"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Senin, 12 Desember 2022

SEGENGGAM GARAM


Seorang Sufi penyair terkemuka dari Persia, Sa’di Syirazi, bercerita: Suatu hari Raja Anusyirwan yang adil itu pergi berburu rusa dan diiringi para pembantunya. Ketika rusa diperoleh, ia meminta para punggawa membakarnya. Bumbu-bumbu disiapkan. Tetapi ada satu yang ketingggalan yaitu garam.

Raja meminta salah seorang di antara mereka mencari segenggam garam di rumah penduduk desa terdekat. Sebelum berangkat, Raja berkata, “Belilah garam rakyat itu sesuai harganya. Kamu jangan biasakan diri mengambil hak orang lain dikampung mu begitu saja. Kelak kampung itu akan binasa karenanya.

Si punggawa heran:”Apakah yang salah bila aku ambil segenggam garam itu, seberapakah harga barang yang remeh itu?

Dengan tenang Raja menjawab: “Kezaliman di dunia ini dimulai dari yang kecil. Tetapi, orang-orang yang datang kemudian akan mengambil lebih dari pendahulunya. Jika Raja mengambil hanya segenggam garam, para pejabat akan merampas tanah sebahu. Jika Raja mengambil sebiji apel dari kebun milik orang, para pejabat akan mencabut pohon itu keakar-akarnya. Jika Raja membolehkan mengambil lima butit telor, maka seribu ekor ayam akan menyusul dipanggang si pejabat. Orang zalim memang taka da yang kekal. Tapi kutukan karena kezaliman akan abadi.

(Dikutip dalam kitab Lisanul Hal)

Desa Medang, Oleh: Mhd. Reza Fahelvi ZA, M.Pd


Share:

PEMIMPIN ADALAH PELAYAN

 Mhd. Reza Fahlevi ZA, M.Pd

“Imam al-Qawm Khadimuhum” (Pemimpin masyarakat adalah pelayan mereka), begitu kata pepatah Arab yang diajarkan Kiai kepada santrinya. Farid Essack dalam bukunya, On Being A Muslim, mengutip sebuah cerita yang sangat menarik dari Imam Al-Ghazali.

Dua orang sahabat, Abu Ali dan Abdullah pergi keluar kota. Sesuai dengan petunjuk Nabi, Abdullah mengusulkan agar ada orang yang memimpin perjalanan. Abu Ali merasa Abdullah pantas memimpin. Abdullah tidak menolak.

Kedua orang itu telah mempersiapkan bekal yang cukup untuk perjalanan mereka. Abdullah mulai memainkan perannya sebagai pemimpin. Ia mengangkat satu karung berisi bekal perjalanan itu. Ketika Abu Ali menawarkan diri untuk membawanya, Abdullah menolak sambil mengatakan “Aku yang membawanya bukankah aku sudah siap memimpin? Maka kamu harus mematuhi aku”. Abu Ali mengangguk dan diam saja.

Ketika malam tiba, mereka tidur. Tetapi, hujan tiba-tiba turun dengan lebatnya. Mereka kehujanan. Abdullah berdiri di atas kepala Abu Ali dan melindunginya dengan mantelnya. Abu Ali terbangun dan berkata kepada dirinya sendiri: “Kamu memang pemimpin.”

Abdullah terus berdiri sepanjang malam dalam keadaan basah kuyup sampai hujan mereda. Otaknya selalu dipenuhi pikiran bahwa seorang pemimpin adalah pelayan dan pelindung.

Kita sudah lama tidak menemukan seorang pemimpin seperti Abdullah. Yang popular adalah sebaliknya, rakyat menjadi pelayan dan melindungi pemimpinnya. Semoga Allah mengampuni dan merahmati Abdullah. Semoga pula akan lahir pemimpin-pemimpin seperti Abdullah.

 

(Dikutip dalam kitab Lisanul Hal)

Share:

Minggu, 11 Desember 2022

SETAN MENYAMAR SEBAGAI AHLI IBADAH

 (Mhd. Reza Fahlevi ZA)

Dikisahkan bahwa ada seseorang yang ahli ibadah, yang sangat taat kepada Allah, rajin dan tekun melaksanakan ibadah kepada Allah Swt. Karena sangat tekun beribadah kepada Allah Swt, maka apapun yang diupayakan oleh iblis untuk melalaikannya dari ibadah, selalu menemui jalan buntu. Tiba-tiba iblis menjerit, dan berkumpullah para setan, lalu berkata, “Kenapa engkau menjerit?” Iblis berkata, “Aku sudah tang sanggup lagi memperdaya ahli ibadah ini, apakah kalian punya jalan keluar?

Lalu, ada setan yang berkata, “Aku akan merayunya agar berbuat zina.” Iblis berkata,”Percuma saja, karena ia tidak punya hasrat lagi terhadap wanita.” Setan yang lain berkata, “Aku akan menjerumuskannya melalui makanan dan minuman yang lezat.” Iblis berkata, “Percuma, ia telah menampa dirinya bertahun-tahun, sehingga tidak lagi berhasrat pada makanan dan minuman lezat.” Setan ketiga berkata, “Aku akan menipunya melalui jalan ibadah.” Iblis berkata, “Itu bagus. Tapi engkau harus berpura-pura menjadi ahli ibadah.”

Akhirnya, pertemuan iblis dengan para setan itu memutuskan, bahwa setan ketiga itulah yang ditugaskan untuk memperdaya dan menyesatkan ahli ibadah. Kemudian setan tersebut berubah wujud menjadi seorang pemuda, lalu datang dan mengetuk pintu tempat peribadatan sang ahli ibadah tersebut.

Ahli ibadah membuka pintu dan melihat ada seorang pemuda yang datang, ia berkata, “Apa keperluan anda?” Setan berkata, “Aku ini seorang pemuda muslim, namun sayang, kedua orang tuaku penyembah berhala. Mereka menghalangiku melaksanakan ibadah. Aku pernah mendengar, bahwa ada seorang ahli ibadah yang sangat tekun beribadah ditempat ini. Karena itu, aku datang ke tempat tuan, agar bisa beribadah dan mencapai tingkat ibadah tinggi. Tidak inginkah tuan, semua orang menyembah Allah, termasuk saya juga?”

Dengan terpaksa ahli ibadah mempersilakan pemuda itu masuk ke tempat ibadahnya, dan setan (yang berpura-pura menjadi pemuda shaleh) itu langsung melaksanakan shalat didepan sang ahli ia badah. Dan ia terus shalat, hingga menjelang terbenam matahari.

Kebetulan pada hari itu si ahli ibadah sedang melaksanakan puasa. Karena saat buka puasa telah tiba, ia menghidangkan jamuan makan dan mempersilakan pemuda itu makan bersamanya. Tapi pemuda itu tidak mau makan, dengan alasan masih ada waktu. Ia terus melanjutkan ibadah shalatnya. Ahli ibadahpun berbuka puasa dengan makan sepotong roti kering lalu mengerjakan shalat.

Setelah beribadah pada malam itu, ahli ibadah merasa ngantuk dan berkata kepada pemuda tersebut, “Istirahatlah sebentar” Tapi pemuda itu tidak mau beristirahat dan terus mengerjakan ibadah. Kemudian ahli ibadah itu tidur sejenak dan bangun di pertengahan malam, dan ia melihat pemuda itu masih saja melaksanakan shalat.

Dalam hati pemuda ahli ibadah berkata, “Hebat sekali pemuda ini. Dia jauh lebih taat beribadah daripada aku. Ia telah mencapai tingkat ibadah yang sangat tinggi sehingga tidak merasakan lelah. Ketaatan seperti apa yang telah dimilikinya? Kekuatan seperti apa yang telah diberikan Allah kepada pemuda ini, sehingga ia tidak makan, tidak istirahat dan terus melaksanakan ibadah? Aku harus bertanya kepadanya, bagaimana ia bisa mencapai kedudukan beribadah seperti itu?”

Ahli ibadah pun bertanya, tapi pemuda (setan itu tidak menjawab lalu terus saja melaksanakan ibadah. Setelah mengerjakan satu shalat, ia melanjutkan dengan shalat berikutnya. Karena penasaran, si ahli ibadah itu tetap mendesak dan berkata, “Aku hanya menanyakan satu pertanyaan saja dan tolong engkau menjawabnya.” Pemuda itu diam sejenak, dan ahli ibadah itu bertanya, “Apakah yang telah engkau lakukan, sehingga engkau mencapai tingkat seperti ini?

Pemuda itu menjawab, “Aku mencapai tingkat ibadah seperti ini, karena sebelumnya aku pernah melakukan dosa besar, kemudian aku menyesali perbuatan dosa itu dan bertobat kepada Allah. Setelah aku bertobat kepada Allah, setiap kali aku mengingat dosa besar yang telah aku lakukan, aku bertobat lagi, dan semakin kuat semangat ibadahku kepada Allah.”

“Jika tuan ingin mencapai tingkat ibadah seperti aku, maka berbuat dosalah lalu bertobat kepada Allah. Menurutku, yang terbaik untuk tuan adalah berzina, setelah itu bertobatlah kepada Allah, maka tuan akan mencapai tingkat ibadah seperti ini.” Demikian rayuan setan kepada ahli ibadah tersebut.

Ahli ibadah berkata, “Bagaimana aku dapat berbuat zina? Aku sama sekali tidak mengenal perbuatan itu. Lagi pula aku tidak punya uang.” Lalu setan yang berpura-pura jadi pemuda shaleh tadi memberikan uang dua dirham kepada ahli ibadah dan menunjukkan tempat pelacuran kepadanya.

Akhirnya ahli ibadah itu meninggalkan tempat peribadatannya, ia pergi ke kota mencari tempat pelacuran, sesuai petunjuk yang telah diberikan setan, dan iapun menemukannya. Ia masuk ke dalamnya, bertemu seorang pelayan wanita pelacur dan memberikan uang serta minta dilayani oleh pelacur tersebut.

Tapi, demikian Kasih Sayang Allah, yang berkehendak melindungi hamba-Nya dari tipu daya iblis dari kesesatan. Si wanita pelacur itu melihat tanda-tanda keshalehan pada wajah lelaki tua yang datang hendak berbuat maksiat. Di dalam hatinya ia berkata, bahwa lelaki tua tersebut tidak sepatutnya datang di tempat pelacuran.

Wanita itu berkata, “Bagaimana mungkin tuan datang ke tempat seperti ini?” Si ahli ibadah berkata, “Apa urusanmu? Bukankah engkau telah mengambil uang yang telah aku berikan? Sekarang, lakukanlah apa yang aku inginkan.” Wanita itu berkata, “Aku tidak akan melakukannya, sebelum tuan mengatakan padaku yang sebenarnya. Apa sesungguhnya yang telah terjadi?”

Atas desakan wanita, maka ahli ibadah pun menceritakan yang sebenarnya terjadi. Setelah mendengar cerita ahli ibadah, wanita itu berkata, “Hai tuan, meskipun aku rugi karena tidak mendapatkan uang, tapi silakan tuan ambil kembali uang tuan. Aku tidak memerlukan uang tuan ini. Ketahuilah, hai tuan, setanlah yang telah mengantar tuan ke tempat ku ini.”

Tapi si ahli ibadah tetap mendesak untuk melakukan maksiat dengan wanita tersebut, sebab dengan begitu ia akan mencapai tingkat ibadah yang lebih tinggi, sebagaimana nasihat yang diberikan pemuda shaleh, yang sebenarnya adalah setan yang menyamar.

Karena ahli ibadah itu tetap mendesak, maka wanita itu berkata, “Baiklah. Aku akan tetap berada di sini dan siap melayanimu. Tapi, sekarang aku minta tuan kembali dulu kerumah tuan. Jika tuan melihat pemuda itu masih disana, dan sedang sibuk melaksanakan ibadah, maka kembalilah tuan kesini, aku akan memenuhi keinginan tuan.”

Ahli ibadah bersedia memenuhi permintaan wanita tersebut. Ia kembali ketempat peribadatannya. Ternyata di sana ia tidak mendapati seorang pun. Pemuda itu tidak ada lagi. Ahli ibadahpun sadar, bahwa setan terlaknat hendak menyesatkannya. Ia sadar bahwa telah berbuat keliru dan memohon ampunan kepada Allah. Juga ia mendoakan pada Allah agar wanita itu diberi petunjuk oleh Allah, kembali ke jalan yang benar dan diberi keselamatan.

Disebutkan dalam lanjutan kisah di atas, bahwa akhirnya wanita itu bertobat kepada Allah atas segala perbuatan jahatnya selama ini, dan kemudian ia meninggal dunia sebagai hamba yang baik.


Share:

MENULIS BUKU SEBAGAI MAS KAWIN


(Oleh: Mhd. Reza Fahlevi ZA) 

Ala al-Din al-Kasani (w. 578 H), pengarang kitab Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’, sebuah buku referensi utama fiqih bermazhab Hanafi adalah ulama besar bergelar “Malik al-Ulama” (Raja para ulama). Ia seorang santri/murid Muhammad bin Ahmad al-Samarkand, seorang faqih besar pada zamannya. Kasani mengaji hampir semua kitab-kitab gurunya itu.

Syaikh Ahmad al-Samarkandi (dari Samarkand), sang guru, merasa senang melihat ketekunan santrinya itu. Syaikh mempunyai anak perempuan bernama Fatimah. Sejak kecil ia mengaji kepada ayahnya sampai menguasai banyak ilmu. Ia hafal kitab ayahnya, al Tuflah, dikenal sebagai ulama perempuan (‘allamah, faqihah). Bila sang ayah diminta fatwa oleh masyarakatnya, ia meminta putrinya untuk menjawab, sementara dia sendiri ikut mendengarnya.

Disamping cerdas, Fatimah elok rupa dan menawan. Bahkan, raja-raja diwilayah Turki dan Arab silih berganti datang menemui ayahnya untuk meminang putrinya bagi para putra mahkota mereka. Akan tetapi, tidak satupun yang diterima. Syekh, kemudian menawarkan putrinya kepala Ala al-Din, santrinya yang cerdas dan rajin ibadah itu. Meski Ala al-Din merasa diri tak pantas menikahi putri guru yang sangat dihormatinya itu. Dia juga santri miskin. Namun, permintaan guru tidak etis jika ditolak.

Akan tetapi, Syekh hanya mau menikahkan putrinya jika Al al-Din telah selesai menulis “syarh” (komentar) atas Kitab al-Tuhfah al-Fuqaha, karyanya. Ala al-Din menyanggupinya, bukan hanya karena diminta gurunya, lebih dari segalanya adalah kecantikan dan kecerdasan Fatimah. Maka ia segera menulisnya.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia dapat menyelesaikan tulisan itu yang diberi judul Badai’ al-Sanai’ fi Tartib al-Syarai’, terdiri dari 7 jilid, masing-masing 450 halaman. Dan kitab inilah yang kemudian menjadi “mahar” atau “mas kawin” si santri miskin itu menyunting putri cantik-cerdas gurunya itu.

Para ulama sezamannya mengatakan, “Si Al al-Din” santri yang sangat beruntung, mendapatkan dua permata nan elok; Fatimah dan Syarh Kitab Tulfah. Dalam pendahuluan kitabnya, al-Kasani mengatakan, “Kitab ini berisi penjelasan mengenai hukum-hukum Islam (ilm al-syarai wa al ahkam). Sesungguhnya telah banyak buku yang ditulis mengenai oleh para guru kita. Semuanya baik dan bermanfaat. Sayangnya, belum banyak yang menyusunnya dengan sistematika yang rapi, kecuali guruku, pewaris al-Sunnah: Syekh Muhammad bin Ahmad bin Abi Ahmad, Rais al-Sunnah (pimpinan al-Sunnah). Aku mengikuti jejaknya dan aku memperoleh petunjuknya.”

Nama lengkap al-Kasani adalah al-Imam ‘Ala al-Din Abi Bakr bin Mas’ud al-Kasani (penduduk Kasan, Turkistan) al-Hanafi (bermazhab Hanafi). Ia meninggal dunia tahun 587 H.

(Dikutip dalam kitab Lisanul Hal-K.H Husein Muhammad)

Share:

Sabtu, 10 Desember 2022

NASIHAT IBLIS

Mhd. Reza Fahlevi ZA, M.Pd

Pada suatu saat, Iblis mendatangi Nabi Musa AS, seraya berkata, “Aku ingin mengajarkan kepada mu 1003 nasihat.” Nabi Musa menjawab, “Sesungguhnya aku lebih mengetahui apa yang engkau ketahui, Aku tidak memerlukan nasihatmu.”

Lalu malaikat Jibril turun ke bumi menemui Nabi Musa As dan berkata, “Wahai Musa, sesungguhnya Allah berfirman, “Seribu nasihat iblis adalah tipudaya. Namun dengarlah tiga nasihat darinya.” Maka Nabi Musa As berkata kepada Iblis, “hai Iblis. Sampaikanlah tiga nasihat saja dari 1003 nasihatmu.”

Iblis berkata, “Pertama, saat terlintas di hatimu niat untuk melakukan perbuatan baik, maka segeralah melakukannya. Sebab, jika engkau menunda-nunda, maka aku akan membuat engkau menyesal. Kedua, jika engkau duduk dengan wanita asing (wanita yang bukan muhrim), janganlah engkau melupakanku. Sebab aku akan memaksamu melakukan zina. Ketiga, ketika kemarahan menguasai dirimu, kendalikanlah. Sebab, jika engkau tidak mengendalikan kemarahanmu, maka aku akan menimbulkan fitnah (bencana).”

Selanjutnya, Iblis berkata, “Wahai Musa, aku telah menyampaikan tiga nasihat kepadamu, maka mohonkanlah kepada Allah, ampunan dan Rahmat-Nya untukku.”

Lalu, Nabi Musa As memohon kepada Allah, ampunan untuk Iblis. Kemudian disampaikan kepada Nabi Musa, “Hai Musa (sampaikan kepada Iblis) Aku akan mengampuni dosanya asalkan dia memenuhi satu syarat, yaitu ia harus pergi kekuburan Adam, dan sujudlah di dahapan kuburan Adam.”

Nabi Musa As menyampaikan kepada Iblis, dan Iblis berkata, “Wahai Musa, saat Adam masih hiduppun aku tidak mau sujud di hadapannya, maka bagaimana mungkin sekarang aku bersedia sujud di hadapan kuburannya.?”

 (Dikutip dalam Kitab Tanbighul Ghafilin oleh Al Faqih Abu Laits As-Samarqandi)

 Pelajaran

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Iblis tetaplah Iblis. Musuh Allah tetaplah musuh Allah. Keburukan tetaplah keburukan. Tapi seburuk apapun sesuatu, boleh jadi ada sisi tertentu, yang  bisa menjadi pelajaran bagi manusia. Nasihat Iblis adalah tipu daya, tapi ada pelajaran yang bisa di petik. Bahwa sebenarnya, kita diingatkan tentang perangkap yang biasa dipakai Iblis untuk menjerat dan menjerumuskan manusia. Karena itu, waspadalah selalu.

            Pertama, adalah benar, jika kita berkeinginan untuk melakukan suatu kebaikan, segeralah dilaksanakan, janganlah ditunda-tunda. Jika keinginan melakukan suatu kebaikan itu di tunda-tunda, biasanya ada saja halangan atau sebab yang akan datang, yang tidak kita duga, yang dapat menghalangi kita melakukan kebaikan tersebut.

            Hal seperti sangat sering dan sangat banyak terjadi dalam kehdiupan manusia, termasuk mungkin terjadi pada diri kita sendiri. Ketika hendak shalat, misalnya, dan waktu shalat sudah tiba. Terkadang ada godaan, “Ah, sebentar lagi…aah , nanti sajalah, aahh waktunya masih panjang.” Lalu kitapun menunda-nunda pelaksanaan shalat itu, terus menunda, hingga habis waktu shalat, dan shalat pun tidak dilaksanakan.

            begitu juga terjadi pada kebaikan-kebaikan lain yang ingin kita lakukan: sedekah, membaca buku, berzikir, menyambung tali silaturahim, menolong orang, dan sebagainya. Kita suka menunda-nunda melaksanakan kebaikan itu, sampai akhirnya kebaikan-kebaikan itu tidak kita lakukan, karena berbagai macam alasan. Dan penghalang utama adalah iblis, adalah setan.

            Kedua, berapa banyak orang yang telah terjatuh pada perbuatan maksiat, bahkan perzinaan, akibat selalu berduaan dengan perempuan asing, perempuan yang bukan istrinya yang bukan muhrim, di tempat-tempat yang sepi yang tersembunyi. Nabi Saw telah mengingatkan kita,”Janganlah berduaan di tempat sepi dengan wanita yang bukan muhrim, karena sesungguhnya yang ketiga adalah setan.”

            Ketiga, kendalikan marah. Lihatlah orang yang sedang marah, wajahnya menjadi merah. Dan merah adalah warna api, sedangkan setan berasal dari api. Orang yang marah dan tidak mengendalikan marahnya, maka ia akan dipermainkan oleh setan, seperti anak-anak mempermainkan bola. Setan akan menendang ke mana-mana. Sebab, kemarahan adalah salah satu jebakan setan untuk memperdayakan manusia.

            Maka salah satu ciri ketakwaan adalah “mengendalikan marah.” Rasulullah Saw bersabda, “Bukanlah orang kuat itu yang pandai berkelahi. Tapi orang kuat itu adalah yang mampu mengendalikan dirinya pada waktu marah.”

            Keempat, bahwa penyebab utama Iblis dilaknat oleh Allah dan diusir dari surge karena ia membangkang perintah Allah untuk sujud (menghormati) Adam, setelah Adam diciptakan. Dan pembangkangan itu karena keangkuhannya, karena kesombongannya. Ia merasa tidak patut sujud (menghormati) Adam, sebab ia lebih baik dari Adam.

 

Share:

SI TELANJANG KAKI

Mhd. Reza Fahlevi ZA, M.Pd


Bisyr al Hafi. Nama lengkapnya adalah Bisyr bin al-Harits bin ‘Abd al-Rahman bin ‘Atha Abu Nashr al-Mawarzi al-Baghdadi. Ia seorang Imam, al-Muhaddisin (ahli hadis), al-Zahid (ugahari), Sufi besar, dan Syaikh Islam. Lahir di dekat kota Merv, Turkmenistan, tahun 152 H.

Saat masih muda, dia dikenal sebagai pemuda berandalan dan senang minum-minum di kafe sampai mabuk. Lalu Allah memberinya hidayah. Dia bertobat dengan sungguh-sungguh. Bisyr kemudian melalang buana mencari ilmu, mempelajari hadis kepada banyak ulama besar pada masanya. Antara lain Imam Malik, Syuraik, Hammad bin Zaid, Ibrahim bin Sa’d, Fudhail bin Iyadh, Ibn al-Mubarak dan Abd al-Rahmad bin Zaid bin Aslam dan sejumlah ulama besar lainnya. Niatnya yang tulus untuk menimba ilmu pengetahuan ketuhanan mengantarkannya sebagai salah satu seorang ulama besar generasi Salaf Saleh. Sejumlah ulama yang menjadi murid Bisyr antara lain: al-Sirri al-Saqathi sufi besar Ibrahim bin Hani al-Naisaburi, Umar bin Musa al-Jalla, dan lain-lain.

“Al-Hafi” adalah nama julukan Bisyr. Maknanya adalah “Si Telanjang Kaki” (tanpa alas kaki). Ini karena kemana-mana ia berjalan tanpa alas kaki. Mengapa ia berjalan tanpa alas kaki ?

Ada sebuah cerita mengenai hal ini. Ibn Khalikan, dalam wafayat al-A’yan (Biografi Para Tokoh), menceritakan, “Suatu hari Bisyr pergi ketempat tukang sol sandal. Ia meminta tali benang untuk menjahit sandalnya yang rusak. Si tukang sol mengatakan: Kamu ini suka sekali membebani orang. Mendengar jawaban itu, ia segera membuang sandal rusak yang masih dipakai dikakinya. Dan ia bersumpah untuk tidak akan mengenakan sandal, alas kaki, selama-lamanya.”

Para penulis biografi Bisyr al-Hafi, antara lain Khatib al-Baghdadi, Penulis Tarikh Baghdad (Sejarah Baghdad), mengatakan “Bisyr al Hafi adalah alim terkemuka dalam ke’ugaharian’, bersahaja dan kesungguhannya menjaga diri dari segala ucapan dan perbuatan yang tak patut (zuhud dan wara’i).” Penulis lain mengatakan, “Ia tidak bekata-kata kecuali kata-kata yang baik. Jika ia bicara, yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang bijak, kearifan, dan nasihat-nasihat yang mencerahkan.”

Bisyr al-Hafi banyak menulis Puisi-puisi sufistik. Inilah salah satunya:

Mereka bilang, “Kau mau saja hidup seperti itu”

Aku katakana, “Qanaah” adalah kaya

kaya bukanlah banyak harta atau uang

Aku tekah rela menerima pemberian Allah

Ketika sulit maupun ketika lapang

Aku tidak menempuh kecuali jalan lurus.

 Qanaah bermakna menerima pemberian Allah dengan tulus, tidak bergantung kepada orang lain, tetapi ia bukan berarti tidak mau bekerja atau seorang fatalis. Bisyr al-Hafi mengatakan:

            “Orang yang malas bekerja, hidupnya akan susah.”

            Ia selalu mengingatkan para sahabatnya akan hadis Nabi ini:

“Sungguh beruntung orang yang pasrah kepada Allah yang memperoleh rezeki dengan merasa rela atas pemberian Allah itu,” (HR. Muslim)

            Ulama besar ini tidak menikah sampai akhir hidupnya. Ia memilih menjalani kehidupan spiritual dan intelektual.

            Suatu malam, ketika Bisyr al-hafi sedang terbaring menanti ajalnya pada tahun 227 H/841 M, tiba-tiba datang seseorang dan mengeluhkan nasibnya kepadanya. Bisyr pun menyerahkan seluruh pakaian yang dia kenakan kepada orang tadi. Dia lantas memakai pakaian lain yang dia pinjam dari salah satu seorang sahabatnya. Dengan menggunakan pakaian pinjaman itulah sang Waliyullah tersebut menghadap Tuhannya.

            Bisyr al-Hafi meninggal tahun 227 H di Baghdad. Yang menshalatkan dan mengantarkannya banyak sekali, sampai-sampai dikatakan: “tidaklah jenazah keluar dari rumahnya ba’da shalat subuh baru dimakamkan sehabis shalat isya.

 

(Dikutip dalam Kitab Lisanul Hal)

Share:

Senin, 14 Maret 2022

MEMBANGUN KESEJAHTERAAN UMMAT

 

MEMBANGUN KESEJAHTERAAN UMMAT



Berperang bukan berarti angkat senjata

Namun berjuang dengan sungguh-sungguh

Kemampuan maksimal yang dimiliki untuk memerangi kebodohan

Kemiskinan, dan kezhaliman, dan lain lain yang ada di depan kita

 

Kata sejahtera memilik beberapa arti. Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk pada keadaan yang baik; kondisi saat orang-orang dalam keadaan terkait dengan pandangan hidup yang makmur. Dalam ekonomi, sejahtera kata sejahtera terkait dengan pandangan hidup yang menjadi landasannya. Kapitalisme atau sosialisme mengukur kesejahteraan dengan capaian-capaian material (misalnya produk domestik bruto perkapita), walaupun mereka berbeda tentang cara distribusinya. (Akmaluddin,  2010: 24)

Beberapa negara Barat, istilah kesejahteraan umat/sosial menunjuk pada pelayanan Negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di Amerika Serikat bahkan hal yang lebih spesifik lagi pada uang yang dibayarkan pemerintah kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan finansial, yakni yang pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Islam mendefenisikan kesejahteraan umat sebagai kondisi saat seseorang dapat mewujudkan semua tujuan (muqosid) syari’ah, yakni :

1.      Terlindung kesuciannya

2.      Terlindung keselamatan dirinya

3.      Terlindung akalnya

4.      Terlindung kehormatannya

5.      Terlindung milik/hak ekonomisnya (Akmaluddin,  2010: 24)

Dengan demikian, kesejahteraan tidak cuma merupakan buah suatu sistem ekonomi. Kesejahteraan adalah buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya dan sistem pergaulan sosial. Karena itulah, ideologi yang mendasari sistem-sistem ini sangat menetukan dalam memberikan warna sejahtera seperti apa yang akan diwujudkan, apakah sistem seperti itu bertahan akan bertahan lama atau berlaku secara universal.

Ada tiga pilar utama dalam membangun atau mensejahterakan ummat, yaitu: (1) Mensejahterakan Ummat melalui Pendidikan, (2) Mensejahterakan Ummat melalui Politik, dan (3) Mensejahterakan Ummat melalui Ekonomi. Berikut penjelasa tiga pilar tersebut.

A.    Mensejahterakan Ummat Melalui Pendidikan

Negara Indonesia merupakan Negara yang kaya akan budaya, suku, sumber daya alam, dan sebagainya. Sebagai Negara maju dan berkembang, sumber daya manusia tidak boleh di kesampingkan. Kualitas warga akan menentukan kea rah mana Negara tersebut bergerak. Pendidikan merupakan asset penting bagi kemajuan sebuah bangsa, oleh karena itu setiap warga Negara harus dan wajib mengikuti jenjang pendidikan, baik jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun tinggi. Pendidikan memegang peranan penting dalam menentukan kualitas warga Negara. Bagaimana tidak, pendidikan merupakan investasi bagi masa depannya dan merupakan bagian dari penentu keseksesan seseorang.

Indonesia merupakan negara demokrasi, dimana rakyatnya memiliki kebebasan yang dilindungi oleh hukum. Setiap warga negara telah mengatur hak setiap warga negara Indonesia untuk mendaptkan pendidikan sebagai sarana dalam meningkatkan kualitas hidupnya yaitu pada UUD pasal 28 C ayat 1 dan 2 dan pasal 31 ayat 1 dan 2. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 juga memuat salah satu tujuan Bangsa Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan, pemerintah berupaya meningkatkan taraf kehidupan rakyatnya dengan mewajibkan belajar pendidikan dasarnya selama 9 tahun bagi warga negara Indonesia.

seiring dengan perkembangan zaman, setiap orang berlomba-lomba ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Pendidikan dapat mengembangkan pemikiran setiap orang. Pendidikan tidak hanya selalu mengenai pelajaran disekolah, melainkan pendidikan juga diperlukan dalam bersikap dan bertingkah laku. Manusia yang berpendidikan atau berilmu berbeda dengan manusia yang tidak berpendidikan atau tidak berilmu. Hal ini dapat kita lihat dari cara bersikap, bertutur, cara berfikir, dan menjaga emosi. Negara masyarakat masa datang, diperlukan ilmu yang cukup untuk dapat mendukung kokohnya pendirian suatu Negara. Negara yang akan melangkah maju membutuhkan daya dukung besar dari masyarakat, membutuhkan tenaga kerja yang lebih berkualitas, dengan semangat loyalitas tinggi.

Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun rohani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat di tuntut untuk di bentuk dan di bangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mamapu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjut dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah”….agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Munir, 2010:11)

Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital. Ini dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa. Memang tidak mudah menghasilkan SDM yang tertuang dalam UU tersebut. persoalannya adalah hingga saat ini SDM di Indonesia mash belum mencerminkan cita-cita pendidikan yang di harapkan. Misalnya untuk kasus-kasus actual. Masih banyak ditemukan bahwa siswa yang menyontek dikala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesame siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Disisi lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa memberikan contoh-contoh tidak baik ke siswanya. Kondisi ini terus terang sangat memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945.

Kondisi ini mencerminkan peran yang cukup signifikan yang mengharuskan adanya tindakan-tindakan untuk mengatasinya. Jawaban yang paling kompleks yaitu melalui pendidikan baik formal, informal maupun non formal, sebagai upaya untuk membangun pribadi yang kuat dan tangguh dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di masa yang akan datang (Hamid, 2008: 80)

B.     Mensejahterakan Ummat Melalui Politik

Manusia adalah human sosial atau makhluk sosial yang tidak bisa terlepas diri dari hidup orang lain, saling membutuhkan satu sama lain sehingga manusia tidak akan bisa bertahan hidup tanpa keberadaan makhluk lain atau orang lain. Manusia juga oleh Aritoteles di sebut “zoon politicon” yanitu dalam artian manusia memerlukan tatanan-tatanan peraturan, norma-norma, dan sistem dalam mengatur hidup urusan dan kehidupan serta mengatur kepentingan dan urusan wilayah/Negara berdasarkan tujuan bersama. Oleh karena itu ada dua poin penting kontribusi yang dapat ditarik dari penafsiran Quraish Shihab terhadap Al Qur’an tentang kekuasaan, yaitu :

1.      Penegakan Etika Dalam Kehidupan Politik

Sesuai dengan pandangan Sunni yang dianutnya, bahwa kekuasaan politik adalah untuk mengatur masalah-masalah umat, maka apapun proses politik yang harus dilandasi oleh nilai-nilai moral dan etika yang bersumber pada ajaran agama. Ini sesuai dengan pesan utama Rasulullah Saw. bahwa ia tidak di utus ke dunia melainkan untuk menyempurnakan etika (akhlak) manusia.

Dari sini Quraish Shihab menolak pandangan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Pandangan-pandangan yang mengatakan bahwa politik itu kotor, dalam politik tidak ada kawan atau lawan yang abadi kecuali kepentingan, jangan bawa-bawa moralitas dalam arena politik, dan jargon-jargon lain yang berusaha menjustifikasikan segala cara untuk mencapai tujuan politik, adalah cara pandang sesat lagi menyesatkan. Orang boleh saja berupaya untuk menggapai kekuasaan politik, bahkan yang tertinggi sekalipun, namun ia tidak boleh melupakan nilai-nilai moral dan etika.

Quraish Shihab dengan tegas dan lugas menyatakan : “Janganlah menjalankan pemerintahan seperti cara orang jahil, yang merasa akan berkuasa sepanjang masa atau seumur hidup, jangan juga menempuh jalan yang ditelusuri oleh para diktator, jangan beri peluang kepada yang angkuh atau berkuasa-apalagi yang berkausa atas nama Anda-untuk melakukan dosa dan pelanggaran. Jika ini Anda abaikan, maka Anda akan memikul dosa-dosa Anda sendiri dan dosa-dosa mereka.”(Muhammad Iqbal, 2010: 113)

Ini mengisyaratkan bahwa Quraish Shihab berusaha memberikan sentuhan moralitas dan nilai-nilai agama dalam setiap proses politik. Agama harus mampu berperan mengarahkan kehidupan sosial menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera di bawah naungan maghfirah Allah, yang dalam bahasa Al Qur’an di ungkapkan dengan baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Menurutnya ada tiga peran agama dalam mewujudkan hal demikian, yaitu:

a.       Agama hendaknya menjadi kekuatan pendorong bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.

b.      Agama hendaknya memberikan kepada individu dan masyarakat suatu kekuatan pendorong untuk meningkatkan partisipasi dalam karya dan kreasi masyarakat.

c.       Agama dengan  nilai-nilainya harus mampu berperan sebagai isolator yang menghambat seseorang dari segala penyimpangan. (Quraish Shihab, 2000, 18)

Menurut Quraish Shihab, dalam pandangan agama, Tuhan memberi kemampuan kepada pemerintah untuk meluruskan yang keliru dan mendorong kepada kebenaran melebihi kemampuan tuntunan-tuntunan-Nya yang bermmaktub dalam kitab suci. Dengan kekuasaan yang di miliki pemerintah, sekian banyak hal yang dapat dicapai dan sekian banyak keburukan dapat tercegah. Dengan demikian, kekuasaan politik yang di landasi etika yang kuat tentu akan melahirkan masyarakat yang beretika pula.(Quraish Shihab, 2006: 377)

Disinilah signifikansi dan kontribusi pemikiran Quraish Shihab. Ia mengajak kita kembali kepada kesadaran hakiki kita sebagai umat manusia dan sebagai bangsa Indonesia untuk senantiasa menegakkan moralitas dan aturan main dalam pengelolaan kekuasaan politik. Pada dasarnya, semua manusia menginginkan hidup yang tenang, aman, damai, dan sejahtera. Ini adalah fitrah manusia, karena itu, penegakkan nilai-nilai etika dan moralitas merupakan hal yang sesuai pula dengn nilai-nilai fitrah itu sendiri (Muhammad Iqbal, 2010: 119).

2.      Pemihakan terhadap Kepentingan Masyarakat

Quraish shihab menyatakan bahwa kekuasaan politik adalah anugerah Allah yang diperoleh melalui suatu perjanjian anatara penguasa dengan Allah, disatu sisi dan antara penguasa dengan masyarakat disisi lain, dan karena itu, kekuasaan bukan lah keistimewaan, fasilitas atau leha-leha, tetapi tanggung jawab, pengaorbanan dan kerja keras. Kepemimpinan bukan kesewenang-wenangan bertindak, tetapi kewenangan melayani, keteladanan, berbuat dan kepeloporan bertindak. Ini berarti bahwa penguasa kekuasaan yang diperoleh seseorang harus dapat digunakannya sebaik mungkin untuk pelayanan terhadap kepentingan masyarakat (Muhammad Iqbal, 2010: 119)

Bagi Quraish Shihab, karena kekuasaan perjanjian segitiga antara penguasa dan rakya serta  penguasa dan Allah, maka apapun bentuk pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan oleh penguasa akan dipertanggung jawabkannya didepan pengadilan Allah kelak. Tidak ada satu pun yang lepas dari pertanggung jawaban.

Setiap kali ego masing-masing anggota masyarakat yang lebih menonjol, maka terjadilah keretakan hubungan antara mereka. Ketika itu akan semakin parahlah penyakit masyarakat itu. Dalam keadaan demikian, apapun cara yang di ambil untuk menaggulangi krisis atau permasalahan yang timbul, tetapi dengan mengedepankan ego masing-masing baik pribadi ataupun kelompok bukan pada kepentingan masyarakat tidak akan berhasil. Yang lahir dari kondisi demikian adalah sikap aji mumpung pemegang kekuasaan dalam mengatasi krisis. Krisis dijadikan sebagai lahan meraih keuntungan sebesar-besarnya, bukan lagi untuk menanggulanginya.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa Quraish Shihab sangat menekankan pemihakan pada kepentingan  masyarakat dalam pelaksanaan kekuasaan. Setiap kekuasaan yang tidak memihak kepada kepentingan masyarakat akan berpotensi menghancurkan masyarakat itu sendiri. Rakyat tidak merasa mendapat pengayoman dari pemegang kekuasaan. Rakyat bahkan dibebani dengan kewajiban-kewajiban yang berat melampaui batas kemampuan mereka. Sebaliknya pemegang kekuasaan merasa benar sendiri dan melaksanakannya untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok.

Akhirnya terjadi ketidak seimbangan antara pemegang kekuasaan dan rakyat. Hal ini berakibat pada terjadinya ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa. Kalau ini terjadi, bagaikan air yang tersumbat, maka pada suatu saat sumbatan tersebut akan terbuka dan air akan melimpah menghantam apa saja yang dilaluinya. Rakyat tidak percaya kepda penguasa dan melakukan koreksi total terhadap mereka. Inilah yang akan terjadi pada bangsa kita yang pada akhirnya tumbang dan meninggalkan luka ka bagi bangsa.

 

C.    Mensejahterakan Ummat Melalui Ekonomi

Masalah ekonomi senantiasa menarik perhatian berbagai kalangan masyarakat maupun individu, karena ekonomi menyangkut dengan kebutuhan hidup manusia. Manusia di hadapkan pada persoalan bagaimana memelihara, mempertahankan, dan menyaambung kehidupannya. Bermula sebagai individu seorang diri, kemudian bekerjasama sebagai anggota kelompok yang makin lama makin berkembang jumlahnya. Mula-mula cukup dengan sekedar memungut hasil dari alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lalu manusia juga mesti bekerja keras, bersaing, bertikai, bahkan berperang untuk alasan klasik yang tak pernah using, yakni “mempertahankan dan menyambung kehidupan indrawi”. (Saepudin, 1990: 91)

Berbagai penelitian menghasilkan teori yang dilakukan oleh peneliti kemudian dijadikan rujukan untuk mengambil kebijakan oleh pemegang kebijakan dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah ekonomi tersebut. Namun, teori dan kebijakan yang dihasilkan belum terbukti sampai sekarang dapat menyelesaikan masalah ekonomi. Sistem kapitalis dengan mekanisme pasarnya dan sosialis dengan perekonomian terpimpin yang menjadi ideologi ekonomi bagi dunia Barat dan Timur belum mampu menyelesaikan masalah ekonomi.

Persoalannya sekarang kenapa sistem Kapitalis dan Sosialis belum mampu menyelesaikan persoalan ekonomi? Kemudian bagaimana Islam dengan sistem ekonomi nya dapat meneyelesaikan permasalahan ekonomi?

Di tengah pertarungan antara ekonomi kapitalis dengan sosialis dalam rangka memperluas dan memperteguh paham masing-masing, muncullah suatu sistem ekonomi alternative. Dan dampaknya sestem ini, disebut-sebut akan mampu mengantisipasi permasalahan ekonomi, sehingga dipandang dapat mewujudkan masyarakat adil makmur dalam Bahasa Al-Quran “Baldatun thayyibah Warabbun Ghafur” karena secara empiris sudah terbukti pada saat Rasulullah berada di Madinah, membangun kota tersebut. sistem ekonomi tersebut adalah sistem ekonomi Islam. (Ibrahim, 1994: 8)

Sistem ekonomi islam muncul pada saat Islam itu ada, karena Islam adalah agama yang komprehensif dan universal, bahkan sudah diterapkan sejak zaman dulu yakni sejak Rasulullah berada di Madinah, namun secara ilmiah gagasan mengenai ekonomi Islam baru muncul secara Internasional pada sekitar dasawarsa 70-an, ketika pertama kali diselenggarakan konperensi Internasional tentang ekonomi Islam di Makkah pada tahun 1976. Sudah tentu ini tidak berarti bahwa konsep ekonomi Islam tersebut belum belum pernah di bahas sebelumnya. Pembahasan secara modern tentang ekonomi Islam yang bersifat filosofi sudah ada sejak permulaan dasawarsa 50-an dan meningkat pada dasawarsa selanjutnya mengenai sistem ekonomi, pembangunan ekonomi, sejarah pemikiran ekonomi dan analisis yang sifatnya empiris. (Raharjo, 1993: 15)

Sistem ekonomi Islam mempunyai prinsip-prinsip dasar yakni lebih mengutamakan aspek hukum dan etika yakni adanya keharusan menerapkan prinsip-prinsip hukum (syari’at) dan etika bisnis yang Islami. Secara filosofis, sistem ekonomi Islam mengandung muatan prinsip-prinsip dasar hukum ekonomi yang ideal, antara lain: Prinsip ibadah (at-Tauhid), persamaan (al-musawat), kebebasan (al-hurriyat), keadilan (al-‘adl), tolong-menolong (al-ta’awun) dan toleransi (al-tasamuh) (Azhar basyir, 1992: 204). Prinsip-prinsip berikut merupakan pijakan yang sangat mendasar bagi penyelenggara semua kegiatan ekonomi.

Sistem ekonomi Islam memiliki beberapa misi: pertama, melaksanakan aqidah dan syariat dalam kegiatan ekonomi dan bisnis; Kedua, mencapai keberhasilan dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomi yakni kemakmuran secara efesien, dan Ketiga, memberdayakan dan mengembangkan potensi ekonomi umat sebagai basis kekuatan ekonomi baik dalam skala nasional maupun regional global.

 Adapun ciri-ciri yang melekat dalam sistem ekonomi Islam dapat memperkuat prinsip-prinsip di atas sebagai berikut:

1.      Kepemilikan Multijenis (Multitype Ownership). Dalam sistem ekonomi kapitalis, prinsip umum kepemilikan terletak pada perorangan (swasta), sedangkan ekonomi sosialis kepemilikan berada pada Negara. Adapaun sistem ekonomi Islam menganut prinsip multijenis, yakni mengakui berbagai bentuk kepemilikan individu (swasta) maupun Negara (kolektif).

2.      Kebebasan berusaha/bertindak (freedom to act) yakni menjabarkan nilai-nilai nubuwah (siddiq, amanah, fathanah, dan tabligh), dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kegiatan ekonomi. Kebebebasan berkaitan erat dengan hak dan kewajiban untuk berlaku adil dalam bersikap dan bertindak sehingga tidak merugikan orang lain.

3.      Keadilan sosial (social justice) merupakan sikap yang harus dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan ekonomi sehingga terhindar dari segala bentuk tindak pelanggaran hukum syara’.

Dengan demikian prinsip pemberdayaan ekonomi harus di awali dari beberapa keyakinan normatif. Keyakinan normatif yang dimaksud antara lain :

1.      Manusia merupakan khalifah dan pemakmur bumi

2.      Setiap harta yang di miliki terdapat bagian orang lain

3.      Dilarang memakan harta (memperoleh harta) secara bathil.

4.      Pengahpusan praktik riba dan berbagai hal yang yang meracuni kebaikan dan kehalalan harta.

Penolakan terhadap monopoli dan hegemoni yang mengakibatkan hak dan ruang berkarya orang menjadi sulit. Kekayaan merupakan amanah Allah dan tidak di  miliki secara mutlak. Islam memberikan ruang gerak yang sangat luas kepada manuasia bermuamalah selam tidak melanggar ketentuan syari’ah, etika dan bisnis islam.

Ketika berbicara tentang kebijakan ekonomi dalam islam. Hendaknya kita tidak mencampurkan adukkan antara dua hal : antara hukum kehidupan ekonomi-seperti hukum penawaran (supply) dan permintaan (demand) dengan aspek perundang-undangan, yang mencerminkan kebijakan ekonomi (Said Hawwa, 2004: 521)

Islam tidak menghendaki kemiskinan dan berusaha memerangi kemiskinan dan membendung serta mengawasi kemungkinan yang dapat menimbulkan kemiskinan. Islam mengahruskan setiap individu mencapai taraf hidup yang wajar dan layak dalam masyarakat. (Abdullah Syah, 2013: 113)

Ada beberapa langkah upaya dan usaha MUI-SU untuk meningkatkan taraf hidup fakir miskin, diantaranya dengan membina umat baik melalui muzakarah, pelatihan dan pembekalan ilmu kepada masyarakat agar dapat hidup layak dan berkemampuan bersaing dengan umat lain.

MUI-SU mengadakan berbagai muzakarah dalam bidang ekonomi Islam dan perbankan Islam, serta mendorong agar umat Islam mendirikan bank Islam, BPRS dan BMT yang kesemuanya bertujuan membantu untuk meningkatkan taraf hidup kaum dhuafa/fakir miskin. Sekaligus mendorong bermuamalah dengan bank Islam dan ekonomi Syari’ah (Abdullah Syah, 2013: 111).

Sesuai dengan ciri dan karakteristik ekonomi Islam di atas, kualitas kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat dapat terwujud, sehingga berkurang kesenjangan sosial dan ekonomi, yang mana mereka akan mampu membangun ekonomi melalui peningkatan kualitas semua kegiatan usaha, membuka lapangan kerja baru serta meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Hal ini telah dibuktikan oleh Rasulullah 14 abad yang lalu di kota Madinah.

 

D.    Membangun Kesejahteraan Melalui Hukum

Rasulullah Saw mengamanahkan kepundak para ulama untuk memikul tanggung jawab dan peranannya sebagai pewaris para Nabi, sebagaimanasabda Rasulullah Saw yang artinya : “Para Ulama adalah pewaris para Nabi” (HR. Imam Ahmad, Abu dawud dan Ibnu Majah).

Kalimat pewaris nabi secara terminologi mengandung pengertian dan lingkup yang luas mencakup peran para Nabi pembawa risalah Ilahi dengan segala konsekuensinya memegang peranan penting dalam mendorong perubahan sosial dengan segala resiko dan tantangan. Menyadari peran tersebut, peran ulama dalam kiprahnya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, terpanggil bersama-sama zuama, cendikiawan muslim untuk memberikan darma bakti dalam membangun masyarakat dan bangsa. dalam mendorong perubahan sosial, para ulama terjun sebagai guru, muballigh, da’i memasuki lorong-lorong, dari pelosok ke pelosok, dari kota ke kota memberikan fata hukum, menuntun tatanan kehidupan bermasyarakat dan bahkan tampil kepanggung tingkat nasional.

Perubahan sosial dari aspek perkembangan hukum Islam dan perkembangan lembaga Peradilan Agama dari masa ke masa, tercatat dalam sejarah sungguh besar andil para Ulama. Ulama sebagai pewaris nabi, senantiasa mengajarkan islam untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam, memberi fatwa hukum dan memberikan tuntunan tata kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat, bahkan tampil kepanggung tingkat nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (Abdullah Syah, 2013:116)

Surah An Nisa’ ayat 59 menyebutkan bahwa sumber hukum Islam yang wajib di jadikan referensi di dalam segala segala tindakan dan hukum mereka, adapun terjemahan Surah An Nisa’ ayat 59 sebagai berikut:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩

 

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS An-Nisa: 59)

Pertama: Al Qur’anul Karim, mengamalkannya merupakan ketaatan kepada Allah.Kedua: sunnah Rasul, baik qauliyah (perkataan) maupun fi’liyah (perbuatan) mengamalkannya merupakan ketaatan kepda Rasul. Ketiga: pendapat ahlul Halli wal ‘aqdi didalam umat. Mereka terdiri atas ulama’ dan orang-orang yang bertanggung jawab tentang kemaslahatan umum, seperti tentara, para petani, industriawan, dan pendidik yang semuanya menangani bidangnya masing-masing. Mengamalkan pendapat mereka adalah ketaatan ulil amri. (Abdullah Syah, 2013: 8)

Hukum Islam ialah bentuk produk hukum yang sangat menjunjung tinggi kemaslahatan umat, sebenar-benarhukum yang mengedepankan hak asasi manusia, adil tanpa memandang pelaku kejahatan apakah kaya atau miskin, bukan produk hukum yang bisa ditawar-tawar sert tidak pula tajam kebawah dan tumpul kebawah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Syah,(2014), Butir-Butir Pemikiran Islam, Bandung: Citapustaka Media

Akmaluddin Syahputra,(2010), Konsep Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan dalam Islam, Jakarta : Bumi Aksara.

Hamid, M. (2008) Peran Serta Guru Profesional dalam turut Membentuk Karakter Bangsa Melalui Jalur Pendidikan Non Formal, dan Informal. Jakarta 

Muhammad Iqbal, (2010), Etika Politik Qur’ani penafsiran Quraish Shihab terhadap ayat-ayat Kekuasaaan, Medan: IAIN Press

M. Quraish Shihab,(2000), Secerah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al Qur’an, Bandung: Mizan.

Munir, (2010) Pendidikan Karakter Yogyakarta: PT Pustaka Insani Madani, Anggota IKPI

Said Hawa,(2004), Al Islam, Jakarta: Gema Insani

 

 

 

Share:

Pengikut

Definition List

Unordered List

Support