"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Kamis, 31 Agustus 2023

KITAB SUNAN AN-NASĀ’Ī

Kitab Sunan al-Nasā’ī termasuk salah satu di antara “al-Kutub aṣ-Ṣiḥḥah al-Sittah”. Sunan al-Nasā’ī terbagi dua, Sunan al-Kubrā dan Sunan al-Ṣugrā. Sunan al-Ṣugrā disebut Sunan al-Mujtabā` (Sunan Pilihan), karena kualitas hadis-hadis yang dimuat dalam sunan ini hanya hadis-hadis pilihan. Penulisan kitab Sunan al-Sugrā ini dilatarbelakangi oleh peristiwa ketika Imam al-Nasā’ī memperkenalkan sebuah kitab hadis kepada seorang penguasa di kota Ramalah, Palestina. Penguasa itu bertanya kepada al-Nasā’ī apakah di dalamnya hanya memuat hadis-hadis sahih. Imam al-Nasā’ī menjawab bahwa di dalam kitabnya tersebut dimuat hadis sahih, hasan dan yang mendekati keduanya. Kemudian penguasa itu menyuruh untuk menuliskan hadis-hadis yang sahih saja dalam kitabnya. Kemudian Imam al-Nasā’ī meneliti kembali hadis-hadis yang ada pada Kitab Sunan alKubrā, hasilnya, kitab tersebut menjadi ramping dan dinamakan Sunan al-Sugrā. Karena isinya pilihan kemudian dinamai pula “Sunan al-Mujtabā.”

Kitab Sunan yang kini beredar di kalangan umat Islam adalah kitab Sunan al-Sugrā yang diriwayatkan oleh Imam Abdul Karim al-Nasā’ī, putra Imam al-Nasā’ī, seorang ahli hadis yang meninggal pada tahun 344 H. Jumlah hadis yang terdapat dalam kitab Sunan al-Sugrā menurut Abu Zahrah sebanyak 5761 hadis. Sedangkan sistematika susunannya mengikuti lazimnya sistematika kitab fikih. Pada jilid satu Sunan al-Sugrā ini dimulai dengan “Kitāb al- Ṭaharah”, yang membahas tentang tata cara bersuci dan ditutup dengan “Kitāb al-Mawāqīt” yang menguraikan tentang waktu shalat.

Kitab ini meskipun menurut pengakuan penulisnya berisi hadis-hadis pilihan dan sahih semuanya, namun menurut para ahli merupakan-- kitab sunan setelah Ṣaḥiḥain— yang paling sedikit memuat hadis d ̣aif dan para rawi yang “majrūh.” Hal ini menurut Muh ̣ammad Abū Syuhbah, merupakan bukti ketelitian dan kecermatan Imam al-Nasā’ī dalam menyusun kitab hadis tersebut. Oleh karenanya para ulama menempatkan “Al Mujtaba” berada satu tingkat setelah Kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Muslim.

Ṣubhi as ̣-Ṣālih mengemukakan bahwa kitab hadis yang termasuk Ṭabaqāt al-Tasniyah, berada pada peringkat kedua, adalah Jāmi’ al-Tirmiżi, Sunan Abῑ Dāwūd, Sunan Aḥmad bin Ḥanbal, dan Mujtaba` al-Nasā’i. Semua kitab tersebut tidak sampai pada tingkat “Ṣaḥiḥain’ atau Muwaṭṭa’ Imam Malik. Namun satu hal yang pasti, penyusunnya tidak bersikap “tasahul” (bersikap longgar dalam meriwayatkan hadis).

Kitab Sunan al-Nasā’ī adalah kitab sedikit di-syarah-i dibandingkan kitab sunan yang lain. Di antara yang menulis syarah kitab Sunan al-Nasa’i adalah Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab Zaḥr ar-Ruba’ ‘ala al-Mujtaba`.

Sumber : Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas X 

 

Share:

KITAB SUNAN ABŪ DAWŪD

Kitab “Sunan Abī Dawūd”, disusun oleh Imam Abū Dawūd ketika beliau di Tarsus, sebuah kota kecil di Irak, selama dua puluh tahun. Dari 500.000 hadis yang berhasil dikumpulkan, Imam Abū Dawūd hanya mencantumkan 4.800 hadis dalam kitab sunan-nya. Kitab “sunan”, berbeda dengan kitab jami’, musnad, atau yang lainnya. Kalau Jāmī’ mencakup semua tema keagamaan, sedangkan sunan hanya memuat hadishadis yang berkaitan dengan masalah fikih saja. Sistematika penulisan hadis di dalamnya pun biasa mengikuti tema-tema yang lazim dalam susunan kitab fikih. Adapun Musnad, adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan sanad hadis mata rantai periwayatan hadis dari para sahabat Nabi Saw. Biasanya kitab musnad mendahulukan hadis-hadis yang berasal dari sahabat-sahabat utama. Model kitab musnad seperti ini dapat kita jumpai semisal pada kitab Musnad Imam Ah ̣mad bin Ḥanbal.

Seleksi yang dilakukan Imam Abū Dawūd terhadap hadis demikian ketat sebelum dituliskan dalam kitab Sunan-nya. Hadis hasil seleksi itu oleh Imam Abu Dawud dikelompokkan ke dalam 35 “kitab” dan sekian ratus “bab”. Masing-masing “kitab” membicarakan satu tema pokok tertentu, sedangkan setiap “bab” berisi beberapa buah hadis yang menjelaskan tema pokok tersebut, 35 “kitab” yang dimaksud sebagai berikut: 1. Kitab at-̣Taharah ̣ 2. Kitab aṣ-Ṣalat 3. Kitab az-Zakat 4. Kitab al-Luqaṭah 5. Kitab an-Nikaḥ 6. Kitab at-̣Talāq ̣ 7. Kitab aṣ-Ṣaum 8. Kitab al-Jihad 9. Kitab ad-Ḍahāya 10. Kitab aṣ-Ṣaid 11. Kitab al-Waṣaya 12. Kitab al-Farā’iḍ 13. Kitab al-Kharaj wa al-Fai Wa al-Imarah 14. Kitab al-Janāiz 15. Kitab al-Aiman Wa an-Nuẓur 16. Kitab al-Buyu’ wa al-Ijarah 17. Kitab al-Ijārah 18. Kitab al-Aqḍiyah 19. Kitab al-‘Ilm 20. Kitab al-Asyribah 21. Kitab al-Aṭ'imah 22. Kitab at-Tibb ̣ 23. Kitab al-‘Atqu 24. Kitab al-Huruf Wa al-Qirā’ 25. Kitab al-Ḥammām 26. Kitab al-Libās 27. Kitab at-Tarajjul 28. Kitab al-Khatam 29. Kitab al-Fitan 30. Kitab al-Mahdi 31. Kitab al-Malāhim 32. Kitab al-Hudūd 33. Kitab al-Diyat 34. Kitab as-Sunnah 35. Kitab al-Adab.

Di dalam “Kitab Sunan”, Imam Abu Dawud tidak hanya memuat hadis shahih, tetapi juga hadis-hadis hasan, dan hadis-hadis d ̣a’if yang tidak terlalu lemah. Abu Dawudpun mencantumkan hadis-hadis yang tidak disepakati oleh para ulama hadis untuk ditinggalkan. Adapun hadis-hadis yang sangat lemah, tetapi dengan penjelasan sebab-sebab kelemahannya. Hadis-hadis jenis ini, menurut beliau lebih baik dari pada pendapat orang semata-mata. Kitab Sunan Abi Dawud ini diakui oleh mayoritas dunia muslim sebagai salah satu kitab hadis yang paling autentik. Beberapa kitab Syarh dari Sunan Abi Dawud antara lain:

Syarḥ Ma’ālim as-Sunan karya Abu Sulaiman Ḥammad bin Muh ̣ammad bin Ibrahim al-Khat ̣t ̣ibī (w. 388 H).  ‘Aun al-Ma’būd Syarh Sunan Abu Dawud karya Syaikh Syarafatul Haq Muhammad Asyraf bin Ali Haidar as-Siddiqi al-‘Azim Abadi (w. Abad ke-14).

Sumber : Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas X 

 

Share:

MENGENAL KITAB ṢAḤIḤ MUSLIM

Kitab ini judul lengkapnya adalah “al-Musnad aṣ-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min as-Sunan bi Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ‘an Rasulillah”. Secara singkat terjemahan dari judul kitab ini adalah “Kitab Hadis Bersanad Sahih yang Ringkas Diriwayatkan oleh Orangorang Adil dari Orang-orang Adil dari Rasulullah.” Imam Muslim menghabiskan waktu kurang lebih 15 tahun untuk menyusun kitab ini. Sebelum memutuskan untuk menuliskan sebuah hadis dalam kitab ini, Imam Muslim terlebih dahulu meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadis yang akan diriwayatkan, dan membandingkan riwayat yang satu dengan riwayat yang lain.

Tentang ketelitian Imam Muslim, dapat diketahui dari ungkapan beliau sendiri, “Tidaklah aku mencantumkan sebuah hadis dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan. Tidak pula aku menggugurkan suatu hadis, melainkan dengan alasan pula.” Demikianlah. Sebuah kitab yang agung, luas dan dalam kandungan maknanya. Seolah laut lepas tak bertepi. Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan kebahagiaan beliau, “Apabila penduduk bumi ini menulis hadis selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar- putar di sekitar kitab musnad Ṣaḥīḥ ini.”

Menurut ‘Ajjāj al-Khātib, “Ṣaḥīḥ Muslim” menghimpun hadis shahih sebanyak 3.030 buah hadis tanpa pengulangan, dan menjadi 10.000 buah hadis dengan pengulangan. Sementara menurut Ahmad bin Salamah dan Ibnu Shalah “Ṣaḥīḥ Muslim” berisi 4.000 buah hadis tanpa pengulangan, dan 12.000 buah hadis dengan pengulangan. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai penghitungan mengenai jumlah hadis pada kitab tersebut, namun yang jelas, hadis yang ditulis oleh Imam Muslim dalam Sahihnya merupakan hasil seleksi yang ketat dari 300.000 hadis yang berhasil dikumpulkannya.

Kitab Ṣaḥīḥ Muslim memiliki karakteristik tersendiri, yang berbeda dengan metode Imam al-Bukhārī. Imam Muslim tidak mencantumkan judul-judul dalam setiap pokok bahasan untuk menegaskan pelajaran yang terdapat dalam hadis yang beliau sebutkan, tetapi, beliau lebih memilih untuk menyebutkan tambahan-tambahan lafad pada hadis pendukungnya. Sehingga, dalam menuliskan satu hadis pokok, beliau tambahkan hadishadis penguat lain untuk menjelaskan kandungan ilmu dari hadis tersebut. Sederhananya, beliau ingin menjelaskan hadis dengan hadis yang lain.

Sedangkan Imam al-Bukhārī, beliau menyebutkan judul bab untuk mengungkap kandungan hadis, tanpa menyebutkan hadis penguatnya. Imam al-Bukhari memotong hadis sesuai dengan tema bab. Sementara Imam Muslim menuliskan satu hadis secara utuh. Sehingga, kita akan sering menemui pengulangan satu hadis dalam Ṣaḥīḥ al Bukhārī. Walaupun dua kitab ini berbeda dalam sistematika penyusunannya, namun Imam Muslim banyak terpengaruhi oleh metode penulisan gurunya, Imam al-Bukhārī.

Para ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih unggul antara Ṣaḥīḥ Muslim dengan Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Kebanyakan ahli hadis berpendapat bahwa Ṣaḥīḥ al-Bukhari lebih unggul. Sedangkan sejumlah ulama lain lebih mengunggulkan Ṣaḥīḥ Muslim. Hal ini menunjukkan perbedaan tipis antara dua kitab Ṣaḥīḥ ini. Dalam sistematika penulisan, Imam Muslim lebih unggul. Namun dari segi ketatnya syarat keshahihan, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī lebih utama. Yang jelas disepakati, bahwa kedua kitab hadis Ṣaḥīḥ ini sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah, fikih, dan semua bidang ilmu dalam Islam.

Kitab yang memberikan syarh ̣ terhadap Ṣaḥīḥ Muslim ada 15 buah, antara lain: Al-Mu’allim bi Fawaῑdi Muslim, karya Imam Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Ali al-Māziri (w. 536 H/1141 M). Al-Ikmāl al-Mu’allim fī Syarḥi Ṣaḥīḥ Muslim, karya Imam Qad ̣i ‘Iyad ̣ bin Musa alYah ̣sabi al-Maliki (w. 544 H/1149 M). Al-Minhāj fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim bin al-Hajjāj, karya Imam al-Ḥāfiz ̣ Abū Zakaria Muh ̣yiddin bin Syaraf an-Nawawī asy-Syafi’ī (w. 676 H/1244 M), Ikmāl al-Ikmāl al-Mu’allim, karya Imam Abū 'Abdullah Muh ̣ammad bin Khalifah alWasyayani al-Malikī (w. 837 H/1433).

Sumber : Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas X 

 

 

 

Share:

MENGENAL KITAB-KITAB HADIS MU’TABARAH

Mengenal kitab-kitab hadis bagi umat Islam khususnya para calon sarjana muslim merupakan sebuah keharusan. Karena dengan mengenal dan mempelajari kitab-kitab hadis tersebut, baik mulai dari pengarangnya, sistematika penulisannya atau yang lain yang berhubungan dengan masalah studi hadis akan memudahkan proses pencarian hadis langsung dari sumbernya dengan melakukan penelitian ulang tentang kualitas hadis sehingga tidak ragu-ragu untuk berhujjah menggunakan hadis. Hadis atau sunnah, baik secara struktural ataupun fungsinya telah disepakati sebagai sumber ajaran agama setelah Al-Quran karena dengan adanya hadis itulah ajaran Islam semakin menjadi sempurna.

Kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī

Kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī memiliki judul lengkap Al-Jāmi al-Musnad aṣ-Ṣaḥīḥ alMukhtaṣar min Umūr Rasulillāh wa Sunanih wa Ayyamih.” Kitab ini disusun selama enam belas tahun, dimulai saat Imam al-Bukhari berada di Masjid al-Haram, Mekah, dan diselesaikan di Masjid Nabawi Madinah. Menurut Ibnu Ṣalāh ̣ dan an-Nawāwī, kitab ini berisi 7.275 hadis, dikarenakan banyak yang diulang dan jika tidak diulang, jumlah hadis yang ada di dalamnya sebanyak 4.000 buah hadis. Jumlah hadis sebanyak itu disusun oleh Imām al-Bukhārī dan gurunya Syaikh Ishāq yang merupakan hasil saringan dari satu juta hadis yang diriwayatkan oleh 80.000 orang rawi.

Imām al-Bukhārī terkenal memiliki daya hafal yang sangat tinggi. Semua hadis yang beliau koleksi dari berbagai kota dan dari puluhan ribu rawi tersebut mampu beliau hafal. Namun tidak semua hadis yang beliau hafal kemudian diriwayatkan dan dituangkan dalam kitabnya, melainkan diseleksi terlebih dahulu secara ketat dengan menetapkan syarat-syarat. Beliau sangat cermat dan teliti. Selain itu, setiap kali hendak menulis hadis dalam kitabnya, beliau mandi dan shalat istikharah dua rakaat terlebih dahulu untuk meyakinkan bahwa hadis yang akan ditulis benar-benar shahih.

Kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī ditulis secara sistematis. Hadis-hadis di dalamnya dikelompokkan berdasarkan topik-topik yang lazim dipergunakan dalam sistematika penulisan kitab fikih. Hanya saja kitab hadis itu diawali dengan pembahasan tentang wahyu dan diakhiri dengan pembahasan tentang tauhid. Kitab ini dibagi dalam seratus bagian dan setiap bagiannya terdiri atas beberapa bab. Dalam setiap bab terhimpun hadishadis yang berbicara tentang topik yang sama. Hadis-hadis tersebut ditulis lengkap beserta sanadnya.

Imām al-Bukhārī menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah hadis untuk dapat disebut sebagai hadis shahih. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh Imam al Bukhari sebagai berikut;

1.  Perawinya harus seorang muslim, ṣadiq (jujur), berakal sehat, tidak mudallis (berbohong), menipu dan mengada-ada, tidak mukhtaliṭ (mencampuradukkan hak dan batil), nilai-nilai utama dan nilai- nilai yang rendah, serta bergaul dengan orang-orang jahat pada satu kesempatan, dan orang-orang baik pada kesempatan lain, ‘adil, ẓabiṭ atau kuat daya ingatnya, sehat pancaindera, tidak suka ragu-ragu, dan memiliki i'tikad baik dalam meriwayatkan hadis.

2.      Sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Saw.

3.  Matannya tidak syaż (menyimpang dari ajaran agama yang benar) dan tidak ber’illat (cacat secara aqli maupun hati nurani).

4.   Perawi hadis harus mu’aṣirah (satu masa), liqā (bertemu langsung/ bertatap muka), dan ṡubūt sima’ihi (mendengar langsung secara pasti dari gurunya).

Selain itu, Imām al-Bukhārī hanya berpegang kepada perawi-perawi hadis yang memiliki integritas kepribadian dan kualifikasi persyaratan yang tertinggi. Murid-murid Imam Ibnu Syihāb az-Zuhrī misalnya, oleh Imām al-Bukhārī dibagi ke dalam lima tingkatan (ṭabaqāt). Tingkatan pertama, mereka yang memiliki sifat adil, kuat hapalan, teliti, jujur, dan lama menyertai az-Zuhrī, seperti Mālik dan Sufyān bin Uyainah.

Tingkatan kedua, memiliki sifat yang sama dengan tingkatan pertama hanya saja tidak lama menyertai az-Zuhrī, seperti al-Auza’i, dan al-Laiś bin Sa’ad. Tingkatan ketiga, mereka yang memiliki kualifikasi di bawah tingkatan kedua, seperti Ja’fār bin Barqan dan Zam’ah bin Ṣālih. Tingkatan yang keempat dan kelima adalah mereka yang tercela atau majruh dan lemah. Dalam meriwayatkan hadis Imām al-Bukhārī hanya memilih perawi tingkatan pertama dan hanya sedikit dari tingkatan kedua. Beliau sama sekali tidak meriwayatkan hadis dari para perawi yang berada pada tingkatan ketiga, keempat, dan kelima.

Kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī ini laksana cahaya yang terang benderang, melebihi terangnya sinar matahari. Kaum muslimin, bahkan para ulama menilai kitab ini sebagai kitab yang luar biasa. Imam Muslim misalnya, beliau banyak mengambil faedah dari karya agung ini. Beliau mengatakan bahwa karya ini tidak ada tandingannya dalam ilmu hadis. Imam al-Nawawi mengatakan dalam muqaddimah Syarh ̣ Ṣah ̣īh ̣ Muslim, “Para ulama sepakat bahwa buku yang paling sahih setelah Al-Qur’an adalah dua kitab ṣaḥīḥ, Ṣaḥīḥ alBukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim.”

Cukuplah pengakuan para imam ahli hadis ini menunjukkan keagungan kitab ini. Abu Ja’far Mah ̣mūd bin ‘Amr al-Uqaili mengisahkan ketika al-Bukhārī menulis kitab Ṣah ̣īh ̣ ini, beliau membacakannya kepada Imam Ah ̣mad, Imam Yahya bin Main, Imam Ali bin Al-Madini, juga selain mereka. Maka mereka mempersaksikan tentang keshahihan hadis-hadis yang ada.

Kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī selain sangat berguna bagi umat Islam, ia mampu menginspirasi para ulama yang lain untuk berkarya. Sebagai bukti, banyak ulama-ulama ahli hadis yang juga menyusun kitab sejenis dengannya. Selain itu, ada pula ulama yang menyusun kitab-kitab syarh, sebagai pemapar dan penjelas, dari kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Adapun kitab-kitab yang men-syarah (memaparkan dan menjelaskan) Ṣaḥīḥ al-Bukhārī ada 82 buah, antara lain:

Kitab ‘Umdatul Qari Syarh Ṣahῑh al-Bukhāri oleh al-Allamah Badruddin al-‘Aini. • Kitab at-Tanqῑh, karya Badruddin az-Zarkasyī. • Kitab At-Tausyῑh, karya Jalaluddin as-Suyūt ̣ī. • Kitab A’lamu as-Sunan, karya al-Khat ̣t ̣ābī. • Kitab Fatḥ al-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī oleh al-Ḥafiz ̣ Ibnu Ḥajar al-Asqalānī. • Kitab Syarḥ al-Bukhāri oleh Ibnu Bat ̣t ̣āl dan lain-lain.

Yang merupakan induk dari kitab syarh ̣ dari Ṣaḥīḥ al-Bukhārī adalah Fatḥ al-Bāri karya Ibnu Ḥajar al-Asqalani. Sedangkan sebaik-baiknya ringkasan (mukhtaṣar) dari Ṣaḥīḥ al-Bukhārī adalah At-Tajrīdu aṣ-Ṣaḥīḥ yang disusun oleh Ḥusain ibn al-Mubarak.

Sumber : Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas X 

Share:

FUNGSI HADIS NABI DALAM MENENTUKAN HUKUM ISLAM

Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan Allah. Al-Qur’an sebagai penyempurna dari kitab-kitab Allah yang pernah diturunkan sebelumnya. Dalam AlQur’an terkandung petunjuk dan aturan berbagai aspek kehidupan manusia. Ayat-ayat Makkiyyah misalnya banyak berbicara tentang persoalan tauhid, keimanan, kisah para nabi dan rasul terdahulu, dan lain sebagainya. Sementara ayat-ayat Madaniyyah banyak menjelaskan tentang ibadah, muamalah, ḥudūd, jihad, dan lain sebagainya. Secara umum kandungan Al-Qur’an dapat dibagi kepada tiga hal pokok, yaitu prinsip-prinsip akidah, ibadah, dan mu’amalah. Namun meskipun demikian Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dengan hadis.

Al-Qur’an memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, yang memerlukan penjelasan lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah hadis berfungsi menjelaskan Al-Qur’an. Mengenai fungsi hadis terhadap Al-Qur’an, kalangan ulama menyebutkan secara beragam. Imam Malik bin Anas, menyebutkan lima macam fungsi hadis, yaitu; bayān al-taqrῑr, bayān al-tafsῑr, bayān al-tas,ḥīl, bayān al-bast,, dan bayān at-tasyri’. Imam al-Syafi’i menyebutkan lima fungsi yaitu; bayān al-tas,ḥīl, bayān al-takhsīs,, bayān at-ta’yῑn, bayῑn at-tasyri’, dan bayān al-nasakh. Dalam kitab al-Risālah, al-Syafi’i menambahkan bayan al-isyārah. Imam Ah,mad bin Ḥanbal menyebutkan empat fungsi yaitu; bayān al-taqyῑd, bayῑn al-tafsῑr, bayān al- tasyri’, dan bayān al-takhsiṣ.

Bayān al-Taqrῑr

Bayān al-taqrῑr disebut juga bayān al-ta’qῑd atau bayān al-iṣbāt,, adalah apabila sunnah/hadis sesuai dengan dan atau menetapkan serta memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkuat isi atau kandungan Al-Qur’an. Misalnya hadis Nabi Muhammad SAW.:

Artinya: Rasulullah SAW. bersabda: "Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats hingga dia berwudlu." (HR. al-Bukhāri)

Hadis tersebut sejalan dengan ketentuan Al-Qur’an bahwa orang yang hendak mendirikan shalat harus berwudlu terlebih dahulu. Firman Allah:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (membasuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah [5]: 6)

Ayat tersebut menjelaskan tentang keharusan berwudlu sebelum seseorang melakukan shalat. Seseorang yang melakukan shalat tanpa wudlu dinilai tidak sah karena wudlu merupakan salah satu syarat sah shalat. Hadis yang disabdakan Nabi Saw. tersebut di atas memperkuat pernyataan yang terkandung dalam ayat bahwa sebelum shalat seseorang harus wudlu terlebih dahulu.

Istilah bayān at-taqrῑr atau bayān at-ta’qῑd atau bayān al-iśbāt ini disebut pula dengan bayān al-muwāfiq li naṣ al-kitāb. Karena munculnya hadis-hadis itu sealur atau sesuai dengan nas ̣ Al-Qur’an.

Bayān Tafṣῑl

Bayān al-Tafṣῑl berarti penjelasan dengan memerinci kandungan ayat-ayat yang mujmal, ayat yang masih bersifat global yang memerlukan mubayyin (penjelasan). Ayatayat yang maknanya kurang dipahami atau bahkan tidak jelas kecuali ada penjelasan atau perincian, maka diperlukan hadis untuk menjelaskan dengan memerinci kandungannya. Penjelasan hadis terhadap ayat-ayat yang mujmāl ini dapat dijumpai pada masalahmasalah yang terkait dengan kewajjiban shalat, zakat, puasa, haji dan ibadah-ibadah lain yang terdapat dalam Al-Qur’an dalam bentuknya yang mujmāl dan memerlukan sunnah atau hadis untuk menjelaskannya secara rinci.

Kewajiban shalat misalnya, dalam Al-Qur’an dinyatakan dalam bentuk yang masih mujmal, karena Allah SWT. tidak menjelaskan tentang waktunya, bilangan rakaatnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang membatalkannya, serta cara-cara pelaksanaannya. Kemudian Rasulullah SAW. menjelaskan kepada kaum muslimin mengenai prosesi shalat sebagaimana sabdanya: : “ … shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat…” (HR. al-Bukhāri)

Pada hadis yang lain Nabi saw juga menjelaskan secara rinci mengenai bilangan shalat, dan waktu-waktunya juga. Demikian juga mengenai kewajiban zakat yang disebutkan dalam Al-Qur’an, juga masih dalam bentuk mujmāl. Misalnya firman Allah SWT. dalam QS. Al-Baqarah [2]: 43, 83, 110, dan ayat- ayat lain yang senada, seperti; “Dan berikanlah zakat.” Perintah yang demikian ini masih belum jelas pengertiannya, bagaimana zakat yang dimaksud, harta apa saja yang dizakati, berapa nishabnya, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang mungkin akan sulit untuk menjawabnya. Di sinilah fungsi hadis sebagai penjelas dan perinci ayat-ayat tersebut. Kemudian Rasulullah SAW. menjelaskan ke-mujmal-an perintah zakat ini.

Seandainya tidak ada sunnah/hadis Rasul saw, kewajiban shalat dan zakat sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an, tidak terlaksana dengan baik, karena tidak mendapat petunjuk untuk melaksanakannya. Oleh karenanya, sunnah/hadis menjadi sangat penting untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang sifatnya masih mujmal (global) tersebut.

Bayān Taqyῑd

Bayān at-taqyῑd adalah penjelasan hadis dengan cara membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dengan sifat, keadaan, atau syarat tertentu. Kata mutlak artinya kata yang merujuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya tanpa memandang jumlah atau sifatnya. Penjelasan Nabi berupa taqyῑd terhadap ayat- ayat Al-Qur’an yang mutlak. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Maidah [5] :38:

Artinya: “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Maidah [5]: 38).

Kata yadd (tangan) pada ayat di atas belum jelas maknanya atau batasan tangan yang dimaksud. Demikian juga kata al-qaṭ’u (memotong) juga belum jelas pengertiannya, sebab bisa berarti memutuskan (memotong) dan bisa juga berarti melukai. Dalam ayat tersebut juga tidak dijelaskan tentang ukuran dan batas materi yang dicurinya. Terkait dengan hal itu, terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang hal tersebut.

Dijelaskan dalam sebuah hadis bahwa yang dimaksud dengan yadd (tangan) pada ayat tersebut adalah tangan kanan dengan batasan potong tangan tersebut hanya sampai pergelangan tangan, tidak sampai pada siku atau bahkan bahunya. Rasul bersabda: Artinya: “Rasulullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.”

Dalam riwayat lain juga dijelaskan tentang ukuran barang yang dicuri sehingga seorang pencuri harus dijatuhi hukuman potong tangan. Hal ini sebagaimana hadis Nabi: Dari ‘Aisyah dari Nabi saw bersabda, “«tangan pencuri dipotong jika curian senilai seperempat dinar. (HR. al-Bukhari).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa yang wajib dikenai hukuman potong tangan adalah pencuri yang mencuri barang senilai seperempat dinar atau lebih.

Bayān Takhsīs

Bayān at-Takhṣīṣ adalah penjelasan Nabi Saw. dengan cara membatasi atau mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum (‘ām), sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu yang mendapat perkecualian. Sebagai misal, hadis Nabi tentang masalah waris di kalangan para nabi: “Rasulullah saw. pernah bersabda: "Kami (para nabi) tidak mewarisi sesuatu pun, dan yang kami tinggalkan hanya berupa sedekah.” (HR. Muslim).

Hadis tersebut merupakan pengecualian dari keumuman ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang disyariatkannya waris bagi umat Islam. Firman Allah SWT: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisā’[4]: 11)

Allah SWT. mensyariatkan kepada umat Islam agar membagi warisan kepada ahli waris, di mana anak laki-laki mendapatkan satu bagian dan anak perempuan separuhnya. Syariat waris itu tidak berlaku khusus pada para nabi, sehingga keumuman ayat tersebut dikhususkan (di-takhṣiṣ) oleh hadis di atas. Dengan kata lain, secara umum, mewariskan harta peninggalan wajib kecuali bagi para nabi.

Bayān Tasyri’

Bayān at-tasyri’ adalah penjelasan hadis yang berupa penetapan suatu hukum atau aturan syar’i yang tidak didapati nashnya dalam Al-Qur’an. Menurut Abbas Muthawali Hamadah bayān at-tasyri’ disebut dengan bayān zāid ‘alā al-Kitāb al-Karῑm, yaitu penjelasan sunnah/hadis yang merupakan tambahan terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hadis yang berfungsi sebagai bayān al-tasyri’ ini sangat banyak jumlahnya. Di antaranya adalah hadis tentang zakat fitrah sebagai berikut, sabda Nabi Muhammad SAW.: “Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW.shallallahu ‹alaihi wasallam telah mewajibkan zakat Fithrah di bulan Ramadlan atas setiap orang muslim, baik dia itu merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan, yaitu satu sha› kurma atau satu ṣa' gandum.” (HR. Muslim)

Menurut sebagian ulama bahwa zakat fitrah itu ditetapkan oleh sunnah/hadis sebagai tambahan atas Al-Qur’an. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa zakat itu penjabaran dari Al-Qur’an. Mereka mengambil dari hadis tersebut dalil yang menjadi rincian dari Al-Qur’an, karena Rasulullah tidak mewajibkan zakat kecuali kepada orang Islam. Dengan demikian sesuai dengan Al-Qur’an, karena zakat itu sebagai pembersih (mensucikan), sementara kesucian hanya untuk orang Islam. Allah swt berfirman: “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka…” (QS. At-Taubah [9]: 103)

Sunnah/hadis Rasulullah SAW. sebagai bayān at-tasyrī’ ini wajib untuk ditaati dan diamalkan berdasarkan perintah Allah swt dalam Al-Qur’an sebagaimana wajibnya mentaati dan mengamalkan hadis-hadis yang lainnya.

Bayan Nasakh

Secara etimologi, nasakh memiliki beberapa arti, di antaranya; menghapus dan menghilangkan, mengganti dan menukar, memalingkan dan merubah, menukilkan dan memindahkan sesuatu. Sedangkan dalam terminologi studi hadis, bayān nasakh adalah penjelasan hadis yang menghapus ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hadis yang datang setelah Al-Qur’an menghapus ketentuan-ketentuan Al Qur’an.

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya hadis menasakh Al-Qur’an. Ulama yang membolehkanpun juga berbeda pendapat tentang kategori hadis yang boleh menasakh Al-Qur’an. Para ulama mengemukakan contoh hadis: “Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abū Dāwud).

Hadis tersebut me-nasakh ketentuan dalam QS. Al-Baqarah [2]:180:  “Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. AlBaqarah [2]: 180)

Menurut para ulama yang menerima adanya nasakh hadis terhadap Al- Qur’an, hadis di atas menasakh kewajiban berwasiat kepada ahli waris, yang dalam ayat di atas dinyatakan wajib. Dengan demikian, seseorang yang akan meninggal dunia tidak wajib berwasiat untuk memberikan harta kepada ahli warisnya, karena ahli waris itu akan mendapatkan bagian harta warisan dari yang meninggal tersebut.

Sumber : Hadisa Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas X

 

 

Share:

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIS

Hadis merupakan sumber kedua bagi ajaran Islam. Hadis adalah sumber yang paling luas, yang terinci penjelasannya, dan paling lengkap susunannya. Hadis memberikan perhatian yang penuh dalam menjelaskan Al-Qur’an. Oleh sebab itu, tidaklah seharusnya dalam urusan istinbāt ̣ hukum Islam, orang mencukupkan Al-Qur’an saja, tanpa membutuhkan penjelasan dari hadis. Maka dari itulah, jangan terlalu mudah mengambil suatu hukum dari Al-Qur’an tanpa melihat terlebih dahulu apakah ada hadis yang menjelaskan tentang ayat tersebut. Marilah kita menggali potensi kemampuan kita dalam memahami Al-Qur’an dan hadis agar kita mampu memahami Islam dengan baik dan benar.

Kedudukan Hadis dalam Islam

Hadis bukanlah teks suci sebagaimana Al-Qur’an. Akan tetapi, hadis selalu menjadi rujukan kedua setelah Al-Qur’an dan menempati posisi penting dalam kajian keislaman. Mengingat penulisan hadis yang dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad SAW. wafat, maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan suatu hadis. Hal tersebut kemudian memunculkan sebagian kelompok meragukan dan mengingkari akan kebenaran hadis sebagai sumber hukum.

Mayoritas ulama, baik yang tergolong ulama terdahulu (salaf) maupun ulama modern (khalaf), dari masa sahabat sampai sekarang telah bersepakat bahwa sunnah (hadis) merupakan sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling melengkapi.

Oleh karena itu, umat Islam diwajibkan untuk taat kepada sunnah sebagaimana ketaatan mereka terhadap Al-Qur’an. Al-Qur’an dan hadis merupakan dua sumber hukum Islam yang tetap. Orang Islam tidak mungkin dapat memahami syari’at Islam secara mendalam tanpa merujuk kepada kedua sumber hukum Islam tersebut.

Banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu merupakan sumber hukum Islam selain Al-Qur’an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah, maupun larangan. Untuk membuktikan hadis sebagai sumber ajaran Islam, para ulama hadis mengemukakan beberapa dalil atau argumentasi rasional, teologis, Al Qur’an, sunah, maupun ijma’.

Dalil Rasional dan Teologis

Kehujjahan hadis dapat diketahui melalui argumentasi rasional dan teologis secara bersamaan. Beriman kepada Rasulullah SAW. merupakan salah satu rukun iman yang harus diyakini oleh setiap umat Islam. Keimanan ini diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar manusia beriman dan menaati Nabi Saw. Apabila seseorang mengaku beriman kepada Rasulullah, konsekuensi logisnya adalah menerima segala sesuatu yang datang darinya yang berkaitan dengan urusan agama, karena Allah telah memilihnya untuk menyampaikan syari’at-Nya kepada umat manusia. Mengenai hal ini M. ‘Ajjaj alKhāt ̣ib mengatakan:

“Al-Qur’an dan sunah merupakan dua sumber hukum syari’at Islam yang saling terkait. Seorang muslim tidak mungkin dapat memahami syari’at kecuali dengan kembali kepada keduanya. Seorang mujtahid dan orang alim tidak mungkin mengabaikan dan mencukupkan diri hanya kepada salah satu dari keduanya.”

Allah SWT. juga memerintahkan untuk beriman dan mentaati nabi Saw. Dengan demikian, menerima hadis sebagai ḥujjah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keimanan seseorang. Apabila ia tidak menerima hadis sebagai ḥujjah, sama halnya ia tidak beriman kepada Rasulullah SAW. Jika ia tidak beriman kepada Rasulullah SAW, ia tidak mengimani salah satu rukun Iman.

Dalil Al-Qur’an

Dalam berbagai ayat di Al-Qur’an dijelaskan bahwa Nabi saw memiliki tugas dan peran yang sangat penting terkait dengan agama.

Pertama, Nabi Muhammad Saw. diberi tugas menjelaskan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah:

Artinya: “Dan Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan” (QS. An-Nahl [16]: 44).

Kedua, Nabi Muhammad SAW. sebagai suri teladan (uswah hasanah) yang wajib diikuti oleh setiap umat Islam sebagaimana firman Allah:

Artinya: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzāb [33]: 21)

Ketiga, Nabi wajib ditaati oleh segenap umat Islam sebagaimana dijelaskan pada QS. al-Anfāl [8]: 20:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari-Nya, padahal kamu mendengar (perintah- perintah-Nya).” (QS. Al-Anfāl [8] : 20)

Selain itu, masih banyak lagi dalam Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk taat kepada Nabi Muhammad SAW. Antara lain sebagai berikut:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Nisa’ [4]: 59)

Ayat-ayat lain yang sejenis yang memaparkan tentang perintah untuk menaati Allah dan Rasul-Nya juga masih ada seperti QS. al-Māidah [5]: 92 dan an-Nūr [24]:54. Ayatayat tersebut di atas menunjukkan bahwa ketaatan kepada Rasulullah Saw. bersifat mutlak, sebagaimana ketaatan kepada Allah SWT. Demikian juga dengan ancaman atau peringatan bagi yang mendurhakai Allah sering disejajarkan dengan ancaman karena durhaka kepada rasul-Nya. Wujud dari bentuk ketaatan kepada Rasul adalah ketaatan terhadap segala yang dibawanya, yakni ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis. Seseorang tidak cukup hanya berpedoman pada Al-Qur’an dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga wajib berpedoman kepada hadis Rasulullah SAW. Oleh karena itu, taat terhadap ketentuan-ketentuan hadis adalah sebuah keniscayaan.

Dalil Sunnah

Kehujjahan tentang hadis juga dapat diketahui melalui pernyataan-pernyataan Rasul sendiri melalaui beberapa hadisnya. Antara lain pesan mengenai keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup di samping Al- Qur’an agar manusia tidak tersesat. Sabda Nabi Saw:

Artinya: "Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya." (HR. Imam Mālik)

Hadis ini secara tegas menyatakan bahwa Al-Qur’an dan sunnah/hadis Nabi Muhammad SAW. merupakan pedoman hidup manusia yang menuntun ke arah yang benar dan lurus, bukan ke arah yang sesat. Keduanya merupakan warisan dari Rasulullah yang paling berharga bagi umat Islam. Selain Al-Qur’an dan sunnah Nabi, sunnah al Khulafā ar-Rāsyidūn pun dapat dijadikan panutan sebagaimana disabdakan Nabi SAW:

Artinya: “Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku dan sunah al-Khulafā al-Rāsyidūn yang mendapat petunjuk. Pedomanilah sunnah (jalan hidup) mereka dan pegangilah erat-erat…” (HR. Abu Dawud)

Demikian juga hadis-hadis yang senada yang menjelaskan tentang keharusan umat Islam mengikuti hadis Nabi dalam urusan ibadah kepada Allah atau dalam persoalan hukum dan kemasyarakatan, sebagaimana argumentasi Mu’aż bin Jabal ketika hendak diutus Rasulullah ke Yaman. Beliau akan melandaskan antara lain pada sunnah Nabi saat menetapkan hukum suatu perkara yang dihadapinya dan Nabi menyetujui dan membenarkan pendapat Mu’aż.

Dalil Ijmā’

Para sahabat Nabi tidak ada satupun yang menolak tentang wajibnya taat kepada Nabi Saw. Dalam perkembangannya, umat Islampun telah sepakat mengenai kewajiban mengikuti sunnah Nabi Saw. Hal ini berarti, ijma’ umat Islam untuk menerima dan mengamalkan sunnah sudah ada sejak zaman Nabi, para al-Khulafā ar-Rāsyidūn, dan para pengikutnya. Banyak contoh yang menggambarkan betapa para sahabat sangat mengagumi Rasulullah dan melakukan apa yang dilakukannya. Di antaranya Abū Bakar pernah berkata,”Aku tidak akan meninggalkan sesuatupun yang dilakukan Rasulullah, maka pasti aku melakukannya..”

Secara fakta memang di antara umat Islam ada yang mengingkari Sunnah. Mereka disebut kelompok inkar as-sunnah yang embrionya muncul sejak zaman Imam Syafi’i, tetapi jumlah mereka sedikit dan argumentasi mereka sudah dipatahkan oleh para ulama hadis.

Sumber : Hadisa Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas X

Share:

Rabu, 30 Agustus 2023

BIOGRAFI SINGKAT IMAM AD-DAMIRI

            Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah bin Abdurrah ̣man bin al-Fad ̣l bin Bahram bin Abd as,-Ṣamad ad-Dārimī. Adapun julukannya (kunyah) adalah Abū Muhammad atau yang biasa dikenal dengan nama Imām ad-Dārimī. Nama daerah yang dinisbahkan kepada beliau, yaitu Darim. Ia dilahirkan pada tahun 181 H, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ad-Dārimī sendiri, beliau menuturkan bahwa “Aku dilahirkan pada tahun meninggalnya Abdullah bin al-Mubārak”. Imām ad-Dārimī dianugerahi kecerdasan, pikiran yang tajam dan daya hapal yang sangat kuat, teristimewa lagi dalam menghapal hadis. Beliau berjumpa dengan para gurunya dan mendengar ilmu dari mereka. Beliau adalah sosok yang tawadu’ dalam hal pengambilan ilmu, mendengar hadis dari kibar al ‘ulama (ulama senior) dan Ṣigār al-‘ulamā (ulama yunior), sampai-sampai dia mendengar dari sekelompok ahli hadis dari kalangan teman sejawatnya, akan tetapi beliau juga seorang yang sangat selektif dan berhati-hati. Beliau selalu mendengar hadis dari orangorang yang terpercaya dan śiqqah.

Pengembaraan keilmuan Imam ad-Dārimī dalam rangka pencarian ilmu khususnya hadis, sebagaimana para ulama hadis yang lain, dilakukan dengan mengunjungi berbagai kawasan dunia Islam antara lain; Khurasan, Iraq, Baghdad, Syam, Kufah, Mekah dan Madinah.

Beliau berguru kepda para ulama besar di zamannya antara lain; Yazid bin Harun, Ya’la bin ‘Ubaid, Ja’far bin ‘Aun, Basyr bin ‘Umar az Zahrani, ‘Ubaidullah bin Abdul Hamid al Hanafi, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in dan lain-lain.

Murid-murid Imām ad-Dārimī antara lain; Imam Muslim bin Hajjaj, Imam Abū Dawūd, Imam Abu ‘Isā at-Tirmiżī, ‘Abd bin Humaid, Raja` bin Murji, Al-Hasan bin As ̣- Ṣabbah al-Bazzār, Muh ̣ammad bin Yah ̣ya, Abū Ḥātim dan masih banyak lagi yang lainya. Imām ad-Dārimī adalah ulama hadis yang sangat terkenal di bidang hadis, maka banyak dari kalangan ulama yang memberikan sanjungan kepada Imām ad-Dārimī, di antaranya adalah: Imam Ahmad bin Ḥanbal memuji beliau dan menyebutnya dengan gelar “imam” dan berpesan agar menjadikannya rujukan (seraya ucapannya diulang-ulang).

Muhammad bin Basyar berkata: “Penghapal kaliber dunia ada empat: Abu Zur’ah ar-Razi, Muslim an-Naisaburī, Abdullah bin Abdurrah ̣man dan Muh ̣ammad bin Ismail di Bukhari.”

Imām ad-Dārimī merupakan ulama yang lumayan produktif yang menghasilkan beberapa kitab yang jumlahnya cukup banyak. Di antaranya adalah: Sunan ad-Dārimī, Suluśiyāt (kitab hadis), Al-Jāmī’, dan Tafsir.

Imām ad-Dārimī wafat pada hari Kamis bertepatan dengan hari Tarwiyyah, 8 Dzulhijah, setelah Ashar tahun 255 H, dalam usia 75 tahun. Dan dimakamkan keesokan harinya, Jumat (hari Arafah).

 

Sumber : Ilmu Hadis kementerian Agama RI

NB : Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas X

 

Share:

PERJALNAN HIDUP IMAM AHMAD BIN HAMBAL DAN KARYA-KARYA NYA

Nama beliau adalah Ah ̣mad bin Muh ̣ammad bin Ḥanbal bin Hilāl bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Ḥayyān az-Zuhli asy-Syaibānī. Imam Ahmad dilahirkan di kota Bagdad.

Ada yang berpendapat bahwa di Marwa, kemudian di bawa ke Baghdad ketika beliau masih dalam penyusuan. Hari lahir beliau pada tanggal 20 Rabi’ul Awwal tahun 164 hijriah. Kunyah beliau adalah Abū Abdillah.

Ayah beliau, Muh ̣ammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Ḥanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.

Al-Qur’an adalah lmu yang pertama kali dikuasainya sehingga ia hapal pada usia 15 tahun, ia juga mahir baca-tulis dengan sempurna sehingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Setelah itu, ia mulai konsentrasi belajar ilmu hadis di awal umur 15 tahun. Ia telah mempelajari hadis sejak kecil dan untuk mempelajari hadis ini ia pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria), Hijaz, Yaman dan negara-negara lainnya sehingga ia akhirnya menjadi tokoh ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur’ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12 buah sudah dihapalnya di luar kepala. Ia menghapal sampai sejuta hadis.

Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadis) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadis dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadis. Ulama lain yang menjadi sumber beliau dalam belajar adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al- Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”

Murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fikih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur‘ah, al-Bukhari, Muslim, Abū Dāwud, al-As,ram, dan lain-lain.

Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qaḍi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.

Tentang Imam Ahmad, Imam Syafi‘i berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa dari pada Ahmad bin Hanbal.” Yah,ya bin Ma’in menuturkan; ‘Aku tidak pernah melihat seseorang yang meriwayatkan hadis karena Allah kecuali tiga orang: Ya’la bin ‘Ubaid, Al-Qa’nabi, Ah,mad bin Ḥanbal.”

Imam Ah,mad bin H,anbal termasuk salah seorang ulama yang produktif. Beberapa kitab buah pena beliau antara lain; Kitab Al- Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadis, Al-‘Ilal, An-Nāsikh wa al-Mansūkh, Az-Zuhd, Al-Asyribah, Al-Iman, Al-Faa`il, Al-Fara`iḍ, Al-Manasik, Ta’atu ̣ ar-Rasūl, Al-Muqaddam wa al-mu`akhkhar, Jawwabāt al-Qur`ān, Ḥadīś Syu’bah, Nafyu at-Tasybīḥ, Al-Imamah, Kitāb al-Fitan, Kitāb faḍaili ahli al-bait, Musnad ahli al-Bait, alAsmā` wa al-Kuna, Kitāb at tārikh, dan lain-lain.

Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu.

Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau berpulang. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai ratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampaه satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau.

Sumber : Ilmu Hadis kementerian Agama RI

NB : Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas X

 

Share:

MENGENAL SOSOK IMAM MALIK BIN ANAS, BESERTA DENGAN KARYA-KARYANYA

Imam Mālik bin Anas adalah pendiri mazhab Maliki. Nama lengkapnya adalah Mālik bin Anas bin Malik bin Abī ‘Amir bin ‘Amr bin Ḥaris al-Asbahi al-Madani. Lahir di kota Madinah pada tahun 93 H, bertepatan dengan tahun meninggalnya sahabat Anas bin Mālik ra. Ia mendapat gelar (kunyah) Abū Abdillah.

Imam Mālik tumbuh di tengah-tengah ilmu pengetahuan, hidup di lingkungan keluarga yang mencintai ilmu, di kota sumber mata air sunnah dan kota rujukan para alim ulama. Di usia yang masih sangat belia, beliau telah menghapal Al-Qur`an, menghapal sunah Rasulullah SAW., menghadiri majelis para ulama dan berguru kepada salah seorang ulama besar pada masanya yaitu Abdurrah ̣man bin Hurmuz. Kakek dan ayahnya adalah ulama hadis terpandang di Madinah. Sejak kecil Imam Malik tidak meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah dengan kehadiran ulama-ulama besar. Karena keluarganya ulama ahli hadis, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman-pamannya. Di samping itu beliau pernah juga berguru kepada para ulama terkenal lainnya.

Pada usia belasan tahun Imam Malik mulai menuntut ilmu. Ketika berumur 21 tahun beliau mulai mengajar dan berfatwa. Beliau berguru pada ulama terkenal di antaranya Nafi’, Sa’id al-Maqburi, Amir bin Abdullah bin Zubair, Ibnu al-Mukandir, az-Zuhri, Abdullah bin Dinār, dan sederet ulama-ulama besar lainnya. Murid-murid Imam Malik banyak sekali, di antara mereka yang sangat terkenal adalah Ishāq bin Abdullah bin Abū Ṭalh ̣ah, Ayyub bin Abu Tamimah as-Sakhtiyāni, Ayyūb bin Habīb al-Juhani, Ibrahim bin ‘Uqbah, Isma’il bin Abī Ḥakim, Ismail Ibnu Muh ̣ammad bin Sa’ad, dan Imam Asy-Syafi’i.

Meskipun Imam Mālik memiliki kelebihan dalam hafalan dan kekuatan pengetahuannya, akan tetapi beliau tidak mengadakan rihlah ilmiah dalam rangka mencari hadis, karena beliau beranggapan cukup dengan ilmu yang ada di sekitar Hijaz. Meski beliau tidak pernah mengadakan perjalanan ilmiyyah, tetapi beliau telah menyandang gelar seorang ulama, yang dapat memberikan fatwa dalam permasalahan umat, dan beliau pun membentuk satu majelis di masjid Nabawi. Semua itu agar dapat mentransfer pengetahuannya kepada kaum muslimin serta kaum muslimin dapat mengambil manfaat dari pelajaran yang di sampaikannya.

Imam Malik merupakan seorang ulama yang produktif dalam menulis kitab. Salah satu karya monumental beliau adalah kitab al-Muwatṭ̣,a’, berarti ‘yang disepakati’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam.

Dalam menyusunnya beliau menghabiskan waktu 40 tahun, dan selama waktu itu, beliau menunjukkan kepada 70 ahli fikih di Madinah. Tentang Imam Malik, Imam asySyafi’ī berkata:

“Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) hadis”

Yahya bin Ma’in berkata: “Imam Malik adalah hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para tabi’in.”

Selain al-Muwat,t,a’ Imam Malik juga menulis berbagai kitab antara lain; Risalah fī al-Qadar, Risalah fī an-Nujūm wa Manāzili al-Qamar, Risālah fī al-Aqẓiyyah, Risālah ilā Abi Gassan Muḥammad bin Mut,arrif, Risālah ilā al- Laiś bin Sa’d fī Ijma’i Ahli al Madīnah, Juz’un fī at-tafsir, Kitabu as-Sir, dan Risālat ilā ar-Rāsyid. Beliau meninggal dunia pada malam hari tanggal 14 safar 179 H pada usia yang ke 85 tahun dan dimakamkan di Baqi`, Madinah al-Munawwarah.

Sumber : Ilmu Hadis kementerian Agama RI

NB : Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas X

 

Share:

Pengikut

Arsip Blog

Definition List

Unordered List

Support