Pertambahan
jumlah penduduk tidak bias dibatasi. Bila di tahun 1980 an jumlah penduduk
Indonesia sekitar 135 juta, maka pada tahun 2015 jumlah itu telah mencapai 250
juta. Jumlah manusia yang banyak pasti membutuhkan lahan lebih banyak lagi untuk
dijadikan tempat tinggal, maka konsekuensinya adalah mengubah fungsi tanah
persawahan, atau perkebunan, atau rawa-rawa tempat penampungan air, atau bahkan
hutan menjadi pemukiman. Hal itu tentu akan mempengaruhi lingkungan alam.
Jumlah pepohonan berkurang karena harus dibabat. Debit air tanah juga berkurang
karena banyak tanah yang semula merupakan wilayah resapan air seperti situ,
empang, atau raw-rawa kini tidak ada lagi karena telah menjadi pemukiman.
Jumlah
penduduk yang semakin banyak itu, juga memproduksi sampah dan limbah yang
semakin berlipat volumenya. Tentu sampah dan limbah itu mencemari lingkungan.
Kebersihan udara tercemar, kualitas air tanah semakin buruk, bahkan di beberapa
tempat air tanah sudah tidak bias dikonsumsi karena berbau busuk dan mengandung
zat yang berbahaya bagi kesehatan.
Tuntutan
adanya lapangan kerja bagi jumlah penduduk yang semakin banyak juga tidak bisa
dihindari. Maka didirikan pabrik-pabrik di sekitar pemukiman tempat tinggal
untuk menampung mereka dalam dunia kerja. Pabrik-pabrik juga memberi kontribusi
pencemaran udara karena asap atau cairan pembuangan yang dihasilkan dari
pabrikpabrik itu.
Semua
yang terjadi seiring dengan pertambahan jumlah penduduk itu tidak bias
dihindari. Kalau demikian adanya maka yang dapat dilakukan adalah mengimbangi
kerusakan dan pencemaran lingkungan alam dengan dengan melakukan penghijauan
dengan menanam sebanyak mungkin pohon di lahan-lahan kosong di sekitar tempat
tinggal. Reboisasi atau penanaman hutan kembali juga harus dilakukan di
hutan-hutan yang telah ditebang atau terbakar.
Dalam
konteks itulah hadis nabi yang menganjurkan kepada kita untuk menanam pohon
patut dipelajari.
Disebutkan
dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim dari Anas bin Malik bahwa
Rasulullah saw bersabda: Dari Anas bin Malik ra. Dia berkata: Rasulullah saw
bersabda: “Tidaklah seorang Muslimpun
yang menanam atau bercocok tanam, lalu tanamannya itu dimakan oleh burung, atau
orang, atau binatang, melainkan hal itu menjadi shadaqah baginya”. (HR.
Bukhari)
Penjelasan Hadis
Melalui
hadis ini, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menanam atau bercocok tanam.
Berdasarkan hadis ini dapat dikatakan pula bahwa dengan bercocok tanam atau
menanam pohon akan diperoleh dua manfaat, yaitu manfaat keduniaan dan manfaat
keagamaan.
Manfaat
pertama yang bersifat keduniaan dari bercocok tanam adalah mendatangkan hasil
atau produk berupa tersedianya bahan makanan. Dengan bercocok tanam maka banyak
orang bisa mendapatkan manfaat darinya. Selain petani itu sendiri, masyarakat juga
ikut menikmati hasil tanamannya baik yang berupa sayur-sayuran, buah-buahan,
biji-bijian, ataupun palawija yang kesemuanya merupakan kebutuhan pangan
mereka. Meskipun orang lain yang ikut mengambil manfaat harus mengganti dengan
membayar sejumlah uang, tetap dapat dikatakan bahwa orang-orang yang bercocok
tanam telah memberikan manfaat kepada orang banyak dengan menyediakan hal-hal
yang dibutuhkan manusia.
Bahkan
manfaat yang mereka berikan tidak terbatas pada penyediaan bahan makanan bagi
orang lain saja akan tetapi dengan bercocok tanam, mereka telah menjadikan
lingkungan lebih sehat untuk manusia, udara juga menjadi lebih sehat karena
tanaman menghasikan oksigen yang juga sangat dibutuhkan manusia dalam proses
pernafasan. Tanaman berupa pepohonan besar juga memberikan kerindangan dan
keteduhan bagi orang-orang yang bernaung di bawahnya serta kesejukan bagi
orang-orang di sekitarnya. Tanaman dan pepohonan juga menjadikan pemandangan
alam yang indah dipandang mata, sehingga perasaan pun ikut menjadi damai berada
di dekatnya.
Manfaat
kedua adalah manfaat yang bersifat keagamaan yaitu pahala bagi orang yang
menanam. Sesungguhnya tanaman yang kita tanam apaila dimakan oleh manusia,
burung, atau binatang lain, meskipun hanya satu biji saja, maka hal itu adalah
sedekah bagi penananya, baik dia kehendaki atau tidak. Sehingga dapat dikatakan
bahwa seorang Muslim akan mendapatkan pahala dari hartanya yang dicuri,
dirampas atau dirusak dengan syarat dia tetap berabar dan menyerahkan segala
sesuatunya kepada Allah swt. Sesungguhnya segala perkara bagi seorang Muslim
bisa bernilai ibadah dan mengandung kebaikan.
Karena
itu siapapun seorang Muslim yang menanam pohon, hendaknya jangan berpikir bahwa
buahnya hanya boleh dimakan oleh dirinya sendiri dan keluarganya, akan tetapi
patut pula dia berpikir untuk ikhlash apabila buahnya dimakan oleh orang,
burung ataupun binatang lain. Dalam hal ini terdapat kisah yang patut dijadikan
pelajaran. Yaitu kisah seorang kakek yang menanam pohon zaitun.
Dikisahkan
bahwa suatu hari raja Anusyirwan ketika sedang berburu menjumpai seorang kakek
tua sedang menanam pohhon zaitun. Melihat hal itu raja berkata kepada kakek tua
itu: “wahai kakek, bukan sekarang saatnya kau menanam zaitun, karena dia pohon
yang sangat lama tumbuhnya, sehingga bila dia berbuah pasti engkau sudah
meninggal”. Mendengar kata-kata raja itu, kakek tua dengan bijak menjawab: “wahai
raja, orang-orang sebelum kita telah menanam, lalu kita memakan hasilnya, maka
sekarang kita menanam. Supaya orang-orang sesudah kita dapat memakan hasilnya”
Mendengar
jawaban kakek tua itu, raja pun merasa senang dan memberinya sejumlah hadiah.
Sepatutnya
begitulah orang-orang berpikir bahwa kita telah mengambil manfaat dari apa yang
telah diusahakan oleh orang lain, maka kitapun akan melakukan sesuatu demi
kemanfaatan yang dapat dirasakan oleh orang lain pula. Seorang Muslim yang
menanam tanaman tidak akan pernah merasa rugi, sebab tanaman tersebut akan
dirasakan manfaatnya oleh manusia dan hewan, bahkan oleh bumi kita diami.
Tanaman yang dia tanam, lalu diambil oleh siapa saja, baik dengan jalan yang
halal ataupun jalan haram, tetap saja yang menanamnya akan mendapatkan pahala,
sebab tanaman yang diambil tersebut berubah menjadi sedekah baginya, walaupun
dia tidak meniatkan tanamanny yang diambil atau dirusak orang atau hewan itu
sebagai sedekah.
Begitu
pentingnya menanam pohon sebagai upaya untuk memelihara lingkungan, maka dalam
hadis lain Rasulullah memerintahkan untuk menanami tanah-tanah yang kosong.
Bahkan kalau pemilik tanah itu tidak sanggup menanaminya, Rasulullah
menganjurkannya untuk mencari orang lain yang akan menggarapnya.
Dari
Abu Hurarah ra. Dia berkata: “Rasulullah saw bersabda ‘siapa yang memiliki
tanah hendaklah dia menanaminya, atau hendaklah dia serahkan kepada saudaranya
untuk ditanami, jika tidak mau, maka hendaklah dia tahan (kepemilikan) tanah
itu (disewakan kepada orang lain untuk ditanami) (HR Bukhari)
Hadis
di atas menunjukkan bahwa Rasulullah sangat menghargai tanah yang merupakan
karunia Allah swt. Karena itu orang yang memiliki tanah cukup luas tetapi tidak
sanggaup untuk mengelola dan memanfaatkan tanahnya dengan menanaminya,
diperintahkan untuk menghibahkannya kepada saudaranya agar dikelola, atau
disewakan kepada orang lain untukdigarap. Dengan cara demikian maka dia tidak
dianggap menelantarkan lahan. Selain itu dia telah menolong orang lain dengan
memberiya pekerjaan.
Begitulah
Islam sejak zaman Nabi telah memperhatikan lingkungan sebagai upaya pelestarian
lingkungan itu sendiri sehingga tidak terbengkalai bahkan memberikan manfaat
dan maslahat kepada umat manusia.
0 Post a Comment:
Posting Komentar