BAB
II
PEMBAHASAN
Pendidikan
Islam Dalam Proses Islamisasi di Indonesia
A.
Teori Masuknya Islam
ke Indonesia
Islam di Indonesia baik secara historis maupun sosiologis sangat
kompleks, terdapat banyak masalah, misalnya tentang sejarah dan perembangan awal
Islam. Oleh karena itu, para sarjana sering berbeda pendapat. Suatu kenyataan
bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai. Berbeda dengan
penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan
penduduk wilayah oleh militer Muslim. Islam dalam batas tertentu disebarkan
oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da’i) dan pengembara
sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama itu tidak bertendensi
apapun selain bertanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga
nama mereka berlalu begitu saja. Tidak ada cacatan sejarah atau prasasti
pribadi yang sengaja dibuat mereka untuk mengabadikan peran mereka, ditambah
lagi wilayah Indonesia sangat luas dengan perbedaan kondisi dan situasi. Oleh
karena itu, wajar terjadi perbedaan pendapat tentang kapan, dimana, dan dimana
pertama kali Islam datang ke Nusantara. Namun, secara garis besar perbedaan
pendapat itu dibagi menjadi sebagai berikut.[1]
1.
Pendapat
pertama dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis Belanda, diantaranya Snouck
Hurgrounje yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke 13 M
dari Gujarat (bukan dari arab langsung) dengan bukti yang ditemukannya makam
Sultan yang beragama Islam pertama Malik as Sholeh, raja pertama kerajaan samudra
Pasai yang dikatakan berasala dari Gujarat.
2.
Pendapat kedua
dikemukakan oleh sarjana-sarjana Muslim, diantaranya Prof. Hamka, yang
mengadakan “Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia”di Medan tahun 1963.
Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada
abad pertama Hijriah (abad ke 7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti
jalur pelayaran yang ramai dan bersifat Internasional sudah dimulai jauh
sebelum abad ke 13 M (yaitu sudah ada sejak abad ke 7 M) melalui selat Malaka
yang menghubungkan Dinasti Tang Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara
dan Bani Umayyah di Asia Barat.
3.
Sarjana Muslim
Kontemporer seperti Taufiq Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut
pendapatnya memang benar islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama
Hijriyah atau abad ke 7 atau ke 8 Masehi, tetapi baru dianut oleh para pedagang
Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam secara besar-besaran dan
mempunyai kekuatan politik pada abd ke 13 dengan berdirinya kerajaan samudra
Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad ibukota Abbasiyah
oleh Halagu. Kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan
aktivitas perdagangan kea rah Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara.[2]
Bersamaan dengan para pedagang datang pula da’i-da’i dan
musafir sufi. Melalui jalur pelayaran itu pula mereka dapat berhubungan dengan
pedagang dari negeri-negeri di ketiga bagian Benua Asia itu. Hal itu
memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik, sehingga terbentuklah perkampungan
masyarakat Muslim.
Mengenai kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan
perdebatan yang panjang diantara ahli sejarah, mengenai tiga masalah pokok,
yakni tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.
Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab tiga masalah pokok ini
belum tuntas. Tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung teori tertentu,
tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada. Terdapat
kecendrungan kuat adanya suatu teori yang hanya menekankan aspek-aspek khusus
dari ketiga masalah pokok, tetapi mengabaikan aspek-aspek lainnya. Oleh karena
itu, kebanyakan teori yang ada dalam segi-segi tertentu gagal menjelaskan
kedatangan Islam, konversi agama yang terjadi, dan proses Islamisasi yang
terlibat didalamnya.[3]
Periodesasi masuknya pendakwah Islam ke Indonesia, menurut Muhammad
Samsu, dapat dibagi kedalam tiga gelombang, yaitu:
a.
Gelombang
pertama, yaitu diperkirakan pada akhir abad ke-1 H./7 M. rombongan ini berasal
dari Bashrah, kota pelabuhan di Irak, yaitu kaum Syi’ah dikejar-kejar oleh Bani
Umayyah yang berkuasa saat itu.
b.
Gelombang
kedua, yaitu diperkirakan pada abad ke 6 H./13 M. dibawah Sayyid Jamaluddin
Al-Akbar Al Husaini yang anak cucunya lebih dari 17 orang tiba di Gresik, Pulau
Jawa. Pendakwah lainnya seperti Maulana Malik Ibrahim, Maulana Malik Ishak,
Raden Rahmat atau Sunan Ampel, dan sebagainya.
c.
Gelombang
ketiga, pada abad ke-9 H./13 M. yang dipimpin ulama Arab dan Tarim, Hadramaut.
Mereka berjumlah lebih dari 45 orang dan datang berkelompok berkisar, 2, 3atau
5 orang. Mereka mengajar dan menetap di Aceh, Riau, sadang, Kalimantan Barat
dan selatan, Sulawesi Tengah dan Utara, Ternate, Bali, Sumba, Timor, dan
lain-lain.[4]
B.
Saluran dan
Cara-cara Islamisasi Di Indonesia
Kedatangan Islam dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan
rakyat umumnya, dilakukan secara damai. Apabila situasi politik suatu kerajaan
mengalami kekacauan dan kelemahan disebabkan perebutan kekuasaan dikalangan
keluarga istana, maka islam dijadikan alat politik bagi golongan bangsawan atau
pihak-pihak yang menghendaki kekuasaan itu. Mereka berhubungan dengan
pedagang-pedagang Muslim yang posisi ekonominya kuat karena menguasai pelayaran
dan perdagangan. Apabila kerajaan Islam sudah berdiri, penguasanya melancarkan
perang terhadap kerajaan non-Islam. Hal itu bukanlah karena persoalan agama
tetapi karena dorongan politis untuk menguasai kerajaan-kerajaan disekitarnya.[5]
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang
berkembang ada enam, yaitu:
1.
Saluran
Perdagangan
Pada taraf pertama, saluran islamisasi adalah perdagangan.
Kesibukan lalulintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M. Membuat
pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia, dan India) turut ambil bagian dalam
perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan Timur Benua Asia.
Saluran Islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para
Raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka
menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan
saluran Islamisasi melalui perdagangan ini dipesisir Pulau Jawa, Uka
Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak yang bermukim di
pesisir Pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil
mendirikan mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar
sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu
menjadi orang Jawad an kaya-kaya.[6]
Beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa yang menjabat sebagai
Bupati Majapahit yang ditempatkan dipesisir utara banyak yang masuk Islam,
bukan hanya karena faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi
terutama karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang Muslim. Dalam
perkembangan selanjutnya, mereka mengambil alih perdagangan dan kekuasaan
ditempat tinggalnya.[7]
2.
Saluran
Perkawinan
Secara ekonomi para pedagang Muslim memiliki status social yang
lebih baik daripada kebanyakan pribumi, maka banyak penduduk pribumi, terutama putra-putri
bangsawan, tertarik menjadi istri saudagar tersebut. Sebelum menikah,
wanita-wanita tersebut diislamkan terlebih dahulu. Dan setelah mereka
memperoleh keturunan, lingkungan mereka makin luas. Dengan demikian,
timbullahperkampungan, daerah, dan kerajaan Muslim. Dalam perkembangan
selanjutnya terdapat pula wanita Muslim yang dinikahi pria keturunan bangsawan,
tentu saja setelah si wanita itu lebih dahulu masuk Islam. Islamisasi melalui
jalur pernikahan ini dianggap menguntungkan, terutama apabila terjadi antara
saudagar Muslim dan anak bangsawan atau anak raja, adipati atau bangsawan itu
semua, proses islamisasi semakin berjalan dengan lancer dan efektif. Keadaan
ini dapat dicontohkan dengan adanya perkawinan antara Raden Rahmat atau Sunan
Ampel dan nyai Manila, Sunan Gunung Jati dan Puteri Kawunganten, serta
Brawijaya dan puteri Campa yang menurunkan Raden patah (raja Pertama Demak),
dan lain-lain.[8]
3.
Saluran Tasawuf
Di antara para penyiar Islam dari luar yang datang ke Indonesia ada
yang mengajarkan teosofi yang sudah bercampur dengan ajaran lokal yang sudah
memiliki kemahiran dalam hal-hal yang berkaitan dengan magis dan memiliki
kekuatan yang berhubungan dengan penyembuhan berbagai macam penyakit. Para guru
tasawuf tersebut ada yang menikahi putra-putri bangsawan setempat. Diantara
mereka ada yang mempunyai persamaan dengan alam pikiran para penganut agama
sebelumnya, yaitu Hindu. Dengan cara demikian, agama Islam yang dibawa para
ahli tasawuf itu mudah diterima masyarakat. Diantara ahli-ahli yang memberikan
pelajaran teosofi yang demikian itu adalah Hamzah Fansuri di kerajaan Islam
Darussalam Aceh, Syaikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa.[9]
4.
Saluran
Pendidikan
Islamisasi yang dilakukan melalui pendidikan ini adalah termasuk
paling efektif, terprogram, dan berlanjut sampai sekarang. Pesantren maupun
pondok yang didirikan dan diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai,
serta ulama-ulama merupakan salah satu saluran bagi terjadinya proses
islamisasi. Dipesantren atau pondok itulah calon ulama, guru agama dan kiai
mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang
kekampung masing-masing atau berdakwah ketempat tertentu untuk mengajarkan
agama Islam. Di Ampel Denta Surabaya misalnya terdapat pesantern yang didirikan
oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel), dan di Giri juga terdapat pesantren yang
didirikan oleh Sunan Giri. Para alumni pesantren Giri ini banyak yang diundang
ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam. Selanjutnya di Aceh, proses islamisasi
menggunakan meunasah (berasal dari kata madrasah), dayah (berasal dari kata
Zawiah), dan rangkang. Demikian pula di Sumatera Barat dijumpai adanya surau
yang digunakan sebagai tempat menyelurkan ajaran Islam.[10]
5.
Saluran
kesenian
Saluran islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah
pertunjukkan wayang. Sejarah mencatat, bahwa Sunan Kalijaga termasuk tokoh yang
mahir melakukan pertunjukkan wayang. Dalam setiap kali pertunjukkannya itu ia
tidak pernah meminta upah berupa materi, melainkan meminta para penontonnya
untuk mengucapkan dua kaliamat syahadat sebagai pertanda proses masuknya Islam.
Selain, itu, sebagian besar cerita wayang yang masih dipetik dari kisah
Mahabrata dan Ramayana telah disisipkan ajaran Islam dan nama pahlawan Islam.
Kesenian lain yang digunakan bagi proses islamisasi ini adalah sastra berupa
hikayat dan babad, serta seni bangunan dan seni ukir.[11]
6.
Saluran Politik
Proses Islamisasi melalui politik terjadi setelah raja-raja yang
ada didaerah itu terlebih dahulu memeluk Islam. Kemudian dengan Islamnya raja
dan kebijakannya dikeluarkannya tentang agama yang dianutnya ini menjadi daya
tarik bagi para pegikutnya untuk memeluk agama Islam. Pengaruh politik raja
sangat membantu tersebarnya Islam didaerah ini. Di samping itu, baik di
Sumatera dan Jawa, maupun di Indonesia bagian timur, terdapat kerajaan Islam
yang memerangi raja-raja non-Muslim, demi kepentingan politik dakwah Islamiah.
Kemenangan kerajaan Islam secara politik banyak menarik penduduk kerajaan non-Muslim
itu masuk Islam.[12]
Adanya berbagai saluran proses islamisasi sebagaimana tersebut
diatas memperlihatkan dengan jelas, bahwa penyebaran dan pengembangan ajaran
Islam membutuhkan semua lapisan masyarakat dan semua bidang keahlian. Selain
membutuhkan para ahli dakwah dan pendidikan, proses islamisasi juga membutuhkan
dukungan para ekonom, pedagang, budayawan, seniman, politikus, pejabat
pemerintah, dan masyarakat pada umumnya. Selain itu, kenyataan tersebut juga
menunjukkan, bahwa islam adalah sebuah agama yang dapat beradaptasi dan
berinteraksi merupakan seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat. Dengan dasar
ini maka kerja sama yang erat antara berbagai komponen dan keahlian dalam
masyarakat dalam rangka memajukan Islam merupakan hal yang perlu dilakukan.[13]
Tahapan-tahapan proses Islamisasi sampai
mencapai tingkat sekarang ini.
Pada tahap pertama, penyebaran Islam masih
relatif di kota pelabuhan. Tidak lama kemudian Islam mulai memasuki
wilayah pesisir lainnya dan pedesaan. Pada tahap ini pedagang, ulama-ulama guru
tarekat (wali dijawa) dengan murid-murid mereka memegang peranan penting.
Islamisasi tahap ini sangat diwarnai aspek tasawuf, meskipun aspek hokum
(syariah) juga tidak diabaikan. Hal ini karena Islam tasawuf dengan segala
penafsiran mistiknya terhadap Islam dalam beberapa segi tertentu cocokdengan
latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi asketisme Hindu-Budha dan
sinkretisme kepercayaan lokal.[14]
Tahap kedua, penyebaran Islam terjadi
ketika VOC makin mantap menjadi penguasa di Indonesia. Sebenarnya pada abad 17
VOC baru merupakan slaah satu kekuatan yang ikut bersaing dalam kompetisi
dagang dan politik di kerajaan Islam Nusantara. Akan tetapi pada abad ke 18 VOC
berhasil tampil sebagai pemegang hegemoni politik di Jawa dengan terjadinya
perjanjian Giyanti tahun 1755 yang memecah Mataram menjadi dua: Surakarta dan
Yogyakarta. Perjanjian tersebut menjadikan raja-raja Jawa tidak mempunyai
wibawa karena kekuasaan politik telah jatuh ke tangan penjajah, sehingga raja
menjadi sangat bergantung kepada VOC. Campur tangan VOC terhadap keraton makin
luas termasuk masalah-masalah keagamaan. Peranan ulama di keraton
terpinggirkan. Oleh karena itu, ulama keluar dari keraton dan mengadakan
perlawanan sambil memobilisasi petani membentuk pesantren dan melawan kolonial
seperti kasus Syaikh Yusuf al Makassari.
Tahap ketiga, terjadi pada awal abad ke
20, ketika terjadi liberalisasi kebijaksanaan pemerintah Belanda. Ketika
pemerintah Belanda mengalami defisit yang tinggi akibat menanggulangi tiga
perang besar (perang Diponegoro, perang Paderi, dan perang Aceh) Belanda
mengikat Gubernur Jenderal Johanes van den Bosch dengan tugas meningkatkan
produktivitas. Untuk itu van den Bosch memperkenalkan sistem tanam paksayang mengharuskan petani
membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian yang dipaksakan. Sistem ekonomi
yang disebut ekonomi liberal ini dimulai tahun 1870. Pada masa ini kekuasaan
elit lokal merosot hanya sebagai mandor penanaman. Untuk keperluan ekonomi
liberal prasarana fisik dibangun, perkebunan besar, irigasi, transportasi
kereta api di Jawa dan Sumatera, pengangkutan laut, pelabuhan-pelabuhan baru,
dibangun Tanjung Priuk (1893). Dibangun pula sarana non fisik berupa sarana
pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan
perekonomian Belanda. Dalam perkembangannya, sistem pendidikan yang semula
untuk memenuhi perangkat biokrasi kolonial kemudian melahirkan elit baru,
intelektual modern yang bahkan mengancam kolonialisme itu sendiri. Mereka
tampil sebagai nasionalis yang anti kolonial, yang menciptakan terbentuknya
bangsa baru Indonesia diatas tumpuan kesatuan etnis lama.[15]
Penyebaran Islam yang dulu dilaksanakan atas
harapan yang berwatak religio-magis telah diganti oleh organisasi-organisasi
yang mempunyai ideologi yang merupakan perumusan strategis dan sistematis dari
aspirasi keislaman. Dalam kontesk ini, Islam merupakan peletak dasar bagi
nasionalisme Indonesia.
C.
Perkembangan
Islam di Indonesia
Islam di Indonesia (Asia Tenggara) merupakan salah satu dari tujuh
cabang peradaban Islam (sesudah hancurnya persatuan peradaban Islam yang
berpusat di Baghdad tahun 1258 M). Ketujuh cabang peradaban Islam itu secara
lengkap adalah peradaban Islam Arab, Islam Persi, Islam Turki, Islam Afrika
Hitam, islam anak benua India, Islam Arab Melayu, dan Islam Cina. Kebudayaan
(peradaban) yang disebut Arab Melayu tersebar diwilayah Asia Tenggara memiliki
ciri-ciri universal menyebabkan peradaban itu tetap mempertahankan bentuk
integritasnya, tetapi pada saat yang sama tetap mempunyai unsur-unsur yang khas
kawasan itu.[16]
Kemunculan dan perkembangan Islma dikawasan itu menimbulkan transformasi
kebudayaan (peradaban) lokal.
Transformasi melalui pergantian agama dimungkinkan karena Islam selain
menekankan keimanan yang benar juga mementingkan tingkah laku dan pengalaman
yang baik, yang diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Terjadinya transformasi
kebudayaan (peradaban) dari sistem keagamaan
local kepada system keagamaan Islam bisa disebut revolusi agama. Transformasi
masyarakat melayu kepada Islam terjadi berbarengan dengan masa perdagangan masa
ketika Asia Tenggara mengalami peningkatan posisi dalam Timur Barat. Kota-kota
wilayah pesisir muncul dan berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan,
kekayaan, dan kekuasaan. Masa ini mengantarkan wilayah Nusantara ke dalam
internasionalisasi perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak
pernah dialami masyarakat dikawasan ini pada masa-masa sebelumnya.
Konvensi massal masyarakat Nusantara kepada
Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab sebagai berikut.[17]
a. Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan
Islam. Sebelum Islam datang, sistem kepercayaan lokal berpusat pada penyembahan
arwah nenek moyang yang tidak portable (siap pakai dimana pun dan berlaku kapan
pun). Oleh karena itu, para penganut kepercayaan ini tidak boleh jauh dari
lingkungannya, sebab kalau jauh meraka tidak akan mendapat perlindungan dari
arwah yang mereka puja. Sementara itu, mereka yang karena sesuatu alasan harus
meninggalkan lingkungan arwah nenek moyang, mencari sistem keimanan yang berlaku
universal, sistem kepercayaan kepada Tuhan yang berada dimana-mana dan siap
memberikan perlindungan dimana pun mereka berada. Sistem kepercayaan seperti
itu mereka temukan dalam Islam.
b. Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika
penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang Muslim
pendatang dipelabuhan, mereka adalah pedagang kaya raya. Karena kekayaan dan
kekuatan ekonominya, mereka bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik
entitas lokal dan bidang diplomatik. Ini terlihat misalnya, pada abad ke-10 dan
abad ke-12, tidak kurang dari dua belas orang Muslim (pedagang) menjadi
duta-duta Sriwjaya dalam politik dan perdagangan dengan Cina dan negara-negara
Timur Tengah.
c. Kejayaan militer. Orang Muslim dipandang
perkasa dan tangguh dalam peperangan. Majapahit dipercaya telah dikalahkan para
pejuang Muslim yang tidak bisa ditundukkan secara magis. Penduduk setempat
percaya bahwa mereka yang perkasa dan tangguh itu karena memiliki
kekuatan-kekuatan adikodrati.
d. Memperkenalkan tulisan, agama Islam
memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar
belum mengenal tulisan, sedangkan sebagian yang lain sudah mengenal huruf
Sanskrit. Pengenalan tulisan arab memberikan kesempatan lebih besar untuk
mempunyai kemampuan membaca (literacy).
e. Mengajarkan penghapalan, para penyebar Islam
menyandarkan otoritas sakral. Mereka membuat teks-teks yang ditulis untuk
menyampaikan kebenaran yang dapat dipahami dan dihapalkan. Hapalan menjadi
sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan ibadah-ibadah
seperti sholat.
f. Kepandaian dalam penyembuhan, di Jawa terdapat
legenda yang mengaitkan penyebaran Islam dengan epidemi yang melanda penduduk.
Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa
tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Raja patani menjadi Muslim setelah
disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai.
g. Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan
keselamatan dari berbagai kekuatan jahat. Misalnya, orang yang taat akan
dilindungi Tuhan dari segala arwah dan kekuatan jahat, bahkan orang yang taat
akan diberi imbalan surga diakhirat, sebaliknya orang yang sengsara juga akan
mendapat balasan yang sama jika mereka saleh. Pandangan lama tentang kehidupan
akhirat penuh dengan kemungkinan yang menakutkan, sebaliknya Islam
memperkenalkan janji surga yang menyenangkan.[18]
Melalui sebab-sebab itu Islam cepat mendapat
pengikut yang banyak. Sebagaimana yang sudah disebutkan terdahulu bahwa
pedagang Muslim asal Arab, Pesia, India diperkirakan telah sampai dikepualan
Indonesia untuk berdagang sejak abad ke 7 M (ke 1 H), ketika islam di Timur
Tengah mulai berkembang ke luar Jazirah Arab. Dari Timur Tengah para pedagang berlayar melintasi laut
Arab, teluk Oman, teluk Persi, singgah di Gujarat, terus ke teluk Benggala atau
langsung ke selat Malaka, terus ke timur ke Cina atau sebaliknya dengan
menggunakan angin musim untuk pelayaran pulang pergi.
Perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh Islam, baik dalam bidang
politik, sosial dan peradaban adalah karena Islam selaku agama yang telah
mengajarkan tiga nilai baru.
1.
Islam
mengajarkan adanya kehidupan akhirat yang berkesinabung dengan kehidupan
duniawi. Ajaran ini mendidik pengikutnya untuk mengatur hidup didunia mencapai
hidup diakhirat; bahwa hidup tidak selesai di dunia tetapi ada imbalannya
diakhirat, yan baik atau buruk.
2.
Islam
mengajarkan pemeluknya bertanggung jawab atas anasibnya sendiri diakhirat.
Kepercayaan ini mendorong pemeluknya untuk selalu menghayati dan mengamalkan
norma-norma hokum dan tuntunan akhlak yang benar sebagaimana yang diajarkan
kepeda setiap individu.
3.
Islam
mengajarkan aturan-aturan hidup bermasyarakat dan bernegara dalam cakrawala
kehidupan solidaritas umat Islam sedunia. Umat manusia tidak dikotak-kotakkan
dan terbagi-bagi dalam suku bangsa, tetapi derajat mereka tergantung pada
ketinggian keimanan.[19]
Tiga nilai baru tersebut mendorong manusia untuk menetapkan tiga
hal dasar, yaitu bagaimana hidup yang benar, berfikir dan mengamalkan dengan
benar, dan bagaimana mengorganisasikan sesuatu yang benar.
BAB III
KESIMPULAN
Dari paparan diatas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a. Islam datang ke kepulauan Indonesia pada abad
ke-7 (abad ke-1 H) yang dibawa oleh pedagang Muslim yang berasal dari Arab,
Persia, India. Ketika Islam di Timur Tengah mulai berkembang keluar Jazirah
Arab.
b. Tersebarnya Islam ke Indonesia melalui
salauran-saluran sebagai berikut: saluran perdagangan, saluran politik, saluran
perkawinan, saluran pendidikan, saluran tasawuf dan melalui saluran
kesenian. Sedangkan proses islamisasi di
Indonesia dilalui tiga tahapan-tahapan sebagai berikut: tahap pertama;
penyebaran Islam relatif di kota pelabuhan; tahap kedua, penyebaran Islam
terjadi ketika VOC; dan tahapan yang ketiga, terjadi pada awal abad ke 20 pada
saat terjadi liberalisasi kebijaksanaan pemerintah Belanda.
c. Kemunculan dan perkembangan Islam dikawasan
Indonesia menimbulkan transformasi kebudayaan (peradaban) lokal. Transformasi
melalui pergantian agama dimungkinkan karena Islam selain menekankan keimanan
yang benar juga mementingkan tingkah laku dan pengalaman yang baik, yang
diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Walaupun transformasi (Islam) belum selesai
dan belum sempurna waktu itu, tetapi Islam sudah berfungsi sebagai kekuatan
pendorong perlawanan terhadap penjajah sekaligus lambang pemersatu. Ajaran
Islam dapat menumbuhkan jiwa patriotisme sebagai bagian dari iman yang
berorientasi ke arah persatuan seluruh kepualan Nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,(Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada,2005)
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2008)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2015)
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta: Prenada
Media Group, 2014)
M. Ya’kub, dkk,
Sejarah peradaban Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2015)
[1] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2005),hal. 7
[2] Ibid, hal. 8
[3] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal.188
[4] Ibid, hal. 192
[5]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015), hal. 200
[6] Ibid, hal. 201
[7]Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam,(Jakarta: Prenada Media Group, 2014) hal. 261
[8] Ibid, hal 263
[9]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015), hal. 202
[10]Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam, hal. 263
[11] Ibid, hal. 263
[12]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015), hal. 203
[14]Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2005),hal. 13
[15]Ibid, hal. 14
[16]Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2005),hal. 17
[17]Ibid, hal. 18
[18]Ibid, hal. 21
0 Post a Comment:
Posting Komentar