Salah
satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh besar terhadap
pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadis
adalah Tahammul wa adā’ al-hadis,
yakni redaksi yang digunakan oleh perawi dalam menerima dan meriwayatkan hadis.
Redaksi dalam periwayatan ini menjadi perhatian penting sebab bisa berimplikasi
pada otentisitas dan kualitas hadis.
Pengertian Taḥammul
Hadis
Secara
etimologi tahammul merupakan masdar
dari fi’il maḍi taḥammala yang
berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti
Tah ̣ammul al-h ̣adīś menurut bahasa adalah menerima hadis atau menanggung
hadis. Sedangkan tahammul al-hadīś
menurut istilah ulama ahli hadis, sebagaimana tertulis dalam kitab Tafsir Mustalāh ̣ al-hadīś adalah: Taḥammul
artinya menerima hadis dan mengambilnya dari para syaikh atau guru.
Menurut
pendapat para ulama bahwa yang dimaksud dengan tahammul adalah “mengambil atau menerima hadis dari seorang guru
dengan salah satu cara tertentu.” Dalam masalah tahammul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara
para kritikus hadis, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum
baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadis, yang nantinya juga
berimplikasi–seperti diungkapkan oleh al-Kirmani pada boleh dan tidaknya hadis
tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah
sebaliknya.
Syarat-syarat
bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadis dari orang lain adalah:
a. Penerima
harus d ̣abit ̣ (memiliki hapalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
b. Berakal
sempurna.
c. Tamyīż.
Ulama
hadis memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan
minimal seseorang bisa dikatakan tamyiz dalam hal ini ulama hadispun masih
berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau
berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.
Beberapa
ulama hadis masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadis.
Mayoritas ulama’ hadis menganggap mereka boleh menerima riwayat hadis,
sementara yang lain berpendapat bahwa hadis yang diterima mereka tidak sah. Akan
tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan
ulama jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang menerima hadis
yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbās dan
lain-lain, tanpa membedakan mana hadis yang mereka terima ketika masih kecil
dan yang setelahnya.
Hal
senada juga diungkapkan oleh al-Ḥāfiẓ Ibnu Kasir dalam bukunya Ikhtisar ‘Ulūm
al-Ḥādīs, bahkan beliau menambahkan bahwa tahammul
hadis orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadis yang diterima oleh orang
kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (adā’) setelah masuk Islam. Dan
yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah
faktor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang
tersebut sekalipun belum balig.
Cara-cara Taḥammul
al-Ḥadīŝ
Cara
atau metode Tah ̣ammul Hadis tidak dapat dipisah-pisahkan dari Ada’, karena
ibarat transaksi dua orang, keduanya harus ada. Metode tah ̣ammul berarti juga
metode adā’ dalam Hadis Cara-cara seseorang menerima atau mengambil hadis dari
seorang rawi sehingga tercatat dalam kitab-kitab hadis sebagaimana yang kita
dapati sekarang ini dengan delapan cara sebagai berikut:
1. As-Samā’
As-Samā’
artinya mendengarkan. Maksudnya adalah seorang rawi mendengarkan lafad dari
guru/syaikh saat syaikh tersebut membacakan atau menyebut matan atau matan
hadis bersama sanadnya. Seorang murid hadir dan mendengar bacaan syaikh, baik
dari hapalannya maupun dari catatannya, baik dalam majlis imla’ (dikte) atau yang lain. Dalam pengajaran metode ini
sebagaimana metode ceramah, seorang syaikh menyampaikan periwayatan hadis
dengan cara membaca dan seorang murid aktif mendengar. Menurut mayoritas ulama
metode tahammul
as-Samā` ini berada pada tingkatan yang paling tinggi di antara metode tahammul
lainnya, karena metode as-Samā` meniscayakan bertemunya (liqa’) dan berhadapan langsung (bermusyafah{ah) antara syaikh
(guru) dan murid.
2. Al-‘Ardu
Al-‘Ard
̣u secara etimologi adalah membaca dengan hapalan. Dalam metode ini, seorang
murid membaca hadis sedangkan syaikh (guru) mendengarkan bacaannya, baik murid
itu membaca sendiri atau mendengar murid lain yang membaca di hadapannya, baik
bacaan dari hafalannya atau dari tulisan (kitab) yang telah dikoreksi oleh
syaikh, baik langsung didengarkan syaikh atau orang yang dipercaya untuk mendengarkannya.
Mayoritas muḥaddisῑn menyebut metode ini dengan Al-‘Ard ̣u atau ‘Al-‘Ard ̣u
al-Qira’ah atau dalam metode pengajaran disebut sorogan. Jumhur ulama
memperbolehkan metode Al-‘Ardu atau al-Qirā’ah ini, bahkan meletakkannya pada
tingkatan kedua setelah as-Simā’i.
3. Al-Ijāzah
Ijazah
secara etimologi berarti membolehkan atau mengizinkan. Misalnya seorang murid
diizinkan meriwayatkan suatu ilmu dari guru. Ijāzah secara terminologi adalah: “Izin
seorang alim kepada seorang murid atau lebih untuk meriwayatkan sebagian
periwayatannya.”
Misalnya,
ucapan seorang syaikh kepada muridnya: “Aku ijazahkan kepadamu untuk
meriwayatkan dari padaku Shahih al-Bukhari.” Dalam metode ijazah ini biasanya
tidak dibacakan atau dibacakan sebagian saja dari isi kitab tersebut. Metode
Ijazah ini memiliki beberapa syarat, di antaranya seorang murid sudah ahli atau
layak menerima Ijazah, mampu memahami apa yang diijazahkannya, dan naskah murid
hendaknya dipaparkan sesuai dengan aslinya.
4. Al-Munāwalah
Munāwalah
secara etimologi berarti memberi, menyerahkan. Maksudnya adalah syaikh (guru)
memberikan kitabnya kepada murid. Guru menyalin kitab tersebut untuk diberikan
atau dipinjamkan ke muridnya. Atau dapat juga dalam bentuk seorang rawi
menyerahkan satu kitab kepada syaikh (guru)-nya, yang kemudian dikembalikan
kepadanya lagi setelah diperiksa benar-benar oleh gurunya.
Misalnya
seorang syaikh mengatakan: haza min
hadisī (Ini dari hadisku) atau haza min sima’atī ‘an fulan (Ini adalah apa
yang saya dengar dari si fulan).
Hukum
periwayatan metode munāwalah yang disertai dengan ijazah boleh-boleh saja, bahkan
metode ijazah adalah yang paling tinggi dan tingkatannnya di bawah setelah
metode al-Sama` dan al-Qirā’ah `alā al-Syaikh. Sedangkan
periwayatan munāwalah yang tidak disertai ijazah menurut pendapat yang shahih
tidak diperbolehkan.
5. Al-Mukatabah
Mukātabah
secara etimologi berarti bertulis-tulisan surat atau berkorespondensi. Dalam
terminologi studi hadis maksud metode ini ialah seorang syaikh menulis apa yang
ia dengar untuk murid yang hadir atau yang tidak hadir di majelis dengan
tulisan syaikh sendiri atau dengan perintahnya, untuk dikirim kepadanya melalui
orang yang terpercaya. Hukum metode Mukātabah yang disertai ijazah dapat
diterima dan sama dengan tingkatan metode munāwalah berijazah dalam kualitas
dan keabsahannya.
Adapun
mukatabah yang tanpa ijazah terjadi pro dan kontra di kalangan para ulama, di
antara mereka melarang dan yang lain memperbolehkannya. Menurut pendapat yang
shahih diperbolehkan, yaitu pendapat mayoritas ulama mutaqaddimin dan
mutaakhirin, karena tulisan seorang syaikh dengan sesamanya atau kepada
muridnya memberikan isyarat makna ijazah.
6. Al-I’lām
Al-I’lām
secara etimologi berarti memberitahu atau memberi informasi. Maksudnya, seorang
syaikh memberi informasi kepada muridnya bahwa Hadis ini atau kitab ini yang ia
dengar atau yang ia riwayatakan, tanpa memberikan ijazah secara eksplisi.
(jelas tegas tidak berbelit-belit). Hukum periwayatan metode ini
diperselisihkan para ulama, di antara mereka ada yang memperbolehkan, dengan
alasan informasi seorang syaikh secara implisit mengandung ijazah dalam
periwayatan. Seorang syaikh yang śiqqah dan amanah tidak mungkin mengaku
menerima hadis yang ia tidak mendengar. Informasi syaikh kepada muridnya
tentang periwayatan menunjukkan adanya indikasi rida dari syaikh terhadap taḥammul
dan ada’ al-hadīs.
Sebagian
ulama ahli ushul menetapkan bahwa tidak sah meriwayatkan hadis dengan cara ini.
Karena dimungkinkan bahwa seorang guru telah mengetahui ada sedikit atau banyak
cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama ahli hadis, ahli fiqih, dan ahli ushul
membolehkannya.
7. Al-Wasiyyah
Wasiyyah
secara etimologi berarti memesan, memberi pesan, atau mewasiati. Yang dimaksud
metode al-was{iyah ialah seorang syaikh ketika akan pergi jauh atau sebelum
matinya berpesan agar kitab yang ia riwayatkan atau yang ia susun diberikan
kepada seseorang yang wajar dipercaya baik dekat atau jauh.
Sebagian
ulama muta’akhkhirin berpendapat bahwa metode wasiat mengandung makna izin
periwayatan seperti halnya metode munāwalah di atas. Sebagian ulama salaf juga
melakukan metode tahammul ini, seperti yang dilakukan Abu Qilabah Abdullah bin
Zaid al-Jurumi (w. 104 H). Sebelum wafatnya, beliau berpesan agar kitab-kitabnya
diberikan kepada as-Sukhtiyani ( w. 131 H). Kitab-kitab itu diserahkan
kepadanya dan sebagai pengganti transportasinya ia menyerahkan uang lebih 10
dirham.
8. Al-Wijādah
Wijādah
secara etimologi berarti mendapat. Maksud metode ini seseorang mendapatkan
sebuah atau beberapa tulisan hadis yang diriwayatkan seorang syaikh yang ia
kenal, tetapi ia tidak mendengar dan tidak ada ijazah darinya. Atau seorang murid
mendapatkan sebuah kitab tulisan seorang yang hidup semasa dan dikenal
tulisannya, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau tulisan orang yang tidak
semasa tetapi diyakini benar bahwa kitab tersebut adalah tulisannya dengan
bukti-bukti yang kuat, seperti persaksian ahli ilmu, popularitas kitab bagi
pemiliknya, adanya sanad yang kuat, dan lain-lain maka ia boleh meriwayatkannya
secara bercerita (hikayah). Misalnya : “Aku
temukan dalam kitab si Fulan begini…., atau si Fulan berkata begini dalam
kitabnya” tidak dengan cara mendengar secara langsung.
Sumber:
Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI
NB:
Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas X
0 Post a Comment:
Posting Komentar