Oleh:
Mhd. Reza Fahlevi ZA
Rasulullah
Saw. Bersabda:
“Puasa adalah
perisai, selama ia tidak memecahkannya.”
(HR.
An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Hakim)
Ibadah puasa itu bagaikan perisai. Jadi, bisa dikatakan
orang yang berpuasa diumpamakan seperti melindungi diri dari musuh, yaitu
syaitan. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (QS. Yasin: 60).
Dalam hadis diberitakan bahwa puasa dapat menyelamatkan
pelakunya dari azab Allah Swt. Riwayat lain menyebutkan bahwa puasa dapat
menyelamatkan dari api neraka. Pada suatu ketika, seseorang bertanya kepada
Nabi Saw., “Apakah yang menyebabkan puasa itu rusak?” Jawab beliau, “Berdusta
dan menggunjing.”
Hadis di atas menekankan kepada kita agar menjauhkan
diri dari perbuatan yang menyebabkan puasa menjadi sia-sia. Karena perintah
puasa di khususkan untuk orang yang beriman dan salah satu ciri perilaku orang
beriman adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya baik itu
perbuatan maupun ucapan. Allah Swt. berfirman: “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan)
yang tidak berguna.” (QS. Al Mu’minun: 3). Kemudian Rasulullah Saw.
bersabda: “Di antara kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang
sia-sia.” (HR. Tirmidzi).
Sebagian alim ulama mengatakan bahwa berbohong dan
menggunjing adalah perkara yang membatalkan puasa sebagaimana makan dan minum.
Namun, sebagian besar ulama berpendapat bahwa hal itu tidak sepenuhnya
membatalkan puasa, tetapi dapat menghilangkan keberkahannya.
Syekh Abdul Qadir Jailani dalam kitab Sirrur Asrar
menjelaskan tentang puasa syariat dan puasa tarekat. Puasa syariat adalah puasa
yang dilakukan oleh orang-orang awam yaitu menahan diri dari makan, minum, dan
berhubungan badan pada siang hari. Sedangkan puasa tarekat adalah menahan
seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan yang diharamkan yang dilarang dan
sifat-sifat tercela, seperti ujub, sombong, bakhil, dan lainnya lahir batin dan
siang malam. Semua itu jika dilanggar maka dapat membatalkan puasa tarekat.
Puasa syariat terbatas oleh waktu, sedang puasa tarekat selamanya, sepanjang
usia.
Oleh karena itu Rasulullah Saw. bersabda: “Betapa banyak
orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa melainkan hanya lapar dan
dahaga.”
Saat anda berpuasa perhatikan enam perkara ini agar
puasa tetap terpelihara puasa tersebut.
Pertama, menjaga pandangan dari hal-hal yang dilarang. Bahkan
ada yang melarang melihat dengan nafsu terhadap istri sendiri, apalagi melihat
wanita yang bukan mahramnya. Nabi Saw. bersabda: “Pandangan mata adalah anak
panah dari anak-anak syaitan. Barangsiapa takut kepada Allah lalu ia menjauhkan
diri dari melihat maksiat, maka Allah akan mengkaruniakannya kekuatan,
kemanisan, dan kelezatan iman di dalam hatinya.” Para ahli sufi mengatakan
bahwa pandangan yang berlebihan itu dapat melalaikan hati dari mengingat Allah
Swt.
Kedua, memlihara lidah dari berkata dusta, berbicara
sia-sia, memfitnah, mengumpat dan sebagainya. Dalam Shahih Bukhari disebutkan
bahwa puasa adalah perisai bagi pelakunya. Oleh sebab itu, orang yang berpuasa
hendaknya menjauhi berbicara sia-sia, senda gurau, bertengkar, dan sebagainya.
Jika ada orang lain mengajak bertengkar, maka katakanlah, “Aku sedang berpuasa”
dengan kata lain, jangan terpancing untuk bertengkar, hindarilah pertengkaran.
Dan yang paling utama yamg harus di jauhi dengan adalah dusta dan ghibah.
Sebagian ulama secara jelas menyatakan bahwa kedua hal itu dapat membatalkan
puasa, sebagaimana makan dan minum.
Ketiga, menjaga telinga dari mendengarkan yang makruh.
Rasulullah Saw. bersabda: “Di dalam ghibah, orang yang membicarakan atau yang
mendengarkannya sama-sama bersekutu dalam dosa.”
Keempat, menjauhkan anggota badan lainnya dari perbuatan
dosa dan hal-hal yang diharamkan. Misalnya, tangan jangan menyentuh sesuatu
yang dilarang, kaki jangan berjalan kearah yang dilarang. Demikian juga halnya
dengan perut; ketika ifthar hendaknya berhati-hati agar benda-benda haram dan
syubhat tidak masuk ke dalam perut kita. Orang yang berpuasa kemudian berbuka
dengan makanan yang haram atau dari hasil yang haram ibarat orang sakit yang
minum obat yang dibubuhi racun.
Kelima, jangan terlalu kenyang saat berbuka. Tujuan
puasa adalah untuk menahan syahwat dan nafsu hewani kita serta meningkatkan
nurani dan ruhani kita. Selama sebelas bulan kita bebas dari makan dan minum.
Maka, apakah pengurangan penguranagn makan pada bulan ramadhan akan
membahayakan kita? Kita memiliki kebiasan buruk pada bulan ramadhan yaitu makan
berlebihan ketika berbuka untuk mengganti makanan yang hilang (tidak makan di siang
hari). Demikian juga, ketika sahur kita makan sekenyang-kenyangnya untuk
persiapan pada siang harinya. Bahkan kita makan sangat banyak melebihi
kebiasaan di luar bulan ramadhan. Menu makanan yang yang biasanya tidak di
makan pada bulan lain justru di makan pada bulan ramadhan. Kebiasaan ini sama
sekali bertolak belakang dengan semangat ramadhan dan tujuan berpuasa.
Berkata Imam Al-Ghazali rahimahullah, “Tujuan berpuasa
adalah menundukkan hawa nafsu dan melawan iblis. Lalu bagaimana hal itu dapat
tercapai jika berbuka puasa dengan berlebihan dengan niat mengganti makanan
yang telah hilang?”
Keenam, siapapun orang yang telah berpuasa hendaknya
merasa khawatir apakah puasanya diterima atau tidak. Demikian juga berlaku pada
ibadah-ibadah lainnya, jangan merasa selesai begitu saja. Siapa saja tahu,
barangkali ada hal-hal yang tertinggal atau kurang yang tidak diperhatikan sama
sekali, sehingga akan dilemparkan ke muka kita. Rasulullah Saw. bersabda:
“Banyak sekali yang membaca Al-Quran, tetapi Al-Quran melaknat mereka.”
Akibat yang disebutkan di atas adalah hasil dari
buruknya niat. Oleh sebab itu, seseorang yang berpuasa hendaknya menjaga
kelurusan niatnya dan selalu berharap kepada Allah Swt. menerima puasanya
disertai doa agar semua itu dikerjakan semata-mata karena Allah Swt. Selain
smeua ini, hal yang mesti diingat adalah bahwa kekhawatiran kita terhadap amal
kita yang tidak diterima merupakan satu hal, dan berharap pada kemurahan Allah
Swt. adalah hal yang lain. Jika kemaksiatan saja terkadang Allah Swt. mengganti
dengan pahala, bagaimana halnya dengan amal ibadah (walau penuh dengan
kekurangan)?
Enam perkara yang disebutkan di atas merupakan perkara
yang sangat penting bagi orang yang mengharapkan gelar takwa. Bagi orang-orang
yang lebih tinggi ketakwaannya, yaitu muqarrabin,
bisa ditambah satu menjadi tujuh perkara. Yaitu, hendaknya hati jangan sampai
berpaling kepada siapapun melainkan hanya kepada Allah Swt., bahkan tidak perlu
mengkhawatirkan makanan untuk berbuka. Sebagian ulama menganggap suatu
kekeliruan jika seseorang memikirkan makanan untuk berbuka puasa atau berusaha
mendapatkan sesuatu untuk berbuka, karena hal itu berarti menunjukkan
keyakinannya yang kurang terhadap janji Allah Swt. yang telah menjamin rezeki
manusia. Allah Swt. berfirman: “Dan tidak
satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah
rezekinya. Dia mengetahui tempat kediaman dan tempat penyimpanannya.” (QS.
Hud: 6)
Al-Quran memerintahkan, “Puasa telah diwajibkan ke atasmu.” Para ahli tafsir Al-Quran
menyatakan bahwa berdasarkan ayat ini dapat di simpulkan bahwa berpuasa
diwajibkan bagi seluruh anggota tubuh. Semoga dengan kekuatan iman dan takwa
yang kita miliki saat ini mampu melindungi dan menjadikan perisai serta
terpelihara puasa lahir dan batin kita.
0 Post a Comment:
Posting Komentar