Islam adalah agama Rahmatan lil ‘alamin yang didalamnya
sudah diatur begitu banyak aspek kehidupan di dunia. Agar semua itu bisa
diatur, maka diperlukan dasar hukum Islam serta peraturan yang sudah disusun rapi dalam Al
Quran, sunnah Rasulullah SAW, ijma ulama, qiyas dan sebagainya. Hal ini juga
berlaku dengan hukum menjaga seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan dosa besar dalam Islam mulai
dari menjaga mata, mulut, lidah, hidung, perut, kemaluan, kaki dan bagian tubuh
lain sehingga selalu berbuat kebaikan dan terlindungi dari berbagai perbuatan
tercela seperti contohnya menyindir orang yang akan kita ulas dalam kesempatan
kali ini.
Apabila dilihat dari bahasa, menyindir
merupakan mencela atau mengejek orang lain secara tidak langsung. Dalam kaca
mata Islam seperti dalam buku Al-fiqhu Al-islam Wa Adillatuhu
karangan Dr. Wahbah Zuhaili dijelaskan jika Al Umuru Bimaqoshidiha yang
berarti segala permasalahan tergantung tujuan atau niat. Dalam hal ini,
menyindir orang lain dengan tujuan yang hina seperti balas dendam, syirik dalam Islam, iri atau dengki pada orang yang kita
sindir, maka hal tersebut tidak diperbolehkan agama.
Sebaliknya, jika perbuatan menyindir
orang lain bertujuan sesuatu hal yang baik seperti merubah sikap dan juga
akhlak yang dimiliki, maka hal tersebut dianjurkan oleh agama namun tetap tidak
boleh memakai cara yang menyakitkan hati. Sindiran merupakan sesuatu yang tajam
dan sangat pedih sehingga akan masuk ke dalam hati dan membuat orang tersebut
terluka dan luka tersebut bahkan sangat sulit dihilangkan serta menjadi bentuk
kedzoliman. Sindiran yang sering terjadi pada pergaulan dalam Islam juga bisa mengakibatkan sesuatu
yang buruk seperti prasangkan tidak baik bagi orang yang mendengarnya atau
membaca sindiran yang dilontarkan sampai akhirnya mereka juga ikut bersikap
atas sindiran yang diberikan tersebut.
Lantas bagaimana kalau Allah yang
menyindir manusia, dan sifat manusia yang bagaimana yang di sindir oleh Allah? Dalam
Al-Quran Allah menjelaskan sifat manusia yang terdapat pada surah Al-Ma’arij
ayat 19 sampai 22 yang berbunyi.
Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah. dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. kecuali
orang-orang yang mengerjakan shalat.(QS. Al Ma’arij: 19-22)
Ayat di atas menegaskan bahwa pada
umumnya manusia itu suka mengeluh. Mereka punya sifat buruk berupa keinginan
(ambisi) yang berlebihan, sedikit kesabaran, banyak berkeluh kesah. Jika di
timpa kesulitan berupa kemiskinan atau sakit, mereka banyak mengeluh, meratapi
nasib, mengutuk keadaan, serta diliputi kesedihan berkepanjangan. Tetapi
sebaliknya, jika di beri kebaikan dan kemudahan berupa kesehatan yang sempurna,
kekayaan melimpah, pangkat yang tinggi, jabatan yang tinggi, mereka cenderung
bersifat kikir, sombong dan tidak peduli dengan orang lain.
Itulah beberapa sifat buruk manusia
pada umumnya. Ketika kesulitan hidup datang mendera dia seolah-olah langit akan
runtuh, bumi bergoncang dan dunia akan kiamat. Dia kabarkan ke setiap orang
yang dijumpainya bahwa dia tengah dalam kesulitan dan kesengsaraan. Dia
ceritakan penderitaannya kepada semua orang. Dia ingin orang lain tahu bahwa
dia sedang dalam keadaan susah, dengan harapan setiap orang akan iba dan
menaruh belas kasihan kepadanya. Kemudian kebanyakan manusia apabila manusia
ingin mencapai suatu tujuan apakah itu ujian PNS, mencalon sebagai pemimpin
atau caleg maka mereka akan mendekatkan diri kepada Allah emlalui ulama, atau
rajin sholat baik wajib maupun Sunnah nya di perbanyak. Akan tetapi ketika
mereka sudah mendapatkan tujuannya, mereka lulus PNS atau mereka menang
pemilihan dan duduk sebagai pemimpin maka mereka lupa dengan Allah sehingga
mereka lupa akan janji nya sendiri. Mereka mendekati Allah hanya karena memiliki
tujuan semata, setelah dapat mereka lupa bahkan ingkar. Dia tidak pernah
berfikir sedikitpun tentang karunia serta nikmat yang telah Allah berikan
kepadanya. Dia hilangkan semua kebaikan Allah kepadanya.
Di sisi lain, ketika dia tengah
diliputi kebaikan dan kemudahan hidup. Lagi-lagi sifat buruknya muncul. Dia
menjadi orang yang sangat kikir, tidak mau berbagi sedikit pun kebahagiaan yang
dimilikinya kepada orang lain. Dia simpan dan genggam erat-erat nikmat yang
telah Allah berikan kepadanya. Dia berbangga diri dengan kekayaan melimpah yang
dimilikinya. Dia menjadi jumawa dengan jabatan dan kedudukan yang telah
berhasil direngkuhnya. Dia menjadi sombong dengan segala yang dimilikinya. Dia
lupa bahwa semua yang saat ini ada dalam kehidupannya adalah nikmat Allah yang
diberikan kepadanya. Semua yang dimilikinya sesungguhnya hanyalah titipan Allah
semata.
Sifat manusia seperti dijelaskan di
atas inilah yang sindir, namun sindiran Allah tersebut bukan untuk mencela atau
mengejek manusia melainkan agar manusia merenungi dan berfikir atas apa yang
telah ia perbuat. Dalam hal ini Allah berfirman:
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam
keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu
daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak
pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya.
Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu
mereka kerjakan. (QS. Yunus :12)
Dalam Tafsir Al
Maraghi menjelaskan bahwa apabila manusia di timpa bahaya, yang dia rasakan
sangat menyakitkan atau mengancam keselamatan jiwanya, seperti tenggelam,
kelaparan, dan penyakit berat, maka dia merengek-rengek meminta dan berdoa
kepada Kami agar bahaya yang itu dihilangkan. Dia berdoa kepada ketika
berbaring atau duduk disalah satu sudut
rumahnya. Atau dengan berdiri di atas kedua kakinya dalam keadaan kebingungan,
dan ia tidak melupakan kebutuhannya kepada rahmat Ilahi, selagi dia masih
merasakan bahaya dan ancaman tersebut, dan mengetahui dirinya sangat lemah
untuk menyelamatkan diri daripadanya. Dan di antara ketiga bahaya yang
mengancam tersebut, manusia mengemukakan mana di antara yang dia rasakan paling
lemah untuk menghindari dan dia rasakan sangat butuh kepada pertolongan Tuhan,
kemudian barulah dia menyampaikan permohonan selamat dari ancaman berikut dan
seterusnya.
Namun setelah Kami
hilangkan dari manusia bahaya yang mereka mohon supaya dihilangkan, ketika dia
merasa lemah untuk menghilangkannya sendiri, atau dengan perantara sebab-sebab
lain, maka manusia itu meneruskan kebiasaan kelakuannya seperti semula, yaitu
tetap lalai dan kafir terhadap Tuhannya, seolah-olah keadaan tidak berubah, dan
dia tidak pernah menyeru Kami untuk melakukan sesuatu, dan seolah-olah Kami
tidak menghilangkan bahaya.
Cara mengenal
Allah seperti ini, yaitu ikhlas berdoa kepada-Nya semata-mata ketika mengalami
kesusahan, namun kemudian lupa dan kafir terhadap-Nya, bila kesusahan itu telah
dihilangkan, merupakan cara yang dipandang baik oleh orang-orang musyrik, yang
mereka itu terdiri dari para tirani Mekah dan yang lainnya dalam melakukan
perbuatan-perbuatan kemusyrikan. Oleh karena begitu kerasnya mereka menantang
Rasulullah Saw dan mengolok-olok siksa yang beliau peringatkan kepada mereka,
maka mereka ingin agar siksa itu segera di datangkan. Mereka katakana “Ya
Allah, hujanilah kami dengan batu-batu dari langit.”
Al-Qur'an sering menyinggung agar manusia untuk selalu berpikir dan
merenungi sekelilingnya. Cara itu tidak lepas untuk memberikan kesadaran kepada
dirinya sebagai makhluk Tuhan.
Oleh: Mhd. Reza Fahlevi, M.Pd
0 Post a Comment:
Posting Komentar