"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Kamis, 21 September 2023

KEJUJURAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Hadis riwayat Imam Muslim dari ‘Abdullah bin Mas’ud RA.

Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair telah menyampaikan hadis kepada kami, Abu Mu’awiyah dan Waki’ telah menyampaikan hadis kepada kami, keduanya berkata al-A’masy telah menyampaikan hadis kepada kami. Tahwil (perpindahan jalur sanad). Dan Abu Kuraib telah menyampaikan hadis kepada kami, Abu Mu’awiyah telah menyampaikan hadis kepada kami, al-A’masy telah menyampaikan hadis kepada kami, dari Syaqiq, dari ‘Abdillah (bin Mas’ud) RA. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Tetaplah kalian bertindak jujur. Sungguh kejujuran membimbing kepada kebajikan dan sungguh kebajikan membimbing ke surga. Seseorang (yang jujur) senantiasa bertindak jujur dan menuntut untuk jujur hingga ditetapkan di sisi Allah sebagai shiddiq (ahli jujur). Dan berhati-hatilah kalian dari kebohongan karena sungguh kebohongan membimbing kepada kejahatan dan sungguh kejahatan membimbing ke neraka. Dan seseorang (yang berbohong) senantiasa berbohong dan menuntut untuk berbohong hingga ditetapkan di sisi Allah SWT. sebagai kazzab (tukang bohong)”. (HSR. Muslim: 6805). Diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari: 6094.

Sebelum mendalami hadis dia atas, ada baiknya dikaji terlebih dahulu tentang lafaz sidqu dan kizbu sebagai lawan katanya. Dalam Al quran, kata sidq diulang sebanyak 14 kali (‘Abd al-Baqi’: tth., 513-516), tidak termasuk turunannya. Berikut salah satu ayat yang mengajarkan pentingnya kejujuran yang dikaitkan dengan iman dan takwa, yaitu: QS. 9: 119 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan jadilah kamu bersama orang-orang yang jujur.

Sidq berasal dari kata sadaqa–yasduqu–sadqan aw sidqan yang berarti diddu kazib, lawan kata berbohong. (Ma’luf: 2005, 419-420). Menurut al-Manawi, sidq adalah alikhbar ‘ala wafqi al-waqi‘ (menyatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan). (al-Manawi: 2006, 2/456). Sidq dapat disebut sebagai kebenaran dan kejujuran, yaitu: keadaan yang menunjukkan keselarasan antara pernyataan dan kenyataan. Dalam istilah lain, jujur adalah bersatunya kata dan perbuatan. Tidak ada kebohongan, pemalsuan, pengkhianatan, dan sebagainya dalam mengungkapkan sesuatu. Dengan demikian, sikap jujur senantiasa berlawanan dari sikap dusta atau tindakan menipu.

Sementara kazib (berdusta), (al-Manawi: 2006, 2/457), adalah menyatakan sesuatu berlawanan dengan kenyataan (al-ikhbar bi khilafi al-waqi‘). Karenanya, antara kejujuran dan kebohongan sangatlah jauh berbeda. Kejujuran melahirkan kebaikan dan bermuara kepada surga. Sedangkan kebohongan melahirkan yang kebohongan lebih besar dan menyeret pada tindakan kejahatan serta akan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Lebih dari itu, setiap kebohongan akan selalu melahirkan kebohongan yang lebih besar untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Kemudian kebohongan kedua itupun akan diteruskan dengan kebohongan selanjutnya. Sebagai gambaran, seorang pegawai pengadaan barang menggelembungkan biaya belanja kantor dari Rp1 juta menjadi Rp1,5 juta. Pada tahap selanjutnya, ia akan melakukan hal yang sama atau bahkan menambah jumlah mark up tersebut. Karenanya, ia akan tetap mempertahankan kebiasaan bohong itu, sebelum tertangkap dan diberi hukuman setimpal. (Nur Achmad: 2007, 225-226).

Kejujuran adalah kemuliaan. Siapa yang menjaganya, berarti menjaga kemuliaan diri dan agamanya. Sebaliknya, siapa yang mengkhianatinya, berarti telah mengganti wajah kemuliaan dengan kehinaan. Hal ini berlaku pula bagi lembaga atau institusi, swasta maupun pemerintah. Shidiq adalah salah satu sifat dasar para nabi dan rasul Allah. Karenanya, kejujuran menjadi tolak ukur untuk membedakan antara manusia mukmin dan munafik. Dalam hadis yang sangat populer dinyatakan: Dari Abi Hurairah, dari Nabi SAW. bersabda: «Tanda orang munafik ada tiga; Jika berbicara, berdusta; Jika berjanji, ingkar; Dan jika dipercaya, berkhianat» (HR. Bukhari: 33 dan Muslim: 59).

Islam sangat menjunjung tinggi prinsip kejujuran. Betapa pentingnya, hingga seseorang yang tidak jujur dinilai tegas sebagai orang munafik yang tercela, baik menurut Al-Quran maupun hadis. Orang munafik diibaratkan sering berganti-ganti wajah atau topeng luar. Nabi Muhammad saw. mengistilahkannya dengan żu al-wajhain, (pemilik dua muka) dan dicap sebagai salah satu syarr al-nas (manusia yang buruk). (HR. Abu Dawud: 4872). Orang yang demikian suatu ketika bertopeng “saleh” dan dermawan, namun di kala lain bertingkah laku curang. Begitu pula di satu sisi, ia rajin beribadah, di sisi lain gemar korupsi, bahkan hasilnya digunakan sebagai modal dalam beribadah. Ia tidak peduli apakah ibadah tersebut diterima atau bernilai di mata Allah swt. atau hanya sia-sia. (Nur Achmad: 2007, 226).

Hadis yang menjadi fokus kajian di atas menunjukkan beberapa pesan penting, antara lain: Pertama, betapa indahnya Islam yang secara tegas membedakan kejujuran dan kebohongan, kebaikan dan kejahatan, dan antara surga dan neraka. Di dalam hadis sangat tampak jelas bedanya (sidqu dan kizbu), jelas cara meraihnya (birru dan fujuru), dan jelas pula hasil akhirnya (jannah dan nar). Secara tidak langsung Nabi Muhammad SAW. mengajarkan bahwa output yang baik (surga), sangat ditentukan oleh input yang baik (jujur, sidqu) dan proses yang baik pula (kebajikan, birru). Begitu pula sebaliknya.

Kedua, konsistensi dalam hidup. Jika manusia bertujuan meraih kebahagiaan dalam hidup yang disimbulkan dengan surga, maka ia harus konsisten dengan sikap hidup jujur dan senang kebajikan. Sebaliknya, jika manusia hendak masuk surga, namun tidak menempuh jalan kejujuran dan kabajikan maka tidak akan sampai ke surga, bahkan akan sampai ke neraka.

Ketiga, pembiasaan diri dalam kejujuran dan kebaikan. Semua hal ada latihannya. Semua prestasi diperoleh setelah melalui latihan dan belajar yang panjang. Seseorang menjadi baik dan shalih pun tidak mendadak. Begitu pula sebaliknya, semua keburukan dan kejahatan tidak terjadi pada seseorang secara tiba-tiba. Semua didahului oleh pembiasaan. Orang yang bersikap jujur akan terus memelihara kejujuran dan menuntut diri untuk jujur serta berjuang agar terus dapat hidup dalam kejujuran hingga Allah SWT. menetapkannya menjadi ahli kejujuran (shiddiq). Sebaliknya, orang yang bersikap dusta/berbohong atas kebenaran akan terus berusaha dusta, mencoba-coba diri untuk dusta, serta terbiasa bergaul dengan orang yang senang berdusta hingga akhirnya ditetapkan oleh Allah SWT. sebagai pendusta/pembohong. Seringkali orang yang berbohong akan berusaha menutupi kebohongannya dengan kebohongan baru, dan demikian seterusnya. Para pencuri kekayaan negara/rakyat, semula mereka mencuri kecil-kecilan, lama-kelamaan semakin besar dan semakin besar lagi. Hingga akhirnya ditangkap oleh pihak berwenang dengan hasil curian yang sangat besar. Na’uzu billahi min zalik. Seorang suami/istri yang kemudian berlaku khianat kepada pasangannya, semula melakukannya secara kecil-kecilan, lama-kelamaan bertambah dan akhirnya tertangkap sudah sangat jauh dari prinsip setia pada keluarga.

Keempat, al-jannah (surga) dan al-nar (neraka) dinyatakan sebagai muara dari kehidupan dan penantian panjang umat manusia. Dunia yang sementara ini akan berakhir dan dilanjutklan dengan alam barzakh/kubur yang tidak lama kemudian akan berlanjut lagi ke kehidupan akhirat yang abadi. Pada akhirnya manusia akan menuai apa yang selama hidup di dunia ditanamnya. Kejujuran dan kebaikan akan berujung ke kehidupan bahagia dunia akhirat dan sebaliknya, kedustaan dan kejahatan akan berakhir dalam kehidupan yang mengenaskan di dunia dan akhirat.

Sumber: Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas XII

 

Share:

NILAI DEMOKRATIS DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Tidak bisa dihindari lagi bahwa pola interaksi dalam kehidupan modern khususnya di perkotaan mempertemukan orang orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Kota memang merupakan tempat pertemuan orang-orang yang berbeda-beda asal daerahnya, kesukuannya, adat istiadat dan budayanya, agamanya, afiliasi politiknya, organisasi profesinya dan lain sebagainya. Orang-orang dengan berbagai perbedaan latar belakang itu tentu mempunyai kepentingan yang berbeda-beda pula.

Kepentingan yang berbeda-beda itu pada saat tertentu dapat menjadi faktor yang menyebabkan konflik antar anggota suatu komunitas. Untuk menghindari konflik itu diperlukan suatau institusi atau lembaga yang dapat menampung aspirasi banyak orang. Lembaga itu sudah dikenal dalam ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis yaitu syura atau musyawarah.

Melalui musyawarah itu, kaum muslimin berembug untuk menetapkan suatu persoalan yang mereka hadapi, antara lain pada saat mereka akan memilih pemimpin sebagai pengganti Rasulullah saw setelah beliau wafat. Dewasa ini orang sering menyamakan antara musyawarah dengan demokrasi. Padahal antara keduanya terdapat perbedaan. Dalam musyawarah tidak dikenal penghitungan suara terbanyak untuk membuat keputusan sebagaimana diterapkan dalam demokrasi. Musyawarah lebih menekankan pencapaian hasil terbaik melalui tukar pendapat. Sedangkan demokrasi lebih memihak kepada aspirasi yang disampaikan oleh orang-orang dengan jumlah yang lebih banyak. Ada dua hadis yang akan kita pelajari terkait demokrasi.

Hadis pertama:

Auf bin Malik Al Asyja›i berkata, «Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‹alaihi wasallam bersabda: «Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian mendo›akan mereka dan mereka mendo›akan kalian. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka pun mengutuk kalian.» Mereka berkata, «Kemudian kami bertanya, «Wahai Rasulullah, tidakkah kami memerangi mereka ketika itu?» beliau menjawab: «Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian, tidak selagi mereka masih mendirikan shalat bersama kalian. Dan barangsiapa dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian dia melihat pemimpinnya bermaksiat kepada Allah, hendaknya ia membenci dari perbuatannya dan janganlah ia melepas dari ketaatan kepadanya.» (HR Muslim)

Hadis kedua

Dari Abu Hurairah berkata: Ketika Nabi shallallahu ‹alaihi wasallam berada dalam suatu majelis membicarakan suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui lalu bertanya: «Kapan datangnya hari kiamat?» Maka Nabi shallallahu ‹alaihi wasallam bersabda: «Apabila sudah hilang amanah maka tunggulah terjadinya kiamat». Orang itu bertanya: «Bagaimana hilangnya amanat itu?» Nabi shallallahu ‹alaihi wasallam menjawab: «Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka akan tunggulah terjadinya kiamat».

Sebelum membahas kandungan kedua hadis di atas, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian demokrasi dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” dan “kratos”. Demos berarti rakyat, sedangkan kratos berarti pemerintahan. Jadi demokrasi berarti suatu bentuk pemerintahan yang mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut soal-soal kenegaraan dan kepentingan bersama. Dengan pengakuan terhadap hak-hak rakyat ini, pemerintahan demokrasi dapat disebut “governance from the people, by the people, for the people. Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat artinya rakyatlah yang sesungguhnya berdaulat atau berkuasa, karena pada dasarnya semua manusia memiliki kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama.

Padangan lain mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu sistem politik dan sosial yang membangun hubungan antar individu, masyarakat dan negara, serta keikutsertaan mereka secara bebas dalam membuat undang-undang atau hukum yang mengatur kehidupan umum yang mengacu kepada prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kekuasaan dan sumber hukum. Dengan demikian secara istilah dapat dikatakan bahwa demokrasi pada hakekatnya adalah suatu bentuk pemerintahan yang menganut sistem kedaulatan rakyat.

Sebagaimana telah disinggung dalam renungan pengantar, bahwa dalam Islam telah dikenal intistusi atau lembaga yang disebut syura atau musyawarah yang diambil dari kata syawara yang artinya meminta pendapat dan mencari kebenaran. Adapun secara terminologi atau istilah, syura atau musyawarah adalah memunculkan pendapatpendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai kepada kesimpulan yang paling tepat.

Sesungguhnya apa yang menjadi prinsip syura adalah bermusyawarah untuk mencapai mufakat (kesepakatan) pada suatu kebenaran. Syura tidak mungkin dilakukan untuk membuat kesepakatan yang menyalahi ketentuan dalam agama. Dalam Islam tidak dimungkinkan orang-orang bermusyawarah untuk menetapkan apakah perkawinan sesama jenis akan dilegalkan atau disahkan, karena hal itu sudah menjadi hukum yang pasti dari al-Qur’an bahwa pernikahan sesama jenis adalah haram. Inilah yang membedakan antara syura dalam Islam dengan demokrasi. Dalam demokrasi yang dijalankan oleh negara-negara sekuler, hukum agama tidak dipertimbangkan. Sehingga dengan alasan demokrasi mereka dapat saja menyepakati disahkannya undang-undang yang melegalkan atau menghalalkan perjudian, pelacuran, penjualan minuman keras, homoseksual, lesbian, hidup bersama tanpa pernikahan, dan lain sebagainya.

Karena itulah, beberapa ulama dan cendekiawan mengusulkan istilah yang lebih tepat untuk diterapkan dalam masyarakat beragama, yaitu istilah Theo Democracy atau demokrasi berketuhanan. Dengan demokrasi berketuhanan ini, maka umat Islam tidak akan membuat kesepakatan yang melanggar ajaran Islam.

Dalam sejarah awal Islam, Nabi Muhammad saw telah menjalankan syura dalam menetapkan berbagai urusan. Misalnya dalam menangani musuh-musuh Islam yang dikalahkan dan menjadi tawanan dalam perang Badar. Saat itu Nabi bermusyawarah dengan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Abu Bakar mengusulkan agar tawanan itu dikembalikan kepada keluarga mereka dengan syarat membayar tebusan. Sedangkan Umar mengusulkan agar mereka dihukum mati agar di kemudian hari mereka tidak akan lagi menghina, memusuhi, dan menyerang Islam dan kaum Muslimin. Dan akhirnya Nabi mengikuti pendapat Abu Bakar. Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabatnya mengenai apa yang harus dilakukannya terhadap Aisyah, istrinya yang telah difitnah dan dituduh telah berbuat maksiat. Akan tetapi kemudian turunlah ayat yang membebaskan Aisyah dari fitnah dan tuduhan palsu tersebut. Nabi juga bermusyawarah dalam menetapkan posisi pasukan perangnya pada saat perang Uhud. Kemudian Nabi mengikuti pendapat mayoritas ketika itu, dengan menempatkan pasukan pada posisi yang mereka pandang tepat. Walaupun kemudian ternyata pilihan itu salah sehingga pasukan Muslim dikalahkan oleh pasukan kafir Quraisy.

Penerapan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari mudah dilakukan. Misalnya dalam membuat peraturan, atau undang-undang yang akan diberlakukan kepada seluruh warga. Hal itu dapat dilakukan melalui musyawarah para tokoh yang mewakili seluruh warga untuk memutuskan peraturan-peraturan apa yang akan ditetapkan dan diberlakukan. Itulah yang disebut sebagai demokrasi perwakilan. Dalam memilih pemimpin, seperti bupati, walikota, gubernur, dan presiden, juga pernah dilakukan secara musyawarah oleh wakil-wakil rakyat yang ada di DPRD dan DPR RI. Akan tetapi berdasarkan undang-undang yang berlaku sekarang ini, pemilihan bupati, walikota, gubernur dan presiden dilakukan melalui pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh warga yang telah memenuhi persyaratan.

Pembahasan Hadis

Pembahasan demokrasi pada bab ini, akan mengulas dua hadis yang juga terkait dengan kepemimpinan. Dalam hadis pertama disebutkan bahwa pemimpin yang paling baik adalah yang mencintai dan dicintai warganya. Pemimpin yang demikian adalah pemimpin yang menyadari hak dan tanggung jawabnya. Dia menyadari bahwa rakyat telah memilihnya sebagai pemimpin, karena itu dia menjalankan kewajibannya terhadap rakyat. Dia tidak hanya berpikir bagaimana menarik pajak dari rakyat, tetapi juga memanfaatkan pajak itu sebaik-baiknya untuk pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dia akan membangun infrastruktur yang dibutuhkan seperti jalan raya, jembatan, pasar, rumah sakit, gedung sekolah dsb. Pemimpin yang baik tidak hanya memikirkan bagaimana meningkatkan pendapatan daerah atau pendapatan negara dari Badan Usaha yang dimilikinya seperti Bank, Sarana Transportasi, Listrik, pertambangan dsb. Akan tetapi juga memikirkan bagaimana menyalurkan pendapatan digunakan sebaik-baiknya untuk kemajuan bangsa.

Pemimpin yang demikian tidak hanya dicintai oleh rakyat, tetapi juga akan didoakan oleh mereka semoga berhasil menjalankan tugas dan sukses memimpin warganya. Sebaliknya pemimpin yang baik itu pun mendoakan rakyatnya agar dapat hidup sejahtera dibawah kepemimpinannya.

Sedangkan pemimpin yang buruk adalah pemimpin yang membenci dan dibenci oleh rakyatnya sendiri, pemimpin yang mengutuk dan dikutuk oleh rakyatnya. Hal itu mungkin saja terjadi apabila pemimpin lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan keluarganya dari pada kepentingan rakyatnya. Pendapatan daerah atau negara yang diperoleh melalui pajak dan badan usaha tidak digunakan sebagaimana mestinya, bahkan dimanipulasi dan dikorupsi.

Menghadapi pemimpin yang berlaku jahat itu, para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw apakah boleh memerangi mereka. Rasulullah saw. menjawab “Tidak boleh, selama pemimpin itu masih menjalankan shalat bersama kalian”. Bahkan kemudian Rasulullah menambahkan: “siapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian pemimpin itu bermaksiat kepada Allah, maka dia boleh membenci perbuatannya, tetapi harus tetap taat kepadanya”. Maksudnya adalah dalam menghadapi pemimpin yang jahat, tidak kompeten, dan bermaksiat, tidak perlu memerangi dan memberontak untuk mencopot jabatannya. Karena hal itu akan membawa kepada keadaan yang lebih buruk apabila pemimpin ini beserta para pendukungnya melakukan tindakan yang lebih buruk akibatnya kepada warga. Adapun jabatannya sebagai pemimpin pada akhirnya akan berhenti.

Dalam hadis lain Rasulullah saw menganjurkan umatnya yang menghadapi pemimpin yang demikian untuk tetap menjalankan kewajiban mereka dan berdoa kepada Allah untuk mendapatkan hak-hak mereka yang tidak diberikan oleh pemimpin.

Dari Ibnu Mas›ud dari Nabi saw, beliau bersabda: «Sungguh akan terjadi sifat-sifat egoisme yang kalian ingkari». Mereka bertanya; «Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan untuk kami (bila zaman itu kami alami)? ‹. Beliau menjawab: «Kalian tunaikan yang menjadi kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah apa yang menjadi hak kalian». (HR Bukhari)

Jadi faktor ketidaksukaan kepada pemimpin apapun penyebabnya, tidak bisa menjadi alasan bagi rakyat untuk membangkan dari kewajiban-kewajiban mereka kepada negara seperti membayar pajak, mentaati aturan berlalu lintas, mematuhi undang-undang dsb. karena semua itu sudah dibuat secara demokratis melalui musyawarah.

Kehancuran lokal itu tidak mesti berarti kehancuran secara fisik, akan tetapi bisa juga dipahami sebagai kekacauan sosial dan ketidakteraturan organisasi masyarakat. Hal seperti itu dapat terjadi apabila urusan yang menyangkut orang banyak diserahkan kepada orang yang tidak tepat, termasuk dalam hal menyerahkan kepemimpinan. Jika urusan kepemimpinan diserahkan kepada orang yang tidak tepat maka akan timbul kehancuran dalam pengertian kekacauan sosial dan ketidakteraturan organisasi masyarakat.

Sumber: Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas XII

 

Share:

AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR

Hadis Riwayat Imam Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri RA

Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menyampaikan hadis kepada kami, Waki’ telah menyampaikan hadis kepada kami, dari Sufyan. Tahwil (pindah jalur sanad). Muhammad bin al-Musanna telah menyampaikan hadis kepada kami. Muhammad bin Ja’far telah menyampaikan hadis kepada kami, Syu’bah telah menyampaikan kepada kami, keduanya dari Qais bin Muslim, dari Tariq bin Syihab. (dan ini hadis lafaz Abu Bakar bin Abi Syaibah), berkata: orang yang pertama memulai khutbah di Hari Id sebelum shalat adalah Marwan, lalu berdiri seorang laki-laki dan berkata: “Shalat (Id, dulu) sebelum khutbah”. Lalu periwayat hadis berkata: “Sungguh sudah ditinggalkan apa yang sejak dulu dilakukan (shalat Id sebelum khutbah). Kemudian Abu Sa’id (al Khudri) berkata: “Adapun hal ini (mencegah sesuatu yang mungkar) sudah ditentukan hukumnya seperti yang pernah saya dengar dari Rasulullah SAW. bersabda: “Siapa saja di antara kalian melihat suatu kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya (kekuasaannya). Jika tidak mampu, hendaklah dengan dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim: 186).

Hadis Riwayat Ibnu Majah dari Qais bin Hazim RA.

Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menyampaikan hadis kepada kami, ‘Abdullah bin Numair dan Abu Usamah telah menyampaikan hadis kepada kami, dari Isma’il bin Abi Khalid, dari Qais bin Abi Hazim berkata, Abu Bakar (al-Siddiq) berdiri (untuk berpidato sebagai Khalifah) lalu memuji Allah SWT. dan menyanjung-Nya, kemudian berpidato: “Wahai manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat ini, (artinya): “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian. Orang yang tersesat tidak akan membawa bahaya atas kalian, jika kalian berpegang teguh pada petunjuk”, dan kami telah telah mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Sungguh manusia itu jika melihat kemungkaran dan tidak mengubahnya, maka hampir-hampir Allah akan meratakan hukuman-Nya kepada mereka”. (HR. Ibnu Majah: 4005)

Hadis Riwayat Imam Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri

Hadis di atas menjelaskan tentang salah satu prinsip dalam Islam yaitu perjuangan amar ma’ruf dan nahi munkar. Amar makruf adalah kegiatan menyuruh, mendorong atau memerintahkan makruf/kebaikan yang sering dipasangkan dengan kegiatan nahi mungkar, yakni mencegah atau melarang terjadinya kemungkaran/ketidakbaikan. Makruf adalah semua yang dinilai baik oleh agama dan akal sehat. Sebaliknya, mungkar adalah semua yang buruk dalam penilaian agama dan akal sehat. Agama didasarkan pada Al-Quran dan Hadis Nabi yang maqbul (dengan status sahih atau hasan). Sedangkan akal sehat adalah akal yang berada dalam bimbingan agama, akal murni, al-‘aqlu al-khalis yang tidak tercampur oleh kecenderungan hawa nafsu.

Amar makruf dapat berupa gerakan pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, dan politik ke arah kondisi yang lebih baik. Kampanye kebersihan desa/kota adalah contoh amar makruf yang nyata. Begitu pula kampanye penanaman pohon kembali untuk penghijauan dan pemeliharaan lingkungan dan kampanye antipenebangan hutan liar merupakan tindakan amar makruf nahi mungkar. Kampanye antikorupsi dan antinarkoba merupakan contoh dari nahi mungkar. Jika seorang pelajar membangun persaudaraan pelajar dan menolak tindakan permusuhan dan perkelahian pelajar dapat diketgorikan sebagai amar makruf dan nahi mungkar. Amar makruf dan nahi mungkar adalah pasangan. Ketika menjalankan amar makruf, tentu juga sekaligus bernahi mungkar. Begitu sebaliknya, bernahi mungkar, juga sekaligus beramar makruf, seperti membangun masjid adalah mengajak beriman dan menolak tindakan syirik/ kufur. Membangun sekolah adalah mengajak mengkaji dan mengembangkan ilmu dan menolak kebodohan. Memberdayakan kaum fakir miskin adalah juga memberantas pengangguran dan kemiskinan.

Kaum mukminin yang menjadi mukhatab (pihak yang diajak berbicara) dalam hadis di atas diperintahkan untuk mencegah terjadinya kemungkaran. Kemungkaran harus disikapi dengan perubahan (tagyir, proses terus-menerus untuk mengubah) atau advokasi yang disertai dengan tekad kuat memperbaiki (islah) keadaan ke arah yang lebih baik. Selain hadis di atas, konsep perubahan (tagyir) atas keadaan dari yang tidak baik menuju yang lebih baik ini juga didorong oleh Alquran, antara lain: Surat al-Ra’d, 13:11: Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada jiwa (diri) mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Allah.

Ketika menerjemahkan ayat ini, tim penerjemah Al-Quran Kementerian Agama RI, memberikan penjelasan bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan mereka (suatu kaum), selama mereka tidak mengubah hal-hal yang menjadi penyebab kemunduran mereka. (Mushaf terjemah Al-Quran: 1412, 370).

Dalam Al-Quran, penyebutan amar makruf nahi mungkar senantiasa dalam konteks iman atau perwujudan dari iman, antara lain: QS. 3: 104, 110, 114; QS. 7:157; QS. 10: 67, 71, 112; QS. 22: 41; QS. 31:17. Allah SWT. dalam QS. 10:71 menegaskan bahwa orangorang mikmin, laki-laki dan perempuan, satu sama lain adalah penolong bagi lainnya, mereka menyuruh pada kebaikan/makruf dan mencegah dari kemungkaran. Sementara sebaliknya, amar mungkar (menyuruh yang buruk) dan nahi makruf (melarang yang baik) dilekatkan pada sifat kaum munafik, seperti disebutkan dalam QS. 10: 67, yang artinya: “orang-orang munafik, laki-laki dan perempuan, sebagian merupakan bagian dari lainnya, mereka menyuruh yang mungkar dan mencegah yang makruf...” .

Pencegahan kemungkaran tersebut, pertama dapat dilakukan dengan tindakan riil dengan memperbaiki sistem kekuasaan (yad) sehingga bersih atau bebas dari segala bentuk kemungkaran. Bila tidak ada kemampuan dengan cara riil di atas atau tidak memiliki kekuasaan (dalam arti luas) untuk menciptakan kondisi yang lebih baik, maka mengambil jalur alternatif kedua dengan menguatkan strategi lisan. Strategi ini diwujudkan dengan seruan, pendidikan publik, dan penyadaran kepada semua pihak dengan berbagai media untuk senantiasa berani menolak kemungkaran.

Dan bila kedua strategi tersebut, tidak mampu juga, maka ditempuhlah strategi pencegahan dan pertahanan dari dalam dengan hati nurani. Pencegahan kemungkaran dengan hati (qalb) atau sikap batin untuk senantiasa menolak segala tindakan kemungkaran. Sikap menolak dalam hati ini adalah benteng terakhir di level individu untuk melawan dan agar terhindar dari kemungkaran.

Menurut Kuntowijoyo, berdasarkan hadis di atas, perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik dapat dilakukan dengan strategi struktural, kultural, dan mobilitas sosial. Mengubah dengan “tangan” berarti perubahan struktural. Mengubah dengan “lidah” berarti perubahan kultural. Sedangkan mengubah dengan “hati” adalah perubahan sosial tanpa usaha tertentu. (Kuntowijoyo: 1997, 227). Artinya, melawan dalam hati dengan diam (secara fisik) tanpa gerakan-gerakan tertentu dengan tetap berdoa untuk tidak ikut serta menambah jumlah pelaku kemungkaran. Pendekatan ketiga ini lebih bersifat pasif, tidak aktif seperti dua pendekatan sebelumnya. Karenanya, langkah bersifat pasif ini disebut sebagai selemah-lemah iman (ad‘afu al-iman). Ia hanya menunggu waktu berjalan, sembari berjuang dalam hati dan risiko yang tidak seberat perjuangan struktural dan kultural. (Kuntowijoyo: 1997, 227).

Hadis Riwayat Ibnu Majah dari Qais bin Hazim RA.

Sedangkan pada hadis kedua dijelaskan bahwa manusia yang tidak melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi mungkar diancam oleh Nabi bahwa hampir saja Allah SWT. menimpakan siksa yang merata di dunia. Ini menunjukkan pentingnya doktrin amar makruf nahi mungkar bagi keberlangsungan umat manusia, baik di ranah keluarga, lingkungan sosial yang kecil, hingga lingkup negara dan peradaban dunia. Amar makruf nahi mungkar hukumnya fardhu kifayah, yakni kewajiban kolektif, ketika sudah ada pihak tetentu yang melakukannya, gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun jika satu pun tidak ada yang mencegah kemungkaran dan kemungkaran itu berkembang meluas di mana-mana, maka pada saatnya, hukuman (iqab) dari Allah akan diturunkan. Sebagai ilustrasi yang mudah, misalnya ada seorang yang iseng membuang oli bekas atau paku di jalan raya, namun tidak ada satupun orang yang mencegah dan menegurnya, maka dipastikan banyak pengguna jalan akan terjatuh dari kendaraan atau terpeleset karena licin atau karena pecah ban.

Dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan bahwa ada orang-orang yang kurang peduli lingkungan dengan membuang sampah di sungai setiap pagi atau sore. Semakin lama, semakin penuh sungai tersebut. Dampaknya ketika hujan deras, sungai meluap dan terjadilah banjir. Belum hilang dari ingatan bahwa di penghujung atau seperempat akhir tahun 2015, banyak hutan terbakar atau dibakar oleh pihak-pihak tertentu dan tidak ada yang menegur dan menangkap. Pengalihfungsian hutan multikultur menjadi hutan monokultur secara membabi buta. Pembakaran hutan menjadi modus untuk membuka lahan sawit yang baru secara instan. Dampaknya, banjir asap di mana-mana, banyak warga yang mengalami sakit pernapasan akut, banyak sekolah diliburkan, pabrik dan kantor diliburkan, penerbangan pesawat yang terganggu asap sehingga dibatalkan, dan seterusnya. Hal tersebut juga meluas hingga ke negara tetangga, Brunei, Singapura, dan Malaysia.

Tidak hanya di situ, ketika tiba musim penghujan, banjir terjadi di mana-mana dan itu merugikan semua sektor kehidupan, baik pertanian, kesehatan, pendidikan, perindustrian, transportasi, infrastruktur kota/daerah, kerugian negara dan rakyat umum. Anehnya, tidak ada pengadilan yang serius dan berkeadilan atas kejahatan pembakaran hutan yang menyebabkan bencana nasional dan regional tersebut. Tentu dampaknya ke depan, pelaku-pelaku pembakaran tidak akan jera, bahkan akan merajalela di kemudian hari dan dampaknya akan semakin parah lagi.

Di hadis yang lain, Rasulullah SAW. juga mengingatkan umatnya untuk lebih bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas amar makruf nahi mungkar. Rasulullah bersabda: Qutaibah telah menyampaikan hadis kepada kami, ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad telah menyampaikan hadis kepada kami, dari ‘Amr bin Abi ‘Amr dan ‘Abdullah al-Anshari, dari Khuzaifah dari al-Yaman, dari Nabi SAW. bersabda: “Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaklah kalian sungguh-sungguh menyuruh kemakrufan dan sungguh-sungguh mencegah kemungkaran atau hampir saja Allah sungguh-sungguh mengirimkan hukuman dari-Nya atas kalian lalu kalian berdoa kepada-Nya namun tidak dikabulkan bagi kalian.” Abu ‘Isa (al-Tirmizi) berkata: “Ini hadis hasan.” (HR. Tirmizi: 2169)

Hadis di atas lebih menekankan lagi dan menunjukkan keduanya, yakni amar makruf dan nahi mungkar, sebagai ajaran yang saling mengisi dan bekerja sama. Tugas amar makruf nahi mungkar dalam suatu negara, terutama dibebankan kepada para pemangku kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang masing-masing dibantu para petugasnya. Dalam hal-hal tertentu, pelaksanaannya dapat dibantu oleh warga masyarakat sesuai dengan kesanggupan dan kapasitasnya tanpa melanggar hukum. Menyuruh makruf seperti memprogramkan rakyat berilmu dan rakyat sehat harus disertai dengan pendirian sekolah dan rumah sakit/klinik dengan sejumlah perangkatperangkatnya yang memadai. Program pemberantasan pengangguran dan kemiskinan haruslah disertai dengan kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung program berhasil. Hal-hal yang dapat menghalangi suksesnya program, dapat ditekan sedemikian rupa.

Contoh lain, melarang membuang sampah di kali adalah dengan menyediakan tempat sampah berikut sistem manajemen sampah yang aman, sehat, dan efektif serta disiapkan juga sanksi bagi yang melanggar berupa denda yang menjerakan. Dengan denda yang sepadan, diharapkan tidak ada warga yang merusak kali, saluran air, lingkungan lainnya. Mencegah kemungkaran seperti melarang korupsi dengan memberikan penyuluhan antikorupsi kepada warga dan para pejabat negara serta dibarengi dengan menciptakan sistem hukum yang adil dan jujur dalam mengawal program pemberantasan korupsi. Hal ini sesuai dengan kaidah dalam Ushul fiqh, menyuruh sesuatu adalah juga menyuruh penyediaan sarananya (amrun bisy-syai’ amrun bi wasa’ilihi).

Dengan pelaksanaan amar makruf dan nahi mungkar yang komprehensif dan didukung oleh segenap kekuatan di masyarakat dan negara, akan tercipta kehidupan yang baik, adil, makmur dan sejahtera, bahagia dunia dan akhirat. Sebaliknya, pengabaian terhadap kedua doktrin ini akan berakibat rusaknya tata kehidupan masyarakat, baik ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang akan berakibat rusaknya kehidupan manusia. Betapa Islam sudah memberikan dasar-dasar yang baik dan lengkap bagi pengembangan peradaban menuju lebih baik.

 

Sumber: Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas XII

 

 

Share:

KEUTAMAAN BERDAKWAH

Hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a.

Yahya bin Ayyub, Qutaibah bin Sa’id, dan Ibnu Hujr telah menyampaikan hadis kepada kami. Mereka berkata bahwa Isma’il, yakni Ibnu Ja’far, mendapat hadis dari al-‘Ala’, dari ayahnya, dari Abi Hurairah RA. bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: “Siapa saja yang mengajak kepada petunjuk (kebenaran), maka baginya pahala (kebaikan) seperti pahala orang yang mengikutinya dan itu tidak mengurangi sedikit pun pahala mereka yang mengikutinya. Dan siapa saja yang mengajak kepada kesesatan (keburukan), baginya menanggung dosanya seperti dosa orang yang mengikutinya. Itu tidak mengurangi sedikitpun dari dosa mereka yang mengikutinya”. (HR. Muslim: no. 6980)

Hadis di atas mengajarkan pentingnya berdakwah, yakni mengajak, menyeru, mendorong menuju kebaikan dan keterbaikan. Secara bahasa, lafaz dakwah adalah isim masdar dari da‘a, yad‘u menjadi da‘watan, du‘a’an yang berarti mengajak, menyeru, memanggil, dan juga berarti berdoa dan memohon. Dalam hubungan dari atas ke bawah atau dari yang sesama atau dari dekat kepada yang jauh, kata tersebut diartikan mengajak, menyeru, mengundang, dan memanggil, seperti pemimpin kepada anggota atau sesama anggota kepada anggota yang lain. Sedangkan dalam hubungan dari bawah ke atas, lafaz tersebut diartikan berdoa, seperti manusia berdoa kepada Allah SWT. atau diartikan memohon seperti dari anggota memohon kepada pemimpin.

Adapun secara istilah, dakwah diartikan sebagai kegiatan mengajak, menyeru, dan memanggil orang lain untuk melakukan yang baik dan yang terbaik (ajaran Allah) serta meninggalkan yang tidak baik atau yang buruk (ajaran setan). Di dalam al-Qur’an, Surat Ali Imran: 104 digunakan istilah yad‘una ilal-khair, mengajak kepada yang terbaik, agama Islam. Di ayat lain, QS. 10: 25: wallahu yad‘u ila daris-salam, (dan Allah mengajak/memanggil menuju rumah keselamatan), yakni Islam yang mengantarkan pada keselamatn duni dan akhirat. Juga QS. 2: 221: wallahu yad‘u ilal-jannati walmagfirati bi iznihi, (dan Allah mengajak/memanggil ke surga dan ampunan dengan izinNya). Pendek kata, dakwah adalah kegiatan mengajak dan mengubah suatu keadaan dari yang kurang baik menuju yang baik dan yang terbaik, yakni al-khair, daris-salam, al-jannah wal-magfirah dalam pandangan Islam.

Di dalam hadis tersebut ditegaskan bahwa tujuan dakwah adalah menuju huda, petunjuk atau sesuatu yang tunjukkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai jalan meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Kata huda dalam hadis tersebut dinyatakan dalam bentuk isim nakirah, artinya kata benda yang bersifat umum, yakni semua petunjuk kebaikan dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya. Dapat dipahami bahwa petunjuk itu adalah Al-Quran sebagai huda dan Islam sebagai sirat mustaqim yang selalu diminta oleh semua hamba yang taat kepada Allah dalam setiap rakaat shalat, ihdina alsirat al-mustaqim.

Di hadis tersebut, huda atau petunjuk hidup dilawankan dengan dhalalah, kesesatan dalam hidup. Kata dhalalah dalam hadis tersebut juga disebutkan dalam bentuk nakirah, yang sifatnya umum. Artinya, jika manusia tidak mau mengajak kepada petunjuk, kebenaran, maka sesungguhnya ia akan membiarkan kesesatan terjadi atau bahkan mengajak kepada kesesatan.

Jika proses mengajak kebaikan (dalam berbagai modelnya) sudah terlaksana dengan baik, pasti akan berpengaruh posistif bagi kebaikan suatu negeri atau wilayah. Kebaikan itu akan memantul ke sekelilingnya, seiring keburukan akan memantul ke sekelilingnya pula. Di sinilah perlunya berlomba dalam segala kebaikan, fastabiqul khairat, agar keburukan tertutup atau terhapus oleh kebaikan-kebaikan yang ditradisikan.

Semakin banyak orang yang mengajak kebaikan, semakin besar pengaruh kebaikan dan pengikutnya, semakin berkuranglah pengaruh keburukan dan pengikutnya. Ketika kebaikan merata dan meluas, maka semua orang akan memperoleh manfaat dari kebaikan itu. Sebaliknya ketika keburukan meluas dan merata, maka semua orang akan merasakan dampak buruk dari keburukan tersebut, baik orang buruk maupun orang baiknya. Ini yang dimaksud bahwa orang yang mengajak kebaikan akan diberi pahala (kebaikan) dan ditambahkan pahala dari semua yang mengikuti kebaikan tersebut. Demikian pula sebaliknya. Karenanya, kontestasi dakwah kebaikan (huda) berhadapan dengan dakwah keburukan (dhalalah) tidak bisa dihindarkan dan sebagai hamba yang taat, telah diajak oleh Nabi SAW. menjadi penyeru kebaikan dan penolak keburukan (amiruna bil-ma’ruf wa nahuna ‘anil-munkar).

Karena dampak positif yang besar dari kegiatan dakwah/mengajak kebaikan, maka Nabi Muhammad SAW. menjelaskan pahala yang besar bagi pelaku dakwah (da’i/da’iyah) ditambah dengan pahala orang-orang yang melakukan kebaikan yang diajarkannya. Sebaliknya, karena dampak buruknya, orang-orang yang mengajak kepada keburukan atau kesesatan akan mendapatkan dosa/keburukan sendiri ditambah dosa/keburukan mereka yang mengikuti ajakan keburukan tersebut.

Dari sini dapat dipahami bahwa kebaikan yang diajarkan dengan cara yang baik dan disiarkan dengan cara yang baik pula akan semakin berdaya guna dan dampaknya lebih maksimal untuk kebaikan. Dengan demikian kebaikan itu diperlukan publikasi agar dijadikan inpirasi, motivasi dan kemudian diikuti orang lain secara maksimal. Sebaliknya keburukan, sebisa mungkin ditutup atau disensor agar tidak dijadikan inpirasi kejahatan dan kemudian diikuti orang lain dengan kejahatan yang mungkin lebih besar dari contoh yang ada, contoh pembunuhan atau tindakan kriminal lainnya yang diberitakan berlebihan dan diulang-ulang akan menjadikan orang lain tergerak melakukan hal yang sama atau mungkin bahkan lebih parah.

Sumber: Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas XII

 

Share:

ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Umat Islam di masa-masa awal sejarahnya sangat memperhatikan ilmu pengerahuan. Hal itu menunjukkan respon yang positif umat Islam ketika itu terhadap perintah untuk mencari ilmu pengetahuan yang bukan hanya terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an, akan tetapi juga dipertegas perintah mencari ilmu itu dalam banyak hadis Nabi Muhammad saw yang memerintahkan untuk terus, tidak berhenti mencari ilmu sejak masih kecil hingga akhir hayat. Bahkan beliau juga memerintahkan untuk mencari ilmu itu dimanapun, sehingga beliau menyebutkan walaupun sampai ke negeri Cina.

Lalu kenapa sekarang umat Islam tertinggal dari bangsa-bangsa Eropa dan Amerika dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Menurut para cendekiawan hal itu bermula ketika perhatian ulama beralih kepada asceticism atau pandangan hidup yang lebih cenderung meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi dan beralih kepada orientasi hidup keakhiratan (ukhrawy). Pandangan yang seperti itu mengakibatkan pula ditinggalkannya aktifitas mendalami ilmu-ilmu natural maupun ilmu-ilmu social yang dianggap keduniaan.

Sekarang dunia Islam telah lama menyadari ketertinggalan dan kekalahan umat Islam dibanding umat-umat lain. Kesadaran tentang pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan juga sudah muncul dalam hati umat Islam. Untuk memperkuat dorongan kepada kaum Muslimin agar mau menggali ilmu pengetahuan, kita akan mempelajari hadis-hadis Rasulullah saw terkait hal ini.

Hadits riwayat Ibnu Majah

طَلَبُ اْلعِلْمْ فَرِثْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ       

“mencari ilmu itu wajib atas setiap orang Muslim” (diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

Hadis yang diriwayatkan pertama kali oleh Anas bin Malik salah seorang sahabat terdekat Rasulullah ini dapat dijumpai di banyak kitab Hadis, antara lain di Sunan Ibn Majah salah satu diantara enam kitab Hadis (al-Kutub al-Sittah) yang paling mu’tabar (paling diakui dan dijadikan referensi). Selain Anas bin Malik, sahabat Rasulullah yang juga meriwayatkan hadis ini adalah Abu Said al-Khudri sebagaimana disebutkan dalam kitab Musnad al-Syihab karya Muhammad bin Salamah bin Ja’far. Karena banyaknya kitab yang mencantumkan hadis ini, maka hadis inipun sangat sering dikutip dalam karya-karya ilmiah, buku-buku maupun tulisan popular serta seminar dan ceramahceramah.

Namun demikian Ibn Majah sendiri menganggap hadis ini termasuk hadis dla’if (lemah, tidak sahih). Kelemahan hadis ini terletak pada seorang rawinya yang ada pada rangkaian sanad yaitu Hafash bin Sulaiman yang dinilai tidak tsiqah oleh Yahya bin Ma’in dan dikatakan matruk oleh Ahmad bin Hanbal dan Bukhary. Jadi penilaian bahwa hadis ini lemah adalah didasarkan pada kelemahan diri seorang perawinya.

Meskipun hadis di atas dla’if dari sisi perawi, akan tetapi kandungan matn-nya sejalan dengan ajaran al-Qur’an yang memerintahkan kaum Muslimin menggali pengetahuan, antara lain surat al-Taubah ayat 122, dan surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya, hadis ini mengandung ajaran untuk mengamalkan perbuatan-perbuatan yang baik yang disebut fadla’ilul a’mal. Hadis yang mengandung ajaran fadla’ilul a’mal ini, meskipun kualitasnya dla’if, menurut para ulama hadis boleh dijadikan dasar perbuatan. Pendapat serupa ini antara lain dikemukakan oleh Ahmad bin Hanbal.

Perintah mencari ilmu ini, betul-betul diperhatikan oleh kaum Muslimin sehingga sejak awal perkembangan peradaban Islam aktifitas belajar dan mengajar sangat intensif dilakukan. Beberapa sahabat dikirim oleh Rasulullah ke berbagai tepat seperti Yaman, Syam, dan Mesir untuk memberikan pengajaran. Setelah itu, di masa tabiin banyak pencari ilmu yang melakukan rihlah ilmiyah yakni perjalanan ke berbagai kota dan negeri untuk mencari ilmu.

Rihlah ilmiyah dilakukan karena kebanyakan pelajar Islam tidak puas dengan pengetahuan yang diperoleh dari belajar kepada sedikit guru. Karena itu mereka tidak segan-segan melakukan perjalanan jauh untuk belajar pada guru di kota-kota yang mereka tuju. Dengan aktifitas rihlah ilmiyah ini, pendidikan Islam di masa klasiktidak hanya dibatasi dinding ruang belajar, akan tetapi Pendidikan Islam memberi kebebasan kepada murid-murid untuk belajar kepada guru-guru yang mereka kehendaki. Selain murid-murid, guru-guru juga melakukan perjalanan dan berpindah dari satu kota ke kota lain untuk mengajar sekaligus belajar. Dengan demikian aktifitas rihlah ilmiyah mendorong lahirnya learning society (masyarakat belajar).

Fungsi Ilmu di Masyarakat

Ilmu mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan ilmu manusia menciptakan teknologi, membangun peradaban dan kebudayaan, serta membentuk lembaga-lembaga atau institusi social. Dengan ilmu, manusia mengatur tata kehidupan dan pola interaksi sesama manusia. Hadis berikut menjelaskan sebagian fungsi ilmu.

Dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah saw bersabda “Sesungguhnya diantara tanda-tanda hari kiamat adalah hilangnya ilmu, merebaknya kebodohan, menyebarnya perzinaan, dan semakin banyak orang minum khamar …. (HR. Turmudzi)

Hadis yang dinilai shahih oleh Imam al-Turmudzi ini menjelaskan bahwa kiamat, kehancuran alam, tidak akan terjadi selama ilmu masih menjadi penduan kehidupan manusia. Sebaliknya, hilangnya ilmu merupakan salah satu syarat akan datangnya hari kehancuran tersebut. Sebab hilangnya ilmu itu akan merembet pada kebodohan manusia, dan kebodohan manusia itu akan menyebabkan mereka melakukan pelanggaran dan pengrusakan. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhary dikatakan bahwa hilangnya ilmu akan menyebabkan terjadinya banyak pembunuhan. Semua tindakan negative itu akan mengantarkan pada bencana yang lebih besar yaitu kehancuran alam semesta, atau yang disebut kiamat.

Hadis lain yang menggambarkan fungsi ilmu dalam kehidupan adalah:

Hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash, dia berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan cara merampasnya dari dada manusia, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama. Sehingga bila tidak ada lagi orang alim, manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Jika mereka ditanya mereka akan member fatwa tanpa dasar ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan”. (diriwayatkan oleh al-Bukhary)

Jadi menurut hadis ini, ilmu dapat menyelamatkan manusia dari kesesatan, dan menghindarkan komunitas manusia dari kepemimpinan orang-orang yang bodoh yang akan menjerumuskan mereka ke jalan yang salah.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa fungsi ilmu secara umum adalah menghindarkan manusia dari kebodohan, pelanggaran dan kesalahan-kesalahan yang lain. Fungsi ilmu tentu tidak hanya secara masal, akan tetapi fungsi ilmu dapat dilihat secara individual, yaitu mengalirkan pahala kepada orang yang mengajarkan ilmu yang bermanfaat bagi orang lain. Hal itu disebutkan dalam hadis:

Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda “Jika anak Adam (manusia) mati, maka terputuslah (pahala) amalnya, kecuali dari tiga hal yaitu shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakannya. (diriwayatkan oleh Muslim, Turmudzi, Nasai dll)

Jadi salah satu fungsi ilmu adalah mengalirkan pahala kepada orang yang mengajarkan ilmu tersebut, dan dimanfaatkan oleh orang yang belajar darinya.

Hadits riwayat Abu Darda

“Dari Abu Ad Darda lalu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mengiringinya berjalan menuju surga. Sungguh, para malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu sungguh akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.

Berdasarkan hadis di atas, setidaknya ada lima keistimewaan orang berilmu yaitu:

1.      Diiringi perjalannya oleh Allah menuju surga

Surga adalah kehidupan yang diidentikkan dengan keindahan, kesenangan, kenikmatan, kedamaian, kesejahteraan, kenyamanan dan sebagainya. Orang yang sedang berusaha dengan sungguh-sungguh mencari ilmu dan bersabar serta tabah menghadapi segala kesulitan yang ada, akan dibantu oleh Allah sehingga dia berhasil menikmati buah ilmu itu di dunia maupun akhirat. Bangsa-bangsa yang makmur dan sejahtera adalah bangsa-bangsa yang hidup dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan.

2.      Diridhoi oleh para malaikat

Malaikat selalu memberikan ilham, inspirasi dan bimbingan ke arah yang positif kepada manusia, sebaliknya syaitan selalu membisikan hal-hal jahat dan negative. Dengan ridho dari malaikat, pencari ilmu yang sungguh-sungguh akan cenderung kepada hal-hal yang positif.

3.      Didoakan oleh makhluk-makhluk yang ada di udara maupun di darat serta yang ada di dalam air.

Sering muncul berita di media massa bahwa sekelompok ilmuwan mengemukakan ide untuk melindungi jenis-jenis binatang dan berbagai macam tanaman dari kepunahan. Maka lahirlah undang-undang dan peraturan-peraturan untuk konservasi alam. Ilmuwan pula yang terus mengingatkan bahaya pencemaran udara terhadap lapisan ozon yang pada jangka panjang akan berakibat buruk pada kehidupan bumi. Begitu juga para ilmuwan yang menyelamatkan ikan-ikan besar yang tersesat sehingga terdampar dan sekarat di pantai, lalu para ilmuwan itulah yang berinisiatif membawa mereka kembali ke tengah lautan. Pemikiran untuk menyelamatkan binatang tumbuhan, atau air dan udara tidak lahir dari pengusaha, pedagang atau pemburu yang hanya memikirkan bagaimana mengambil keuntungan dan kesenangan dari semua itu.

4.      Dinilai lebih utama dibanding ahli ibadah

Argumen yang paling rasional untuk pernyataan ini adalah bahwa manfaat dari ilmu yang dimiliki seorang alim dirasakan bukan hanya oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh orang banyak. Sedangkan manfaat ibadah seseorang lebih dirasakan oleh dirinya sendiri, meskipun dapat pula member inspirasi pada orang lain.

5.      Dinyatakan sebagai pewaris para nabi

Keberlangsungan ajaran para nabi dijaga oleh para ulama yang secara turun temurun dari generasi ke generasi mengajarkan konsep-konsep akidah, tata cara beribadah, prinsip-prinsip akhlak, dan aturan-aturan bermuamalah yang telah disampaikan para nabi. Karena itulah mereka disebut pewaris nabi. Dan hal itu merupakan kehormatan yang besar.

Orang yang berilmu laksana tanah yang subur yang menumbuhkan berbagai tanaman yang berguna bagi manusia dan makhluk lainnya, dan bagaikan kolam penampung air yang sangat berguna untuk mencukupi kebutuhan minum manusia, binatang ternak dan untuk menyirami tanaman. Singkat kata orang yang berilmu manfaatnya sungguh sangat luar biasa, ia hidup tidak hanya untuk dirinya, tapi juga berguna bagi orang lain, masyarakat dan lingkungannya.

Karena pentingnya ilmu itu, firman Allah yang pertama kali diturunkan kepada utusan-Nya adalah perintah membaca. Membaca adalah salah satu metode untuk memperoleh dan mempelajari ilmu. Membaca tidak terbatas pada tulisan yang ada di dalam buku, akan tetapi membaca juga mengamati fenomena sosial dan gejala-gejala alam. Sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat al-Qur’an, misalnya surat al-Baqarah ayat 164: “sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pada pergantian malam dan siang, pada kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, dan pada apa yang diturunkan oleh Allah dari langit berupa air (hujan) lalu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di bumi itu bermacammacam binatang, dan pada perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, semua itu sungguh merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berpikir”. Oleh karena itu pada surat Yunus ayat 101 Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk melakukan pengamatan (observasi) terhadap gejala-gejala alam tersebut.

Ayat-ayat tersebut memberikan pemahaman kepada kita untuk senantiasa belajar, dan menganalisa segala persoalan yang ada di sekitar kita. Dan sekaligus membuka mata kita bahwa belajar itu tidak hanya dengan cara bergelut dengan buku dan di bangku sekolah, akan tetapi juga dapat dilakukan dengan cara menganalisa fenomenafenomena (gejala-gejala) yang ada di lingkungan kita.

Perbandingan antara Ilmu dan Harta

Ketika Nabi Sulaeman a.s. ditawari Allah swt tiga hal; harta, kekuasaan, dan ilmu beliau memilih ilmu pengetahuan. Pilihan itu mungkin tidak populis kalau kita menggunakan ukuran manusia sekarang, karena merupakan pilihan yang merugikan. Realitas masyarakat sekarang ini kebanyakannya lebih mementingkan harta daripada ilmu pengetahuan. Mereka lebih memilih membeli sawah dan kebun yang luas, menyediakan modal untuk membeli ruko yang banyak, daripada memberikan modal kepada anak-anaknya untuk pendidikannya. Banyak yang tidak sekolah bukan karena tidak punya uang untuk membayar sekolahnya, tetapi karena orangtuanya lebih memilih untuk mewariskan harta dari pada ilmu. Tetapi pilihan Nabi Sulaeman adalah pilihan cerdas dan terbaik. Dengan ilmunya ia memperoleh kekuasaan dan limpahan harta yang tiada bandingannya baik sebelum maupun setelahnya.

Ali bin Abi Thalib r.a. juga pernah ditanya: “Wahai Ali, mana yang lebih utama; ilmu atau harta?” Ali menjawab, “Ilmu lebih utama dari pada harta. Ali kemudian memberikan sepuluh alasannya ;

1.      Ilmu warisan para Nabi, sedang harta adalah warisan Qarun dan Fir’aun.”

2.      Ilmu bisa merawat dirimu. Sedang harta, kamulah yang merawatnya.”  

3.  Orang yang memiliki harta cenderung mendapat banyak musuh. Sedang orang berilmu punya banyak teman.”

4. Harta ketika digunakan akan berkurang. Sedang ilmu semakin banyak digunakan semakin bertambah.”

5.   Orang berharta biasa diberi gelar si Bakhil. Sedang orang berilmu selalu diberi gelar-gelar yang mulia dan terhormat.”

6.    Harta benda harus dijaga dari pencuri. Sedang ilmu tidak perlu dijaga dari pencuri.”

7.   Di hari kiamat nanti orang berharta dihisab sebab hartanya. Sedang orang berilmu kelak di hari kiamat dapat syafa’at sebab ilmunya.”

8.      Seiring waktu berjalan, harta semakin lama kian habis dan rusak. Sedang ilmu, takkan bisa habis maupun rusak.”

9.      Harta bisa mengeraskan dan menggelapkan hati. Sedang ilmu menerangi hati.”

10. Orang berharta biasa dikatakan sombong sebab kekayaannya. Sedang orang berilmu biasa disebut orang tawadhu’, rendah hati, sebab ilmunya,

Ali bin Abi Thalib memang salah seorang cerdik pandai dari sahabat-sahabat Rasulullah saw. Beliau sangat memahami peranan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Dalam satu khutbahnya beliau berkata, “siapa yang menginginkan dunia maka hendaklah dengan ilmu, siapa yang menginginkan akhirat hendaklah dengan ilmu, dan siapa menginginkan keduanya hendaklah dengan ilmu”

Peradaban Besar Berdiri di atas Kegemilangan Ilmu Pengetahuan

Kebenaran al-Quran dan hadits adalah kebenaran pasti dan niscaya yang tidak bisa ditawar. Kebenaran itulah yang kemudian menjadi spirit ummat Islam untuk menggali ilmu pengetahuan. Mereka adalah ummat yang haus dan tamak dengan ilmu. Mereka menjadi ummat pembelajar. Penggalian ilmu pengetahuan menjadi tradisi ummat Islam, baik ilmu-ilmu keagamaan maupun ilmu profan, bahkan filsafat. Mereka rela menjual segala harta bendanya untuk mendanai rihlah (pengembaraannya) menuntut ilmu. Bahkan di antara ulama ada yang rela tidak menikah karena khusyuk belajar dan berkarya. Kebangkitan peradaban Islam akhirnya tidak bisa terbendung. Ia lahir dan mencuak menjadi peradaban baru yang meneguasai tiga benua; Asia, Afrika, dan sebagian benua Eropa. Ummat Islam telah menikmati kejayaannya pada saat Eropa masih berkutat dengan keterbelakangan dan kebodohannya.

Karya-karya ummat Islam diberbagai bidang ilmu pengetahuan tumbuh subur. Pada tahun 800M pabrik kertas pertama berhasil didirikan di Baghdad. Perpustakaan pun bermunculan di hampir seluruh negeri Arab (Islam) yang dulu dikenal sebagai bangsa nomad yang buta huruf dan cuma bisa mengangon kambing. Direktur observatorium Maragha, Nasiruddin At Tousi memiliki kumpulan buku sejumlah 400.000 buah. Di Kordoba (Spanyol) pada abad 10, Khalifah Al Hakim memiliki suatu perpustakaan yang berisi 400.000 buku, sedangkan 4 abad sesudahnya raja Perancis Charles yang bijaksana hanya memiliki koleksi 900 buku. Bahkan Khalifah Al Aziz di Mesir memiliki perpustakaan dengan 1.600.000 buku, di antaranya 16.000 buah tentang matematika dan 18.000 tentang filsafat.

Pada masa awal Islam dibangun badan-badan pendidikan dan penelitian yang terpadu. Observatorium pertama didirikan di Damaskus pada tahun 707 oleh Khalifah Abdul Malik dari Bani Umayah. Kemudian didirikan observatorium-observatorium berikutnya; Baitul Hikmah yang dibangun oleh al-Makmun di Baghdad dan Darul Hikmah yang dibangun oleh al-Hakim di Mesir. Selain itu ada observatorium Dinasti Hamadan yang dikelola oleh Ibn Sina dan observatorium Umar Khayyam.

Para ilmuwan Islam seperti Al Khawarizmi memperkenalkan “Angka Arab” (Arabic Numeral) untuk menggantikan sistem bilangan Romawi yang kaku. Bayangkan bagaimana ilmu Matematika atau Akunting bisa berkembang tanpa adanya sistem “Angka Arab” yang diperkenalkan oleh ummat Islam ke Eropa. Kita mungkin bisa menuliskan angka 3 dengan mudah memakai angka Romawi, yaitu “III,” tapi bagaimana dengan angka 879.094.234.453.340 ke dalam angka Romawi?

Selain itu Al Khawarizmi juga memperkenalkan ilmu Algorithma dan juga Aljabar (Algebra). Omar Khayam menciptakan teori tentang angka-angka “irrational” serta menulis suatu buku sistematik tentang Mu’adalah (equation). Di dalam ilmu kedokteran, ilmuwan Muslim juga mencapai kemajuan. Dalam bidang ini dunia mengenal Ibnu Sina (Avicenna) yang karyanya al-Qanun fi al-Thibbi diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard de Cremone (meninggal tahun 1187), yang sampai zaman Renaissance tetap jadi textbook di fakultas kedokteran Eropa. Ar Razi (Razes) adalah seorang jenius multi disiplin. Dia bukan hanya dokter, tapi juga ahli fisika, filosof, ahli theologi, dan ahli syair. Eropa juga mengenal Ibnu Rusyid (Averroes) yang ahli dalam filsafat. Maka tidaklah heran jika produser film Robin Hood the Prince of Thieves menyisipkan adegan keterkejutan Robin Hood dengan kecanggihan teknologi bangsa Moor.

Sayangnya kejayaan ummat Islam di abad pertengahan itu hanyalah masa lalu. Ummat Islam hanya bisa mengenang dan membaca sejarahnya. Hanya bisa berbangga dengan kejayaan pendahulunya. Tetapi belum mampu berbicara banyak dalam pentas dunia. Bahkan ketika ummat Islam mengabaikan perintah Allah yang saru ini (ilmu) ummat Islam terperosok dalam jurang keterbelakangan, dan tidak mampu bangkit dari ketertinggalannya.

Ummat Islam semakin jauh dari ajaran agamanya, semakin jauh dari al-Quran dan hadits Nabi, semakin jauh dari pengamalan para salaf al-saleh, mereka tidak memahami bahwa menuntut ilmu dan menjadi orang berilmu adalah perintah Allah dan perintah Nabi, sebagaimana halnya perintah shalat, sedekah dan yang lainnya.

Maka tidak ada alasan lagi bagi kita semuanya kecuali menggiatkan diri dengan belajar dan menuntut ilmu. Menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat pencinta ilmu dan pembelajar adalah agenda izzah dan proyek kesalehan besar yang harus ditunaikan. Karena kebangkitan ummat akan terwujud dengan kebangkitan ilmu pengetahuannya.

 

Share:

Pengikut

Definition List

Unordered List

Support