"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Kamis, 21 September 2023

MELESTARIKAN LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN HADIS NABI SAW

Pertambahan jumlah penduduk tidak bias dibatasi. Bila di tahun 1980 an jumlah penduduk Indonesia sekitar 135 juta, maka pada tahun 2015 jumlah itu telah mencapai 250 juta. Jumlah manusia yang banyak pasti membutuhkan lahan lebih banyak lagi untuk dijadikan tempat tinggal, maka konsekuensinya adalah mengubah fungsi tanah persawahan, atau perkebunan, atau rawa-rawa tempat penampungan air, atau bahkan hutan menjadi pemukiman. Hal itu tentu akan mempengaruhi lingkungan alam. Jumlah pepohonan berkurang karena harus dibabat. Debit air tanah juga berkurang karena banyak tanah yang semula merupakan wilayah resapan air seperti situ, empang, atau raw-rawa kini tidak ada lagi karena telah menjadi pemukiman.

Jumlah penduduk yang semakin banyak itu, juga memproduksi sampah dan limbah yang semakin berlipat volumenya. Tentu sampah dan limbah itu mencemari lingkungan. Kebersihan udara tercemar, kualitas air tanah semakin buruk, bahkan di beberapa tempat air tanah sudah tidak bias dikonsumsi karena berbau busuk dan mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan.

Tuntutan adanya lapangan kerja bagi jumlah penduduk yang semakin banyak juga tidak bisa dihindari. Maka didirikan pabrik-pabrik di sekitar pemukiman tempat tinggal untuk menampung mereka dalam dunia kerja. Pabrik-pabrik juga memberi kontribusi pencemaran udara karena asap atau cairan pembuangan yang dihasilkan dari pabrikpabrik itu.

Semua yang terjadi seiring dengan pertambahan jumlah penduduk itu tidak bias dihindari. Kalau demikian adanya maka yang dapat dilakukan adalah mengimbangi kerusakan dan pencemaran lingkungan alam dengan dengan melakukan penghijauan dengan menanam sebanyak mungkin pohon di lahan-lahan kosong di sekitar tempat tinggal. Reboisasi atau penanaman hutan kembali juga harus dilakukan di hutan-hutan yang telah ditebang atau terbakar.

Dalam konteks itulah hadis nabi yang menganjurkan kepada kita untuk menanam pohon patut dipelajari.

Disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw bersabda: Dari Anas bin Malik ra. Dia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang Muslimpun yang menanam atau bercocok tanam, lalu tanamannya itu dimakan oleh burung, atau orang, atau binatang, melainkan hal itu menjadi shadaqah baginya”. (HR. Bukhari)

Penjelasan Hadis

Melalui hadis ini, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menanam atau bercocok tanam. Berdasarkan hadis ini dapat dikatakan pula bahwa dengan bercocok tanam atau menanam pohon akan diperoleh dua manfaat, yaitu manfaat keduniaan dan manfaat keagamaan.

Manfaat pertama yang bersifat keduniaan dari bercocok tanam adalah mendatangkan hasil atau produk berupa tersedianya bahan makanan. Dengan bercocok tanam maka banyak orang bisa mendapatkan manfaat darinya. Selain petani itu sendiri, masyarakat juga ikut menikmati hasil tanamannya baik yang berupa sayur-sayuran, buah-buahan, biji-bijian, ataupun palawija yang kesemuanya merupakan kebutuhan pangan mereka. Meskipun orang lain yang ikut mengambil manfaat harus mengganti dengan membayar sejumlah uang, tetap dapat dikatakan bahwa orang-orang yang bercocok tanam telah memberikan manfaat kepada orang banyak dengan menyediakan hal-hal yang dibutuhkan manusia.

Bahkan manfaat yang mereka berikan tidak terbatas pada penyediaan bahan makanan bagi orang lain saja akan tetapi dengan bercocok tanam, mereka telah menjadikan lingkungan lebih sehat untuk manusia, udara juga menjadi lebih sehat karena tanaman menghasikan oksigen yang juga sangat dibutuhkan manusia dalam proses pernafasan. Tanaman berupa pepohonan besar juga memberikan kerindangan dan keteduhan bagi orang-orang yang bernaung di bawahnya serta kesejukan bagi orang-orang di sekitarnya. Tanaman dan pepohonan juga menjadikan pemandangan alam yang indah dipandang mata, sehingga perasaan pun ikut menjadi damai berada di dekatnya.

Manfaat kedua adalah manfaat yang bersifat keagamaan yaitu pahala bagi orang yang menanam. Sesungguhnya tanaman yang kita tanam apaila dimakan oleh manusia, burung, atau binatang lain, meskipun hanya satu biji saja, maka hal itu adalah sedekah bagi penananya, baik dia kehendaki atau tidak. Sehingga dapat dikatakan bahwa seorang Muslim akan mendapatkan pahala dari hartanya yang dicuri, dirampas atau dirusak dengan syarat dia tetap berabar dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah swt. Sesungguhnya segala perkara bagi seorang Muslim bisa bernilai ibadah dan mengandung kebaikan.

Karena itu siapapun seorang Muslim yang menanam pohon, hendaknya jangan berpikir bahwa buahnya hanya boleh dimakan oleh dirinya sendiri dan keluarganya, akan tetapi patut pula dia berpikir untuk ikhlash apabila buahnya dimakan oleh orang, burung ataupun binatang lain. Dalam hal ini terdapat kisah yang patut dijadikan pelajaran. Yaitu kisah seorang kakek yang menanam pohon zaitun.

Dikisahkan bahwa suatu hari raja Anusyirwan ketika sedang berburu menjumpai seorang kakek tua sedang menanam pohhon zaitun. Melihat hal itu raja berkata kepada kakek tua itu: “wahai kakek, bukan sekarang saatnya kau menanam zaitun, karena dia pohon yang sangat lama tumbuhnya, sehingga bila dia berbuah pasti engkau sudah meninggal”. Mendengar kata-kata raja itu, kakek tua dengan bijak menjawab: “wahai raja, orang-orang sebelum kita telah menanam, lalu kita memakan hasilnya, maka sekarang kita menanam. Supaya orang-orang sesudah kita dapat memakan hasilnya”

Mendengar jawaban kakek tua itu, raja pun merasa senang dan memberinya sejumlah hadiah.

Sepatutnya begitulah orang-orang berpikir bahwa kita telah mengambil manfaat dari apa yang telah diusahakan oleh orang lain, maka kitapun akan melakukan sesuatu demi kemanfaatan yang dapat dirasakan oleh orang lain pula. Seorang Muslim yang menanam tanaman tidak akan pernah merasa rugi, sebab tanaman tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh manusia dan hewan, bahkan oleh bumi kita diami. Tanaman yang dia tanam, lalu diambil oleh siapa saja, baik dengan jalan yang halal ataupun jalan haram, tetap saja yang menanamnya akan mendapatkan pahala, sebab tanaman yang diambil tersebut berubah menjadi sedekah baginya, walaupun dia tidak meniatkan tanamanny yang diambil atau dirusak orang atau hewan itu sebagai sedekah.

Begitu pentingnya menanam pohon sebagai upaya untuk memelihara lingkungan, maka dalam hadis lain Rasulullah memerintahkan untuk menanami tanah-tanah yang kosong. Bahkan kalau pemilik tanah itu tidak sanggup menanaminya, Rasulullah menganjurkannya untuk mencari orang lain yang akan menggarapnya.

Dari Abu Hurarah ra. Dia berkata: “Rasulullah saw bersabda ‘siapa yang memiliki tanah hendaklah dia menanaminya, atau hendaklah dia serahkan kepada saudaranya untuk ditanami, jika tidak mau, maka hendaklah dia tahan (kepemilikan) tanah itu (disewakan kepada orang lain untuk ditanami) (HR Bukhari)

Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah sangat menghargai tanah yang merupakan karunia Allah swt. Karena itu orang yang memiliki tanah cukup luas tetapi tidak sanggaup untuk mengelola dan memanfaatkan tanahnya dengan menanaminya, diperintahkan untuk menghibahkannya kepada saudaranya agar dikelola, atau disewakan kepada orang lain untukdigarap. Dengan cara demikian maka dia tidak dianggap menelantarkan lahan. Selain itu dia telah menolong orang lain dengan memberiya pekerjaan.

Begitulah Islam sejak zaman Nabi telah memperhatikan lingkungan sebagai upaya pelestarian lingkungan itu sendiri sehingga tidak terbengkalai bahkan memberikan manfaat dan maslahat kepada umat manusia.

 

Share:

Rabu, 20 September 2023

SABAR DALAM HIDUP

Pernahkah kita menghayati kisah para nabi? Semua nabi yang Allah utus untuk umatnya, masing-masing diberi cobaan dan ujian yang berat. Nabi Nuh AS. diberi ujian sulitnya umatnya menjadi beriman. Dalam masa 950 tahun berdakwah, Nabi Nuh AS. baru bisa mengajak sedikit umat yang beriman. Bahkan istri dan anaknya yang bernama Kan’an tidak ikut menjadi orang yang beriman. Keduanya lebih mengikuti ajakan kaum kafir dan dibinasakan Allah bersama orang-orang kafir lainnya.

Berbeda lagi dengan Nabi Ibrahim AS. yang juga banyak diuji dengan berbagai cobaan berat, antara lain hidup di bawah tekanan Raja Namrudz yang kafir dan kejam yang menghukum secara zalim siapa saja yang tidak menuruti perintahnya dan membakar Nabi Ibrahim AS. Juga ujian berupa ayah Nabi Ibrahim yang tidak bersedia beriman karena takut kepada Raja Namrudz, serta ujian berupa perintah mengorbankan anaknya, Ismail AS. kecil, untuk Allah dengan cara menyembelihnya secara langsung yang kemudian diganti oleh Allah dengan domba yang gemuk, memindahkan istrinya Hajar dan anaknya Ismail ke negeri yang jauh dan tandus, Negeri Mekah.

Nabi Luth AS. yang diutus Allah membimbing kaumnya yang memiliki kebiasaan buruk yakni melakukan dosa besar berzina dengan sesama jenis, homoseksual (lesbian dan gay) agar menjadi beriman. Ujiannya berat, Nabi Luth AS. mendapat tantangan dari istri beliau sendiri dan pernah diusir oleh umatnya yang kafir dari kampung halamannya.

Nabi Ya’qub AS. merupakan ayah teladan yang sabar dalam mengantarkan anakanaknya. Salah satu anaknya diangkat menjadi nabi., yakni Nabi Yusuf AS. ketika anakanak Nabi Ya’qub mendengki dan berbuat jahat kepada Yusuf kecil, dan kemudian kepada Benyamin, adik Yusuf, Nabi Ya’qub hanya mengadu kepada Allah SWT., dengan bermunajat: “Innama asyku bassi wa huzni ilallahi” (Sungguh hanya kepada Allah, aku mengadu kesusahan dan kesediahanku). (QS. 12: 86). Nabi Yusuf AS. yang diuji sejak kecil dengan dimusuhi saudara-saudaranya, dimasukkan ke dalam sumur tua, dijual sebagai budak oleh para musafir, digoda oleh istri pejabat Mesir, dan dipenjara bertahun-tahun tanpa proses pengadilan yang adil dan jujur. Nabi Yusuf AS. ketika diancam penjara menyatakan, “Rabbis-sijnu ahabbu ilayya mimma yad‘una ni ilaihi...” (Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka...). (QS. 12: 33). Dan ketika menjadi orang berkuasa di Mesir dan kejahatan saudara-saudaranya sudah terkuak dan diakui sendiri oleh mereka, Nabi Yusuf AS. memaafkan dan tidak membalas sedikit pun, baik tindakan tau ucapan.

Nabi Ayyub AS. diuji dengan dirusakkan harta bendanya oleh setan, meninggal semua anaknya, sakit berat yang dideritanya membuat warga negerinya mengusirnya keluar kampung, bahkan istrinya pun akhirnya tidak bisa bertahan men dampingi Nabi Ayyub AS. di semua ujian dan bahkan puncak penderitaan, Nabi Ayyub AS. selalu berzikir dan memuji Allah, “Rabbi anni massaniyadh-dhurru wa anta arhamur-rahimin” (Ya Tuhanku, sungguh aku tertimpa kesulitan/derita sedangkan Engkau Maha Penyayang dari semua yang penyayang).

Nabi Musa AS. yang sejak bayi dicari-cari hendak dibunuh Raja Fir’aun, terpaksa dimasukkan keranjang dan dilepaskan di anak sungai atas perintah Allah, dan ketika besar menjadi musuh utama bagi Fir’aun yang zalim, dikejar-kejar hendak dibunuh, terlunta-lunta di negeri Madyan lalu ditolong oleh Nabi Syu’aib AS., diperintahkan Allah menghadapi Fir’aun walaupun hanya ditemani saudaranya, Nabi Harun AS.

Begitu pula kesabaran Nabi Isa AS. yang sejak dalam gendongan Ibunda Maryam AS. dimusuhi oleh kaumnya, dikejar-kejar oleh raja zalim dan sejumlah penyiksaan lainnya. Dan tentu pula kesabaran Nabi Muhammad SAW. dalam menghadapi kaum yang musyrik dan kafir di Mekah hingga Allah memerintahkan beliau untuk hijrah ke Madinah. Di Madinah pun beliau dimusuhi oleh kaum Yahudi dan Nasrani yang bekerjasama dengan kaum musyrik Mekah. Pada saatnya, beliau dan kaum mukminin dapat membangun Madinah, bahkan membangun semua penjuru dunia dengan landasan iman, Islam, dan ihsan.

Akhirnya, rahmat dan pertolongan Allah SWT. selalu dilimpahkan kepada hambahamba-Nya yang beriman dan sabar dalam ketaatan. Semua nabi Allah diselamatkan dan dimenangkan karena kepatuhan dan kesabarannya.

Hadis Riwayat Imam Muslim dari Shuhaib:

Haddab bin al-Azdiy dan Syaiban bin Farrukh telah menyampaikan hadis kepada kami, semuanya dari Sulaiman bin al-Mugirah -- dan lafaznya milik Syaiban. Sulaiman telah menyampaikan hadis kepada kami. Sabit telah menyampaikan hadis kepada kami. Dari ‘Abdirrahman bin Abi Laila, dari Suhaib RA., dia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Sungguh menakjubkan keadaan urusan orang yang beriman. Sungguh semua urusannya adalah terbaik. Hal itu tidak terjadi bagi siapapun, selain bagi orang yang beriman. Jika mendapatkan kebaikan (kenikmatan), diapun bersyukur dan syukur itu terbaik baginya. Jika tertimpa kesulitan (penderitaan), diapun bersabar dan sabar itu terbaik baginya”. (HR. Muslim: 7692)

Hadis Riwayat Imam Tirmizi dari Mus’ab bin Sa’ad dari ayahnya:

Artinya: Qutaibah telah menyampaikan hadis kepada kami, Hammad bin Zaid telah menyampaikan hadis kepada kami, dari ‘Asim bin Bahdalah, dari Mus‘ab bin Sa‘ad, dari ayahnya, ia berkata: “Aku bertanya, ya Rasulallah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?” Rasulullah SAW menjawab: “Para nabi kemudian yang lebih semisal itu lalu yang lebih semisal itu lagi. Seseorang itu diberi ujian sesuai kadar ukuran keagamaannya. Jika keagamaan seseorang itu tebal/kokoh maka ujiannya pun berat dan jika seseorang itu keagamaannya tipis/lunak, ujiannya pun sesuai dengan kadar keagamaannya. Tidak henti-hentinya ujian itu ada pada seorang hamba Allah hingga ujian itu membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tanpa beban dosa/kekeliruan”. (HR. Tirmizi: 2578)

Islam agama yang indah, mudah, dan sempurna (QS. 5:3). Banyak aspek ajaran Islam yang mencerminkan keindahan, kemudahan, dan kesempurnaan sebagai agama umat manusia sepanjang masa. Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa salah satu ajaran terpenting dalam Islam adalah syukur dan sabar. Dua istilah yang disandingkan dalam hadis di atas dan Allah pun memuji hamba-hamba-Nya yang senantiasa menjalani kedua ajaran tersebut. Bersyukur atas nikmat Allah yang lahir (tampak) maupun yang batin (tak tampak) dengan senantiasa hidup dalam ketaatan kepada-Nya dan bersabar atas ujian dan cobaan dalam hidup dengan menjadikannya sebagai tantangan yang pasti berdampak positif di kemudian hari, dunia dan akhirat.

Kedua ajaran tersebut sungguh telah terbiasa disampaikan dan dikaji, namun menjalani keduanya kerap kali dirasa sulit. Begitulah adanya, semua yang baik dan istimewa sering kali sulit dijalani karena pahalanya yang juga besar dan istimewa.

Hadis bagian pertama di atas mengajarkan dua hal pokok ajaran dalam agama, syukur dan sabar. Syukur, menurut ahli hakikat, dipahami sebagai pengakuan yang sadar akan nikmat Allah Yang Maha Pemberi dalam keadaan tunduk. Sering dinyatakan pula bahwa hakikat syukur adalah memuji Allah yang memberi terbaik dengan menyebut keterbaikannya. Syukurnya hamba tidak lain adalah mengucapkan dengan lisan, mengakui dengan hati atas nikmat Allah. Syukur dibagi menjadi tiga; syukur lisan dengan mengakui nikmat-nikmat disertai sikap rendah diri (di hadapan Allah SWT.) Syukur dengan badan serta anggota tubuh dengan memenuhi dan melayani (Allah SWT.), dan syukur hati adalah dengan iktikaf (ibadah) di atas bentangan penyaksian (Allah SWT) dengan menjaga keagungan Allah SWT.

Adapun tingkatan pelaku syukur dikelompokkan dalam dua, syakir dan syakur. Syakir adalah orang yang bersyukur atas apa yang ada/maujud. Adapun syakur adalah orang yang beryukur atas apa yang terhilang/mafqud. (al-Qusyairi: 1998, 210). Artinya, pada umumnya, dan demikian ini wajar, orang bersyukur atas apa yang ada, misalnya nikmat sehat, kuat, rizki, dan seterusnya. Ini maqam syakir. Namun bagi orang yang berproses sampai dalam maqam syakur, akan senantiasa bersyukur walaupun sesuatu yang ada sudah berkurang atau hilang, misalnya sedang sakit (kurang atau hilangnya sehat), lemah (kurang/hilangnya kuat), sulit ekonomi, dan seterusnya. Dalam konteks demikian, Nabi Muhammad SAW. ketika ditanya oleh Aisyah RA. ummul mukminin: “Wahai Rasulullah, apakah yang membuatmu menangis (saat shalat malam), padahal Allah sudah mengampuni dosamu yang lalu maupun yang kemudian?” Rasulullah menjawab: “Bukankah aku ingin menjadi hamba yang syakur/ahli bersyukur...”. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad). (al-Qusyairi: 1998, 210).

Adapun sabar adalah menahan diri dalam kebaikan/ketaatan dan menahan diri dari keburukan/maksiat, serta menahan diri dalam menghadapi musibah. Sabar dijelaskan oleh Nabi SAW. sebagai ketahanan saat pertama kali ujian datang (al-shabru ‘inda alshadmati al-ula). (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmizi, Nasa’i dari ‘Aisyah RA.). Sabar, secara umum, dibagi dua, yaitu sabar yang terkait dengan usaha manusia dan sabar yang tidak terkait usaha manusia. Sabar yang berkaitan dengan usaha manusia adalah bersabar atas apa yang Allah SWT. perintahkan dan sabar pula atas apa yang dilarang-Nya. Sedangkan sabar yang tidak terkait usaha manusia adalah bersabar atas kesulitan terkait dalam menjalani hukum Allah/sunnatullah. Zunnun al-Misri menjelaskan bahwa sabar adalah menjauhi hal-hal yang bertentangan, bersikap tenang ketika tertimpa cobaan, dan menampakkan sikap mampu saat datangnya kefakiran di medan kehidupan. Ibnu ‘Ata’ menjelaskan bahwa sabar adalah bertahan dengan (menjalani) cobaan dengan adab yang baik. (al-Qusyairi: 1998, 220).

Dari hadis pertama di atas, dapat diambil beberapa kandungan, antara lain: Pertama, betapa menjadi orang beriman adalah anugerah yang terbesar karena iman akan memandu pemiliknya untuk selamat dan bahagia dunia-akhirat. Islam meyakini tanpa iman yang benar dan amal shalih yang ikhlas, manusia tidak akan menemukan keselamatan dan kebahagiaan sejati.

Kedua, apapun pahit-manisanya kenyataan dalam hidup, bagi orang yang beriman selalu ada makna keutamaan di dalamnya. Kenyataan-kenyataan itu bukanlah sia-sia belaka. Di dalam QS. 3: 195 dinyatakan “Robbanaa ma khalaqta haza batilan, subhanaka faqina ‘azaban-nari” (Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan ini (semua) sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

Ketiga, ketika datang kenyataan manis, baik, dan nyaman, orang beriman diajarkan untuk bersyukur. Bersyukur adalah amalan terbaik dan berbuah terbaik pula. Seiring itu, jika kenyataan berubah menjadi pahit, sulit, tidak nyaman, orang beriman diajarkan untuk bersabar. Bersabar adalah amalan terbaik dan berbuah terbaik pula. Betapa banyak pahala dan balasan terbaik yang hanya diberikan kepada orang yang pandai bersyukur dan bersabar (li kulli shabbarin syakur), tidak kepada yang lain. Orang yang beriman, dengan syukur dan sabar, diajarkan untuk tetap taat dan ingat kepada Allah di saat lapang, nyaman, maupun di saat sempit dan menderita. Itulah sesungguhnya kesejatian hidup. Taat kepada Allah dalam segala kondisi, pahit atau manis, sakit atau sehat, miskin atau kaya, tuna kuasa atau berkuasa. Meski demikian, hal itu perjuangan yang sulit, kecuali bagi yang diberi rahmat Allah, dan sedikit dari banyak manusia yang mampu menjalani, sebagaimana Allah menyatakan “wa qalilun min ‘ibadiya al-syakur (dan sedikit dari hamba-hama-Ku yang pandai bersyukur). QS. 34: 13).

Keempat, bagi manusia yang tingkat imannya masih pemula (lemah), syukur di saat manis dan sabar di saat pahit adalah perkara yang berat. Banyak contoh betapa sebagian orang yang hidup dalam kemapanan dan kemewahan namun tidak bisa bersyukur kepada Allah Yang Maha Pemberi. Di sisi lain, banyak pula contoh, orang hidup dalam kepahitan dan kesulitan, namun tidak bisa bersabar akhirnya terjerumus dalam penderitaan yang lebih berat dan berakhir fatal.

Ketika seseorang diberi kekayaan dan jabatan, kemudian lupa kepada Allah, hingga ia terlibat korupsi dan suap untuk melanggengkan kekayaan dan kekuasaannya. Akhirnya kekuasaan berakhir dengan sangat tragis. Sang pejabat dari kursi menuju masuk penjara. Ini berbeda dengan Nabi Yusuf AS., dari penjara menuju kursi kekuasaan untuk kemakmuran negeri. Sementara ada sebagian orang yang diberi ujian kesulitan dan kemiskinan, namun tidak bersabar dengan cara berusaha yang baik dan halal, akhirnya ia terjerumus dalam kejahatan pencurian atau perampokan dan akhirnya hidup berakhir tertembak oleh timah panas polisi. Na’uzu billahi min zalika.

Di hadis yang kedua, Nabi Muhammad SAW. menjelaskan tentang manusia yang paling berat ujian dan cobannya, yaitu para nabi. Sebagaimana diketahui dan disinggung di bagian depan bahwa para nabi mengalami masa-masa yang sangat sulit dan mengancam nyawa diri, keluarga, dan kaum mukminun yang mendampingi di saat suka maupun duka. Selanjutnya manusia yang mendapat ujian berat setelah para nabi adalah para sahabat/pengikut dan pembela setia nabi, lalu yang di bawah itu, kemudian yang di bawah itu lagi, dan seterusnya. Mereka yang menjadi muslim, mukmin dan muttaqin juga tidak luput dari ujian dan cobaan hidup.

Para ulama yang berjuang membela kebenaran agama pun juga tidak lepas dari ujian berat kehidupan. Para pemimpin yang adil dan beriman tidak bebas dari ujian hidup. Mereka yang menjalani hidup dalam kebaikan dan kebenaran pasti akan bertemu dengan ujian hidup. Allah SWT. menyatakan bahwa untuk mengetahui yang sungguh beriman dan yang pura-pura beriman adalah dengan ujian. (QS. 29: 2-3). Dengan demikian, ujian dan cobaan hidup adalah alat uji bagi kekuatan, kesuksesan, kesejatian, dan keistimewaan seseorang dalam menjalani kehidupan. Ketika dia lulus dalam ujian yang berat, kebaikan dan kebahagiaan yang lebih besar akan di raihnya, di dunia dan akhirat. Jadi ujian hidup adalah keniscayaan menuju keberhasilan hidup.

Di hadis kedua ditandaskan bahwa ujian adalah juga berfungsi meleburkan atau menggugurkan dosa-dosa, sehingga orang beriman atau hamba-hama Allah yang setia, ketika bersabar dalam menjalani ujian hidup dengan terus berusaha dan berjuang mengatasinya secara positif akan dihapuskan kesalahan dan dosanya. Dalam salah satu hadisnya, Nabi Muhammad menjelaskan bahwa semua musibah yang dialami oleh orang yang beriman, bahkan terkena duri, dan disikapi dengan sabar akan menjadi penambah pahala dan penghapus dosa-dosa.

Rasulullah SAW. bersabda:

Dari ‘Aisyah RA. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Apa saja musibah yang menimpa orang mukmin, termasuk terkena duri dan yang lebih dari itu, pasti Allah tinggikan derajatnya dan hapuskan kesalahannya.” (HR. Muslim: 6727).

Dari penjelasan di atas dapat diambil simpulan bahwa hidup manusia terasa indah dan damai di dunia dan akhirat, jika hidup dijalani dengan senantiasa bersyukur atas nikmat dan bersabar atas ujian.

 

Share:

POLA HIDUP SEDERHANA DAN MENYANTUNI KAUM DHUAFA

Dalam hidup kita semua pasti mengharapkan dapat memenuhi semua yang kita inginkan, baik menyangkut kebutuhan primer seperti makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan dan tempat tinggal; maupun kebutuhan sekunder seperti kendaraan, televisi, telephon, dan hiburan; bahkan kebutuhan kemewahan seperti menginap di hotel berbintang, rekreasi ke luar negeri dan memiliki mobil atau rumah mewah. Namun kita tahu, bahwa tidak semua orang beruntung dapat menikmati hidup berkecukupan. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan kemewahan, saat ini masih banyak keluarga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan primer. Mereka tinggal di kolong-kolong jembatan atau di lapak-lapak pedagang pasar, tidak mampu menyekolahkan anak-anak, tidak memiliki pakaian yang layak, tidak mampu membiayai perawatan kesehatan dst.

Menyadari kondisi yang seperti itu, yang masih diderita oleh saudara-saudara kita sebangsa, atau seagama, bahkan mungkin masih memiliki hubungan keluarga dengan kita, lalu apakah kita yang diberi kenikmatan berupa kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhan, akankah dengan bangga kita tampilkan diri kita dengan pakaian indah-indah, mahal-mahal? Senangkah kita tunjukkan kepada mereka barang-barang mewah yang kita miliki; kalung, liontin, cincin berlian, hand phone, tablet dll. Tentu yang seperti itu tidak pantas kita lakukan. Apalagi kalau ditambah dengan sikap apatis atau tidak peduli terhadap nasib yang mereka alami.

Agama Islam tidak membenarkan sikap hidup bermegah-megahan atau bermewahmewahan, mencintai harta benda secara berlebihan, menganggap bahwa harta kekayaan adalah segalanya, dan akan membuat hidupnya kekal abadi. Sikap seperti itu dilarang, misalnya dalam al-Qur’an surat al-Humazah, al-Takatsur dan al-Lahab serta pada hadis-hadis yang akan kita pelajari. Islam juga melarang sikap apatis atau tidak peduli terhadap orang lain yang mengalami penderitaan. Penderitaan dapat dialami oleh setiap orang, mungkin diakibatkan oleh bencana alam, seperti tanah longsor, gempa bumi, banjir ataupun kebakaran. Atau disebabkan factor lain, seperti ketidakmampuan fisik, mental, maupun intelektual yang ada pada diri seseorang. Melihat orang lain mengalami penderitaan, seorang Muslim harus memberikan bantuan kepada mereka. Banyak ayat al-Qur’an maupun hadis nabi yang memerintahkan kita untuk peduli terhadap mereka, misalnya surat al-Maun dan al-Dluha dan hadis-hadis yang akan kita pelajari.

Gaya hidup mewah dan tidak peduli terhadap penderitaan orang lain, apabila telah menjadi gaya hidup mereka yang berpunya, maka dapat dipastikan hal itu sekurangkurangnya akan menanamkan sikap tidak senang pada diri orang-orang miskin kepada mereka yang kaya. Lebih dari itu mungkin saja timbul kemarahan dan kebencian yang sewaktu-waktu bias dilampiaskan dalam tindakan yang destruktif. Untuk menghindari kondisi yang seperti itu hendaknya mereka yang berkelebihan menunjukkan sikap sederhana dalam hidup dan mau peduli dengan nasib mereka yang berkekurangan dengan memberi bantuan, infak ataupun sedekah.

Hadis Pertama:

Dari Abdullah bin Amr, sesunggunya Rasululllah saw melewati Sa’ad yang sedang berwudhu. Maka Rasulullah bersabda: Kenapa berlebih lebihan seperti ini? Sa’ad menjawab: “Apakah dalam berwudhu ada yang dianggap berlebihan?” Rasulullah menjawab: Ya, meskipun kamu berada di atas sungai yang mengalir”

Hadis kedua:

Dari Hakim bin Hizam ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah, maka mulailah dengan orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah adalah dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan dirinya). Maka siapa yang berusaha menjaga dirinya, Allah akan menjaganya dan siapa yang merasa cukup untuk dirinya maka Allah akan mencukupkannya. (HR Bukhary)

Untuk memahami pengertian “pola hidup sederhana” dengan baik, maka harus kita pahami dua istilah yang terdapat di dalamnya yaitu pola hidup dan sederhana. Pola hidup adalah cara berperilaku dalam kehidupan sehari-hari sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Jadi pola hidup adalah bagaimana kita beraktifitas sehari-hari seperti mandi, makan, bekerja, berpenampilan, berolah raga, belajar dsb. Pola hidup dapat dikatakan sebagai kebiasaan. Bila kita memiliki kebiasaan buruk berarti kita memiliki pola hidup yang buruk. Begitu pula sebaliknya, kebiasaan yang baik menandakan kita telah melakukan pola hidup yang baik. Adapun sederhana adalah berperilaku sesuai kebutuhan dan kemampuan dengan tidak berlebih-lebihan atau bermewah-mewahan.

Seorang Muslim diperintahkan untuk memiliki pola hidup yang baik. Diantara pola hidup yang baik adalah hidup sederhana, yaitu berperilaku sesuai kebutuhan dan kemampuan dengan tidak berlebih lebihan atau bermewah-mewahan. Akan tetapi karena kebutuhan hidup orang itu berbeda-beda, maka ukuran sederhana untuk setiap orang juga berbeda-beda. Seorang pengusaha yang memiliki jaringan kerja antar propinsi, antar pulau, atau bahkan antar negara tentu sering mengeluarkan biaya banyak untuk biaya transportasi yang harus dia keluarkan baik untuk membeli mobil dan maintenance nya atau untuk membeli tiket pesawat, tentu hal itu tidak berarti dia tidak hidup sederhana atau bermewah-mewahan. Akan tetapi bagi seseorang yang tempat kerjanya dapat dijangkau dengan bersepeda atau berjalan kaki, maka kalau dia selalu mengendarai mobil untuk berangkan kerja, hal itu dapat digolongkan sebagai pola hidup yang berlebihan atau bermewah-mewahan.

Pada hadis pertama di atas, Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk hidup sederhana bukan hanya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga dalam melaksanakan ibadah. Diceritakan dalam hadis tersebut bahwa Rasulullah menegur seorang sahabatnya yaitu Sa’ad yang dianggap berlebihan dalam berwudlu. Imam al-Suyuti menjelaskan bahwa yang dianggap berlebihan dalam berwudhu tersebut adalah penggunaan waktu yang berlebihan dan melampaui batas ketentuan syariat wudlu. Karena itu hendaknya orang yang berwudlu menghindari sifat was-was yang menyebabkannya selalu merasa belum sempurna dalam berwudlu sehingga merasa perlu mengulang-ulang berkali-kali dalam membasuh anggota wudlu nya, dan akibatnya adalah penggunaan air yang berlebihan dan menghabiskan waktu yang lama. Menurut al-Suyuti juga, hadis ini membantah orang yang menganggap tidak ada “isrof” atau perbuatan yang dianggap berlebihan dalam menjalankan ketaatan dan ibadah.

Larangan berlebihan dalam hal menjalankan ketaatan dan ibadah, disebutkan juga dalam beberapa hadis Rasulullah yang lain. Dikisahkan bahwa ketika Rasulullah menjenguk sahabatnya yang Sa’ad bin Abi Waqqash yang sedang sakit keras, ketika itu Sa’ad berkata: Ya Rasulullah, saya memiliki banyak harta, dan ahli warisku hanya seorang anak perempuan, bolehkan saya berwasiat untuk mensedekahkan dua pertiga dari hartaku? Rasulullah menjawab: “jangan”. Lalu Sa’ad bertanya lagi “bagaimana kalau saya sedekahkan setengah harta saya” Rasulullah menjawab “jangan”. Lalu beliau bersabda: “sepertiga saja, sungguh jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (berkecukupan), hal itu lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain”.

Jadi pola hidup sederhana yang diperintahkan oleh Rasulullah bukan hanya dalam membelanjakan uang atau dalam porsi makanan yang akan kita konsumsi. Dalam ibadah dan amalan taat yang lain pun diperintahkan untuk sederhana. Memperkuat hadis di atas, Rasulullah saw juga bersabda: Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi saw, sesungguhnya beliau bersabda: “Makanlah, minumlah, dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan sombong” (HR Baihaki).

Apabila dalam berwudlu (beribadah) dan bersedekah (perbuatan taat) dilarang melampaui batas, maka lebih-lebih lagi dalam hal makan, minum, dan berpakaian. Dalam ketiga hal ini larangan melampaui batas itu mencakup jumlahnya, harganya maupun wadahnya.

Fungsi makanan dan minuman adalah untuk memberi energi kepada tubuh agar bias berdiri tegak dan melakukan kegiatan. Terkait dengan hal itu Rasulullah mengatakan bahwa beberapa suap makanan cukup bagi orang untuk menegakkan tulang punggungnya sehingga mampu berdiri tegak. Akan tetapi kalau orang masih merasa lapar, maka dia boleh menambah tetapi dia harus membagi rongga perutnya; sepertiga untuk makanan, sepertia untuk minuman, dan sepertiga untuk udara (nafas). Jika perut diisi makanan secara berlebihan maka dari perut itulah akan timbul berbagai macam penyakit. Lambung atau perut yang dipenuhi makanan atau minuman berpotensi menimbulkan berbagai penyakit seperti kolesterol tinggi, obesitas atau kegemukan dan diabetes. Selain itu perut yang kekenyangan akan membuat orang malas untuk beraktifitas termasuk menjalankan ibadah.

Selain dilarang mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang berlebihan, seorang Muslim juga dilarang membeli makanan yang terlalu mahal harganya, karena hal itu termasuk “Tabdzir” atau pemborosan (penghambur-hamburan) uang. Kalau sekarang berkembang di masyarakat, kebiasaan untuk makan-makan di restoran yang mahalmahal, hal itu termasuk pemborosan. Padahal jenis makanan yang sama bias dibeli di tempat lain dengan harga yang jauh lebih murah.

Selain itu dilarang pula mengkonsumsi makanan atau minuman dengan menggunakan wadah, piring atau gelas dari emas atau perak karena hal itu merupakan perbuatan bermewah-mewahan dan indikasi dari sifat sombong.

Kemudian pada hadis kedua Rasulullah saw memerintahkan umat Islam untuk meyantuni kaum “dhu’afa” atau orang-orang yang lemah yakni kaum fakir dan miskin. Kenapa demikian? Dalam hidup bermasyarakat, kita pasti pernah dimintai pertolongan atau bantuan oleh seseorang yang sedang mengalami kesulitan. Sebaliknya kita pun pasti pernah meminta pertolongan kepada orang lain di saat menghadapi persoalan yang tidak dapat kita atasi sendiri. Demikianlah saling memberi dan menerima merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam hidup kita. Betapa sulit hidup ini jika diantara teman sejawat, atau diantara tetangga, tidak ada kesediaan untuk saling membantu, segala urusan harus diatasi sendiri. Jika demikian yang terjadi maka sikap individualis dan egois, akan merasuk pada pribadi-pribadi dan akan berakibat setiap orang tidak peduli pada nasib atau derita orang lain dan hanya mementingkan diri sendiri. Terkait dengan hal ini, Islam sangat memberi motivasi yang besar agar kita gemar memberi baik dalam bentuk shadaqoh, hibah, hadiah, infaq maupun zakat.

Dalam hadis di atas, orang yang memberi digambarkan dengan tangan di atas, sebaliknya orang yang meminta diibaratkan dengan tangan di bawah. Pengibaratan seperti itu merupakan kinayah atau perumpamaan yang dapat dipahami secara denotative atau harfiyah maupun secara connotative atau ta’wil. Dengan pemahaman secara harfiyah terhadap hadis di atas, berarti orang yang memberi posisi tangannya berada di atas tangan orang yang meminta. Hal itu dapat kita saksikan dalam kenyataan sehari-hari ketika pengemis atau pengamen meminta sedekah dia menadahkan tangannya kepada orang-orang. Maka ketika orang memberikan sesuatu kepadanya secara otomatis tangannya berada di atas tangan pengemis atau pengamen itu.

Akan tetapi sekarang ini kegiatan meminta atau memberi tidak selalu berlangsung dalam interaksi fisik seperti itu. Misalnya pemberian bantuan uang melalui pengiriman wesel, melalui rekening tabungan, bahkan pemberian bantuan pulsa telepon yang tidak terlihat wujud barangnya dapat dilakukan dengan cara memberitahu nomor voucher melalui kontak atau sms kepada orang yang akan diberinya. Dalam interaksi meminta dan memberi seperti ini tentu tidak ada pertemuan tangan peminta dan pemberi, tidak ada tangan yang di bawah maupun yang di atas. Karena itu al-Nawawi memberikan penjelasan terhadap hadis itu dengan mengatakan bahwa yang memberi lebih tinggi derajatnya dari pada yang meminta, demikian pula yang tidak meminta-minta lebih tinggi derajatnya dari yang meminta-minta.

Hadis diatas selain menganjurkan orang untuk memberikan sebagian hartanya kepada orang yang membutuhkan, juga mengajarkan orang untuk mandiri, hidup dengan usaha dan jerih payah sendiri, tidak menggantungkan hidupnya pada pemberian dan bantuan orang lain. Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda: “Dari Miqdam ra, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada seseorang yang makan, yang lebih baik dari orang yang makan dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhary).

Keutamaan-Keutamaan Memberi

Selain pada hadis di atas, dalam beberapa hadis lain Rasulullah menjelaskan keutamaan-keutamaan orang-orang yang memberi, di antaranya:

«Allah Swt Maha Dermawan dan menyukai hamba-Nya yang dermawan.» (HR. Baihaqi);

«Bersedekah dapat menghapuskan dosa.» (HR. Bukhari);

«Bersedekah dapat mencegah datangnya musibah dan menghilangkan murka Allah.» (HR. Thabrani dan Baihaqi);

«Memberi dapat menghilangkan permusuhan.» (HR. Tirmidzi, Ahmad);

«Memberi hadiah dapat menambah pahala.» (HR. Ibnu ‹Adi);

«Yang memberi dan menerima sama-sama mendapatkan pahala dan meningkatkan kasih sayang.» (HR. Thabrani)

Adab Memberi dan Menerima Santunan

Ada tatacara (adab) dalam memberi dan menerima, sebaliknya ada juga laranganlarangan dalam memberi dan menerima. Tata cara pemberian antara lain sebagai berikut:

1.      Pemberian yang paling utama adalah dalam keadaan sehat, takut miskin, dan sedang banyak memiliki cita-cita atau keinginan (HR. Bukhari). Maksudnya pemberian dari orang yang sebenarnya masih sangat berhajat kepada barang yang diberikannya dan masih punya rencana untuk memanfaatkannya.

2.      Pemberian yang kurang baik adalah ketika ajal sudah dekat, kemudian baru memberikan harta atau menyedekahkannya (HR. Bukhari). Dengan kata lain pemberian di saat dia sendiri sudah tidak membutuhkannya.

3.      Pemberian hendaknya didahulukan kepada orang yang terdekat atau tetangga yang terdekat pintunya dengan pintu rumah kita (HR. Bukhari, Muslim). Rasulullah saw sangat menekankan terjadinya hubungan silaturrahmi diantara orang-orang yang bertetangga. Beliau bersabda, siapa yang menyatakan beriman kepada Allah dan hari kiamat hendaklah berbuat baik kepada tetangga dan tidak menyakitinya. Bahkan beliau menganjurkan agar memperbanyak sayuran yang dimassak agar bias dibagikan kepada tetangga. Hubungan antara tetangga yang baik akan memperkokoh hubungan ada komunitas yang lebih besar lagi yaitu kampung, kemudian desa, lalu kecamatan dst sehingga akan terbentuk bangsa yang memiliki solidaritas kuat, saling tolong menolong, tidak memanfaatkan musibah orang lain untuk keuntungannya sendiri.

4.      Pemberian sebaiknya diberikan secara rahasia, agar lebih selamat dari riya, sehingga seolah-olah tangan kiri tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanan (HR. Bukhari). Ikhlas lillahi Ta’ala (hanya mengharap ridlo Allah semata) adalah tuntutan mutlak dalam setiap amal yang dilakukan oleh seorang Muslim, baik dalam beribadah kepada Allah maupun dalam bermu’amalah dengan sesama manusia. Riya atau mengharap supaya orang lain melihat atau memuji kebaikan yang dilakukan, merupakan syirik kecil yang merusak keikhlasan. Karena itu, setelah memberikan sesuatu, tidak boleh hal itu diceritakan kepada orang lain dengan maksud mendapat pujian itu. Tetapi dalam rangka menjawab pertanyaan, atau memberi contoh kepada yang lain, tidak termasuk riya.

5.      Berikanlan kepada orang yang meminta-minta, walaupun meminta dengan katakata kasar atau memaksa (HR. Muslim). Sekarang ini, karena semakin banyak orang mengalami kesulitan ekonomi, makin banyak pula orang meminta-minta bahkan dengan menempuh berbagai macam cara yang mungkin mengganggu ketenangan dan kenyamanan. Ada yang sambil menyanyi atau memutar nyanyian dari tape recorder, ada yang sendirian ada pula yang beromongan, ada yang baca puisi, ada yang menggendong bayi, ada yang merintih kesakitan atau terlihat sakit pada anggota badannya, ada yang mengucapkan salam berkali-kali di depan pintu rumah, ada yang menyodorkan list, dan ada pula yang menyampaikan proposal dsb. Kalau memang kita mampu memberikan pertolongan, maka sepatutnya pertolongan itu diberikan dengan tidak mempedulikan cara memintanya.

6.      Bersegeralah dalam memberi (HR. Bukhari). Setiap amal kebaikan sepatutnya segera dilakukan agar nilai kebaikan dan kepentingan dari pemberian itu tidak hilang atau berkurang. Atau sebelum dating suatu keadaan yang membuat amal kebaikan tidak berarti.

7.      Disunnahkan menerima pemberian yang baik dan membalasnya (HR. Tirmidzi). Saling memberi akan menumbuhkan rasa kasih sayang diantara orang-orang.

8.      Hendaklah memberi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Jika tidak mampu memberi, beramal baiklah sebanyak-banyaknya, karena itupun sedekah (HR. Bukhari). Meskipun memberi itu merupakan amal kebajikan yang diperintahkan, tetapi tidak boleh memaksakan diri untuk memberikan sesuatu diatas kemampuan. Sebaliknya orang menerima bantuan dari orang lain juga diajarkan untuk menerapkan.

sopan santun atau adab dalam menerima yaitu:

1.    Hendaklah berterima kasih kepada orang yang memberi dan bersyukur kepada Allah Swt.»Barang siapa tidak pandai berterimakasih kepada manusia, ia tidak pandai berterimakasih kepada Allah.» (HR. Baihaqi)

2.    Meskipun orang yang memberi itu ikhlas, tidak mengharapkan balasan apapun dari yang diberi, alangkah baiknya bila yang diberi menyampaikan kata-kata terima kasih atau dengan ungkapan-ungkapan lain yang memuji orang yang memberi seperti “Ibu memang orang baik” dsb. Hendaknya selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, jangan merasa kurang. (HR. Ahmad, Baihaqi) Sangat tidak baik apabila setelah mendapat pemberian, seseorang malah berujar “Loh, kok cuma sedikit”. Kata-kata itu selain dapat menyakiti pemberi, juga menunjukan ketamakan peminta.

3.  Setelah diberi sesuatu disunnahkan mengucapkan kalimat: semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang banyak (HR. Tirmidzi). Doa seperti ini tentu akan membuat pemberi merasa senang dan terdorong untuk memberi lagi di lain waktu.

4.  Sebaiknya jangan meminta hadiah dari non Muslim. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, Hakim) Sungguh pemandangan yang tidak menyenangkan sebagaimana dapat disaksikan pada masa sekarang ini, apabila di saat orang-orang non Muslim merayakan hari-hari besar mereka seperti Natal ataupun Imlek, banyak orang-orang Muslim berkumpul di halaman gereja atau klenteng mengharapkan hadiah-hadiah atau pemberian. Hal ini seharusnya menjadi perhatian bagi orang-orang Muslim yang mampu ataupun organisasi keagamaan Islam agar lebih memperluas dan meningkatkan santunan kepada orang-orang Muslim yang tidak mampu, dan agar lebih teliti menyalurkan dana zakat, infaq ataupun sedekah supaya tidak jatuh ke tangan yang tidak berhak atau dialokasikan ke pembiayaan-pembiayaan yang tidak penting.

5. Jika menyukai pemberian seseorang hendaknya kita makan, dan jika tidak suka dapat disedekahkan lagi. (HR. Muslim, Abu Dawud, Hakim) Orang yang memberi tentu akan senang jika pemberiannya benar-benar dimanfaatkan oleh orang yang diberinya. Akan tetapi mungkin saja terjadi seseorang memberikan sesuatu kepada orang yang tidak benar-benar membutuhkannya. Dalam hal ini, orang yang diberi tidak perlu menolaknya akan tetapi dia dapat menerimanya dan kemudian dia berikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Dengan demikian pahala pemberian itu menjadi berlipat ganda.

Larangan-Larangan dalam Memberi Bantuan

Jangan memberi sesuatu yang tidak kita sukai (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad). Hadis ini didukung pula olet ayat al-Qur’an yang berbunyi:  Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagaian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang jelek-jelek lalu infakkan (kepada orang lain) sedangkan kamu sendiri tidak mau mengambilnya…(Al-Baqarah: 267)

Jangan menghitung-hitung pemberian, niscaya Allah akan menghitung-hitung pahalanya (HR. Bukhari). Allah menjanjikan pahala untuk semua kebaikan, bahkan pahala itu dilipatgandakan, misalnya pada bulan ramadhan. Tetapi tidak berarti bahwa setiap orang bisa mengkalkulasi sendiri pahala dan dosa yang telah diperoehnya, sehingga dia berkesimpulan bahwa dia pahalanya masih jauh lebih banyak dari dosanya berlipat kali, sehingga dia boleh berbuat maksiat dalam jumlah tertentu.

Jangan sekali-kali menyebut-nyebut pemberian kita kepada orang lain. Hal ini merupakan riya sebagaimana dijelaskan diatas. Jangan pula menyebut penerima pemberian kita kepada orang lain sebab secara tidak langsung telah menyakiti hatinya dan merendahkan martabatnya.

Haram memberi hadiah dengan mengharap sesuatu dari orang yang diberi untuk keuntungan duniawi. Al-Qur’an mengatakan “Janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak“ Juga haram memberi hadiah kepada seseorang (misalnya Hakim) agar dimenangkan dalam perkara. Hal itu tergolong suap yang dilaknat oleh Rasulullah: «Dari Abdullah bin Umar, dia berkata Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap. (HR. Abu Daud)

Diharamkan memberi suatu sedekah dan diserta kata-kata yang menyakitkan penerima. Perbuatan itu akan menjadikan pahala sedekahnya hilang sebagaimana difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 264: artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan penerima.

Demikianlah tata cara memberi dan menerima serta larangan-larangan yang harus diperhatikan oleh setiap orang Muslim yang dermawan, murah hati dan gemar memberi. Menurut Rasulullah saw, orang yang pemurah itu dekat kepada Allah, dekat kepada manusia, dekat kepada surga, dan jauh dari api neraka. Sedang orang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat kepada api neraka.

Adalah sebuah realitas bila setiap manusia membutuhkan perhatian dari sesamanya. Seseorang akan merasa senang apabila saudaranya memberikan perhatian, pujian, maupun perlakuan yang baik kepadanya. Sebaliknya, setiap orang tidak senang dikucilkan dan dihinakan saudaranya. Karena itu, Rasulullah SAW menganjurkan agar kita selalu berbuat baik pada sesama, sekalipun pada seorang kafir.

Ada sebuah kisah dari Asma binti Abu Bakar. Ia berkata, «Pada masa hidup Rasulullah ibuku datang menemuiku dan ia adalah seorang perempuan musyrik. Aku minta fatwa dari Rasul. Aku berkata, «Ibuku menemuiku dan ia ingin aku memberikan hadiah untuknya, apakah aku harus bersikap baik kepadanya?» Rasul bersabda, «Ya, bersikap baiklah kepada ibumu». Seperti halnya keburukan, sebuah kebaikan berpotensi melahirkan kebaikan-kebaikan lainnya. Betapa banyak orang yang terbuka hatinya karena sebuah kebaikan yang sepele dalam pendangan manusia. Salah satunya kebaikan tersebut adalah memberi hadiah pada orang di sekitar kita.

Pada dasarnya, hadiah, sedekah, maupun suap bermakna sama yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain. Hal yang membedakan ketiganya adalah niat. Jika pemberian itu dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka itu adalah sedekah. Jika diberikan untuk memuluskan dan meluluskan suatu tujuan dengan cara yang tidak fair, maka disebut suap (roswah). Jika pemberian tersebut dimaksudkan sebagai penghargaan, tanda kasih sayang, dan persahabatan, maka itu disebut hadiah. Hadiah dan sedekah sangat dianjurkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan suap sangat dilarang agama dan hukumnya haram.

Saling memberi hadiah sangat efektif untuk mempererat tali persaudaraan dan menumbuhkan kasih sayang di antara sesama. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., Rasulullah SAW bersabda, «Wahai kaum Muslimat, jangan memandang rendah hadiah yang diberikan tetanggamu, meskipun sekadar telapak kaki kambing» (HR Bukhari). Kenapa demikian? Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa hadiah yang diberikan secara ikhlas akan mampu melembutkan hati, dan mempersatukan hati-hati yang terpisah. Beliau bersabda kembali, «Bersalam-salamlah kamu niscaya ia akan menghilangkan perasaan iri hati, dan saling memberilah di antara kamu, niscaya kamu akan saling mencintai antara sesama kamu dan ia akan menghilangkan permusuhan.» (HR Malik).

Sebagai bentuk ungkapan kasih sayang, hadiah bisa bermotif banyak. Ada yang memberi hadiah karena mengharap balasan yang lebih dari si penerima. Ada pula yang memberi karena mengharap ridha Allah semata. Inilah yang paling tinggi nilainya. Dalam sebuah hadis disebutkan, «Ada empat puluh kebaikan. Yang terbaik dari itu semua adalah manihah (hadiah) domba betina. Setiap orang yang berbuat baik dengan mengharap pahala Allah dengan keyakinan ia akan memperolehnya, Allah akan memasukkannya ke dalam surga.» (HR Bukhari).

Karena itu, hadiah pun memiliki tingkatan dan derajat yang berbeda-beda. Memberi hadiah tanpa mengharap balasan jasa, jauh lebih utama dari memberi hadiah dengan mengharapkan balasan jasa. «Orang yang mengeluarkan hartanya karena diminta, tidak termasuk orang yang bermurah hati. Yang disebut bermurah hati ialah yang menunaikan hak-hak Allah atas kemauan niat sendiri, tanpa tekanan atau harapan untuk ucapan terimakasih,» demikian Ali bin Husain mengungkapkan.

Begitu pun memberi hadiah kepada keluarga dekat, nilai lebih utama daripada memberi hadiah kepada orang yang tidak memiliki tali kekerabatan. Betapa tidak, mereka memiliki hak kekerabatan di samping hak Muslim atas sesama Muslim. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan An-Nasai, Turmudzi, dan Hakim, Rasulullah SAW bersabda bahwa memberi sedekah kepada orang miskin bernilai satu, sedangkan sedekah kepada sanak keluarga memiliki dua keutamaan, yaitu sebagai sebuah sedekah dan sebagai penguat hubungan kekerabatan. Keutamaan ini semakin bertambah bila di antara sanak saudara tersebut terdapat rasa permusuhan. Rasul bersabda, «Sedekah yang paling utama ialah kepada kerabat yang memendam permusuhan.» (HR Muslim). Dalam cakupan makna yang serupa, Rasul pun menegaskan keutamaan orang yang menyambung tali persaudaraan lewat hadiah. Sahabat ‹Uqbah bin Amir mengungkapkan bahwa Rasulullah saw pernah berkata kepada dirinya, «Wahai ‹Uqbah, maukah engkau kuberitahukan tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Yaitu menghubungi orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberi orang yang pernah menahan pemberiannya padamu, dan memaafkan orang-orang yang pernah menganiayamu.» (HR Hakim).

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa hadiah memiliki beberapa fungsi. Pertama, sebagai alat untuk mempererat persaudaraan antara dua pihak yang telah bersaudara. Kedua, hadiah bisa mencairkan ketegangan antara dua pihak yang sedang bermusuhan. Dan ketiga, hadiah bisa menyambungkan kembali hubungan yang telah lama terputus.

Sifat pemurah adalah sifat yang dimiliki Allah SWT. «Akulah Ar-Rahman dan ArRahiim. Aku petikkan baginya dari nama-Ku...,» demikian sabda Allah dalam hadis qudsi. Pancaran sifat ini «diserap» pula oleh para nabi bahkan menjadi akhlak utama mereka. Dan Rasulullah SAW adalah manusia paling pemurah, paling besar rasa kemanusiaannya, dan paling ikhlas dalam memberi. Alangkah bahagianya kalau kita mampu meniru Beliau.

Karena itu, kita harus mulai membiasakan diri menyisihkan sebagian rezeki kita untuk orang lain. Entah itu orangtua, saudara, teman, tetangga, ataupun guru. Buatlah target dan perencanaan tentang siapa orang yang akan kita kunjungi untuk bersilaturahmi dan memberikan hadiah kepadanya. Jangan hanya kepada orang yang kita sukai, atau yang sering berbuat kebaikan kepada kita.

Sekali-kali, kunjungilah orang yang benci dan menjauhi kita, berilah hadiah yang berarti baginya. Hadiah yang kita berikan tidak harus selalu barang mahal, tapi bisa pula yang sederhana tapi bermanfaat. Yang paling utama adalah suasana batin dan keikhlasan kita dalam melakukannya. Itulah yang akan berbekas. Tidak akan pernah rugi bila kita melakukan semua ini. Bila kita belum mampu beribadah dengan baik, jarang tahajud, atau puasa sunnat, maka alangkah baiknya bila kita selalu berbuat baik pada sesama. Allah pasti akan menolong kita. «Akulah Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Aku petikkan baginya dari nama-Ku. Barangsiapa yang menghubungkan, niscara Aku menghubunginya; dan barangsiapa memutuskannya, niscaya Aku memutuskan hubungan dengannya». Rasulullah SAW pun dengan indahnya berpesan kepada kita, “Orang yang pemurah itu dekat kepada Allah SWT, dekat kepada manusia, dekat kepada surga, dan jauh dari api neraka. Sedang orang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat kepada api neraka”.

 

 

 

 

Share:

Selasa, 19 September 2023

Pengertian Hadis Mutawātir, Syarat, Klasifikasi, Contoh dan Kedudukan nya


Pengertian hadis mutawātir

Secara bahasa kata ”mutawātir” berarti mutatābi’ yakni berturut-turut, beruntun, susul menyusul.

Dalam buku “At-taisīru fī musṭalaḥi al-ḥadīṡ” Mahmud Ṭahhān mendefinisikan mutawātir adalah: “Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang menurut kebiasaan mustahil sepakat dalam kebohongan mulai dari awal sanad hingga akhir sanad”.

Syarat-syarat hadis mutawātir

a.       Diriwayatkan oleh banyak orang.

Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah rijāl yang tidak mungkin sepakat berbohong:

1)      Abu Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, pendapat tersebut diqiyaskan dengan saksi yang diperlukan hakim.

2)      Pengikut asy-Syafiiy menentukan minimal 5 orang, Pendapat tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapat gelar ūlul azmi.

3)      Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani dan Imam Nawawi dalam kitab Tadribu Periwayat sekurang-kurangnya 10 orang rijāl yang ṡiqah disetiap tingkatan sanad. (ini pendapat yang paling rājih menurut ahli hadis)

4)      Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang.

b.      Tidak mungkin sepakat berbohong.

c.       Terjadinya disetiap tingkatan sanad mulai dari awal hingga akhir sanad

d.     Sandaran beritanya indrawi yaitu bentuk taḥammul (penerimaan’nya) harus mengatakan: “kami telah mendengar”, “kami telah melihat”, atau “kami telah merasakan”.

Klasifikasi Hadis Mutawātir

Hadis Mutawātir Lafżi

        Adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat dengan redaksi (lafaẓ) dan makna yang sama. Contoh:

“Barang siapa sengaja berdusta kepadaku maka hendaklah bersiap-siap menempati tempatnya di neraka”

Menurut Abu Bakar al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 sahabat dengan susunan redaksi dan makna yang sama dan terahir diriwayatkan oleh hampir semua imam-imam al-kutubu as-sittah, diantaranya yaitu;

1)  Bukhari dari Abul Walid dari Syu’bah dari Jami’ bin Syidad dari Amir bin Abdullah dari Abdullah bin Zubair dari Zubair dari Nabi Saw.

2)   Abu Dawud dari Amr bin Aun dan Musaddad keduanya dapat hadis dari Khalid al-Ma’na dari Bayan bin Bisyrin dari Wabirah bin Abdurrahman dari Amir bin Abdullah dari Abdullah bin Zubair dari Zubair dari Nabi Saw.

3)      Darami dari Abdullah bin Shalih dari al-Laitsy dari Yazid bin Abdullah dari Amru bin Abdullah dari Abdullah bin Urwah dari Urwah bin Zubair dari Zubair dari Nabi Saw.

4)   Ibnu Majah dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Muhammad bin Basyaar keduanya dari Ghandur Muhammad bin Ja’far dari Jami’ bin Syidad dari Amir bin Abdullah dari Abdullah bin Zubair dari Nabi Saw.

5)   Tirmiżi dari Abu Hisyam dari Abu Bakar dari ‘Ashim dari Zirrin dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Saw.

6)    Tirmiżi dari Sufyan bin Waqi’ dari Waqi’ dari Syarik dari Manshur dari Rib’iy bin Harasy dari Ali dari Nabi Saw.

7)   Tirmiżi dari Sufyan bin Waqi’ dari Waqi’ dari Syarik dari Samak dari Abdurrahman dari Ibn Mas’ud dari Nabi Saw.

8)      Ibnu Majah dari Muhammad bin Rimh dari Al-Laitsy dari Ibnu Syihab dari Anas bin Mālik dari Nabi Saw.

9)  Ahmad dari Muhammad bin Fudlail dari A’masy dari Hubaib dari Tsa’labah dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi

10)  Ibnu Majah dari Isma’il bin Musa dari Syarik dari Samak dari Abdurrahman dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh puluhan sahabat dan terahir diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Hadis Mutawātir Ma’nawy

Adalah hadis mutawātir yang susunan redaksi atau lafaẓ nya berbedabeda antara periwayat yang satu dengan yang lainnya, tetapi prinsip ma’nanya sama.

Hadis yang semacam itu, tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda.

Mutawātir ‘Amaly

Yaitu hadis yang diriwayatkan dengan jumlah sanad yang mutawātir namun hanya berupa pengamalan saja tanpa lafaẓ , seperti cara shalat Nabi, cara haji Nabi, dan lain-lain.

Kedudukan hadis mutawātir

Para ulama menegaskan bahwa hadis mutawātir menghasilkan pengetahuan yang pasti (ilmu qaṭ’i), yakni pengetahuan yang pasti bahwa sumbernya berasal dari Rasulullah Saw.

Para ulama juga menegaskan bahwa hadis mutawātir membuahkan “ilmu ḍarūriy” (pengetahuan yang sangat memaksa untuk diyakini kebenarannya), yakni pengetahuan yang tidak dapat dipungkiri bahwa perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang disampaikan oleh hadis itu benar-benar berasal dari Rasulullah Saw.

Oleh karena itu, kedudukan hadis mutawātir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadis mutawātir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad Saw. sebagai utusan Allah.

Buku yang ditulis tentang hadis mutawātir:

Al-Azhar al-Mutanāṡirah fi al-Akhbār al-Mutawātirah oleh Jalaluddin AsSuyuthi.

► Qaṭfu al-Azhār yaitu ringkasan kitab tadi oleh Jalaluddin as-Suyuthi.

Naẓmu al-Mutanāṡirah min al-Ḥadīṡ al-Mutawātirah oleh Muhammad bin Ja’far al-Kinani

 

 Sumber: Buku Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas XI

Share:

Pengikut

Definition List

Unordered List

Support