"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Jumat, 23 Maret 2018

Jurnal Asbabun Nuzul Al Quran





ASBAB AL NUZUL AL-QURAN
Mhd. Reza Fahlevi
Guru Pendidikan Agama Islam SDN 064959 Komplek Megawati Medan

Abstrack

Al-Quran di turunkan kepada manusia sebagai petunjuk kearah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang di dasarkan pada keimanan kepada Allah swt dan risalah-Nya. Sebagian besar Al Quran pada mulanya di turunkan untuk menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi pada mereka khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah swt. Salah satu upaya yang dapat di lakukan untuk memahami pesan Al-Quran adalah mempelajari konteks latar belakang turunnya. Latar belakang yang paling dekat adalah kegiatan dan perjuangan Nabi yang belangsung selama dua puluh dua tahun, dua bulan, dua puluh dua hari, dalam beberapa tulisan sering digenapkan menjadi dua puluh tiga tahun (13 tahun selama nabi beraada di Mekkah dan 10 tahun selama Nabi berada di Madinah). Apabila upaya memeahami Al-Quran hanya memahami dari sisi bahasanya saja tanpa memahami adat istiadat, pandangan hidup dan konteks historis bangsa Arab, tentu akan sangat sulit menangkap pesan-pesan Al-Quran secara utuh yang di turunkan kepada bangsa Arab. Oleh karenanya sangat banyak literatur yang berkenaan dengan Al-Quran menekankan pentingnya memahami Asbabun nuzul ( sebab-sebab turunnya ayat ) untuk di pelajari.
Kata Kunci :



       A.    Pengertian Asbab Al Nuzul
Banyak defenisi yang dikemukakan para ahli mengenai asbab al nuzul, dan defenisi tersebut tidak terlepas dari mmakna asalnya yaitu kata asbab dan nuzul. Asbab adalah bentuk jamak dari sababun yang berarti sebab, sedangkan nuzul berasal dari kata nazala, yanzilu, nuzulan yang berarti turun. Dari kedua kata ini bila di gabungkan akan menjadi asbab al nuzul yang berarti sebab-sebab turunnya ayat Al-Quran.[1]
Secara etimologis, asbab adalah bentuk jamak dari sabab yang artinya sebab-sebab, dan al-nuzul adalah bentuk masdar dari kata nazala yang artinya turun. Dalam konteks Ulumul Quran maka pemakaian asbab al-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar belakagi turunnya ayat Al-Quran.[2]
Secara terminologi dapat dilihat pada pendapat pendapat para ahli berikut ini :
Menurut Shubhi al Shalih sabab al nuzul adalah sesuatu yang dengan adanya turun satu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau yang memberikan jawaban sebab itu, atau menerangkan hukumannya pada masa terjadinya sebab itu.
Menurut Al Zarqani sabab al nuzul adalah sesuatu yang oleh karenanya diturunkan satu ayat atau beberapa ayat untuk membicarakan atau menerangkan hokum suatu peristiwa pada saat terjadinya.
Menurut Manna’ Khalil Al Qathan sabab al nuzul adalah sesuatu yang menyebabkan diturunkan ayat Al-Quran pada waktu suatu terjadinya peristiwa, baik berupa kasus atau pertanyaan.
Defenisi di atas jelaslah bahwa yang di maksud dengan asbab al nuzul adalah sesuatu yang menyebabkan turunnya ayat Al-Quran baik disebabkan karena adanay kasus atau peristiwa yang terjadi maupun pertanyaan yang di ajukan untuk di ambil hukumnya. Akan tetapi perlu diketahui bahwa Al-Quran akan turun meskipun tidak ada asbab al nuzul. Fungsi asbab al nuzul adalah untuk menjelaskan bahwa sebagian ayat-ayat Al-Quran turun di dahului dengan asbab al nuzul.
Maka dapatlah di ketahui bahwa turunnya ayat-ayat Al-Quran kadang kala memiliki sebab dan ada yang turunnya dengan tanpa sebab, karena ada hikmah tertentudari ayat tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Al Ja’bari sebagai mana yang dikutip Al Suyuthiy yang mengklasifikasikan ayat-ayat Al-Quran kepada dua macam yaitu ayat-ayat yang tidak memiliki asbab al nuzul dan ayat-ayat yang turunnya karena ada persoalan atau pertanyaan.[3]
Dari beberapa defenisi di atas dapat pemakalah simpulkan bahwa yang di maksud asbab al-nuzul itu adalah kejadian atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat Al-Quran dalam upaya memberi jawaban, penjelasan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul yang di sebabkan adanya kejadian (peristiwa) atau adanya pertanyaan.
Sedangkan maksud nuzul Al-Quran adalah suatu pembahasan mengenai turunnya ayat-ayat Al-Quran yang dimulai dari surah Al-Alaq dan di akhiri dengan dengan surah Al Maidah ayat 3. Pendapat lain juga disebutkan bahwa Nuzul Al-Quran adalah turunnya ayat Al-Quran yang dimulai pada malam Al Qadar yang bertepatan pada tanggal 17 Ramadhan.
    1.      Macam-macam Asbab Al Nuzul
Fakta sejarah menunjukkan bahwa turunnya ayat Al-Quran itu terbagi kepada dua macam, yaitu :
     a.       Turunnya ayat-ayat Al-Quran didahului oleh suatu sebab
     b.      Turunnya ayat-ayat al-Quran tanpa didahului oleh suatu sebab
Topik yang sedang kita bahas dalam bab ini adalah yang pertama yaitu turunnya ayat yang di dahului oleh suatu sebab (asbabun nuzul).
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan turunnnya ayat secari garis besar ada 2 kategori :  
     a)      Adanya peristiwa yang terjadi
    b)      Adanya pertanyaan-pertanyaan dari kalangan umat islam sendiri ataupun pertanyaan yang datang dari kalangan lainnya yang ditujukan kepada Nabi.[4]
Asbabun nuzul yang berupa adanya peristiwa yang terjadi itu terbagi menjadi tiga macam :
    1)      Peristiwa berupa pertengkaran,[5] Ibnu Ishaq dan Abusy Syekh meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dia berkata,”Pada suatu hari Syas bin Qais seorang Yahudi, melintasi orang-orang dari kabilah Aus dan Khazraj yang sedang berbincang-bincang. Syas tidak suka dengan keakraban kedua kabilah tersebut setelah permusuhan yang sekian lama terjadi antara mereka. Maka dia menyuruh seorang pemuda Yahudi yang bersamanya untuk ikut bergabung bersama orang-orang Aus dan Khazraj tersebut, lalu mengingatkan mereka tentang hari Bi’ats. Pemuda itu pun melakukan perintah Syas. Akibatnya orang-orang Aus dan Khazraj pun saling berselisih dan saling membangga-banggakan kanilah mereka. Hingga seorang dari Aus yang bernama Aus bin Qaizhi dan seorang dari Khazraj yang bernama Shakar melompat berdiri dan saling mencela. Amarah kedua kabilah tersebut memuncak dan mereka sudah bersiap-siap untuk berperang. Lalu kejadian itu sampai kepada Rasulullah, Maka beliau mendatangi mereka, lalu menyampaikan nasihat kepada mereka. Mereka pun mendengarkan dan menaati nasehat Rasulullah tersebut. Maka turunlah surat turunlah surah Ali Imran ayat 101:[6]



وَكَيۡفَ تَكۡفُرُونَ وَأَنتُمۡ تُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ ءَايَٰتُ ٱللَّهِ وَفِيكُمۡ رَسُولُهُۥۗ وَمَن يَعۡتَصِم بِٱللَّهِ فَقَدۡ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ١٠١
Artinya
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, Padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, Maka Sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”.(QS. Ali Imran: 101)[7]

            Adapun Tafsir ayat diatas yang di kutip dari kitab Tafsir Muyassar menjelaskan bahwa “Bagaimana kalian pantas kafir kepada Allah wahai kaum mukminin, sedang ayat-ayat Al-Quran turun dibacakan kepada kalian, dan ditengah kalian terdapat Rasulullah, Muhammad Saw, yang menyampaikannya kepada kalian ? Barang siapa bertawakkal kepada Allah dan berpegang teguh dengan Al-Quran dan as-Sunnah, maka sungguh dia telah memperoleh taufik menuju jalan terang dan jalur yang lurus.[8]
    2)      Peristiwa yang kesalahan yang serius,[9] seperti turunnya surat An-Nisa’ ayat 43. Menurut riwayat Abu Dawud, at-Tarmidzi, an-Nasa’I dan al-Hakim, yang bersumber dari Ali dimana Ali berkata: Abdurrahman bin ‘Auf membuat makanan untuk kami (Ali dan kawan-kawan). Lalu diundanglah kami, yang dihidangkan diantaranya khamar (arak dan minuman keras), maka terganggulah pikiran kami. Sewaktu datang waktu sholat orang-orang memilih Ali menjadi imam. Lalu Ali membaca surat al-Kafirun dengan keliru.[10]
Akibat kesalahan membaca ayat tersebut,peristiwa itu lalu di sampaikan kepada Nabi, kemudian Allah menurunkan ayat guna meluruskan kekeliruan itu agar tidak terulang lagi. Ayat yang turun ketika itu adalah surat An-Nisa’ ayat 43:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا ٤٣

Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. “(QS. An-Nisa’:43)[11]

            Di dalam tafsir Muyassar dijelaskan bahwa “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti Rasul-Nya serta melaksanakan syariat-Nya janganlah kalian mendekati sholat dan jangan beranjak untuk melaksanakannya saat dalam keadaan mabuk sampai kalian membedakan dan menyadari apa yang kalian ucapkan. Dan larangan ini berlaku sebelum pengharaman yang tegas terhadap khamar (minuman keras) dalam seluruh keadaan.[12]

   3) Peristiwa yang berupa cita-cita dan keinginan,[13] di riwayatkan oleh Ibnu abi Hatim dan Ibnu Mardawaih dari Jabir, dia berkata,”ketika Nabi Saw melakukan tawaf, Umar berkata kepada beliau, Apakah ini tempat berdiri ayah kami, Ibrahim ? Beliau menjawab, Ya, Umar kembali bertanya “Mengapa tidak kita jadikan tempat sholat ?  lalu turunlah ayat Al Baqarah ayat 125 :[14]
وَإِذۡ جَعَلۡنَا ٱلۡبَيۡتَ مَثَابَةٗ لِّلنَّاسِ وَأَمۡنٗا وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ مُصَلّٗىۖ وَعَهِدۡنَآ إِلَىٰٓ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيۡتِيَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلۡعَٰكِفِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ ١٢٥
Artinya :
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (QS. Al Baqarah : 125)[15]
Adapun tafsir ayat di atas di jelaskan bahwa “Ingatlah Wahai Nabi, ketika kami menjadikan Ka’bah sebagai tujuan bagi manusia yang mereka datangi lalu mereka pulang kembali menuju keluarga mereka kemudian mereka kembali lagi mengunjunginya, dan sebagai tempat berkumpul bagi mereka dalam ibadah haji, umrah, thawaf dan sholat, serta lokasi yang aman bagi mereka, dimana musuh tidak akan menyerang mereka didalamnya. Dan kami berfirman,“Jadikanlah sebagian dari Maqam Ibrahim sebagai tempat sholat,’ yaitu batu yang menjadi tempat pijakan Ibrahim saat berdiri ketika membangun Ka’bah. Dan telah Kami wahyukan kepada Ibrahim dan putranya Ismail, “Bersihkanlah rumahKu dari segala najis dan kotoran bagi orang-orang yang beribadah didalamnya dengan thawaf di sekeliling ka’bah atau beri’tikaf di mesjid dan sholat disana.”[16]
Sedangkan ayat-ayat yang turun akibat dari adanya pertanyaan dapat di klasifikasikan pada tiga bagian yaitu:
   1)    Pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang telah lalu, yang terjadi dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. Seperti dalam surat al-Kahfi ayat 83 dimana turunnya ayat setelah lima belas hari persoalan tersebut.
وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ عَن ذِي ٱلۡقَرۡنَيۡنِۖ قُلۡ سَأَتۡلُواْ عَلَيۡكُم مِّنۡهُ ذِكۡرًا ٨٣
Artinya:
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain, Katakanlah: Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.” (Q.S Al Kahfi :83)[17]
Menurut al Wahidi sebagaimana pendapat Qatadah, ayat ini turun karena adanya pertanyaan orang Yahudi kepada Nabi Muhammad tentang sejarah manusia yang bernama Dzulkarnain.[18]
Di dalam tafsir Muayassar ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang musyrik dari kaummu, wahai Rasul, bertanya kepadamu menegenai Dzulkarnain, seorang raja raja yang shalih. Katakanlah kepada mereka,” Aku akan ceritakan kepada kalian kisahnya yang akan kalian ingat dan kalian ambil pelajaran darinya.[19]
   2)    Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu, seperti dalam surat Al-Isra’ ayat 85:
وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنۡ أَمۡرِ رَبِّي وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ إِلَّا قَلِيلٗا ٨٥
Artinya:
“Dan mereka bertanya kepada mu tentang roh. Katakanlah roh itu termasuk urusan Tuhan-Ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit (Q S. Al Isra’ : 85)[20]
Adapun sebab turunnya ayat ini sebagaimana yang diriwayatkan Abdillah bahwa ketika dia bersama Nabi Saw, lewat sekelompok orang-orang Yahudi,  sebagian dari mereka berkata,’bagaimana kalau kita menanyainya ? lalu mereka pun berkata,”Ceritakanlah kepada kami perihal ruh! Rasulullah berdiri beberapa saat lamanya sambil menengadahkan kepalanya. Aku tahu beliau sedang menerima wahyu. Setelah selesai, beliau berucap seperti seperti ayat di atas.[21]
c)   Pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang akan datang, seperti dalam surah al-A’raf ayat 187:
يَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلسَّاعَةِ أَيَّانَ مُرۡسَىٰهَاۖ قُلۡ إِنَّمَا عِلۡمُهَا عِندَ رَبِّيۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقۡتِهَآ إِلَّا هُوَۚ ثَقُلَتۡ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ لَا تَأۡتِيكُمۡ إِلَّا بَغۡتَةٗۗ يَسۡ‍َٔلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنۡهَاۖ قُلۡ إِنَّمَا عِلۡمُهَا عِندَ ٱللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ١٨٧    
Artinya :
 Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu Amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui". (QS. Al-A’raf : 187)[22]
Ibnu jabir dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Hamal bin Abi Qusyair dan Samuel bin Zaid berkata kepada Rasulullah,”Beri tahu kami kapan akan terjadi kiamat kalau engkau benar seorang nabi sebagaimana kamu kalim, sebab kami tahu kapan terjadinya!, Maka Allah menurunkan firman-Nya yaitu surat Al-A’raf ayat 187.[23]
Adapun tafsir ayat diatas menjelaskan bahwa “Orang-orang kafir Makkah akan bertanya kepadamu wahai Rasul tentang Hari Kiamat, kapan waktu kesatangannya ? katakanlah kepada mereka,”Pengetahuan tentang terjadinya hanya ada di sisi Allah, tidak ada yang mengetahui kepastiannya kecuali Dia. Pengetahuan tentangnya amat berat, dan tertutup bagi penghuni langit dan bumi. Tidak ada yang mengetahui saat terjadinya, baik malaikat yang di dekatkan (kepada Allah) maupu Nabi yang di utus sekalipun. Kiamat tidak datang kecuali dengan tiba-tiba.” Dan mereka bertanya kepadamu seolah-olah kamu orang yang amat antusias tentangnya lagi pernah menanyakannya secara detail tentangnya. Katakanlah kepada mereka ,”Sesungguhnya pengetahuan yang tentangnya hanya ada di sisi Allah. Yang maha mengetahui perkara ghaib yang ada di langit dan di bumi.” Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui bahwa perkara tersebut tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.[24]
Dari keterangan di atas nampaklah contoh-contoh dari asbab al nuzul baik dalam bentuk peristiwa yang terjadi maupun bentuk pertanyaan, dan masih banyak lagi ayat-ayat yang memiliki asbab al nuzul.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Quran tidak semuanya memiliki asbab al nuzul. Maka untuk mengetahui mana ayat-ayat yang memakai asbab al nuzul perlu pengkajian yang lebih serius lagi. Asbab al-nuzul di peroleh dari sahabat. Karena sahabat Nabi banyak yang menyaksikan langsung turunnya ayat Al-Quran. Akan tetapi sebagaimana yang di katakana Muhammad bin Sirrin bahwa orang-orang yang mengetahui turunnya ayat-ayat Al-Quran sudah tiada. Tapi walaupun demikian, kebiasaan sahabat ketika hidupnya adalah menyampaikan dan menceritakan peristiwa yang di alaminya bersama Rasulullah.[25]  
    2.      Ayat-ayat yang memiliki Asbab Al Nuzul
Adapun surah atau ayat yang memilki asbabun nuzul adalah :
1.      Al-Baqarah ; dari 286 ayat dalam surah al-Baqarah yang memiliki asbabun nuzul sebanyak 99 ayat, yaitu : 1-20, 26, 27, 44, 62, 76, 79, 80, 89, 94, 97-100, 102, 104, 106, 108, 109, 113, 115, 118-120, 125, 130, 142-144, 150, 154, 158, 159, 163, 164, 170, 174, 177, 178, 184, 186-202, 204, 207, 208, 214, 215, 217-224, 228-232, 238, 240,241, 245, 256, 257, 267, 272, 274, 278, 279, 284-286.

2.      Al-Maidah ; dari 120 ayat dalam surah Al-Maidah yang memiliki asbabun nuzul adalah 37 ayat, yaitu : ayat 2-4, 6, 11, 15, 19, 33, 39, 41-45, 49, 50, 55, 57, 59, 64, 67, 68, 82, 83, 86, 90-93, 100, 101, 106-108.
3.      Demikian juga pada surat-surat yang lain tidak semua ayat dalam satu surat yang memiliki asbab al-nuzul.[26]

    3.      Perbedaan Asbab al Nuzul dengan Nuzul Al-Quran
    a.      Asbab al Nuzul
    1)      Ayat Al-Quran tidak semuanya memiliki asbab al nuzul, hanya beberapa ayat saja dalam satu surat, dan hanya 101 surat.
    2)      Asbabun al nuzul muncul karena adanya peristiwa yang terjadi dan adanya pertanyaan-pertanyaan.
     3)      Ayat-ayat yang memiliki asbab al nuzul ditandai dengan ungkapan-ungkapan.

     b.      Nuzulul Quran
     1)      Turunnya seluruh ayat Al-Quran dengan cara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari.
    2)     Munculnya bukan karena peristiwa atau pertanyaan, tapi karena Allah hendak mengutus Rasul terakhirnya yang membawa kitab Al-Quran.
     3)      Nuzul Al-Quran di turunkan untuk membawa risalah kepada manusia, sebagai kitab penutup dari kitab-kitab sebelumnya. Tidak ada lagi kitab yang turun setelah ini.[27]

     B.     Perdebatan Sekitar Signifikan Asbab Al Nuzul
Asbab al nuzul mempunyai peranan penting dalam upaya mengetahui dan memahami maksud suatu ayat dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Asbab al nuzul juga di butuhkan terutama untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang ingin di capai Al Quran ("ideal moral" Alquran) atau sebab berlakunya hukum (ratiolegis). Hampir semua ulama sepakat bahwa asbab al nuzul itu penting dan mendasar untuk menemukan makna dan signifikansi ayat-ayat Al Quran. Al wahidi salah seorang ulama yang mengawali penulisan kitab “asbab al nuzul” menyatakan bahwa tidak mungkin bisa menafsirkan ayat dan mengetahui maknanya, tanpa mengetahui kisah dan sebab turunnya.[28]
Namun demikian ada juga yang berpendapat bahwa pengaruh asbab al nuzul terhadap pemahaman Al Quran tidak begitu penting. Mereka beralasan, karena tidak seluruh ayat dan surat dalam Al Quran memiliki asbab al nuzul. Kalaupun di hitung jumlahnya tidak signifikan. Bahkan Muhammad Syahrur berpendapat bahwa Al Quran sebenarnya tidak memiliki asbab al nuzul, karena kandungan Al Quran sudah terprogram sejak di lauhul mahfud yang tercermin dalam terminologi Al kitab, Al makmun, dan fi Imam mubin.[29] Di samping bahwa Al Quran di turunkan dalam satu paket wahyu yang utuh pada bulan Ramadhan, karenanya tidak ada kaitan antara peristiwa qurani yang diceritakan dalam al hadis dengan ayat-ayat tersebut. Sebagaimana firman Allah:
إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ ١
Artinya :
Sesungguhnya kami menurunkannya pada malam qadr”(QS. Al Qadr:1)[30]

شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٨٥
  
Artinya :
 (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al Baqarah:185)[31]
Meskipun asbab al nuzul sangat penting dalam menyingkapkan makna teks, namun mengetahui secara pasti dan meyakinkan sebab-sebab sejumlah besar teks Al Quran diturunkan tidak selalu mudah. Sebab, terkadang kita dapatkan banyak riwayat yang melontarkan sejumlah sebab yang berbeda bagi turunnya suatu ayat itu sendiri (ta'addud al asbab wa al nazil wahid), dan terkadang sebab yang sama berkaitan dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud alnazil wa al sabab wahid). Apakah asbab al nuzul itu hanya berkenaan dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat di generalisasikan. Di kalangan mufassirin terjadi ikhtilaf apakah pelajaran (al 'ibrah) itu bersifat spesifik (bi khusus al sabab) atau umum (bi umum al lafdz). Masalah yang lain adalah dalam hal kebahasaan, kalimat istifham (kalimat Tanya) umpamanya, adalah sekedar suatu kalimat. Namun ia bisa mempunyai pengertian yang lain, seperti taqrir (penegasan), nafi (penafian) dan pengertian-pengertian yang lainnya.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, memang patut di pertanyakan lagi pendapat yang menyatakan bahwa tidak mungkin memahami Al Quran tanpa mengetahui tentang asbab al nuzulnya. Sejalan dengan pendapat ini, M. Roem Rowi berpendapat bahwa pernyataan seperti di atas terkesan memutlakkan posisi asbab al nuzul dalam pemahaman Al Quran. Padahal kalau di teliti secara seksama, hanya sebagian kecil saja di antara ayat-ayat Al Quran yang tidak bisa dipahami secara akurat kecuali dengan mengetahui sebab turunnya. Adapun sebagian besar lainnya tetap bisa di pahami meskipun tidak memakai asbab al nuzul-nya, baik itu dengan pendekatan kebahasaan dengan sesama ayat, konteks ayat dan cara-cara lainnya.[32]
    C.    Cara-cara Mengetahui Asbab Al Nuzul
Asbab al-Nuzul” merupakan peristiwa sejarah yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw selaku pengemban al-Qur’an. Oleh karenanya, tidak ada cara lain untuk mengetahuinya, selain merujuk kepada periwayatan yang diakui keabsahannya dari orang-orang yang memiliki integritas kepribadian yang dipercaya selaku pengemban dalam periwayatan tersebut. Orang-orang tersebut menegaskan keberadaan dirinya yang mendengar langsung tentang turunnya al-Qur’an. Hal ini menuntut kehati-hatian dalam menerima riwayat-riwayat yang berkaitan dengan “asbab al-Nuzul”.
Untuk mengetahui Sebab Nuzul tidak boleh hanya dengan melalui akal atau pendapat, yaitu Bi al-Ra’yi ((بالرأى, tetapi mestilah dengan riwayat yang sahih dan pendengaran, juga hendaklah mereka itu menyaksikan sendiri ayat itu diturunkan atau pun mereka yang mengetahui sebab-sebabnya dan mengkaji tentangnya terdiri daripada sahabat, tabi’in dan mereka yang bertukus-lumus mengkaji ilmu ini yang terdiri daripada kalangan ulama yang dipercayai.[33]
Para ulama umumnya, baik dulu maupun sekarang tetap bersikap ekstra hati-hati dan ketat dalam menerima riwayat yang berkaitan dengan“asbab al-Nuzul”. Ketetatan dan ketelitian mereka di fokuskan kepada seleksi pribadi orang yang membawa riwayat (ruwwat), sumber riwayat (isnad) dan redaksi riwayat (matan). Al-Wahidi misalanya, dengan tegas menyatakan:
لا يحل القول في أسباب نزول الكتاب إلا بالرواية والسماع ممن شاهدوا التنزيل, ووقفوا على الأسباب وبحثوا عن علمها وجدوا في الطلب.
Artinya: “Tidak dibenarkan mengemukakan pandangan terkait dengan Asbab Nuzul al-Qur’an, kecuali berdasarkan riwayat dan informasi yang didengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan secara langsung peristiwa turunnya ayat, mencermati sebab-sebab tersebut, dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya”.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap riwayat tentang “asbab al-Nuzul” yang di kemukakan oleh para sahabat dapat diterima begitu saja, tanpa pengecekan dan penelitian lebih cermat.  Hal ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan tentang “asbab al-Nuzul” suatu ayat merupakan pekerjaan yang sulit, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang beberapa riwayat yang terkait dengannya.[34]
Dalam menelaah asbab al nuzul suatu ayat, di perlukan ketelitian dalam rangka mendapatkan data yang akurat dan valid. Ada tiga hal dari asbab al nuzul yang perlu mendapat perhatian, yaitu dari segi redaksi, periwayatan, dan peristiwanya. Al-Dahlawi mengidentifikasi sumber kesulitan dalam riwayat “asbab al-Nuzul”. Ketiga segi inilah yang menjadi problematika asbab al nuzul.

     1.      Redaksi Asbab Al Nuzul
Asbab al nuzul diketahui melalui beberapa bentuk susunan redaksi. Bentuk-bentuk redaksi itu akan memberikan penjelasan apakah suatu peristiwa itu merupakan asbab al nuzul atau bukan. Redaksi dari riwayat-riwayat yang shahih tidak selalu berupa nash sharih (pernyataan yang jelas) dalam menerangkan sebab turunnya ayat. Diantara nash ersebut ada yang menggunakan pernyataan yang konkret, dan ada pula yang menggunakan bahasa yang samar, yang kurang jelas maksudnya. Mungkin yang di maksudkannya adalah sebab turunnya ayat atau hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.
Redaksi yang digunakan para sahabat untuk menunjukkan sebab turunnya Alquran tidak selamanya sama. Redaksi-redaksi itu berupa beberapa bentuk. pertama, redaksi asbab al nuzul berupa ungkapan yang jelas dan tegas, seperti نزلت هذه الأية كذا  Kedua, redaksi asbab al nuzul tidak ditunjukkan dengan lafadz sebab, tetapi dengan menggunakan lafadz fa ta’qibiyah yang masuk kedalam ayat yang dimaksud secara langsung setelah pemaparan suatu peristiwa atau kejadian. Ketiga, asbab al nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Dalam hal ini rosulullah ditanya oleh seseorang, maka ia diberi wahyu dan menjawab pertanyaan itu dengan ayat yang baru diterimanya. Keempat, asbab al nuzul tidak disebutkan dengan redaksi sebab secara jelas, tidak dengan menggunakan fa ta’qibiyah yang menunjukkan sebab, dan tidak pula berupa jawaban yang dibangun atas dasar pertanyaan, akan tetapi dengan redaksi نزلت هذه الأية فى كذا Redaksi seperti itu tidak secara definitif menunjukkan sebab, tetapi redaksi itu mengandung dua kemungkinan, yaitu bermakna sebab turunnya (tentang hukum kasus) atau persoalan yang sedang dihadapi.[35]
    2.      Periwayatan Asbab Al Nuzul
Keterangan dari riwayat-riwayat tentang asbab al nuzul tidak semua bernilai shahih (benar), seperti halnya riwayat-riwayat hadis. Oleh karena itu perlu di lakukan penelitian yang seksama terhadap keterangan-keterangan (riwayat-riwayat) tentang asbab al nuzul, baik tentang sanad-sanadnya (perowi-perowi) maupun matan- matannya.
Untuk mengetahui apakah ayat itu benar memiliki asbab al nuzul dapat dilihat dari sahabat melalui:
Pertama : riwayat yang di peroleh para sahabat tidak pernah berijtihad dalam meriwayatkan hadis, dan juga hadis yang mereka riwayatkan marfu’ kepda Rasul.
Kedua: riwayat yang di peroleh dari tabi’in, yang di dukung oleh riwayat-riwayat mursal yang lain. Dan apabila terjadi riwayat yang variatif tentang asbab al nuzul suatu ayat tertentu, maka sikap dilakukan adalah:
a.       Apabila semua riwayat menggunakan redaksi yang tidak tegas dalam menjelaskan asbab al nuzul, maka semua muatan riwayat itu di pandang sebagai penafsiran.
b.      Apabila terdapat redaksi yang tegasdari suatu riwayat sedangkan riwayat yang lain tidak terdapat ketegasan seperti redaksi, maka yang di jadikan pegangan adalah redaksi riwayat yang tegas.
c.       Apabila semua redaksi riwayat tentang asbab al nuzul jelas dan tegas namun salah satu di antaranya ada yang berpredikat shohih, maka redaksi riwayat yang berpredikat shohih inilah yang di lakukan pegangan.
d.      Apabila terdapat semua terdapat riwayat yang shohih, tetapi salah satu di antaranya memiliki keunggulan, maka yang diambil adalah pentarjihan riwayat yang memiliki keunggulan dan kelebihan, yang di tandai dengan hadirnya rawi dalam satu kisah.
e.       Seandainya semua riwayat memiliki nilai keshohihan yang sama dan tidak mungkin melaksanakan tajrih, maka solusi yang di tempuh adalah melalui upaya taufiq (mengkompromikan) semua riwayat tersebut yang akhirnya riwayat-riwayat dipandang sebagai sebab-sebab yang berbeda. Jika upaya taufiq tidak memungkinkan karena rentang waktu yang cukup lama berarti ayat tersebut turun berulang-ulang.[36]

    3.      Peristiwa Asbab Al Nuzul
a.       Interval waktu antara peristiwa dan nuzul ayat
Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama jarak yang memisahkan antara terjadinya peristiwa atau pernyataan dengan turunnya ayat Alquran, sehingga peristiwa tersebut dapat dianggap sebagai asbab al nuzul.
    a)    Sebagian ulama berpendapat bahwa jarak antara turunnya ayat dengan peristiwa yang dianggap sebagai asbab al nuzul ayat tidak harus dekat, tetapi boleh berjarak waktu yang cukup lama. Al wahidi berpendapat bahwa surat Al fill turun karena peristiwa terjadinya penyerangan tentara gajah ke ka’bah yang terjadi sekitar 40 tahun lebih sebelum turunnya ayat.
    b)    Pendapat lain menyatakan bahwa jarak antara peristiwa dengan ayat yang diturunkan harus dekat, sehingga ayat yang turun jauh setelah peristiwa tersebut tidak dapat dipandang sebagai asbab al nuzul ayat. Maka peristiwa serangan tentara gajah bukanlah merupakan asbab al nuzul surat Al fill.

b.      Banyak nuzul dengan satu sebab ( ta’addut al nazil wa asbab wahid)
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. Dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun berkenaan dengan satu peristawa. Statemen Al qattan diatas benar apabila yangdimaksud dengan “satu sebab” adalah satu tema asbab al nuzul yang sama, yang kemudian dianggap satu sebab.
c.       Beberapa ayat yang turun untuk satu orang
Terkadang seorang sahabat mengalami beberapa peristiwa, yang Alquran turun mengenai peristiwa-peristiwa tersebut. Oleh karena itu, banyak ayat Alquran yang turun mengenai dirinya sesuai dengan banyaknya peristiwa yang terjadi. Misalnya, apa yang diriwayatkan oleh bukhori dalam kitab Al adab Al mufrad dari saad bin abi waqas yang menyatakan bahwa ada empat ayat yang turunberkenaan denganku.[37] Pertama, ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad, lalu Allah menurunkan ayat ke-15 surat Luqman.
وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَيَّۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ١٥
Artinya
“Jika keduanya (ibu bapakmu) memaksa supaya engkau mempersekutukan Aku (Allah) dengan sesuatu yang lain, yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, maka janganlah engkau ikuti keduanya dan bergaullah dengan keduanya di dunia secara ma’ruf (baik) dan turutlah jalan orang yang bertaubat kepada-Ku, kemudian tempat kembalimu kepada-Ku, akan kubawakan kepadamu apa-apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Luqman: 15).[38]
Kedua, ketika aku mengambil sebilah pedang dan mengaguminya, maka aku berkata kepada Rosulullah, wahai Rosulullah berikanlah pedang ini kepadaku, maka Allah menurunkan ayat pertama surat Al Anfal ayat 1 :
يَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَنفَالِۖ قُلِ ٱلۡأَنفَالُ لِلَّهِ وَٱلرَّسُولِۖ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَأَصۡلِحُواْ ذَاتَ بَيۡنِكُمۡۖ وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١
Artinya
“Mereka itu menanyakan kepada engkau tentang harta rampasan perang, katakanlah: harta rampasan perang itu untuk Allah dan rosul, sebab itu takutlah kepada Allah dan perbaikilah urusan diantaramu dan ikutlah Allah dan Rosul-Nya jika kamu orang beriman” (QS. Al Anfal: 1).[39]
Ketiga, ketika aku sedang sakit, Rosulullah mengunjungiku. Aku bertanya kepadanya: wahai Rosuluulah, aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuhnya? Ia menjawab tidak. Aku bertanya lagi bagaimana kalau sepertiganya? Rosuluulah diam. Maka wasiat dengan sepertiga harta itulah yang diperbolehkan. Keempat, ketika aku sedang minum minuman keras (khamr), salah seorang diantara merka memukul hidungku dengan tulang rahang unta, lalu aku datang kepada Rosulullah. Maka Allah menurunkan larangan minum khamr.
                                                                                                       
    D.    Hubungan Kontekstualitas dengan Asbab Al Nuzul
Cikal-bakal tafsir kontekstual adalah ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki asbāb al-nuzūl, terutama yang berkaitan dengan fenomena sosial pada saat itu. Sebab, sebagaimana biasanya, pemahaman ayat yang paling sempurna adalah dengan memperhatikan setting sosial yang melingkupi turunnya ayat. Ada kalanya setting sosial tersebut hanya berlaku pada masa tertentu, individu tertentu, dan di tempat tertentu, tetapi ada kalanya berlaku sepanjang masa, pada siapa saja, dan di mana saja. Sementara itu, ayat-ayat akidah tidak mengenal batas-batas tersebut. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila usia tafsir kontekstual setua ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki asbāb al-nuzūl.
Asbāb al-nuzūl merupakan tonggak utama tafsir kontekstual. Sebab ia merupakan ilustrasi rekaman historis suatu peristiwa sosial kemasyarakatan yang melatarbelakangi dan mengiringi turunnya ayat. Sayangnya, hanya segelintir ayat saja yang memiliki asbāb al-nuzūl. Namun demikian, menurut Budhy munawar-Rachman, asbāb al-nuzūl hendaknya tidak dipandang sebagai penentu atau alasan yang tanpanya ayat tidak akan diturunkan. Dalam kenyataannya, tidak ada banyak teks mengenai satu peristiwa. Setidaknya dari asbāb al-nuzūl dapat di peroleh informasi tentang nilai-nilai sosial yang ada dan berkembang saat itu. Nilai-nilai sosial ini bisa berupa adat-istiadat, karakter masyarakat atau individu, relasinya dengan zaman sebelumnya; apakah sudah ada sebelumnya dan berkembang hingga masa itu atau hanya ada pada masa itu saja, dan perkembangannya setelah turunnya ayat; apakah menjadi lebih baik atau malah balik menantang seraya tidak menggubrisnya.
Pada tahap berikutnya, informasi itu di pilah-pilih dan di cocokkan dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang di hadapi para sarjana Muslim yang terlibat dalam penafsiran al-Qur`an, baik sarjana Muslim yang menuangkan penafsirannya dalam sebuah karya tafsir atau tidak. Pada tahap ini, informasi mengenai metode penafsiran, pendekatan serta pertimbangan, dan hasilnya bisa didapat. Lebih jauh lagi, informasi ini juga di pilah-pilih dan dicocokkan dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang ada saat ini seraya tetap mempertimbangkan konteks sosial kemasyarakatan pada saat turunnya ayat.[40]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Asbabun Nuzul merupakan bentuk Idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi Asbabun Nuzul adalah Sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Sedangkan sescara terminology atau istilah Asbabun Nuzul dapat diartikan sebagai sebab-sebab yang mengiringi diturunkannya ayat-ayat al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW karena ada suatu peristiwa yang membutuhkan penjelasan atau pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
Sejak zaman sahabat pengetahuan tentang Asbabun Nuzul dipandang sangat penting untuk bisa memahami penafsiran Al-Qur’an yang benar. Karena itu mereka berusaha untuk mempelajari ilmu ini. Mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang sebab-sebab turunya ayat atau kepada sahabat lain yang menjadi saksi sejarah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian pula para tabi’in yang datang kemudian, ketika mereka harus menafsirkan ayat-ayat hukum, mereka memerlukan pengetahuan Asbabun Nuzul agar tidak salah dalam mengambil kesimpulan.

DAFTAR PUSTAKA
Syamsu Nahar, (2015), Studi Ulumul Quran, Medan : Perdana Publishing
Asnil Aidah Ritonga, (2013), Ilmu-ilmu Al-Quran, Bandung: Citapustaka Media Perintis
Jalaluddin As-Suyuthi,(2013), Sebab Turunnya Ayat Al-Quran, Jakarta: Gema Insani
Syaikh al-Allamah Shalih bin Muhammad Alu asySyaikh,(2016), Tafsir Muyassar 1, Jakarta: darul Haq
Quraish Shihab (2004) Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet. XIX; Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus
Abu Anwar, (2002). Ulumul Qur’an. Pekanbaru: Amzah
Departemen Agama RI,(2010), Al-Quran dan Terjemahannya,
Ayatullah Muhammad Baqir hakim, (20016),Ulumul Qur’an, Jakarta :diterj. Nashirul Haq, Al-Huda
Didin saefudin Buchori, (2005), Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, Bogor:Granada Pustaka




[1] Asnil Aidah Ritonga, (2013), Ilmu-ilmu Al-Quran, Bandung: Citapustaka Media Perintis, h. 36
[2]  Syamsu Nahar, (2015), Studi Ulumul Quran, h.45
[3] Asnil Aidah Ritonga, (2013), Ilmu-ilmu Al-Quran, h.37
[4]  Syamsu Nahar, (2015), Studi Ulumul Quran, Medan : Perdana Publishing, h.46
[5]  Asnil Aidah Ritonga, (2013), Ilmu-ilmu Al-Quran, h. 43
[6]  Jalaluddin As-Suyuthi,(2013), Sebab Turunnya Ayat Al-Quran, Jakarta: Gema Insani, h.128
[7]  Depatemen RI, (2010), Al-Quran dan Terjemahannya, Bandung: CV Diponegoro, h. 49
[8]  Syaikh al-Allamah Shalih bin Muhammad Alu asy Syaikh,(2016), Tafsir Muyassar 1, Jakarta: darul Haq, h.186
[9]  Asnil Aidah Ritonga, (2013), Ilmu-ilmu Al-Quran, Bandung: Citapustaka Media Perintis, h.43
[10]  Jalaluddin As-Suyuthi,(2013), Sebab Turunnya Ayat Al-Quran, Jakarta: Gema Insani, h.165
[11]  Departemen RI,(2010), Al-Quran dan Terjemahannya, Bandung: CV Diponegoro, h. 67
[12]   Syaikh al-Allamah Shalih bin Muhammad Alu asySyaikh,(2016), Tafsir Muyassar 1, Jakarta: darul Haq, h. 254
[13]  Asnil Aidah Ritonga, (2013), Ilmu-ilmu Al-Quran, Bandung: Citapustaka Media Perintis, h.44
[14] Jalaluddin As-Suyuthi,(2013), Sebab Turunnya Ayat Al-Quran, Jakarta: Gema Insani, h.54
[15]  Departemen RI,(2010), Al-Quran dan Terjemahannya, h.15
[16]  Syaikh al-Allamah Shalih bin Muhammad Alu asySyaikh,(2016), Tafsir Muyassar 1, Jakarta: darul Haq, h. 57
[17]  Departemen RI,(2010), Al-Quran dan Terjemahannya,h.241
[18]  Asnil Aidah Ritonga, (2013), Ilmu-ilmu Al-Quran, Bandung: Citapustaka Media Perintis, h.45
[19]  Syaikh al-Allamah Shalih bin Muhammad Alu asySyaikh,(2016), Tafsir Muyassar 1, Jakarta: darul Haq, h.927
[20]  Departemen RI,(2010), Al-Quran dan Terjemahannya, h.232
[21]  Jalaluddin As-Suyuthi,(2013), Sebab Turunnya Ayat Al-Quran, Jakarta: Gema Insani, h.350
[22] Departemen RI,(2010), Al-Quran dan Terjemahannya,  h.139
[23]  Jalaluddin As-Suyuthi,(2013), Sebab Turunnya Ayat Al-Quran,h. 248
[24] Syaikh al-Allamah Shalih bin Muhammad Alu asySyaikh,(2016), Tafsir Muyassar 1, Jakarta: darul Haq, h. 524
[25]  Asnil Aidah Ritonga, (2013), Ilmu-ilmu Al-Quran, Bandung: Citapustaka Media Perintis, h.46
[26]  Ibid, h. 42-43
[27] Ibid, h.42
[28] Didin saefudin Buchori, (2005), Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, Bogor:Granada Pustaka, h.80
[29]  Abu Anwar, (2002). Ulumul Qur’an. Pekanbaru: Amzah,h.91
[30]  Departemen Agama RI,(2010), Al-Quran dan Terjemahannya, h.479
[31]  Ibid, h.22
[32]  Abu Anwar, (2002). Ulumul Qur’an. Pekanbaru: Amzah,h.92
[33]  Quraish Shihab (2004) Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet. XIX; Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, h. 81.
[34]  Ibid, h.82
[35]  Syamsu Nahar, (2015), Studi Ulumul Quran, Medan : Perdana Publishing, h.54
[36]  Asnil Aidah Ritonga, (2013), Ilmu-ilmu Al-Quran, Bandung: Citapustaka Media Perintis, h. 40
[37] Quraish Shihab (2004) Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet. XIX; Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, h. 85.
[38] Departemen Agama RI,(2010), Al-Quran dan Terjemahannya, h.329
[39]  Departemen Agama RI,(2010), Al-Quran dan Terjemahannya,h.141
[40] Ayatullah Muhammad Baqir hakim, (20016),Ulumul Qur’an, Jakarta :diterj. Nashirul Haq, Al-Huda, h. 70
Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar

Pengikut

Definition List

Unordered List

Support