Hadis
riwayat Imam Muslim dari ‘Abdullah bin Mas’ud RA.
Muhammad
bin ‘Abdillah bin Numair telah menyampaikan hadis kepada kami, Abu Mu’awiyah
dan Waki’ telah menyampaikan hadis kepada kami, keduanya berkata al-A’masy
telah menyampaikan hadis kepada kami. Tahwil (perpindahan jalur sanad). Dan Abu
Kuraib telah menyampaikan hadis kepada kami, Abu Mu’awiyah telah menyampaikan
hadis kepada kami, al-A’masy telah menyampaikan hadis kepada kami, dari Syaqiq,
dari ‘Abdillah (bin Mas’ud) RA. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Tetaplah kalian bertindak jujur. Sungguh
kejujuran membimbing kepada kebajikan dan sungguh kebajikan membimbing ke
surga. Seseorang (yang jujur) senantiasa bertindak jujur dan menuntut untuk
jujur hingga ditetapkan di sisi Allah sebagai shiddiq (ahli jujur). Dan
berhati-hatilah kalian dari kebohongan karena sungguh kebohongan membimbing
kepada kejahatan dan sungguh kejahatan membimbing ke neraka. Dan seseorang
(yang berbohong) senantiasa berbohong dan menuntut untuk berbohong hingga
ditetapkan di sisi Allah SWT. sebagai kazzab (tukang bohong)”. (HSR.
Muslim: 6805). Diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari: 6094.
Sebelum
mendalami hadis dia atas, ada baiknya dikaji terlebih dahulu tentang lafaz
sidqu dan kizbu sebagai lawan katanya. Dalam Al quran, kata sidq diulang sebanyak 14 kali (‘Abd
al-Baqi’: tth., 513-516), tidak termasuk turunannya. Berikut salah satu ayat
yang mengajarkan pentingnya kejujuran yang dikaitkan dengan iman dan takwa,
yaitu: QS. 9: 119 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah, dan jadilah kamu bersama orang-orang yang jujur.
Sidq
berasal dari kata sadaqa–yasduqu–sadqan
aw sidqan yang berarti diddu kazib,
lawan kata berbohong. (Ma’luf: 2005, 419-420). Menurut al-Manawi, sidq adalah
alikhbar ‘ala wafqi al-waqi‘ (menyatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan).
(al-Manawi: 2006, 2/456). Sidq dapat disebut sebagai kebenaran dan kejujuran,
yaitu: keadaan yang menunjukkan keselarasan antara pernyataan dan kenyataan.
Dalam istilah lain, jujur adalah bersatunya kata dan perbuatan. Tidak ada
kebohongan, pemalsuan, pengkhianatan, dan sebagainya dalam mengungkapkan
sesuatu. Dengan demikian, sikap jujur senantiasa berlawanan dari sikap dusta
atau tindakan menipu.
Sementara
kazib (berdusta), (al-Manawi: 2006, 2/457), adalah menyatakan sesuatu
berlawanan dengan kenyataan (al-ikhbar bi
khilafi al-waqi‘). Karenanya, antara kejujuran dan kebohongan sangatlah
jauh berbeda. Kejujuran melahirkan kebaikan dan bermuara kepada surga.
Sedangkan kebohongan melahirkan yang kebohongan lebih besar dan menyeret pada
tindakan kejahatan serta akan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Lebih
dari itu, setiap kebohongan akan selalu melahirkan kebohongan yang lebih besar
untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Kemudian kebohongan kedua itupun akan
diteruskan dengan kebohongan selanjutnya. Sebagai gambaran, seorang pegawai
pengadaan barang menggelembungkan biaya belanja kantor dari Rp1 juta menjadi
Rp1,5 juta. Pada tahap selanjutnya, ia akan melakukan hal yang sama atau bahkan
menambah jumlah mark up tersebut. Karenanya, ia akan tetap mempertahankan
kebiasaan bohong itu, sebelum tertangkap dan diberi hukuman setimpal. (Nur
Achmad: 2007, 225-226).
Kejujuran
adalah kemuliaan. Siapa yang menjaganya, berarti menjaga kemuliaan diri dan
agamanya. Sebaliknya, siapa yang mengkhianatinya, berarti telah mengganti wajah
kemuliaan dengan kehinaan. Hal ini berlaku pula bagi lembaga atau institusi,
swasta maupun pemerintah. Shidiq adalah salah satu sifat dasar para nabi dan
rasul Allah. Karenanya, kejujuran menjadi tolak ukur untuk membedakan antara
manusia mukmin dan munafik. Dalam hadis yang sangat populer dinyatakan: Dari
Abi Hurairah, dari Nabi SAW. bersabda: «Tanda
orang munafik ada tiga; Jika berbicara, berdusta; Jika berjanji, ingkar; Dan
jika dipercaya, berkhianat» (HR. Bukhari: 33 dan Muslim: 59).
Islam
sangat menjunjung tinggi prinsip kejujuran. Betapa pentingnya, hingga seseorang
yang tidak jujur dinilai tegas sebagai orang munafik yang tercela, baik menurut
Al-Quran maupun hadis. Orang munafik diibaratkan sering berganti-ganti wajah
atau topeng luar. Nabi Muhammad saw. mengistilahkannya dengan żu al-wajhain,
(pemilik dua muka) dan dicap sebagai salah satu syarr al-nas (manusia yang
buruk). (HR. Abu Dawud: 4872). Orang yang demikian suatu ketika bertopeng
“saleh” dan dermawan, namun di kala lain bertingkah laku curang. Begitu pula di
satu sisi, ia rajin beribadah, di sisi lain gemar korupsi, bahkan hasilnya
digunakan sebagai modal dalam beribadah. Ia tidak peduli apakah ibadah tersebut
diterima atau bernilai di mata Allah swt. atau hanya sia-sia. (Nur Achmad:
2007, 226).
Hadis
yang menjadi fokus kajian di atas menunjukkan beberapa pesan penting, antara
lain: Pertama, betapa indahnya Islam yang secara tegas membedakan kejujuran dan
kebohongan, kebaikan dan kejahatan, dan antara surga dan neraka. Di dalam hadis
sangat tampak jelas bedanya (sidqu dan kizbu), jelas cara meraihnya (birru dan
fujuru), dan jelas pula hasil akhirnya (jannah dan nar). Secara tidak langsung
Nabi Muhammad SAW. mengajarkan bahwa output yang baik (surga), sangat
ditentukan oleh input yang baik (jujur, sidqu) dan proses yang baik pula
(kebajikan, birru). Begitu pula sebaliknya.
Kedua,
konsistensi dalam hidup. Jika manusia bertujuan meraih kebahagiaan dalam hidup
yang disimbulkan dengan surga, maka ia harus konsisten dengan sikap hidup jujur
dan senang kebajikan. Sebaliknya, jika manusia hendak masuk surga, namun tidak
menempuh jalan kejujuran dan kabajikan maka tidak akan sampai ke surga, bahkan
akan sampai ke neraka.
Ketiga,
pembiasaan diri dalam kejujuran dan kebaikan. Semua hal ada latihannya. Semua
prestasi diperoleh setelah melalui latihan dan belajar yang panjang. Seseorang
menjadi baik dan shalih pun tidak mendadak. Begitu pula sebaliknya, semua
keburukan dan kejahatan tidak terjadi pada seseorang secara tiba-tiba. Semua
didahului oleh pembiasaan. Orang yang bersikap jujur akan terus memelihara
kejujuran dan menuntut diri untuk jujur serta berjuang agar terus dapat hidup
dalam kejujuran hingga Allah SWT. menetapkannya menjadi ahli kejujuran (shiddiq). Sebaliknya, orang yang
bersikap dusta/berbohong atas kebenaran akan terus berusaha dusta, mencoba-coba
diri untuk dusta, serta terbiasa bergaul dengan orang yang senang berdusta
hingga akhirnya ditetapkan oleh Allah SWT. sebagai pendusta/pembohong.
Seringkali orang yang berbohong akan berusaha menutupi kebohongannya dengan kebohongan
baru, dan demikian seterusnya. Para pencuri kekayaan negara/rakyat, semula
mereka mencuri kecil-kecilan, lama-kelamaan semakin besar dan semakin besar
lagi. Hingga akhirnya ditangkap oleh pihak berwenang dengan hasil curian yang
sangat besar. Na’uzu billahi min zalik. Seorang suami/istri yang kemudian
berlaku khianat kepada pasangannya, semula melakukannya secara kecil-kecilan,
lama-kelamaan bertambah dan akhirnya tertangkap sudah sangat jauh dari prinsip
setia pada keluarga.
Keempat,
al-jannah (surga) dan al-nar (neraka) dinyatakan sebagai muara
dari kehidupan dan penantian panjang umat manusia. Dunia yang sementara ini
akan berakhir dan dilanjutklan dengan alam barzakh/kubur yang tidak lama
kemudian akan berlanjut lagi ke kehidupan akhirat yang abadi. Pada akhirnya
manusia akan menuai apa yang selama hidup di dunia ditanamnya. Kejujuran dan
kebaikan akan berujung ke kehidupan bahagia dunia akhirat dan sebaliknya,
kedustaan dan kejahatan akan berakhir dalam kehidupan yang mengenaskan di dunia
dan akhirat.
Sumber:
Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI
NB:
Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas XII
0 Post a Comment:
Posting Komentar