Pakaiannya compang-camping, lusuh, kusam.
Ia berjalan dengan bantuan tongkat dan berpura-pura pincang. Rambut dan
jenggotnya dibuat semrawut. Dengan tampang meyakinkan, tak akan ada seorang pun
yang tahu bahwa ia adalah pengemis palsu. Benar, tak ada satu pun warga yang
menguak identitas aslinya. Ia merupakan seorang ulama dari Andalusia (saat ini
Spanyol dan negara sekitar), Imam Baqi bin Mikhlad. Saat itu ia ingin sekali
belajar pada salah satu imam empat, Imam Ahmad. Ia pun berangkat dari Eropa,
menyeberangi Laut Tengah menuju Afrika, kemudian melanjutkan perjalanan panjang
ke Baghdad, Irak, tempat tinggal Imam Ahmad. Tanpa kendaraan, Baqi yang saat
itu masih berstatus penuntut ilmu menempuh perjalanan panjang dengan berjala
kaki. Hanya satu tujuannya, berguru pada sang imam.
Namun, Baqi mendengar kabar mengejutkan
begitu tiba di Baghdad. Khalifah yang berkuasa saat itu jauh dari jalan Islam.
Imam Ahmad yang vokal pada kebenaran pun bereaksi menasihati khalifah. Namun,
sang imam yang sangat mengagungkan AlQuran dan sunah justru difitnah hingga
dikucilkan. Ia juga dilarang mengajar ataupun mengumpulkan para penuntut ilmu.
Imam Ahmad dianggap menentang paham yang dianut kekhalifahan. Sedihlah hati
Baqi mendengar kondisi Imam Ahmad, guru yang diharapkannya memberikan ilmu
barang satu ayat. Kendati demikian, Baqi tetap mencari rumah Imam Ahmad. Tekadnya
untuk berguru telah bulat. Ia pun melangkahkan kaki ke rumah sang imam. Saat
mengetuk pintu, ternyata Imam Ahmadlah yang membukakannya. “Wahai Abu Abdullah,
saya seorang yang datang dari jauh, pencari hadis dan penulis sunah. Saya
datang ke sini pun untuk melakukan itu,” ujar Baqi antusias. “Anda dari mana?”
tanya Imam Ahmad. “Dari Maghrib al-Aqsa,” jawab Baaqi. Imam Ahmad pun menebak,
“Dari Afrika?” “Lebih jauh dari Afrika. Untuk menuju Afrika saya melewati laut
dari negeri saya,” jawab Baqi. Imam pun kaget mendengarnya, “Negeri asalmu
begitu jauh. Aku sangat senang jika dapat memenuhi keinginanmu dan mengajar apa
yang kamu inginkan Akan tetapi, saat ini saya tengah difitnah dan dilarang
mengajar,” jawab Imam Ahmad.
Tak putus asa mendengarnya, Keinginan Baqi
untuk berguru pada Imam Ahmad tak mampu dibendung. Ia pun menawarkan
berpura-pura menjadi pengemis. “Saya tahu Anda tengah difitnah dan dilarang
mengajar wahai Abu Abdillah, akan tetapi tak ada yang mengenal saya di sini,
saya sangat asing di tempat ini. Jika Anda mengizinkan, saya akan mendatangi
rumah Anda setiap hari dengan mengenakan pekaian pengemis. Saya akan
berpura-pura meminta sedekah dan bantuan Anda setiap hari. Maka wahai Abu
Abdillah, masukkanlah saya ke rumah dan berilah saya pengajaran meski hanya
satu hadis,” pinta Baqi berbinar.
Melihat tekadnya yang begitu bulat dan
amat giat menuntut ilmu, Imam Ahmad pun menyanggupi. Namun, ia meminta syarat
agar Baqi tak mendatangi tempat kajian hadis ulama selain Imam Ahmad. Hal
tersebut dimaksudkan agar Baqi tak dikenal sebagai penuntut ilmu. Statusnya
sebagai penuntut ilmu sementara dirahasiakan. Mendengar kesanggupan sang Imam,
Baqi pun begitu bahagia. Ia segera menyanggupi persyaratan itu. Hati Baqi saat
itu benar- benar dipenuhi bunga-bunga mekar nan indah. Keesokan hari, Baqi pun
mulai ‘beraksi’. Ia mengambil sebuah tongkat, membalut kepala dengan kain, dan
pernak-pernik pengemis lain. Sementara itu, sebuah buku dan alat tulis berada
di balik baju samarannya itu.
Ketika berada di depan pintu Imam Ahmad, Baqi dengan nada melas akan berkata, “Bersedekahlah kepada orang miskin agar mendapat balasan pahala dari Allah,” ujarnya. Jika mendengarnya, Imam Ahmad segera membukakan pintu dan memasukkan Baqi ke dalam rumahnya. Di dalam rumah, dimulailah proses pengajaran ilmu yang amat diberkahi Allah itu. Demikian aktivitas itu dilakukan setiap hari oleh Baqi dan sang guru. Dari proses belajar diam-diam itu, Baqi mampu mengumpulkan 300 hadis dari Imam Ahmad. Mengemis demi mendengar satu hadis. Baqi pun kemudian menjadi murid dekat Imam Ahmad. Ia di kemudian hari menjadi ulama terkenal dari kawasan Andalusia.
0 Post a Comment:
Posting Komentar