MEMBANGUN KESEJAHTERAAN UMMAT
Berperang
bukan berarti angkat senjata
Namun
berjuang dengan sungguh-sungguh
Kemampuan
maksimal yang dimiliki untuk memerangi kebodohan
Kemiskinan,
dan kezhaliman, dan lain lain yang ada di depan kita
Kata sejahtera memilik beberapa arti.
Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk pada keadaan yang baik; kondisi saat
orang-orang dalam keadaan terkait dengan pandangan hidup yang makmur. Dalam
ekonomi, sejahtera kata sejahtera terkait dengan pandangan hidup yang menjadi
landasannya. Kapitalisme atau sosialisme mengukur kesejahteraan dengan
capaian-capaian material (misalnya produk domestik bruto perkapita), walaupun
mereka berbeda tentang cara distribusinya. (Akmaluddin, 2010: 24)
Beberapa negara Barat, istilah
kesejahteraan umat/sosial menunjuk pada pelayanan Negara untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Di Amerika Serikat bahkan hal yang lebih spesifik lagi
pada uang yang dibayarkan pemerintah kepada orang-orang yang membutuhkan
bantuan finansial, yakni yang pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Islam mendefenisikan kesejahteraan umat
sebagai kondisi saat seseorang dapat mewujudkan semua tujuan (muqosid) syari’ah, yakni :
1. Terlindung kesuciannya
2. Terlindung keselamatan dirinya
3. Terlindung akalnya
4. Terlindung kehormatannya
5. Terlindung milik/hak ekonomisnya (Akmaluddin, 2010: 24)
Dengan demikian, kesejahteraan tidak cuma
merupakan buah suatu sistem ekonomi. Kesejahteraan adalah buah sistem hukum,
sistem politik, sistem budaya dan sistem pergaulan sosial. Karena itulah,
ideologi yang mendasari sistem-sistem ini sangat menetukan dalam memberikan
warna sejahtera seperti apa yang akan diwujudkan, apakah sistem seperti itu
bertahan akan bertahan lama atau berlaku secara universal.
Ada tiga pilar utama dalam membangun atau
mensejahterakan ummat, yaitu: (1) Mensejahterakan Ummat melalui Pendidikan, (2)
Mensejahterakan Ummat melalui Politik, dan (3) Mensejahterakan Ummat melalui
Ekonomi. Berikut penjelasa tiga pilar tersebut.
A. Mensejahterakan Ummat Melalui
Pendidikan
Negara Indonesia merupakan Negara yang
kaya akan budaya, suku, sumber daya alam, dan sebagainya. Sebagai Negara maju
dan berkembang, sumber daya manusia tidak boleh di kesampingkan. Kualitas warga
akan menentukan kea rah mana Negara tersebut bergerak. Pendidikan merupakan
asset penting bagi kemajuan sebuah bangsa, oleh karena itu setiap warga Negara
harus dan wajib mengikuti jenjang pendidikan, baik jenjang pendidikan usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun tinggi. Pendidikan memegang
peranan penting dalam menentukan kualitas warga Negara. Bagaimana tidak,
pendidikan merupakan investasi bagi masa depannya dan merupakan bagian dari
penentu keseksesan seseorang.
Indonesia merupakan negara demokrasi,
dimana rakyatnya memiliki kebebasan yang dilindungi oleh hukum. Setiap warga
negara telah mengatur hak setiap warga negara Indonesia untuk mendaptkan
pendidikan sebagai sarana dalam meningkatkan kualitas hidupnya yaitu pada UUD
pasal 28 C ayat 1 dan 2 dan pasal 31 ayat 1 dan 2. Dalam pembukaan UUD 1945
alinea ke-4 juga memuat salah satu tujuan Bangsa Indonesia, yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa. Bahkan, pemerintah berupaya meningkatkan taraf kehidupan
rakyatnya dengan mewajibkan belajar pendidikan dasarnya selama 9 tahun bagi
warga negara Indonesia.
seiring dengan perkembangan zaman, setiap
orang berlomba-lomba ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Pendidikan
dapat mengembangkan pemikiran setiap orang. Pendidikan tidak hanya selalu
mengenai pelajaran disekolah, melainkan pendidikan juga diperlukan dalam
bersikap dan bertingkah laku. Manusia yang berpendidikan atau berilmu berbeda
dengan manusia yang tidak berpendidikan atau tidak berilmu. Hal ini dapat kita
lihat dari cara bersikap, bertutur, cara berfikir, dan menjaga emosi. Negara
masyarakat masa datang, diperlukan ilmu yang cukup untuk dapat mendukung
kokohnya pendirian suatu Negara. Negara yang akan melangkah maju membutuhkan
daya dukung besar dari masyarakat, membutuhkan tenaga kerja yang lebih
berkualitas, dengan semangat loyalitas tinggi.
Pendidikan merupakan upaya yang terencana
dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan
tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu,
sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun rohani.
Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat di tuntut
untuk di bentuk dan di bangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan
kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mamapu
merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan
pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjut dan merata. Ini sejalan dengan
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah”….agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Munir, 2010:11)
Melihat kondisi sekarang dan akan datang,
ketersediaan SDM yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital. Ini
dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa. Memang
tidak mudah menghasilkan SDM yang tertuang dalam UU tersebut. persoalannya
adalah hingga saat ini SDM di Indonesia mash belum mencerminkan cita-cita
pendidikan yang di harapkan. Misalnya untuk kasus-kasus actual. Masih banyak
ditemukan bahwa siswa yang menyontek dikala sedang menghadapi ujian, bersikap
malas, tawuran antar sesame siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba,
dan lain-lain. Disisi lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa memberikan
contoh-contoh tidak baik ke siswanya. Kondisi ini terus terang sangat memilukan
dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945.
Kondisi ini mencerminkan peran yang cukup
signifikan yang mengharuskan adanya tindakan-tindakan untuk mengatasinya.
Jawaban yang paling kompleks yaitu melalui pendidikan baik formal, informal
maupun non formal, sebagai upaya untuk membangun pribadi yang kuat dan tangguh
dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di masa yang akan datang (Hamid,
2008: 80)
B. Mensejahterakan Ummat Melalui
Politik
Manusia adalah human sosial atau makhluk sosial yang tidak bisa terlepas diri dari
hidup orang lain, saling membutuhkan satu sama lain sehingga manusia tidak akan
bisa bertahan hidup tanpa keberadaan makhluk lain atau orang lain. Manusia juga
oleh Aritoteles di sebut “zoon politicon”
yanitu dalam artian manusia memerlukan tatanan-tatanan peraturan, norma-norma,
dan sistem dalam mengatur hidup urusan dan kehidupan serta mengatur kepentingan
dan urusan wilayah/Negara berdasarkan tujuan bersama. Oleh karena itu ada dua
poin penting kontribusi yang dapat ditarik dari penafsiran Quraish Shihab
terhadap Al Qur’an tentang kekuasaan, yaitu :
1. Penegakan Etika Dalam Kehidupan Politik
Sesuai dengan pandangan Sunni yang dianutnya, bahwa kekuasaan politik adalah untuk mengatur
masalah-masalah umat, maka apapun proses politik yang harus dilandasi oleh
nilai-nilai moral dan etika yang bersumber pada ajaran agama. Ini sesuai dengan
pesan utama Rasulullah Saw. bahwa ia tidak di utus ke dunia melainkan untuk
menyempurnakan etika (akhlak) manusia.
Dari sini Quraish Shihab menolak pandangan
yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Pandangan-pandangan yang
mengatakan bahwa politik itu kotor, dalam politik tidak ada kawan atau lawan
yang abadi kecuali kepentingan, jangan bawa-bawa moralitas dalam arena politik,
dan jargon-jargon lain yang berusaha menjustifikasikan segala cara untuk
mencapai tujuan politik, adalah cara pandang sesat lagi menyesatkan. Orang
boleh saja berupaya untuk menggapai kekuasaan politik, bahkan yang tertinggi
sekalipun, namun ia tidak boleh melupakan nilai-nilai moral dan etika.
Quraish Shihab dengan tegas dan lugas
menyatakan : “Janganlah menjalankan pemerintahan seperti cara orang jahil, yang
merasa akan berkuasa sepanjang masa atau seumur hidup, jangan juga menempuh
jalan yang ditelusuri oleh para diktator, jangan beri peluang kepada yang
angkuh atau berkuasa-apalagi yang berkausa atas nama Anda-untuk melakukan dosa
dan pelanggaran. Jika ini Anda abaikan, maka Anda akan memikul dosa-dosa Anda
sendiri dan dosa-dosa mereka.”(Muhammad Iqbal, 2010: 113)
Ini mengisyaratkan bahwa Quraish Shihab
berusaha memberikan sentuhan moralitas dan nilai-nilai agama dalam setiap
proses politik. Agama harus mampu berperan mengarahkan kehidupan sosial menuju
masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera di bawah naungan maghfirah Allah,
yang dalam bahasa Al Qur’an di ungkapkan dengan baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Menurutnya ada tiga peran
agama dalam mewujudkan hal demikian, yaitu:
a. Agama hendaknya menjadi kekuatan pendorong
bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
b. Agama hendaknya memberikan kepada individu
dan masyarakat suatu kekuatan pendorong untuk meningkatkan partisipasi dalam
karya dan kreasi masyarakat.
c. Agama dengan nilai-nilainya harus mampu berperan sebagai
isolator yang menghambat seseorang dari segala penyimpangan. (Quraish Shihab, 2000, 18)
Menurut Quraish
Shihab, dalam pandangan agama, Tuhan memberi kemampuan kepada pemerintah untuk
meluruskan yang keliru dan mendorong kepada kebenaran melebihi kemampuan
tuntunan-tuntunan-Nya yang bermmaktub dalam kitab suci. Dengan
kekuasaan yang di miliki pemerintah, sekian banyak hal yang dapat dicapai dan
sekian banyak keburukan dapat tercegah. Dengan demikian, kekuasaan politik yang
di landasi etika yang kuat tentu akan melahirkan masyarakat yang beretika pula.(Quraish
Shihab, 2006: 377)
Disinilah signifikansi dan kontribusi
pemikiran Quraish Shihab. Ia mengajak kita kembali kepada kesadaran hakiki kita
sebagai umat manusia dan sebagai bangsa Indonesia untuk senantiasa menegakkan
moralitas dan aturan main dalam pengelolaan kekuasaan politik. Pada dasarnya,
semua manusia menginginkan hidup yang tenang, aman, damai, dan sejahtera. Ini
adalah fitrah manusia, karena itu, penegakkan nilai-nilai etika dan moralitas
merupakan hal yang sesuai pula dengn nilai-nilai fitrah itu sendiri (Muhammad
Iqbal, 2010: 119).
2. Pemihakan terhadap Kepentingan Masyarakat
Quraish shihab
menyatakan bahwa kekuasaan politik adalah anugerah Allah yang diperoleh melalui
suatu perjanjian anatara penguasa dengan Allah, disatu sisi dan antara penguasa
dengan masyarakat disisi lain, dan karena itu, kekuasaan bukan lah
keistimewaan, fasilitas atau leha-leha, tetapi tanggung jawab, pengaorbanan dan
kerja keras. Kepemimpinan bukan kesewenang-wenangan bertindak,
tetapi kewenangan melayani, keteladanan, berbuat dan kepeloporan bertindak. Ini
berarti bahwa penguasa kekuasaan yang diperoleh seseorang harus dapat
digunakannya sebaik mungkin untuk pelayanan terhadap kepentingan masyarakat
(Muhammad Iqbal, 2010: 119)
Bagi Quraish Shihab, karena kekuasaan
perjanjian segitiga antara penguasa dan rakya serta penguasa dan Allah, maka apapun bentuk
pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan oleh penguasa akan dipertanggung
jawabkannya didepan pengadilan Allah kelak. Tidak ada satu pun yang lepas dari
pertanggung jawaban.
Setiap kali ego masing-masing anggota
masyarakat yang lebih menonjol, maka terjadilah keretakan hubungan antara
mereka. Ketika itu akan semakin parahlah penyakit masyarakat itu. Dalam keadaan
demikian, apapun cara yang di ambil untuk menaggulangi krisis atau permasalahan
yang timbul, tetapi dengan mengedepankan ego masing-masing baik pribadi ataupun
kelompok bukan pada kepentingan masyarakat tidak akan berhasil. Yang lahir dari
kondisi demikian adalah sikap aji mumpung
pemegang kekuasaan dalam mengatasi krisis. Krisis dijadikan sebagai lahan
meraih keuntungan sebesar-besarnya, bukan lagi untuk menanggulanginya.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa
Quraish Shihab sangat menekankan pemihakan pada kepentingan masyarakat dalam pelaksanaan kekuasaan.
Setiap kekuasaan yang tidak memihak kepada kepentingan masyarakat akan
berpotensi menghancurkan masyarakat itu sendiri. Rakyat tidak merasa mendapat
pengayoman dari pemegang kekuasaan. Rakyat bahkan dibebani dengan
kewajiban-kewajiban yang berat melampaui batas kemampuan mereka. Sebaliknya
pemegang kekuasaan merasa benar sendiri dan melaksanakannya untuk
kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok.
Akhirnya
terjadi ketidak seimbangan antara pemegang kekuasaan dan rakyat. Hal ini
berakibat pada terjadinya ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa. Kalau ini
terjadi, bagaikan air yang tersumbat, maka pada suatu saat sumbatan tersebut
akan terbuka dan air akan melimpah menghantam apa saja yang dilaluinya. Rakyat
tidak percaya kepda penguasa dan melakukan koreksi total terhadap mereka.
Inilah yang akan terjadi pada bangsa kita yang pada akhirnya tumbang dan
meninggalkan luka ka bagi bangsa.
C. Mensejahterakan Ummat Melalui
Ekonomi
Masalah ekonomi senantiasa menarik
perhatian berbagai kalangan masyarakat maupun individu, karena ekonomi
menyangkut dengan kebutuhan hidup manusia. Manusia di hadapkan pada persoalan
bagaimana memelihara, mempertahankan, dan menyaambung kehidupannya. Bermula
sebagai individu seorang diri, kemudian bekerjasama sebagai anggota kelompok
yang makin lama makin berkembang jumlahnya. Mula-mula cukup dengan sekedar
memungut hasil dari alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lalu manusia juga
mesti bekerja keras, bersaing, bertikai, bahkan berperang untuk alasan klasik
yang tak pernah using, yakni “mempertahankan dan menyambung kehidupan indrawi”.
(Saepudin, 1990: 91)
Berbagai penelitian menghasilkan teori
yang dilakukan oleh peneliti kemudian dijadikan rujukan untuk mengambil
kebijakan oleh pemegang kebijakan dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah
ekonomi tersebut. Namun, teori dan kebijakan yang dihasilkan belum terbukti
sampai sekarang dapat menyelesaikan masalah ekonomi. Sistem kapitalis dengan
mekanisme pasarnya dan sosialis dengan perekonomian terpimpin yang menjadi
ideologi ekonomi bagi dunia Barat dan Timur belum mampu menyelesaikan masalah
ekonomi.
Persoalannya sekarang kenapa sistem
Kapitalis dan Sosialis belum mampu menyelesaikan persoalan ekonomi? Kemudian
bagaimana Islam dengan sistem ekonomi nya dapat meneyelesaikan permasalahan
ekonomi?
Di tengah pertarungan antara ekonomi
kapitalis dengan sosialis dalam rangka memperluas dan memperteguh paham
masing-masing, muncullah suatu sistem ekonomi alternative. Dan dampaknya sestem
ini, disebut-sebut akan mampu mengantisipasi permasalahan ekonomi, sehingga
dipandang dapat mewujudkan masyarakat adil makmur dalam Bahasa Al-Quran “Baldatun
thayyibah Warabbun Ghafur” karena secara empiris sudah terbukti pada saat
Rasulullah berada di Madinah, membangun kota tersebut. sistem ekonomi tersebut
adalah sistem ekonomi Islam. (Ibrahim, 1994: 8)
Sistem ekonomi islam muncul pada saat
Islam itu ada, karena Islam adalah agama yang komprehensif dan universal,
bahkan sudah diterapkan sejak zaman dulu yakni sejak Rasulullah berada di
Madinah, namun secara ilmiah gagasan mengenai ekonomi Islam baru muncul secara
Internasional pada sekitar dasawarsa 70-an, ketika pertama kali diselenggarakan
konperensi Internasional tentang ekonomi Islam di Makkah pada tahun 1976. Sudah
tentu ini tidak berarti bahwa konsep ekonomi Islam tersebut belum belum pernah
di bahas sebelumnya. Pembahasan secara modern tentang ekonomi Islam yang
bersifat filosofi sudah ada sejak permulaan dasawarsa 50-an dan meningkat pada
dasawarsa selanjutnya mengenai sistem ekonomi, pembangunan ekonomi, sejarah
pemikiran ekonomi dan analisis yang sifatnya empiris. (Raharjo, 1993: 15)
Sistem ekonomi Islam mempunyai
prinsip-prinsip dasar yakni lebih mengutamakan aspek hukum dan etika yakni
adanya keharusan menerapkan prinsip-prinsip hukum (syari’at) dan etika bisnis
yang Islami. Secara filosofis, sistem ekonomi Islam mengandung muatan
prinsip-prinsip dasar hukum ekonomi yang ideal, antara lain: Prinsip ibadah (at-Tauhid),
persamaan (al-musawat), kebebasan (al-hurriyat), keadilan (al-‘adl),
tolong-menolong (al-ta’awun) dan toleransi (al-tasamuh) (Azhar
basyir, 1992: 204). Prinsip-prinsip berikut merupakan pijakan yang sangat
mendasar bagi penyelenggara semua kegiatan ekonomi.
Sistem ekonomi Islam memiliki beberapa
misi: pertama, melaksanakan aqidah dan syariat dalam kegiatan ekonomi dan
bisnis; Kedua, mencapai keberhasilan dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomi yakni
kemakmuran secara efesien, dan Ketiga, memberdayakan dan mengembangkan potensi
ekonomi umat sebagai basis kekuatan ekonomi baik dalam skala nasional maupun
regional global.
Adapun ciri-ciri yang melekat dalam sistem
ekonomi Islam dapat memperkuat prinsip-prinsip di atas sebagai berikut:
1. Kepemilikan Multijenis (Multitype Ownership).
Dalam sistem ekonomi kapitalis, prinsip umum kepemilikan terletak pada
perorangan (swasta), sedangkan ekonomi sosialis kepemilikan berada pada Negara.
Adapaun sistem ekonomi Islam menganut prinsip multijenis, yakni mengakui
berbagai bentuk kepemilikan individu (swasta) maupun Negara (kolektif).
2. Kebebasan berusaha/bertindak (freedom to act)
yakni menjabarkan nilai-nilai nubuwah (siddiq, amanah, fathanah, dan tabligh),
dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kegiatan ekonomi. Kebebebasan
berkaitan erat dengan hak dan kewajiban untuk berlaku adil dalam bersikap dan
bertindak sehingga tidak merugikan orang lain.
3. Keadilan sosial (social justice) merupakan
sikap yang harus dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan ekonomi sehingga
terhindar dari segala bentuk tindak pelanggaran hukum syara’.
Dengan demikian prinsip pemberdayaan
ekonomi harus di awali dari beberapa keyakinan normatif. Keyakinan normatif
yang dimaksud antara lain :
1. Manusia merupakan khalifah dan pemakmur
bumi
2. Setiap harta yang di miliki terdapat
bagian orang lain
3. Dilarang memakan harta (memperoleh harta)
secara bathil.
4. Pengahpusan praktik riba dan berbagai hal yang
yang meracuni kebaikan dan kehalalan harta.
Penolakan terhadap monopoli dan hegemoni
yang mengakibatkan hak dan ruang berkarya orang menjadi sulit. Kekayaan
merupakan amanah Allah dan tidak di
miliki secara mutlak. Islam memberikan ruang gerak yang sangat luas
kepada manuasia bermuamalah selam tidak melanggar ketentuan syari’ah, etika dan
bisnis islam.
Ketika berbicara tentang kebijakan ekonomi
dalam islam. Hendaknya kita tidak mencampurkan adukkan antara dua hal : antara
hukum kehidupan ekonomi-seperti hukum penawaran (supply) dan permintaan (demand)
dengan aspek perundang-undangan, yang mencerminkan kebijakan ekonomi (Said Hawwa, 2004: 521)
Islam tidak menghendaki kemiskinan dan
berusaha memerangi kemiskinan dan membendung serta mengawasi kemungkinan yang
dapat menimbulkan kemiskinan. Islam mengahruskan setiap individu mencapai taraf
hidup yang wajar dan layak dalam masyarakat. (Abdullah Syah, 2013: 113)
Ada beberapa langkah upaya dan usaha
MUI-SU untuk meningkatkan taraf hidup fakir miskin, diantaranya dengan membina
umat baik melalui muzakarah, pelatihan dan pembekalan ilmu kepada masyarakat
agar dapat hidup layak dan berkemampuan bersaing dengan umat lain.
MUI-SU mengadakan berbagai muzakarah dalam
bidang ekonomi Islam dan perbankan Islam, serta mendorong agar umat Islam
mendirikan bank Islam, BPRS dan BMT yang kesemuanya bertujuan membantu untuk
meningkatkan taraf hidup kaum dhuafa/fakir miskin. Sekaligus mendorong
bermuamalah dengan bank Islam dan ekonomi Syari’ah (Abdullah Syah, 2013: 111).
Sesuai dengan
ciri dan karakteristik ekonomi Islam di atas, kualitas kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat dapat terwujud, sehingga berkurang kesenjangan sosial dan
ekonomi, yang mana mereka akan mampu membangun ekonomi melalui peningkatan
kualitas semua kegiatan usaha, membuka lapangan kerja baru serta meningkatkan
kesejahteraan ekonomi masyarakat. Hal ini telah dibuktikan
oleh Rasulullah 14 abad yang lalu di kota Madinah.
D.
Membangun Kesejahteraan Melalui Hukum
Rasulullah Saw
mengamanahkan kepundak para ulama untuk memikul tanggung jawab dan peranannya
sebagai pewaris para Nabi, sebagaimanasabda Rasulullah Saw yang artinya : “Para
Ulama adalah pewaris para Nabi” (HR. Imam Ahmad, Abu dawud dan Ibnu Majah).
Kalimat pewaris nabi secara terminologi mengandung
pengertian dan lingkup yang luas mencakup peran para Nabi pembawa risalah Ilahi
dengan segala konsekuensinya memegang peranan penting dalam mendorong perubahan
sosial dengan segala resiko dan tantangan. Menyadari peran tersebut, peran
ulama dalam kiprahnya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, terpanggil bersama-sama zuama, cendikiawan muslim untuk memberikan
darma bakti dalam membangun masyarakat dan bangsa. dalam mendorong perubahan
sosial, para ulama terjun sebagai guru, muballigh, da’i memasuki lorong-lorong,
dari pelosok ke pelosok, dari kota ke kota memberikan fata hukum, menuntun
tatanan kehidupan bermasyarakat dan bahkan tampil kepanggung tingkat nasional.
Perubahan sosial dari aspek perkembangan
hukum Islam dan perkembangan lembaga Peradilan Agama dari masa ke masa,
tercatat dalam sejarah sungguh besar andil para Ulama. Ulama sebagai pewaris
nabi, senantiasa mengajarkan islam untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam,
memberi fatwa hukum dan memberikan tuntunan tata kehidupan sosial di
tengah-tengah masyarakat, bahkan tampil kepanggung tingkat nasional dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. (Abdullah Syah, 2013:116)
Surah An Nisa’ ayat 59 menyebutkan bahwa
sumber hukum Islam yang wajib di jadikan referensi di dalam segala segala
tindakan dan hukum mereka, adapun terjemahan Surah An Nisa’ ayat 59 sebagai
berikut:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ
مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ
تَأۡوِيلًا ٥٩
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS An-Nisa: 59)
Pertama:
Al Qur’anul Karim, mengamalkannya merupakan ketaatan kepada Allah.Kedua: sunnah Rasul, baik qauliyah
(perkataan) maupun fi’liyah (perbuatan) mengamalkannya merupakan ketaatan kepda
Rasul. Ketiga: pendapat ahlul Halli wal ‘aqdi didalam umat.
Mereka terdiri atas ulama’ dan orang-orang yang bertanggung jawab tentang
kemaslahatan umum, seperti tentara, para petani, industriawan, dan pendidik
yang semuanya menangani bidangnya masing-masing. Mengamalkan pendapat mereka
adalah ketaatan ulil amri. (Abdullah Syah, 2013: 8)
Hukum Islam ialah bentuk produk hukum yang
sangat menjunjung tinggi kemaslahatan umat, sebenar-benarhukum yang
mengedepankan hak asasi manusia, adil tanpa memandang pelaku kejahatan apakah
kaya atau miskin, bukan produk hukum yang bisa ditawar-tawar sert tidak pula
tajam kebawah dan tumpul kebawah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Syah,(2014), Butir-Butir Pemikiran Islam, Bandung:
Citapustaka Media
Akmaluddin
Syahputra,(2010), Konsep Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan dalam Islam,
Jakarta : Bumi Aksara.
Hamid, M. (2008) Peran
Serta Guru Profesional dalam turut Membentuk Karakter Bangsa Melalui Jalur
Pendidikan Non Formal, dan Informal. Jakarta
Muhammad Iqbal, (2010), Etika Politik Qur’ani penafsiran Quraish
Shihab terhadap ayat-ayat Kekuasaaan, Medan: IAIN Press
M. Quraish Shihab,(2000),
Secerah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al Qur’an, Bandung: Mizan.
Munir, (2010) Pendidikan
Karakter Yogyakarta: PT Pustaka Insani Madani, Anggota IKPI
Said Hawa,(2004), Al Islam, Jakarta: Gema Insani