Tidak
bisa dihindari lagi bahwa pola interaksi dalam kehidupan modern khususnya di
perkotaan mempertemukan orang orang dari berbagai latar belakang yang berbeda.
Kota memang merupakan tempat pertemuan orang-orang yang berbeda-beda asal
daerahnya, kesukuannya, adat istiadat dan budayanya, agamanya, afiliasi
politiknya, organisasi profesinya dan lain sebagainya. Orang-orang dengan
berbagai perbedaan latar belakang itu tentu mempunyai kepentingan yang
berbeda-beda pula.
Kepentingan
yang berbeda-beda itu pada saat tertentu dapat menjadi faktor yang menyebabkan
konflik antar anggota suatu komunitas. Untuk menghindari konflik itu diperlukan
suatau institusi atau lembaga yang dapat menampung aspirasi banyak orang.
Lembaga itu sudah dikenal dalam ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan
Hadis yaitu syura atau musyawarah.
Melalui
musyawarah itu, kaum muslimin berembug untuk menetapkan suatu persoalan yang
mereka hadapi, antara lain pada saat mereka akan memilih pemimpin sebagai
pengganti Rasulullah saw setelah beliau wafat. Dewasa ini orang sering
menyamakan antara musyawarah dengan demokrasi. Padahal antara keduanya terdapat
perbedaan. Dalam musyawarah tidak dikenal penghitungan suara terbanyak untuk
membuat keputusan sebagaimana diterapkan dalam demokrasi. Musyawarah lebih
menekankan pencapaian hasil terbaik melalui tukar pendapat. Sedangkan demokrasi
lebih memihak kepada aspirasi yang disampaikan oleh orang-orang dengan jumlah
yang lebih banyak. Ada dua hadis yang akan kita pelajari terkait demokrasi.
Hadis pertama:
Auf
bin Malik Al Asyja›i berkata, «Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‹alaihi
wasallam bersabda: «Sebaik-baik pemimpin
kalian adalah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai
kalian, kalian mendo›akan mereka dan mereka mendo›akan kalian. Sedangkan
sejelek-jelek pemimpin kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka membenci
kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka pun mengutuk kalian.» Mereka
berkata, «Kemudian kami bertanya, «Wahai
Rasulullah, tidakkah kami memerangi mereka ketika itu?» beliau menjawab: «Tidak, selagi mereka mendirikan shalat
bersama kalian, tidak selagi mereka masih mendirikan shalat bersama kalian. Dan
barangsiapa dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian dia melihat pemimpinnya
bermaksiat kepada Allah, hendaknya ia membenci dari perbuatannya dan janganlah
ia melepas dari ketaatan kepadanya.» (HR Muslim)
Hadis kedua
Dari
Abu Hurairah berkata: Ketika Nabi shallallahu ‹alaihi wasallam berada dalam
suatu majelis membicarakan suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui
lalu bertanya: «Kapan datangnya hari kiamat?»
Maka Nabi shallallahu ‹alaihi wasallam bersabda: «Apabila sudah hilang amanah maka tunggulah terjadinya kiamat».
Orang itu bertanya: «Bagaimana hilangnya
amanat itu?» Nabi shallallahu ‹alaihi wasallam menjawab: «Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya,
maka akan tunggulah terjadinya kiamat».
Sebelum
membahas kandungan kedua hadis di atas, terlebih dahulu akan dijelaskan
pengertian demokrasi dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan. Kata demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” dan “kratos”. Demos berarti rakyat,
sedangkan kratos berarti pemerintahan. Jadi demokrasi berarti suatu bentuk
pemerintahan yang mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat dalam pengambilan
keputusan yang menyangkut soal-soal kenegaraan dan kepentingan bersama. Dengan
pengakuan terhadap hak-hak rakyat ini, pemerintahan demokrasi dapat disebut
“governance from the people, by the people, for the people. Demokrasi
didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat artinya rakyatlah yang sesungguhnya
berdaulat atau berkuasa, karena pada dasarnya semua manusia memiliki kebebasan
dan hak serta kewajiban yang sama.
Padangan
lain mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu sistem politik dan sosial yang
membangun hubungan antar individu, masyarakat dan negara, serta keikutsertaan
mereka secara bebas dalam membuat undang-undang atau hukum yang mengatur
kehidupan umum yang mengacu kepada prinsip bahwa rakyat adalah pemilik
kekuasaan dan sumber hukum. Dengan demikian secara istilah dapat dikatakan
bahwa demokrasi pada hakekatnya adalah suatu bentuk pemerintahan yang menganut
sistem kedaulatan rakyat.
Sebagaimana
telah disinggung dalam renungan pengantar, bahwa dalam Islam telah dikenal
intistusi atau lembaga yang disebut syura atau musyawarah yang diambil dari
kata syawara yang artinya meminta pendapat dan mencari kebenaran. Adapun secara
terminologi atau istilah, syura atau musyawarah adalah memunculkan
pendapatpendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai kepada
kesimpulan yang paling tepat.
Sesungguhnya
apa yang menjadi prinsip syura adalah bermusyawarah untuk mencapai mufakat
(kesepakatan) pada suatu kebenaran. Syura tidak mungkin dilakukan untuk membuat
kesepakatan yang menyalahi ketentuan dalam agama. Dalam Islam tidak
dimungkinkan orang-orang bermusyawarah untuk menetapkan apakah perkawinan
sesama jenis akan dilegalkan atau disahkan, karena hal itu sudah menjadi hukum
yang pasti dari al-Qur’an bahwa pernikahan sesama jenis adalah haram. Inilah
yang membedakan antara syura dalam Islam dengan demokrasi. Dalam demokrasi yang
dijalankan oleh negara-negara sekuler, hukum agama tidak dipertimbangkan.
Sehingga dengan alasan demokrasi mereka dapat saja menyepakati disahkannya
undang-undang yang melegalkan atau menghalalkan perjudian, pelacuran, penjualan
minuman keras, homoseksual, lesbian, hidup bersama tanpa pernikahan, dan lain
sebagainya.
Karena
itulah, beberapa ulama dan cendekiawan mengusulkan istilah yang lebih tepat
untuk diterapkan dalam masyarakat beragama, yaitu istilah Theo Democracy atau
demokrasi berketuhanan. Dengan demokrasi berketuhanan ini, maka umat Islam
tidak akan membuat kesepakatan yang melanggar ajaran Islam.
Dalam
sejarah awal Islam, Nabi Muhammad saw telah menjalankan syura dalam menetapkan
berbagai urusan. Misalnya dalam menangani musuh-musuh Islam yang dikalahkan dan
menjadi tawanan dalam perang Badar. Saat itu Nabi bermusyawarah dengan Abu
Bakar dan Umar bin Khattab. Abu Bakar mengusulkan agar tawanan itu dikembalikan
kepada keluarga mereka dengan syarat membayar tebusan. Sedangkan Umar mengusulkan
agar mereka dihukum mati agar di kemudian hari mereka tidak akan lagi menghina,
memusuhi, dan menyerang Islam dan kaum Muslimin. Dan akhirnya Nabi mengikuti
pendapat Abu Bakar. Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabatnya mengenai apa
yang harus dilakukannya terhadap Aisyah, istrinya yang telah difitnah dan
dituduh telah berbuat maksiat. Akan tetapi kemudian turunlah ayat yang
membebaskan Aisyah dari fitnah dan tuduhan palsu tersebut. Nabi juga
bermusyawarah dalam menetapkan posisi pasukan perangnya pada saat perang Uhud.
Kemudian Nabi mengikuti pendapat mayoritas ketika itu, dengan menempatkan
pasukan pada posisi yang mereka pandang tepat. Walaupun kemudian ternyata
pilihan itu salah sehingga pasukan Muslim dikalahkan oleh pasukan kafir
Quraisy.
Penerapan
demokrasi dalam kehidupan sehari-hari mudah dilakukan. Misalnya dalam membuat
peraturan, atau undang-undang yang akan diberlakukan kepada seluruh warga. Hal
itu dapat dilakukan melalui musyawarah para tokoh yang mewakili seluruh warga
untuk memutuskan peraturan-peraturan apa yang akan ditetapkan dan diberlakukan.
Itulah yang disebut sebagai demokrasi perwakilan. Dalam memilih pemimpin,
seperti bupati, walikota, gubernur, dan presiden, juga pernah dilakukan secara
musyawarah oleh wakil-wakil rakyat yang ada di DPRD dan DPR RI. Akan tetapi
berdasarkan undang-undang yang berlaku sekarang ini, pemilihan bupati,
walikota, gubernur dan presiden dilakukan melalui pemungutan suara yang diikuti
oleh seluruh warga yang telah memenuhi persyaratan.
Pembahasan Hadis
Pembahasan
demokrasi pada bab ini, akan mengulas dua hadis yang juga terkait dengan
kepemimpinan. Dalam hadis pertama disebutkan bahwa pemimpin yang paling baik
adalah yang mencintai dan dicintai warganya. Pemimpin yang demikian adalah pemimpin
yang menyadari hak dan tanggung jawabnya. Dia menyadari bahwa rakyat telah
memilihnya sebagai pemimpin, karena itu dia menjalankan kewajibannya terhadap
rakyat. Dia tidak hanya berpikir bagaimana menarik pajak dari rakyat, tetapi
juga memanfaatkan pajak itu sebaik-baiknya untuk pembangunan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Dia akan membangun infrastruktur yang dibutuhkan seperti
jalan raya, jembatan, pasar, rumah sakit, gedung sekolah dsb. Pemimpin yang
baik tidak hanya memikirkan bagaimana meningkatkan pendapatan daerah atau
pendapatan negara dari Badan Usaha yang dimilikinya seperti Bank, Sarana
Transportasi, Listrik, pertambangan dsb. Akan tetapi juga memikirkan bagaimana
menyalurkan pendapatan digunakan sebaik-baiknya untuk kemajuan bangsa.
Pemimpin
yang demikian tidak hanya dicintai oleh rakyat, tetapi juga akan didoakan oleh
mereka semoga berhasil menjalankan tugas dan sukses memimpin warganya.
Sebaliknya pemimpin yang baik itu pun mendoakan rakyatnya agar dapat hidup
sejahtera dibawah kepemimpinannya.
Sedangkan
pemimpin yang buruk adalah pemimpin yang membenci dan dibenci oleh rakyatnya
sendiri, pemimpin yang mengutuk dan dikutuk oleh rakyatnya. Hal itu mungkin
saja terjadi apabila pemimpin lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan
keluarganya dari pada kepentingan rakyatnya. Pendapatan daerah atau negara yang
diperoleh melalui pajak dan badan usaha tidak digunakan sebagaimana mestinya,
bahkan dimanipulasi dan dikorupsi.
Menghadapi
pemimpin yang berlaku jahat itu, para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw
apakah boleh memerangi mereka. Rasulullah saw. menjawab “Tidak boleh, selama pemimpin itu masih menjalankan shalat bersama
kalian”. Bahkan kemudian Rasulullah menambahkan: “siapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian pemimpin itu
bermaksiat kepada Allah, maka dia boleh membenci perbuatannya, tetapi harus
tetap taat kepadanya”. Maksudnya adalah dalam menghadapi pemimpin yang jahat,
tidak kompeten, dan bermaksiat, tidak perlu memerangi dan memberontak untuk
mencopot jabatannya. Karena hal itu akan membawa kepada keadaan yang lebih
buruk apabila pemimpin ini beserta para pendukungnya melakukan tindakan yang
lebih buruk akibatnya kepada warga. Adapun jabatannya sebagai pemimpin pada
akhirnya akan berhenti.
Dalam
hadis lain Rasulullah saw menganjurkan umatnya yang menghadapi pemimpin yang
demikian untuk tetap menjalankan kewajiban mereka dan berdoa kepada Allah untuk
mendapatkan hak-hak mereka yang tidak diberikan oleh pemimpin.
Dari
Ibnu Mas›ud dari Nabi saw, beliau bersabda: «Sungguh akan terjadi sifat-sifat egoisme yang kalian ingkari». Mereka
bertanya; «Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan untuk kami (bila zaman
itu kami alami)? ‹. Beliau menjawab: «Kalian tunaikan yang menjadi kewajiban
kalian dan kalian minta kepada Allah apa yang menjadi hak kalian». (HR
Bukhari)
Jadi
faktor ketidaksukaan kepada pemimpin apapun penyebabnya, tidak bisa menjadi
alasan bagi rakyat untuk membangkan dari kewajiban-kewajiban mereka kepada
negara seperti membayar pajak, mentaati aturan berlalu lintas, mematuhi
undang-undang dsb. karena semua itu sudah dibuat secara demokratis melalui
musyawarah.
Kehancuran
lokal itu tidak mesti berarti kehancuran secara fisik, akan tetapi bisa juga
dipahami sebagai kekacauan sosial dan ketidakteraturan organisasi masyarakat.
Hal seperti itu dapat terjadi apabila urusan yang menyangkut orang banyak
diserahkan kepada orang yang tidak tepat, termasuk dalam hal menyerahkan
kepemimpinan. Jika urusan kepemimpinan diserahkan kepada orang yang tidak tepat
maka akan timbul kehancuran dalam pengertian kekacauan sosial dan
ketidakteraturan organisasi masyarakat.
Sumber:
Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI
NB:
Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas XII
0 Post a Comment:
Posting Komentar