Sejarah Singkat Al-Jarh Wa Ta'dil
Sejarah
para periwayat hadis mulai dari generasi sahabat nabi sampai generasi mukharijj
al-ḥadīṡ (periwayat dan sekaligus penghimpun hadis) telah tidak dapat dijumpai
secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. untuk mengenali keadaan
pribadi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka di bidang periwayatan
hadis, diperlukan informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli
kritik rijāl (para periwayat) hadis.
Kritik
terhadap para periwayat hadis yang telah dikemukakan oleh ulama ahli kritik
hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga
berkenaan dengan hal-hal yang tercela. Hal hal yang tercela dikemukakan bukanlah
untuk menjelek-jelekkan mereka, melainkan untuk dijadikan pertimbangan dalam
hubungannya dengan dapat diterima atau tidak dapat diterima riwayat hadis yang
mereka sampaikan. Ulama ahli kritik hadis tetap menyadari bahwa mengemukakan
kejelekan seseorang dilarang oleh agama. Tetapi untuk kepentingan yang lebih
besar, yakni kepentingan penelitian hadis dalam hubungannya sebgai salah satu
sumber ajaran islam, maka kejelekan atau kekurangan pribadi periwayat dalam
kaitannya dengan periwayatan hadis sangat perlu dikemukakan. Kejelekan atau
kekurangan yang dikemukakan hanyalah terbatas yang ada hubungannya dengan
kepentingan penelitian periwayatan hadis.
Menurut
Imam Nawawi, al-jarḥ wa at-ta’dīl
adalah sebagi pemeliharaan syariat islam bukanlah qhibah ataupun umpatan. Akan
tetapi ia merupakan nasihat, dan hukumnya boleh bahkan diwajibkan, untuk bisa
mengugkap hadis itu benar atau tidaknya bisa dicari melalui proses al-jarḥ wa at-ta’dīl .
Sejarah
pertumbuhan ilmu al-jarḥ wa at-ta’dīl selalu seiring dan sejalan dengan sejarah
pertumbuhan dan perkembangan periwayatan hadis, karena bagaimanapun juga untuk
memilah dan memilih hadis-hadis ṣaḥīḥ melewati penelitian terhadap
periwayat-periwayat dalam sanadnya, yang pada akhirnya memungkinkan untuk
membedalan antara hadis yang maqbūl dan yang mardūd.
Embrio
praktek men-jarḥ dan men-ta’dīl sudah tamapk pada masa Rasulullah yang beliau
contohkan sendiri secara langsung dengan mencela bi’sa akh al-‘asyirah dan pernah pula beliau memuji sahabat Khalid
bin Walid dengan sebutan “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid. Dia
adalah pedang dari sekian banyak pedang Allah”
Selain
dari riwayat-riwayat yang kiita peroleh dari Rasulullah tentang Al-jarḥ wa at-ta’dīl ini, banyak pula
kita menemukan pandangan dan pendapat para sahabat. Kita dapat menemukan banyak
kasus di mana sahabat yang satu memberukan penilaian terhadap sahabat yang
lainnya dalam kaitannya sebagai periwayat hadis. Keadaan demikian berlanjut dan
dilanjutkan oleh tabi’in, atba’
at-tabi’in serta para pakar ilmu hadis berikutnya. Dalam hal ini mereka
menerangkan keadaan para periwayat semata-mata dilandasi semangat religius dan
mengharap ridha Allah. Maka, apa yang mereka karakan rentang kebaikan maupun
kejelekan seorang periwayat akan mereka katakan dengan sebenarnya, tanpa
tenggang rasa, meski yang dinilai negatif adalah keluarganya.
Suatu
kali pernah seorang laki-laki bertanya kepada ‘Āli al-Madini tentang kualitas
ayahnya. ‘Āli hanya menjawab: “tanyalah kepada orang lain”. Orang yang bertanya
tersebut rupanya masih menginginkan jawaban ‘Āli al-Madini sendiri, sehingga ia
tetap mengulang-ulang pertanyannya. Setelah menundukkan kepala sejenak lalu
mengangkatnya kembali, ‘Āli berujar: “ini masalah agama, dia (ayah ‘Āli
al-Madini) itu dla’if”.
Menyadari
betapa urgen-nya sebuah penilaian hadis terhadap periwayat hadis, para ulama hadis
di samping teguh, keras dan tegas dalam memberikan penilaian, juga dikenal
teliti dalam mmpelajari kehidupan para periwayat. Sebegitu telitinya, imam
Asy-Sya’bi pernah mengatakan: “Demi Allah sekiranya aku melakukan kebenaran
sembilan puluh kali dan kesalahan sekali saja, tentulah mereka menilaiku
berdasarkan yang satu kali itu.
Dari
sini dapat diketahui bahwa perkembangan al-jarḥ
wa-ta’dīl bersamaan dengan perkembangan riwayah dalam Islam, ketika
diharuskan untuk mengetahui hadis-hadis yang ṣaḥīḥ, pada saat itu pula
diharuskan mengetahui adilnya periwayat atau bohongnya periwayat, sehingga bisa
membedakan antara yang maqbūl dan yang mardūd, maka dari itu mereka bertanya
tentang keadaan para periwayat, seperti yang dilakukan oleh ulama berikut:
a. Imam
Syafi’i berkata : “kalau bukan karena
Syu’bah maka hadis tidak dikenal di Iraq”
b. Syu’bah
(82-160 H) ketika ditanya tentang hadisnya Hakim bin Jabir ia berkata : “aku takut neraka”
c. Ali
al-Madini ditanya oleh kaum tentang ayahnya ia berkata : “Bertanyalah tentang ayahku kepada selain aku”
Tujuan Pokok Ilmu al-jarḥ
wa-ta’dīl
Tujuan
pokok dalam mempelajari al-jarḥ wa-ta’dīl adalah:
1. Untuk
menghukumi/mengetahui status periwayat hadis
2. Untuk
mengetahui kedudukan hadis/martabat hadis, karena tidak mungkin mengetahui
status suatu hadis tanpa mengetahui kaidah ilmu al-jarḥ wa-ta’dīl
3. Mengetahui
syarat-syarat periwayat yang maqbūl. Bagaimana keadilannya, keḍābiṭ-annya serta
perkara yang berkaitan dengannya.
Cara mengetahui adilnya
periwayat yaitu dengan :
a. Keterkenalan
diantara ahli hadis, seperti: Malik bin Anas, Sufyan aṡ-Ṡauri, Syu’bah bin al-Ḥujjaj,
Aḥmad bin Ḥanbal dll.
b. Dengan
penta’dīlan atau pentajrīḥan. Menurut ahli hadis cukup penta’dīlan dari satu orang mu’addil
atau mujarriḥ. Menurut sebagian
fuqaha’ harus dua orang mu’addil atau mujarrih.
Syarat ulama al-jarḥ wa
at-ta’dīl
1. ‘Ādil
yaitu wirā’i, zuhud, taqwa, jujur, menjaga murū'ah, balig, berakal sehat.
2. Ḍābiṭ yaitu terpercaya hafalannya, tulisannya,
tidak cacat.
3. Mengerti
dengan sebab-sebab jarḥ dan adil
4. Tidak
fanatik pada yang di-ta’dīl atau sentimen pada yang di-tajrīḥ
5. Mengenal
orang yang di-ta’dīl atau di-tajrīḥ.
Cara melakukan al-jarḥ wa
at-ta’dīl
1. Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan periwayat secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajjaj al-Khatib mengatakan: “Kita mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebutkan kebaikannya”
2. Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadis karena lemahnya agama periwayat dan dha’ifnya suatu hadis karena periwayatnya tidak kuat hafalannya.
3. Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan al-jarḥ wa atta’dīl. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil al-jarḥ wa at-ta’dīl nya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para periwayat seorang ulama cukup mengatakan: “Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”
4. Bersifat global dalam men-ta’dīl dan terperinci dalam men-tajrīḥ. Dalam men-ta’dīl, misalnya Cukup mereka mengatakan “si fulan ṡiqah atau adil ”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak. Lain halnya dengan aljarḥ, umumnya sebab-sebab al-jarḥ-nya disebutkan misalnya si “fulan itu tidak bisa diterima hadisnya karena dia sering teledor, ceroboh, lebih banyak ragu, atau tidak ḍābiṭ atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya”.
Sebab-sebab seorang
periwayat dikatakan “al-majrūh ”
Ketidakabsahan
dan tertolaknya periwayatan periwayat disebabkan karena :
1. Tidak adil maksud adil adalah (muslim, sudah baligh, berakal sehat, tidak fasik, menjaga murūah atau harga dirinya) sebab dikatakan tidak adil adalah: bohong, muttahamun bi al-każbi (dianggap bohong), fasiq, bid’ah, jahalah bi aḥwāli ruwāt.
2. Tidak ḍābiṭ maksud ḍābiṭ adalah kuat menjaga hafalan atau tulisannya sekiranya dibutuhkan ḥadīṡnya bisa menyampaikan secara langsung. Orang yang tidak ḍābiṭ disebabkan karena: faḥsyu al-galṭṭ, sū’u al-hifẓi, gaflah, kaṡratu al-auhām, dan mukhālafatu ṡiqāt.
3. Tidak menjaga murū ̇ah dalam arti tidak berakhlakul karimah.
Tingkatan
lafal yang digunakan untuk melakukan al-jarḥ wa at-ta’dīl
Lafaẓ
al-jarḥ
a. Lafaẓ yang menunjukan penilaian jarḥ yang paling ringan kejelekannya. Seperti: fulānun layyinu al-ḥadīṡ, fīhi ṡiqatun, fi ḥadīṡihi ḍa'īf dan lain-lain.
b. Lafaẓ yang menunjukkan penilaian lemah terhadap periwayat dari segi hafalannya, seperti penegasan tidak ada hujjah atau yang menyerupainya seperti: ḍa’īfun, lahu manākir dan lain-lain.
c. Lafaẓ yang terang-terangan melarang hadisnya ditulis atau yang lainnya. Seperti: ḍa’īfun jiddan, fulānun lā yuktabu ḥadīṡuhu dan lain-lain.
d. Lafaẓ yang menunjukkan tuduhan berdusta seperti: laisa bi ṡiqqah, yaskuru al-ḥadīṡ dan lain-lain.
e. Lafaẓ yang menunjukkan periwayat disifati berdusta seperti: fulānun każżābun, yakżibu, dan lain sebagainya.
f. Lafaẓ yang menunjukkan keterlaluan berdusta, seperti: fulānun akżabu annās.
Lafaẓ ta’dīl
a. Lafaẓ yang menunjukkan ṣigat mubālagah (paling puncak) atau atas dasar wazan af’ala yang merupakan ṣigat paling tinggi. Seperti, fulan aṣdaqu arrijāl, dan lain-lain
b. Lafaẓ yang diperkuat dengan satu atau dua sifat dari sifat ṡiqah. Seperti: ṡiqatun-ṡiqatun, ṡiqatun-ṡābitun, ṡiqatun-hujjatun dan lain-lain.
c. Lafaẓ yang menunjukkan pada satu sifat atas ṡiqah tanpa ada penjelas. Seperti: ṡiqatun, ḥujjatun.
d. Lafaẓ yang menunjukkan pada ta’dīl tapi tanpa menunjukkan adanya ḍābiṭ . Seperti: la ba`sa bihi.
e. Lafaẓ yang menunjukkan pada dekatnya tajrīḥ. Seperti; fulānun syaikhun.
Kitab-kitab yang berisi
tentang al-jarḥ wa at-ta’dīlu
Kitab al-jarḥ wa
at-ta’dīlu secara umum
a. At-tārīkh al-kabīr karya Imam Bukhari (194-256 H) yang memuat 12.305 periwayat hadis. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan memperhatikan huruf pertama dari nama periwayat dan nama bapaknya.
b. Kitab al-jarḥ wa al ta’dīl karya Abu Hatim Muhammad ibn Idris Al Razi (240-327 H), merupakan kitab Al-jarḥ wa at-ta’dīl dari ulama mutaqaddimin yang banyak isinya, memuat 18.050 periwayat ḥadīṡ. Dalam kitab ini, biografi periwayatan hadis ditulis secara singkat, hanya mencapai satu sampai lima belas baris dan disusun berdasarkan huruf hijaiyah.
Kitab al-jarḥ wa
at-ta’dīl mengenai periwayat-periwayat ṡiqah
a. Kitab al-ṡiqat karya Muhammad ibn Ahmad ibn Hibban al-Busti (w. 354 H), yang disusun berdasarkan ṭabaqah (tingkatan) sesuai dengan huruf hijaiyah, dalam ṭabaqah itu dan disajikan dalam tiga juz, juz pertama untuk ṭabaqah sahabat, juz kedua untuk ṭabaqah tabi’in dan juz ketiga untuk ṭabaqah ‘atbā’ tābi’in.
b. Tarikh asmā’al-ṡiqāt min man nuqila ‘anhu al ilm disusun oleh Umar Ibn Hamad ibn Syahin (w. 385 H), berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan hanya menyebutkan nama periwayat dan nama bapaknya, serta pendapat ahli al-jarḥ wa at-ta’dīl mengenai periwayatan itu. Kadang-kadang juga disebutkan sebagian guru dan muridnya.
Kitab al-jarḥ wa
at-ta’dīl mengenai periwayatan ḍa'īf
a. Aḍ-ḍu’afā’ al-kabīr dan aḍ-ḍu’afā’ al-ṣagīr Kedua kitab ini karya Imam Bukhari yang termasuk kitab al-jarḥ wa at-ta’dīl paling tua yang sampai kepada kita. Kitab ini berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan hanya memperhatikan huruf pertama pada setiap nama periwayat.
b. Aḍ-ḍu’afa’ wa al-matrūkīn. karya Imam an-Nasa’i (215-303 H.), disusun berdasarkan ururtan huruf mu’jam dengan hanya memperhatikan huruf pertama pada setiap nama periwayat.
c. Ma’rifat al-majrūhīn min al-muḥaddiṡīn. karya Ibn Hibban yang disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam, diawali dengan muqaddimah kitab yang berisi tentang pentingnya mengetahui periwayat ḍa'īf, bolehnya menilai cacatnya periwayat, dan yang berhubungan dengan hal itu.
d. Al-kamil fī ḍu’afā’ ar-rijāl. karya Imam Abu Ahmad Abdullah ibn Adi al-Jurjani (w. 356 H), memuat biografi periwayat yang masih dibicarakan kualitasnya, meski menurut pendapat yang tertolak. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam serta dimulai dengan muqaddimah kitab yang panjang lebar.
e. Mizan al-i'tidāl fī naqd ar-rijāl. karya Abu Abdullah Muhammad Ibnu Ahmad ibn Usman aż-Żahabi (w. 748 H). Sebagaimana dikatakan Ibn Hajar kitab ini menghimpun 11.053 biografi periwayat yang disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan memperhatikan nama periwayat dan bapaknya. Dalam kitab ini yang pertama disebut adalah nama periwayat yang dikenal dengan nama bapaknya, nisbat atau laqobnya, periwayat laki-laki yang tidak dikenal namanya, periwayat perempuan yang tidak dikenal nama aslinya, nama kunyah perempuan, kemudian periwayat perempuan yang disebut nama aslinya.
f. Ma’rifatu rijāl yaitu ditulis oleh Yahya bin Ma’in (158-233 H). Ini adalah buku al-jarḥ wa ta’dīl yang pertama kali sampai kepada kita.
g. Lisan al-mīzān. karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam yang dimulai dari nama asli, nama kunyah, kemudian periwayat yang mubham, yang terbagi menjadi tiga pasal, pasal pertama tentang periwayat yang menguunakan nasab, kedua periwayat yang terkenal dengan nama kabilah atau pekerjaannya, dan ketiga tentang periwayat yang berdasarkan pada nama lain.
Sumber
: Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI Kelas XI
NB;
Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas XI
0 Post a Comment:
Posting Komentar