Dalam
hidup kita semua pasti mengharapkan dapat memenuhi semua yang kita inginkan,
baik menyangkut kebutuhan primer seperti makanan, pakaian, pendidikan,
kesehatan dan tempat tinggal; maupun kebutuhan sekunder seperti kendaraan,
televisi, telephon, dan hiburan; bahkan kebutuhan kemewahan seperti menginap di
hotel berbintang, rekreasi ke luar negeri dan memiliki mobil atau rumah mewah.
Namun kita tahu, bahwa tidak semua orang beruntung dapat menikmati hidup
berkecukupan. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan kemewahan, saat ini masih
banyak keluarga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan primer. Mereka tinggal di
kolong-kolong jembatan atau di lapak-lapak pedagang pasar, tidak mampu
menyekolahkan anak-anak, tidak memiliki pakaian yang layak, tidak mampu
membiayai perawatan kesehatan dst.
Menyadari
kondisi yang seperti itu, yang masih diderita oleh saudara-saudara kita
sebangsa, atau seagama, bahkan mungkin masih memiliki hubungan keluarga dengan
kita, lalu apakah kita yang diberi kenikmatan berupa kemampuan untuk memenuhi
semua kebutuhan, akankah dengan bangga kita tampilkan diri kita dengan pakaian
indah-indah, mahal-mahal? Senangkah kita tunjukkan kepada mereka barang-barang
mewah yang kita miliki; kalung, liontin, cincin berlian, hand phone, tablet
dll. Tentu yang seperti itu tidak pantas kita lakukan. Apalagi kalau ditambah
dengan sikap apatis atau tidak peduli terhadap nasib yang mereka alami.
Agama
Islam tidak membenarkan sikap hidup bermegah-megahan atau bermewahmewahan,
mencintai harta benda secara berlebihan, menganggap bahwa harta kekayaan adalah
segalanya, dan akan membuat hidupnya kekal abadi. Sikap seperti itu dilarang,
misalnya dalam al-Qur’an surat al-Humazah, al-Takatsur dan al-Lahab serta pada
hadis-hadis yang akan kita pelajari. Islam juga melarang sikap apatis atau
tidak peduli terhadap orang lain yang mengalami penderitaan. Penderitaan dapat
dialami oleh setiap orang, mungkin diakibatkan oleh bencana alam, seperti tanah
longsor, gempa bumi, banjir ataupun kebakaran. Atau disebabkan factor lain,
seperti ketidakmampuan fisik, mental, maupun intelektual yang ada pada diri
seseorang. Melihat orang lain mengalami penderitaan, seorang Muslim harus
memberikan bantuan kepada mereka. Banyak ayat al-Qur’an maupun hadis nabi yang
memerintahkan kita untuk peduli terhadap mereka, misalnya surat al-Maun dan
al-Dluha dan hadis-hadis yang akan kita pelajari.
Gaya
hidup mewah dan tidak peduli terhadap penderitaan orang lain, apabila telah
menjadi gaya hidup mereka yang berpunya, maka dapat dipastikan hal itu
sekurangkurangnya akan menanamkan sikap tidak senang pada diri orang-orang
miskin kepada mereka yang kaya. Lebih dari itu mungkin saja timbul kemarahan
dan kebencian yang sewaktu-waktu bias dilampiaskan dalam tindakan yang
destruktif. Untuk menghindari kondisi yang seperti itu hendaknya mereka yang
berkelebihan menunjukkan sikap sederhana dalam hidup dan mau peduli dengan
nasib mereka yang berkekurangan dengan memberi bantuan, infak ataupun sedekah.
Hadis
Pertama:
Dari
Abdullah bin Amr, sesunggunya Rasululllah saw melewati Sa’ad yang sedang
berwudhu. Maka Rasulullah bersabda: Kenapa
berlebih lebihan seperti ini? Sa’ad menjawab: “Apakah dalam berwudhu ada yang dianggap berlebihan?” Rasulullah
menjawab: Ya, meskipun kamu berada di
atas sungai yang mengalir”
Hadis
kedua:
Dari
Hakim bin Hizam ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah, maka mulailah
dengan orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah adalah dari
orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan dirinya). Maka siapa yang berusaha
menjaga dirinya, Allah akan menjaganya dan siapa yang merasa cukup untuk
dirinya maka Allah akan mencukupkannya. (HR Bukhary)
Untuk
memahami pengertian “pola hidup sederhana” dengan baik, maka harus kita pahami
dua istilah yang terdapat di dalamnya yaitu pola hidup dan sederhana. Pola
hidup adalah cara berperilaku dalam kehidupan sehari-hari sejak bangun tidur
sampai tidur lagi. Jadi pola hidup adalah bagaimana kita beraktifitas
sehari-hari seperti mandi, makan, bekerja, berpenampilan, berolah raga, belajar
dsb. Pola hidup dapat dikatakan sebagai kebiasaan. Bila kita memiliki kebiasaan
buruk berarti kita memiliki pola hidup yang buruk. Begitu pula sebaliknya,
kebiasaan yang baik menandakan kita telah melakukan pola hidup yang baik.
Adapun sederhana adalah berperilaku sesuai kebutuhan dan kemampuan dengan tidak
berlebih-lebihan atau bermewah-mewahan.
Seorang
Muslim diperintahkan untuk memiliki pola hidup yang baik. Diantara pola hidup
yang baik adalah hidup sederhana, yaitu berperilaku sesuai kebutuhan dan
kemampuan dengan tidak berlebih lebihan atau bermewah-mewahan. Akan tetapi
karena kebutuhan hidup orang itu berbeda-beda, maka ukuran sederhana untuk
setiap orang juga berbeda-beda. Seorang pengusaha yang memiliki jaringan kerja
antar propinsi, antar pulau, atau bahkan antar negara tentu sering mengeluarkan
biaya banyak untuk biaya transportasi yang harus dia keluarkan baik untuk
membeli mobil dan maintenance nya atau untuk membeli tiket pesawat, tentu hal
itu tidak berarti dia tidak hidup sederhana atau bermewah-mewahan. Akan tetapi
bagi seseorang yang tempat kerjanya dapat dijangkau dengan bersepeda atau
berjalan kaki, maka kalau dia selalu mengendarai mobil untuk berangkan kerja,
hal itu dapat digolongkan sebagai pola hidup yang berlebihan atau
bermewah-mewahan.
Pada
hadis pertama di atas, Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk hidup
sederhana bukan hanya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga dalam
melaksanakan ibadah. Diceritakan dalam hadis tersebut bahwa Rasulullah menegur
seorang sahabatnya yaitu Sa’ad yang dianggap berlebihan dalam berwudlu. Imam
al-Suyuti menjelaskan bahwa yang dianggap berlebihan dalam berwudhu tersebut
adalah penggunaan waktu yang berlebihan dan melampaui batas ketentuan syariat
wudlu. Karena itu hendaknya orang yang berwudlu menghindari sifat was-was yang
menyebabkannya selalu merasa belum sempurna dalam berwudlu sehingga merasa
perlu mengulang-ulang berkali-kali dalam membasuh anggota wudlu nya, dan
akibatnya adalah penggunaan air yang berlebihan dan menghabiskan waktu yang
lama. Menurut al-Suyuti juga, hadis ini membantah orang yang menganggap tidak
ada “isrof” atau perbuatan yang dianggap berlebihan dalam menjalankan ketaatan
dan ibadah.
Larangan
berlebihan dalam hal menjalankan ketaatan dan ibadah, disebutkan juga dalam
beberapa hadis Rasulullah yang lain. Dikisahkan bahwa ketika Rasulullah
menjenguk sahabatnya yang Sa’ad bin Abi Waqqash yang sedang sakit keras, ketika
itu Sa’ad berkata: Ya Rasulullah, saya memiliki banyak harta, dan ahli warisku
hanya seorang anak perempuan, bolehkan saya berwasiat untuk mensedekahkan dua
pertiga dari hartaku? Rasulullah menjawab: “jangan”. Lalu Sa’ad bertanya lagi
“bagaimana kalau saya sedekahkan setengah harta saya” Rasulullah menjawab
“jangan”. Lalu beliau bersabda: “sepertiga saja, sungguh jika engkau tinggalkan
ahli warismu dalam keadaan kaya (berkecukupan), hal itu lebih baik dari pada
engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang
lain”.
Jadi
pola hidup sederhana yang diperintahkan oleh Rasulullah bukan hanya dalam
membelanjakan uang atau dalam porsi makanan yang akan kita konsumsi. Dalam
ibadah dan amalan taat yang lain pun diperintahkan untuk sederhana. Memperkuat
hadis di atas, Rasulullah saw juga bersabda: Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari
ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi saw, sesungguhnya beliau bersabda: “Makanlah, minumlah, dan bersedekahlah tanpa
berlebihan dan sombong” (HR Baihaki).
Apabila
dalam berwudlu (beribadah) dan bersedekah (perbuatan taat) dilarang melampaui
batas, maka lebih-lebih lagi dalam hal makan, minum, dan berpakaian. Dalam
ketiga hal ini larangan melampaui batas itu mencakup jumlahnya, harganya maupun
wadahnya.
Fungsi
makanan dan minuman adalah untuk memberi energi kepada tubuh agar bias berdiri
tegak dan melakukan kegiatan. Terkait dengan hal itu Rasulullah mengatakan
bahwa beberapa suap makanan cukup bagi orang untuk menegakkan tulang
punggungnya sehingga mampu berdiri tegak. Akan tetapi kalau orang masih merasa
lapar, maka dia boleh menambah tetapi dia harus membagi rongga perutnya;
sepertiga untuk makanan, sepertia untuk minuman, dan sepertiga untuk udara
(nafas). Jika perut diisi makanan secara berlebihan maka dari perut itulah akan
timbul berbagai macam penyakit. Lambung atau perut yang dipenuhi makanan atau
minuman berpotensi menimbulkan berbagai penyakit seperti kolesterol tinggi,
obesitas atau kegemukan dan diabetes. Selain itu perut yang kekenyangan akan membuat
orang malas untuk beraktifitas termasuk menjalankan ibadah.
Selain
dilarang mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang berlebihan, seorang Muslim juga
dilarang membeli makanan yang terlalu mahal harganya, karena hal itu termasuk
“Tabdzir” atau pemborosan (penghambur-hamburan) uang. Kalau sekarang berkembang
di masyarakat, kebiasaan untuk makan-makan di restoran yang mahalmahal, hal itu
termasuk pemborosan. Padahal jenis makanan yang sama bias dibeli di tempat lain
dengan harga yang jauh lebih murah.
Selain
itu dilarang pula mengkonsumsi makanan atau minuman dengan menggunakan wadah,
piring atau gelas dari emas atau perak karena hal itu merupakan perbuatan
bermewah-mewahan dan indikasi dari sifat sombong.
Kemudian
pada hadis kedua Rasulullah saw memerintahkan umat Islam untuk meyantuni kaum
“dhu’afa” atau orang-orang yang lemah yakni kaum fakir dan miskin. Kenapa
demikian? Dalam hidup bermasyarakat, kita pasti pernah dimintai pertolongan
atau bantuan oleh seseorang yang sedang mengalami kesulitan. Sebaliknya kita
pun pasti pernah meminta pertolongan kepada orang lain di saat menghadapi
persoalan yang tidak dapat kita atasi sendiri. Demikianlah saling memberi dan
menerima merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam hidup kita. Betapa sulit
hidup ini jika diantara teman sejawat, atau diantara tetangga, tidak ada
kesediaan untuk saling membantu, segala urusan harus diatasi sendiri. Jika
demikian yang terjadi maka sikap individualis dan egois, akan merasuk pada
pribadi-pribadi dan akan berakibat setiap orang tidak peduli pada nasib atau
derita orang lain dan hanya mementingkan diri sendiri. Terkait dengan hal ini,
Islam sangat memberi motivasi yang besar agar kita gemar memberi baik dalam
bentuk shadaqoh, hibah, hadiah, infaq maupun zakat.
Dalam
hadis di atas, orang yang memberi digambarkan dengan tangan di atas, sebaliknya
orang yang meminta diibaratkan dengan tangan di bawah. Pengibaratan seperti itu
merupakan kinayah atau perumpamaan yang dapat dipahami secara denotative atau
harfiyah maupun secara connotative atau ta’wil. Dengan pemahaman secara
harfiyah terhadap hadis di atas, berarti orang yang memberi posisi tangannya
berada di atas tangan orang yang meminta. Hal itu dapat kita saksikan dalam
kenyataan sehari-hari ketika pengemis atau pengamen meminta sedekah dia
menadahkan tangannya kepada orang-orang. Maka ketika orang memberikan sesuatu
kepadanya secara otomatis tangannya berada di atas tangan pengemis atau
pengamen itu.
Akan
tetapi sekarang ini kegiatan meminta atau memberi tidak selalu berlangsung
dalam interaksi fisik seperti itu. Misalnya pemberian bantuan uang melalui
pengiriman wesel, melalui rekening tabungan, bahkan pemberian bantuan pulsa
telepon yang tidak terlihat wujud barangnya dapat dilakukan dengan cara
memberitahu nomor voucher melalui kontak atau sms kepada orang yang akan
diberinya. Dalam interaksi meminta dan memberi seperti ini tentu tidak ada
pertemuan tangan peminta dan pemberi, tidak ada tangan yang di bawah maupun
yang di atas. Karena itu al-Nawawi memberikan penjelasan terhadap hadis itu
dengan mengatakan bahwa yang memberi lebih tinggi derajatnya dari pada yang
meminta, demikian pula yang tidak meminta-minta lebih tinggi derajatnya dari
yang meminta-minta.
Hadis
diatas selain menganjurkan orang untuk memberikan sebagian hartanya kepada
orang yang membutuhkan, juga mengajarkan orang untuk mandiri, hidup dengan
usaha dan jerih payah sendiri, tidak menggantungkan hidupnya pada pemberian dan
bantuan orang lain. Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda: “Dari Miqdam ra,
Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada seseorang yang makan, yang lebih baik dari
orang yang makan dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud makan dari
hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhary).
Keutamaan-Keutamaan
Memberi
Selain
pada hadis di atas, dalam beberapa hadis lain Rasulullah menjelaskan
keutamaan-keutamaan orang-orang yang memberi, di antaranya:
«Allah
Swt Maha Dermawan dan menyukai hamba-Nya yang dermawan.» (HR. Baihaqi);
«Bersedekah
dapat menghapuskan dosa.» (HR. Bukhari);
«Bersedekah
dapat mencegah datangnya musibah dan menghilangkan murka Allah.» (HR. Thabrani
dan Baihaqi);
«Memberi
dapat menghilangkan permusuhan.» (HR. Tirmidzi, Ahmad);
«Memberi
hadiah dapat menambah pahala.» (HR. Ibnu ‹Adi);
«Yang
memberi dan menerima sama-sama mendapatkan pahala dan meningkatkan kasih
sayang.» (HR. Thabrani)
Adab
Memberi dan Menerima Santunan
Ada
tatacara (adab) dalam memberi dan menerima, sebaliknya ada juga
laranganlarangan dalam memberi dan menerima. Tata cara pemberian antara lain
sebagai berikut:
1. Pemberian
yang paling utama adalah dalam keadaan sehat, takut miskin, dan sedang banyak
memiliki cita-cita atau keinginan (HR. Bukhari). Maksudnya pemberian dari orang
yang sebenarnya masih sangat berhajat kepada barang yang diberikannya dan masih
punya rencana untuk memanfaatkannya.
2. Pemberian
yang kurang baik adalah ketika ajal sudah dekat, kemudian baru memberikan harta
atau menyedekahkannya (HR. Bukhari). Dengan kata lain pemberian di saat dia sendiri
sudah tidak membutuhkannya.
3. Pemberian
hendaknya didahulukan kepada orang yang terdekat atau tetangga yang terdekat
pintunya dengan pintu rumah kita (HR. Bukhari, Muslim). Rasulullah saw sangat
menekankan terjadinya hubungan silaturrahmi diantara orang-orang yang
bertetangga. Beliau bersabda, siapa yang menyatakan beriman kepada Allah dan
hari kiamat hendaklah berbuat baik kepada tetangga dan tidak menyakitinya.
Bahkan beliau menganjurkan agar memperbanyak sayuran yang dimassak agar bias
dibagikan kepada tetangga. Hubungan antara tetangga yang baik akan memperkokoh
hubungan ada komunitas yang lebih besar lagi yaitu kampung, kemudian desa, lalu
kecamatan dst sehingga akan terbentuk bangsa yang memiliki solidaritas kuat,
saling tolong menolong, tidak memanfaatkan musibah orang lain untuk
keuntungannya sendiri.
4. Pemberian
sebaiknya diberikan secara rahasia, agar lebih selamat dari riya, sehingga
seolah-olah tangan kiri tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanan
(HR. Bukhari). Ikhlas lillahi Ta’ala (hanya mengharap ridlo Allah semata)
adalah tuntutan mutlak dalam setiap amal yang dilakukan oleh seorang Muslim,
baik dalam beribadah kepada Allah maupun dalam bermu’amalah dengan sesama
manusia. Riya atau mengharap supaya orang lain melihat atau memuji kebaikan
yang dilakukan, merupakan syirik kecil yang merusak keikhlasan. Karena itu,
setelah memberikan sesuatu, tidak boleh hal itu diceritakan kepada orang lain
dengan maksud mendapat pujian itu. Tetapi dalam rangka menjawab pertanyaan,
atau memberi contoh kepada yang lain, tidak termasuk riya.
5. Berikanlan
kepada orang yang meminta-minta, walaupun meminta dengan katakata kasar atau
memaksa (HR. Muslim). Sekarang ini, karena semakin banyak orang mengalami
kesulitan ekonomi, makin banyak pula orang meminta-minta bahkan dengan menempuh
berbagai macam cara yang mungkin mengganggu ketenangan dan kenyamanan. Ada yang
sambil menyanyi atau memutar nyanyian dari tape recorder, ada yang sendirian
ada pula yang beromongan, ada yang baca puisi, ada yang menggendong bayi, ada
yang merintih kesakitan atau terlihat sakit pada anggota badannya, ada yang
mengucapkan salam berkali-kali di depan pintu rumah, ada yang menyodorkan list,
dan ada pula yang menyampaikan proposal dsb. Kalau memang kita mampu memberikan
pertolongan, maka sepatutnya pertolongan itu diberikan dengan tidak
mempedulikan cara memintanya.
6. Bersegeralah
dalam memberi (HR. Bukhari). Setiap amal kebaikan sepatutnya segera dilakukan
agar nilai kebaikan dan kepentingan dari pemberian itu tidak hilang atau
berkurang. Atau sebelum dating suatu keadaan yang membuat amal kebaikan tidak
berarti.
7. Disunnahkan
menerima pemberian yang baik dan membalasnya (HR. Tirmidzi). Saling memberi
akan menumbuhkan rasa kasih sayang diantara orang-orang.
8. Hendaklah
memberi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Jika tidak mampu memberi,
beramal baiklah sebanyak-banyaknya, karena itupun sedekah (HR. Bukhari).
Meskipun memberi itu merupakan amal kebajikan yang diperintahkan, tetapi tidak
boleh memaksakan diri untuk memberikan sesuatu diatas kemampuan. Sebaliknya
orang menerima bantuan dari orang lain juga diajarkan untuk menerapkan.
sopan santun atau adab dalam menerima
yaitu:
1. Hendaklah berterima kasih kepada orang yang memberi dan bersyukur kepada Allah Swt.»Barang siapa tidak pandai berterimakasih kepada manusia, ia tidak pandai berterimakasih kepada Allah.» (HR. Baihaqi)
2. Meskipun orang yang memberi itu ikhlas, tidak mengharapkan balasan apapun dari yang diberi, alangkah baiknya bila yang diberi menyampaikan kata-kata terima kasih atau dengan ungkapan-ungkapan lain yang memuji orang yang memberi seperti “Ibu memang orang baik” dsb. Hendaknya selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, jangan merasa kurang. (HR. Ahmad, Baihaqi) Sangat tidak baik apabila setelah mendapat pemberian, seseorang malah berujar “Loh, kok cuma sedikit”. Kata-kata itu selain dapat menyakiti pemberi, juga menunjukan ketamakan peminta.
3. Setelah diberi sesuatu disunnahkan mengucapkan kalimat: semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang banyak (HR. Tirmidzi). Doa seperti ini tentu akan membuat pemberi merasa senang dan terdorong untuk memberi lagi di lain waktu.
4. Sebaiknya jangan meminta hadiah dari non Muslim. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, Hakim) Sungguh pemandangan yang tidak menyenangkan sebagaimana dapat disaksikan pada masa sekarang ini, apabila di saat orang-orang non Muslim merayakan hari-hari besar mereka seperti Natal ataupun Imlek, banyak orang-orang Muslim berkumpul di halaman gereja atau klenteng mengharapkan hadiah-hadiah atau pemberian. Hal ini seharusnya menjadi perhatian bagi orang-orang Muslim yang mampu ataupun organisasi keagamaan Islam agar lebih memperluas dan meningkatkan santunan kepada orang-orang Muslim yang tidak mampu, dan agar lebih teliti menyalurkan dana zakat, infaq ataupun sedekah supaya tidak jatuh ke tangan yang tidak berhak atau dialokasikan ke pembiayaan-pembiayaan yang tidak penting.
5. Jika menyukai pemberian seseorang hendaknya kita makan, dan jika tidak suka dapat disedekahkan lagi. (HR. Muslim, Abu Dawud, Hakim) Orang yang memberi tentu akan senang jika pemberiannya benar-benar dimanfaatkan oleh orang yang diberinya. Akan tetapi mungkin saja terjadi seseorang memberikan sesuatu kepada orang yang tidak benar-benar membutuhkannya. Dalam hal ini, orang yang diberi tidak perlu menolaknya akan tetapi dia dapat menerimanya dan kemudian dia berikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Dengan demikian pahala pemberian itu menjadi berlipat ganda.
Larangan-Larangan dalam Memberi
Bantuan
Jangan
memberi sesuatu yang tidak kita sukai (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad). Hadis ini
didukung pula olet ayat al-Qur’an yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagaian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang jelek-jelek
lalu infakkan (kepada orang lain) sedangkan kamu sendiri tidak mau
mengambilnya…(Al-Baqarah: 267)
Jangan
menghitung-hitung pemberian, niscaya Allah akan menghitung-hitung pahalanya
(HR. Bukhari). Allah menjanjikan pahala untuk semua kebaikan, bahkan pahala itu
dilipatgandakan, misalnya pada bulan ramadhan. Tetapi tidak berarti bahwa
setiap orang bisa mengkalkulasi sendiri pahala dan dosa yang telah diperoehnya,
sehingga dia berkesimpulan bahwa dia pahalanya masih jauh lebih banyak dari
dosanya berlipat kali, sehingga dia boleh berbuat maksiat dalam jumlah tertentu.
Jangan
sekali-kali menyebut-nyebut pemberian kita kepada orang lain. Hal ini merupakan
riya sebagaimana dijelaskan diatas. Jangan pula menyebut penerima pemberian
kita kepada orang lain sebab secara tidak langsung telah menyakiti hatinya dan
merendahkan martabatnya.
Haram
memberi hadiah dengan mengharap sesuatu dari orang yang diberi untuk keuntungan
duniawi. Al-Qur’an mengatakan “Janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh
balasan yang lebih banyak“ Juga haram memberi hadiah kepada seseorang (misalnya
Hakim) agar dimenangkan dalam perkara. Hal itu tergolong suap yang dilaknat
oleh Rasulullah: «Dari Abdullah bin Umar, dia berkata Rasulullah melaknat orang
yang menyuap dan yang disuap. (HR. Abu Daud)
Diharamkan
memberi suatu sedekah dan diserta kata-kata yang menyakitkan penerima.
Perbuatan itu akan menjadikan pahala sedekahnya hilang sebagaimana difirmankan
dalam surat al-Baqarah ayat 264: artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan penerima.
Demikianlah
tata cara memberi dan menerima serta larangan-larangan yang harus diperhatikan
oleh setiap orang Muslim yang dermawan, murah hati dan gemar memberi. Menurut
Rasulullah saw, orang yang pemurah itu dekat kepada Allah, dekat kepada
manusia, dekat kepada surga, dan jauh dari api neraka. Sedang orang kikir jauh
dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat kepada api neraka.
Adalah
sebuah realitas bila setiap manusia membutuhkan perhatian dari sesamanya.
Seseorang akan merasa senang apabila saudaranya memberikan perhatian, pujian,
maupun perlakuan yang baik kepadanya. Sebaliknya, setiap orang tidak senang
dikucilkan dan dihinakan saudaranya. Karena itu, Rasulullah SAW menganjurkan
agar kita selalu berbuat baik pada sesama, sekalipun pada seorang kafir.
Ada
sebuah kisah dari Asma binti Abu Bakar. Ia berkata, «Pada masa hidup Rasulullah
ibuku datang menemuiku dan ia adalah seorang perempuan musyrik. Aku minta fatwa
dari Rasul. Aku berkata, «Ibuku menemuiku dan ia ingin aku memberikan hadiah
untuknya, apakah aku harus bersikap baik kepadanya?» Rasul bersabda, «Ya,
bersikap baiklah kepada ibumu». Seperti halnya keburukan, sebuah kebaikan
berpotensi melahirkan kebaikan-kebaikan lainnya. Betapa banyak orang yang
terbuka hatinya karena sebuah kebaikan yang sepele dalam pendangan manusia.
Salah satunya kebaikan tersebut adalah memberi hadiah pada orang di sekitar
kita.
Pada
dasarnya, hadiah, sedekah, maupun suap bermakna sama yaitu memberikan sesuatu
kepada orang lain. Hal yang membedakan ketiganya adalah niat. Jika pemberian
itu dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka itu adalah sedekah.
Jika diberikan untuk memuluskan dan meluluskan suatu tujuan dengan cara yang
tidak fair, maka disebut suap (roswah). Jika pemberian tersebut dimaksudkan
sebagai penghargaan, tanda kasih sayang, dan persahabatan, maka itu disebut
hadiah. Hadiah dan sedekah sangat dianjurkan dan dicontohkan oleh Rasulullah
SAW. Sedangkan suap sangat dilarang agama dan hukumnya haram.
Saling
memberi hadiah sangat efektif untuk mempererat tali persaudaraan dan
menumbuhkan kasih sayang di antara sesama. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah ra., Rasulullah SAW bersabda, «Wahai kaum Muslimat, jangan
memandang rendah hadiah yang diberikan tetanggamu, meskipun sekadar telapak
kaki kambing» (HR Bukhari). Kenapa demikian? Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa
hadiah yang diberikan secara ikhlas akan mampu melembutkan hati, dan
mempersatukan hati-hati yang terpisah. Beliau bersabda kembali,
«Bersalam-salamlah kamu niscaya ia akan menghilangkan perasaan iri hati, dan
saling memberilah di antara kamu, niscaya kamu akan saling mencintai antara
sesama kamu dan ia akan menghilangkan permusuhan.» (HR Malik).
Sebagai
bentuk ungkapan kasih sayang, hadiah bisa bermotif banyak. Ada yang memberi
hadiah karena mengharap balasan yang lebih dari si penerima. Ada pula yang
memberi karena mengharap ridha Allah semata. Inilah yang paling tinggi
nilainya. Dalam sebuah hadis disebutkan, «Ada empat puluh kebaikan. Yang
terbaik dari itu semua adalah manihah (hadiah) domba betina. Setiap orang yang
berbuat baik dengan mengharap pahala Allah dengan keyakinan ia akan
memperolehnya, Allah akan memasukkannya ke dalam surga.» (HR Bukhari).
Karena
itu, hadiah pun memiliki tingkatan dan derajat yang berbeda-beda. Memberi
hadiah tanpa mengharap balasan jasa, jauh lebih utama dari memberi hadiah
dengan mengharapkan balasan jasa. «Orang yang mengeluarkan hartanya karena
diminta, tidak termasuk orang yang bermurah hati. Yang disebut bermurah hati
ialah yang menunaikan hak-hak Allah atas kemauan niat sendiri, tanpa tekanan
atau harapan untuk ucapan terimakasih,» demikian Ali bin Husain mengungkapkan.
Begitu
pun memberi hadiah kepada keluarga dekat, nilai lebih utama daripada memberi
hadiah kepada orang yang tidak memiliki tali kekerabatan. Betapa tidak, mereka
memiliki hak kekerabatan di samping hak Muslim atas sesama Muslim. Dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan An-Nasai, Turmudzi, dan Hakim, Rasulullah SAW bersabda
bahwa memberi sedekah kepada orang miskin bernilai satu, sedangkan sedekah
kepada sanak keluarga memiliki dua keutamaan, yaitu sebagai sebuah sedekah dan
sebagai penguat hubungan kekerabatan. Keutamaan ini semakin bertambah bila di
antara sanak saudara tersebut terdapat rasa permusuhan. Rasul bersabda,
«Sedekah yang paling utama ialah kepada kerabat yang memendam permusuhan.» (HR
Muslim). Dalam cakupan makna yang serupa, Rasul pun menegaskan keutamaan orang
yang menyambung tali persaudaraan lewat hadiah. Sahabat ‹Uqbah bin Amir mengungkapkan
bahwa Rasulullah saw pernah berkata kepada dirinya, «Wahai ‹Uqbah, maukah
engkau kuberitahukan tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling
utama? Yaitu menghubungi orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberi orang
yang pernah menahan pemberiannya padamu, dan memaafkan orang-orang yang pernah
menganiayamu.» (HR Hakim).
Dari
sini kita dapat menyimpulkan bahwa hadiah memiliki beberapa fungsi. Pertama,
sebagai alat untuk mempererat persaudaraan antara dua pihak yang telah
bersaudara. Kedua, hadiah bisa mencairkan ketegangan antara dua pihak yang
sedang bermusuhan. Dan ketiga, hadiah bisa menyambungkan kembali hubungan yang
telah lama terputus.
Sifat
pemurah adalah sifat yang dimiliki Allah SWT. «Akulah Ar-Rahman dan ArRahiim.
Aku petikkan baginya dari nama-Ku...,» demikian sabda Allah dalam hadis qudsi.
Pancaran sifat ini «diserap» pula oleh para nabi bahkan menjadi akhlak utama
mereka. Dan Rasulullah SAW adalah manusia paling pemurah, paling besar rasa
kemanusiaannya, dan paling ikhlas dalam memberi. Alangkah bahagianya kalau kita
mampu meniru Beliau.
Karena
itu, kita harus mulai membiasakan diri menyisihkan sebagian rezeki kita untuk
orang lain. Entah itu orangtua, saudara, teman, tetangga, ataupun guru. Buatlah
target dan perencanaan tentang siapa orang yang akan kita kunjungi untuk
bersilaturahmi dan memberikan hadiah kepadanya. Jangan hanya kepada orang yang
kita sukai, atau yang sering berbuat kebaikan kepada kita.
Sekali-kali,
kunjungilah orang yang benci dan menjauhi kita, berilah hadiah yang berarti
baginya. Hadiah yang kita berikan tidak harus selalu barang mahal, tapi bisa
pula yang sederhana tapi bermanfaat. Yang paling utama adalah suasana batin dan
keikhlasan kita dalam melakukannya. Itulah yang akan berbekas. Tidak akan pernah
rugi bila kita melakukan semua ini. Bila kita belum mampu beribadah dengan
baik, jarang tahajud, atau puasa sunnat, maka alangkah baiknya bila kita selalu
berbuat baik pada sesama. Allah pasti akan menolong kita. «Akulah Ar-Rahman dan
Ar-Rahiim. Aku petikkan baginya dari nama-Ku. Barangsiapa yang menghubungkan,
niscara Aku menghubunginya; dan barangsiapa memutuskannya, niscaya Aku
memutuskan hubungan dengannya». Rasulullah SAW pun dengan indahnya berpesan
kepada kita, “Orang yang pemurah itu dekat kepada Allah SWT, dekat kepada
manusia, dekat kepada surga, dan jauh dari api neraka. Sedang orang kikir jauh
dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat kepada api neraka”.
0 Post a Comment:
Posting Komentar