memiliki beberapa arti, di antaranya; menghapus dan
menghilangkan, mengganti dan menukar, memalingkan dan merubah, menukilkan dan
memindahkan sesuatu. Sedangkan dalam terminologi studi hadis, bayān nasakh
adalah penjelasan hadis yang menghapus ketentuan hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Hadis yang datang setelah Al-Qur’an menghapus ketentuan-ketentuan Al
Qur’an.
Terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya hadis menasakh
Al-Qur’an. Ulama yang membolehkanpun juga berbeda pendapat tentang kategori
hadis yang boleh menasakh Al-Qur’an. Para ulama mengemukakan contoh hadis: “Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR.
Abū Dāwud).
Hadis
tersebut me-nasakh ketentuan dalam QS. Al-Baqarah [2]:180: “Diwajibkan atas kamu, apabila
maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta,
berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik,
(sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. AlBaqarah [2]:
180)
Menurut
para ulama yang menerima adanya nasakh hadis terhadap Al- Qur’an, hadis di atas
menasakh kewajiban berwasiat kepada ahli waris, yang dalam ayat di atas
dinyatakan wajib. Dengan demikian, seseorang yang akan meninggal dunia tidak
wajib berwasiat untuk memberikan harta kepada ahli warisnya, karena ahli waris
itu akan mendapatkan bagian harta warisan dari yang meninggal tersebut.
Sumber
: Hadisa Ilmu Hadis Kementerian Agama RI
NB:
Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas X
0 Post a Comment:
Posting Komentar