"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Kamis, 21 September 2023

NILAI DEMOKRATIS DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Tidak bisa dihindari lagi bahwa pola interaksi dalam kehidupan modern khususnya di perkotaan mempertemukan orang orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Kota memang merupakan tempat pertemuan orang-orang yang berbeda-beda asal daerahnya, kesukuannya, adat istiadat dan budayanya, agamanya, afiliasi politiknya, organisasi profesinya dan lain sebagainya. Orang-orang dengan berbagai perbedaan latar belakang itu tentu mempunyai kepentingan yang berbeda-beda pula.

Kepentingan yang berbeda-beda itu pada saat tertentu dapat menjadi faktor yang menyebabkan konflik antar anggota suatu komunitas. Untuk menghindari konflik itu diperlukan suatau institusi atau lembaga yang dapat menampung aspirasi banyak orang. Lembaga itu sudah dikenal dalam ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis yaitu syura atau musyawarah.

Melalui musyawarah itu, kaum muslimin berembug untuk menetapkan suatu persoalan yang mereka hadapi, antara lain pada saat mereka akan memilih pemimpin sebagai pengganti Rasulullah saw setelah beliau wafat. Dewasa ini orang sering menyamakan antara musyawarah dengan demokrasi. Padahal antara keduanya terdapat perbedaan. Dalam musyawarah tidak dikenal penghitungan suara terbanyak untuk membuat keputusan sebagaimana diterapkan dalam demokrasi. Musyawarah lebih menekankan pencapaian hasil terbaik melalui tukar pendapat. Sedangkan demokrasi lebih memihak kepada aspirasi yang disampaikan oleh orang-orang dengan jumlah yang lebih banyak. Ada dua hadis yang akan kita pelajari terkait demokrasi.

Hadis pertama:

Auf bin Malik Al Asyja›i berkata, «Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‹alaihi wasallam bersabda: «Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian mendo›akan mereka dan mereka mendo›akan kalian. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka pun mengutuk kalian.» Mereka berkata, «Kemudian kami bertanya, «Wahai Rasulullah, tidakkah kami memerangi mereka ketika itu?» beliau menjawab: «Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian, tidak selagi mereka masih mendirikan shalat bersama kalian. Dan barangsiapa dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian dia melihat pemimpinnya bermaksiat kepada Allah, hendaknya ia membenci dari perbuatannya dan janganlah ia melepas dari ketaatan kepadanya.» (HR Muslim)

Hadis kedua

Dari Abu Hurairah berkata: Ketika Nabi shallallahu ‹alaihi wasallam berada dalam suatu majelis membicarakan suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui lalu bertanya: «Kapan datangnya hari kiamat?» Maka Nabi shallallahu ‹alaihi wasallam bersabda: «Apabila sudah hilang amanah maka tunggulah terjadinya kiamat». Orang itu bertanya: «Bagaimana hilangnya amanat itu?» Nabi shallallahu ‹alaihi wasallam menjawab: «Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka akan tunggulah terjadinya kiamat».

Sebelum membahas kandungan kedua hadis di atas, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian demokrasi dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” dan “kratos”. Demos berarti rakyat, sedangkan kratos berarti pemerintahan. Jadi demokrasi berarti suatu bentuk pemerintahan yang mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut soal-soal kenegaraan dan kepentingan bersama. Dengan pengakuan terhadap hak-hak rakyat ini, pemerintahan demokrasi dapat disebut “governance from the people, by the people, for the people. Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat artinya rakyatlah yang sesungguhnya berdaulat atau berkuasa, karena pada dasarnya semua manusia memiliki kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama.

Padangan lain mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu sistem politik dan sosial yang membangun hubungan antar individu, masyarakat dan negara, serta keikutsertaan mereka secara bebas dalam membuat undang-undang atau hukum yang mengatur kehidupan umum yang mengacu kepada prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kekuasaan dan sumber hukum. Dengan demikian secara istilah dapat dikatakan bahwa demokrasi pada hakekatnya adalah suatu bentuk pemerintahan yang menganut sistem kedaulatan rakyat.

Sebagaimana telah disinggung dalam renungan pengantar, bahwa dalam Islam telah dikenal intistusi atau lembaga yang disebut syura atau musyawarah yang diambil dari kata syawara yang artinya meminta pendapat dan mencari kebenaran. Adapun secara terminologi atau istilah, syura atau musyawarah adalah memunculkan pendapatpendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai kepada kesimpulan yang paling tepat.

Sesungguhnya apa yang menjadi prinsip syura adalah bermusyawarah untuk mencapai mufakat (kesepakatan) pada suatu kebenaran. Syura tidak mungkin dilakukan untuk membuat kesepakatan yang menyalahi ketentuan dalam agama. Dalam Islam tidak dimungkinkan orang-orang bermusyawarah untuk menetapkan apakah perkawinan sesama jenis akan dilegalkan atau disahkan, karena hal itu sudah menjadi hukum yang pasti dari al-Qur’an bahwa pernikahan sesama jenis adalah haram. Inilah yang membedakan antara syura dalam Islam dengan demokrasi. Dalam demokrasi yang dijalankan oleh negara-negara sekuler, hukum agama tidak dipertimbangkan. Sehingga dengan alasan demokrasi mereka dapat saja menyepakati disahkannya undang-undang yang melegalkan atau menghalalkan perjudian, pelacuran, penjualan minuman keras, homoseksual, lesbian, hidup bersama tanpa pernikahan, dan lain sebagainya.

Karena itulah, beberapa ulama dan cendekiawan mengusulkan istilah yang lebih tepat untuk diterapkan dalam masyarakat beragama, yaitu istilah Theo Democracy atau demokrasi berketuhanan. Dengan demokrasi berketuhanan ini, maka umat Islam tidak akan membuat kesepakatan yang melanggar ajaran Islam.

Dalam sejarah awal Islam, Nabi Muhammad saw telah menjalankan syura dalam menetapkan berbagai urusan. Misalnya dalam menangani musuh-musuh Islam yang dikalahkan dan menjadi tawanan dalam perang Badar. Saat itu Nabi bermusyawarah dengan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Abu Bakar mengusulkan agar tawanan itu dikembalikan kepada keluarga mereka dengan syarat membayar tebusan. Sedangkan Umar mengusulkan agar mereka dihukum mati agar di kemudian hari mereka tidak akan lagi menghina, memusuhi, dan menyerang Islam dan kaum Muslimin. Dan akhirnya Nabi mengikuti pendapat Abu Bakar. Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabatnya mengenai apa yang harus dilakukannya terhadap Aisyah, istrinya yang telah difitnah dan dituduh telah berbuat maksiat. Akan tetapi kemudian turunlah ayat yang membebaskan Aisyah dari fitnah dan tuduhan palsu tersebut. Nabi juga bermusyawarah dalam menetapkan posisi pasukan perangnya pada saat perang Uhud. Kemudian Nabi mengikuti pendapat mayoritas ketika itu, dengan menempatkan pasukan pada posisi yang mereka pandang tepat. Walaupun kemudian ternyata pilihan itu salah sehingga pasukan Muslim dikalahkan oleh pasukan kafir Quraisy.

Penerapan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari mudah dilakukan. Misalnya dalam membuat peraturan, atau undang-undang yang akan diberlakukan kepada seluruh warga. Hal itu dapat dilakukan melalui musyawarah para tokoh yang mewakili seluruh warga untuk memutuskan peraturan-peraturan apa yang akan ditetapkan dan diberlakukan. Itulah yang disebut sebagai demokrasi perwakilan. Dalam memilih pemimpin, seperti bupati, walikota, gubernur, dan presiden, juga pernah dilakukan secara musyawarah oleh wakil-wakil rakyat yang ada di DPRD dan DPR RI. Akan tetapi berdasarkan undang-undang yang berlaku sekarang ini, pemilihan bupati, walikota, gubernur dan presiden dilakukan melalui pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh warga yang telah memenuhi persyaratan.

Pembahasan Hadis

Pembahasan demokrasi pada bab ini, akan mengulas dua hadis yang juga terkait dengan kepemimpinan. Dalam hadis pertama disebutkan bahwa pemimpin yang paling baik adalah yang mencintai dan dicintai warganya. Pemimpin yang demikian adalah pemimpin yang menyadari hak dan tanggung jawabnya. Dia menyadari bahwa rakyat telah memilihnya sebagai pemimpin, karena itu dia menjalankan kewajibannya terhadap rakyat. Dia tidak hanya berpikir bagaimana menarik pajak dari rakyat, tetapi juga memanfaatkan pajak itu sebaik-baiknya untuk pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dia akan membangun infrastruktur yang dibutuhkan seperti jalan raya, jembatan, pasar, rumah sakit, gedung sekolah dsb. Pemimpin yang baik tidak hanya memikirkan bagaimana meningkatkan pendapatan daerah atau pendapatan negara dari Badan Usaha yang dimilikinya seperti Bank, Sarana Transportasi, Listrik, pertambangan dsb. Akan tetapi juga memikirkan bagaimana menyalurkan pendapatan digunakan sebaik-baiknya untuk kemajuan bangsa.

Pemimpin yang demikian tidak hanya dicintai oleh rakyat, tetapi juga akan didoakan oleh mereka semoga berhasil menjalankan tugas dan sukses memimpin warganya. Sebaliknya pemimpin yang baik itu pun mendoakan rakyatnya agar dapat hidup sejahtera dibawah kepemimpinannya.

Sedangkan pemimpin yang buruk adalah pemimpin yang membenci dan dibenci oleh rakyatnya sendiri, pemimpin yang mengutuk dan dikutuk oleh rakyatnya. Hal itu mungkin saja terjadi apabila pemimpin lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan keluarganya dari pada kepentingan rakyatnya. Pendapatan daerah atau negara yang diperoleh melalui pajak dan badan usaha tidak digunakan sebagaimana mestinya, bahkan dimanipulasi dan dikorupsi.

Menghadapi pemimpin yang berlaku jahat itu, para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw apakah boleh memerangi mereka. Rasulullah saw. menjawab “Tidak boleh, selama pemimpin itu masih menjalankan shalat bersama kalian”. Bahkan kemudian Rasulullah menambahkan: “siapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian pemimpin itu bermaksiat kepada Allah, maka dia boleh membenci perbuatannya, tetapi harus tetap taat kepadanya”. Maksudnya adalah dalam menghadapi pemimpin yang jahat, tidak kompeten, dan bermaksiat, tidak perlu memerangi dan memberontak untuk mencopot jabatannya. Karena hal itu akan membawa kepada keadaan yang lebih buruk apabila pemimpin ini beserta para pendukungnya melakukan tindakan yang lebih buruk akibatnya kepada warga. Adapun jabatannya sebagai pemimpin pada akhirnya akan berhenti.

Dalam hadis lain Rasulullah saw menganjurkan umatnya yang menghadapi pemimpin yang demikian untuk tetap menjalankan kewajiban mereka dan berdoa kepada Allah untuk mendapatkan hak-hak mereka yang tidak diberikan oleh pemimpin.

Dari Ibnu Mas›ud dari Nabi saw, beliau bersabda: «Sungguh akan terjadi sifat-sifat egoisme yang kalian ingkari». Mereka bertanya; «Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan untuk kami (bila zaman itu kami alami)? ‹. Beliau menjawab: «Kalian tunaikan yang menjadi kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah apa yang menjadi hak kalian». (HR Bukhari)

Jadi faktor ketidaksukaan kepada pemimpin apapun penyebabnya, tidak bisa menjadi alasan bagi rakyat untuk membangkan dari kewajiban-kewajiban mereka kepada negara seperti membayar pajak, mentaati aturan berlalu lintas, mematuhi undang-undang dsb. karena semua itu sudah dibuat secara demokratis melalui musyawarah.

Kehancuran lokal itu tidak mesti berarti kehancuran secara fisik, akan tetapi bisa juga dipahami sebagai kekacauan sosial dan ketidakteraturan organisasi masyarakat. Hal seperti itu dapat terjadi apabila urusan yang menyangkut orang banyak diserahkan kepada orang yang tidak tepat, termasuk dalam hal menyerahkan kepemimpinan. Jika urusan kepemimpinan diserahkan kepada orang yang tidak tepat maka akan timbul kehancuran dalam pengertian kekacauan sosial dan ketidakteraturan organisasi masyarakat.

Sumber: Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas XII

 

Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar

Pengikut

Definition List

Unordered List

Support