Untuk
mengetahui apakah sebuah hadis ṣaḥīḥ atau tidak tentu yang dilihat pertama kali
adalah siapa yang menyampaikannya. Jika yang menyampaikan adalah orang yang
tidak bisa dipercaya maka hadis tersebut tidak bisa dipercaya bahwa ḥadīṡ tersebut
berasal dari Nabi, bisa jadi hadis itu adalah hadis yang mengada-ada atau hadis
yang isinya hanya untuk menguatkan pendapat golongan atau kelompok tertentu
saja. Sehingga perlu adanya syarat-syarat orang yang menerima dan menyampaikan
hadis (rijāl al- ḥadīṡ) yang bisa dipercaya kebenaran dan kejujurannya.
Untuk
mempelajari syarat rijāl al- ḥadīṡ, pada bab ini disajikan definisi rijāl al- ḥadīṡ
yang merupakan salah satu dari unsur hadis, kemudian disajikan pula
faktor-faktor yang menyebabkan hadis dianggap tidak benar karena seorang rijāl ḥadīṡ-nya
yang lemah dan tidak memenuhi syarat, selain itu juga disajikan sifat-sifat
seseorang yang menyebabkan penyampaian hadisnya tidak bisa dipercaya.
Pengertian rijāl al-ḥadīṡ
Ketika
kita telah membuka buku kamus maka kita dapat menemukan bahwa rijāl al- ḥadīṡ
berasal dari dua kata yaitu rijāl dan ḥadīṡ. Rijāl adalah bentuk jama’ dari
kata rajulun yang artinya orang laki-laki. Kemudian kata rijāl dalam istilah
hadis adalah “orang yang menerima hadis dari seseorang dan menyampaikan hadis
yang telah diterimanya kepada orang lain”.
Orang
yang bisa diterima beritanya tentu memiliki syarat-syarat tertentu adapun
syarat-syarat rijāl al- ḥadīṡ adalah sebagaimana berikut:
Syarat rijāl al-ḥadīṡ
Sebuah
sanad hadis bisa dikatakan benar dari Nabi jika sanadnya sambung (ittiṣāl
as-sanad) yaitu rangkaian sanad hadis yang saling bertemu antara murid dan guru
mulai dari awal sanad (sahabat, jika hadisnya marfū’) sampai pada periwayat
terakhir yang menuliskan atau membukukan hadis seperti Imam Bukhari. oleh
karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad yang terputus, tidak
diketahui identitas rijāl al- ḥadīṡ atau nama periwayat yang samar. Selain ittiṣāl
as-sanad, para rijāl al-ḥadīṡ nya harus terpercaya (ṡiqah). Kata ṡiqah adalah
bahasa arab yang artinya kuat, rapat, dan terpercaya. Rijāl al-ḥadīṡ yang bisa
diterima riwayatnya (rijāl yang ṡiqah) harus meliputi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. ´Ādil:
´Ādil
artinya adalah orang yang adil. Dalam konteks ini adalah orang yang memenuhi
syarat-syarat berikut ini.
1. Muslim
2. Sudah
baligh, artinya ia adalah orang yang mumayyiz (Bisa membedakan mana yang hak
dan yang batil, yang halal dan yang haram, perbuatan dosa dan perbuatan yang
mengasilkan pahala)
3. Berakal
sehat, artinya bukan orang gila, bukan orang yang mabuk dan bukan juga orang
yang terlalu fanatik terhadap golongannya ketika ia menyampaikan hadis yang
berisi tentang dalil yang mendukung golongannya atau sebaliknya
4. Tidak
fasik, artinya ia tidak melakukan dosa besar atau sering melakukan dosa kecil.
5. Menjaga
murūah atau harga dirinya.
Sebab-sebab
periwayat hadis dikatakan “tidak adil”, sehingga riwayatnya tidak bisa diterima
adalah sebagai berikut:
1. Al-kiżb (bohong): artinya dia sering bohong dalam pembicaraan seharihari dan juga pernah membohongkan riwayat hadis.
2. Al-muttahamu bi al-kiżb (dianggap bohong): artinya ada dua kemungkinan, pertama dia sering bohong dalam ucapan sehari-hari namun tidak pernah ditemukan bahwa dia telah membohongkan hadis. Yang kedua pernah meriwayatkan hadis sendirian dan hadisnya bertentangan dengan kaidah yang berlaku secara umum atau bertentangan dengan riwayat hadis yang lebih kuat.
3. Al-fisq (Fasik): artinya dia sering melakukan perbuatan dosa kecil atau pernah melakukan perbuatan dosa besar.
4. Al-bid’ah (cara ibadah yang baru yang tidak di syari’atkan) : artinya dia melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah.
5. Al-jahālah (bodoh/tidak mengetahui): artinya dia orang yang tidak mengetahui tentang keadaan para periwayat hadis, dan juga tidak mengetahui ajaran agama Islam.
b. Ḍābiṭ :
Ḍābiṭ berasal dari bahasa arab yang
artinya kuat/tepat, Rijāl al-ḥadīṡ ada yang ḍābiṭ fī al-kitābah yaitu kuat
menjaga tulisannya dan ḍābiṭ fī al-ḥifḍ yaitu kuat dalam menjaga hafalannya.
Adapun yang dimaksud ḍābiṭ fī al-kitābah
adalah kuat dalam menjaga tulisannya dan sekirannya tulisan hadis yang
dimilikinya dibutuhkan dia bisa menunjukkan dengan cepat.
Kemudian yang dimaksud ḍābiṭ fī al-ḥifḍ
adalah kuat menjaga hafalannya dan sekirannya hafalan hadisnya dibutuhkan dia
bisa menunjukkan dengan cepat.
Seandainya ada rijāl yang rapi tulisannya
dan dia menyimpan tulisannya di tempat yang sangat aman, namun ketika
dibutuhkan hadisnya dia tidak bisa menunjukkan dengan cepat, orang semacam ini
tidak bisa dikatakan ḍābiṭ fī al-kitābah.
Cacatnya periwayat hadis sebab tidak “ḍābiṭ”,
adalah sebagai berikut:
1. Faḥsy
al-galaṭ (kesalahan yang terlalu) artinya dia pernah meriwayatkan hadis dengan
kesalahan yang fatal.
2. Sū'u al-ḥifżi (hafalannya jelek/tidak cerdas) artinya dia sering mengalami
kesalahan dalam meriwayatkan hadis namun kesalahan itu tidak fatal.
3. Al-gaflah
(pelupa/pikun) dia sering lupa atau pikun.
4. Mukhālafah
as-siqāt (bertentangan dengan orang yang lebih ṡiqāt) artinya hadis yang
diriwayatkannya ternyata bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang
yang lebih ṡiqāt.
c. Menjaga murū ̇ah.
Yaitu menjaga
harga diri dengan cara berakhlak yang mulia dan menjauhi akhlak tercela. Suatu
contoh: ada seorang yang berpakaian celana jean yang kumel, dan mengenakan kaos
dalam saja kemudian dia berdiri ceramah di masjid, apakah ada orang yang
mempercayainya?.
Gelar-gelar untuk rijāl al-ḥadīṡ
Para
muhaddisin mendapat julukan dari umat Islam atau mendapat gelar-gelar kultural
sebagaimana berikut:
1. Al-musnid, yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik ia mengetahuinya atau tidak. Al-musnid juga disebut dengan at-tālib, al-mubtadi, dan ar-rāwi.
2. Ṭālib al-ḥadīṡ, yaitu orang yang sedang menuntut hadis.
3. Al-hāfiẓ, untuk gelar ini ada beberapa pendapat antara lain:
Ø Persamaan
dari al-muḥaddīṡ, menurut mayoritas ahli hadis.
Ø Al-hafiẓ
lebih tinggi derajatnya dari pada al-muḥaddīṡ, dengan sekiranya mengetahui apa
yang ada dalam tiap-tiap tingkatan itu lebih banyak dari apa yang diketahuinya.
Ø Gelar
untuk ahli hadis yang dapat menṣaḥīḥkan sanad dan matan hadis dan dapat
men-ta’dīl-kan dan men-jarḥ-kan periwayatnya. Seorang al-hafiẓ harus menghafal
hadis-hadis ṣaḥīḥ, mengetahui periwayat yang waham (banyak purbasangka),
illat-illat hadis, dan istilah-istilah para muḥaddīṡ.
Ø Orang
yang memadukan sifat-sifat muhaddits ditambah dengan banyaknya hafalan dan
banyaknya jalur agar dapat disebut al-hafiẓ. Al-hafiẓ adalah orang yang
menghafal 100.000 hadis baik dalam segi matan maupun sanadnya, meskipun dengan
jalur yang beragam, mengetahui yang ṣaḥīḥ dan mengenal berbagai peristilahan yang
digunakan dalam buku hadis.
Ø Al-Mizzy
mengatakan, al-ḥafiẓ adalah orang yang pengertiannya banyak dari pada yang
tidak diketahuinya. Bila ia berhasil menghafal lebih dari 100.000 hadits
lengkap dengan sanadnya, maka ia mencapai julukan ḥafiẓ ḥujjah. Para pakar
hadis yang mendapat gelar ini antara lain al-̀Irāqi, Syarafuddin al Dimyathi,
Ibnu Hajar al Asyqalani, dan Ibnu Daqiqil Id.
4. Al-ḥujjah, yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal 300.000 hadis, baik matan, sanad, maupun perihal si periwayat tentang keadilannya, kecacatannya, dan biografinya (riwayat hidupnya). Para muhaddiṡ yang mendapat gelar ini antara lain ialah Hisyam ibn Urwah (w. 146 H), Abu Hużail Muḥammad ibn al-Walīd (w. 149 H), dan Muḥammad Abdullah ibn Amr (w. 242 H).
5. Al-ḥākim, yaitu orang yang mengetahui seluruh hadis yang pernah diriwayatkan, baik dari segi sanad maupun matan, jarḥ (tercela)nya, ta’dīl (terpuji)nya, dan sejarahnya.Setiap periwayat diketahui sejarah hidupnya, perjalanannya, guru guru, dan sifat sifatnya yang dapat diterima maupun yang ditolak. Ia hafal hadis lebih dari 300.000 hadis beserta sanadnya. Para muhaddiṡ yang mendapat gelar ini antara lain Ibn Dinar (w. 162 H), Al-Laiṡ ibn Sa'ad, seorang mawali yang menderita buta di akhir hayatnya (w. 175 H), Imam Malik (w. 179 H), dan Imam Syafi'i (w. 204 H).
6. Amīrul mu’minīn fi al-hadīṡ, untuk gelar ini ada beberapa pendapat antara lain: Julukan ini diberikan kepada orang yang populer pada masanya dalam bidang hafalan dan dirayah hadits, sehingga menjadi tokoh dan imam pada masanya. Julukan ini telah diberikan kepada orang-orang semisal Abdurrahman ibn Abdillah ibn Dzakwan al Madany (Abu az Zanad), Syu’bah ibn Hajjaj, Sufyan al Tsauriy, Imam Malik ibn Anas, Imam Bukhari, dan lain-lain. Mereka merupakan imam-imam hadits terkemuka, yang mendapat kesaksian imam-imam besar dan mayoritas umat mengenai keimanan mereka dan kedalaman mereka dalam bidang ini.
Sumber:
Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI
NB:
Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas XI
0 Post a Comment:
Posting Komentar