ASBAB AL NUZUL AL-QURAN
Mhd. Reza Fahlevi
Guru Pendidikan Agama Islam SDN 064959 Komplek Megawati Medan
Abstrack
Al-Quran di turunkan kepada manusia sebagai petunjuk kearah tujuan yang
terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang di dasarkan
pada keimanan kepada Allah swt dan risalah-Nya. Sebagian besar Al Quran pada
mulanya di turunkan untuk menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang
terjadi pada mereka khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah swt. Salah
satu upaya yang dapat di lakukan untuk memahami pesan Al-Quran adalah
mempelajari konteks latar belakang turunnya. Latar belakang yang paling dekat
adalah kegiatan dan perjuangan Nabi yang belangsung selama dua puluh dua tahun,
dua bulan, dua puluh dua hari, dalam beberapa tulisan sering digenapkan menjadi
dua puluh tiga tahun (13 tahun selama nabi beraada di Mekkah dan 10 tahun
selama Nabi berada di Madinah). Apabila upaya memeahami Al-Quran hanya memahami
dari sisi bahasanya saja tanpa memahami adat istiadat, pandangan hidup dan
konteks historis bangsa Arab, tentu akan sangat sulit menangkap pesan-pesan
Al-Quran secara utuh yang di turunkan kepada bangsa Arab. Oleh karenanya sangat
banyak literatur yang berkenaan dengan Al-Quran menekankan pentingnya memahami
Asbabun nuzul ( sebab-sebab turunnya ayat ) untuk di pelajari.
Kata Kunci :
A.
Pengertian Asbab Al Nuzul
Banyak defenisi yang dikemukakan para ahli mengenai asbab al
nuzul, dan defenisi tersebut tidak terlepas dari mmakna asalnya yaitu kata asbab
dan nuzul. Asbab adalah bentuk jamak dari sababun yang berarti sebab,
sedangkan nuzul berasal dari kata nazala, yanzilu, nuzulan
yang berarti turun. Dari kedua kata ini bila di gabungkan akan menjadi asbab al
nuzul yang berarti sebab-sebab turunnya ayat Al-Quran.[1]
Secara etimologis, asbab adalah bentuk jamak dari sabab
yang artinya sebab-sebab, dan al-nuzul adalah bentuk masdar dari kata nazala
yang artinya turun. Dalam konteks Ulumul Quran maka pemakaian asbab al-nuzul
khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar belakagi turunnya
ayat Al-Quran.[2]
Secara
terminologi dapat dilihat pada pendapat pendapat para ahli berikut ini :
Menurut Shubhi
al Shalih sabab al nuzul adalah sesuatu yang dengan adanya turun satu
ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau yang memberikan jawaban
sebab itu, atau menerangkan hukumannya pada masa terjadinya sebab itu.
Menurut Al Zarqani sabab al nuzul adalah sesuatu yang oleh
karenanya diturunkan satu ayat atau beberapa ayat untuk membicarakan atau
menerangkan hokum suatu peristiwa pada saat terjadinya.
Menurut Manna’ Khalil Al Qathan sabab al nuzul adalah
sesuatu yang menyebabkan diturunkan ayat Al-Quran pada waktu suatu terjadinya
peristiwa, baik berupa kasus atau pertanyaan.
Defenisi di atas jelaslah bahwa yang di maksud dengan asbab al
nuzul adalah sesuatu yang menyebabkan turunnya ayat Al-Quran baik
disebabkan karena adanay kasus atau peristiwa yang terjadi maupun pertanyaan
yang di ajukan untuk di ambil hukumnya. Akan tetapi perlu diketahui bahwa
Al-Quran akan turun meskipun tidak ada asbab al nuzul. Fungsi asbab
al nuzul adalah untuk menjelaskan bahwa sebagian ayat-ayat Al-Quran turun
di dahului dengan asbab al nuzul.
Maka dapatlah di ketahui bahwa turunnya ayat-ayat Al-Quran kadang
kala memiliki sebab dan ada yang turunnya dengan tanpa sebab, karena ada hikmah
tertentudari ayat tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Al Ja’bari sebagai
mana yang dikutip Al Suyuthiy yang mengklasifikasikan ayat-ayat Al-Quran kepada
dua macam yaitu ayat-ayat yang tidak memiliki asbab al nuzul dan ayat-ayat yang
turunnya karena ada persoalan atau pertanyaan.[3]
Dari beberapa defenisi di atas dapat pemakalah simpulkan
bahwa yang di maksud asbab al-nuzul itu adalah kejadian atau peristiwa yang melatar
belakangi turunnya ayat Al-Quran dalam upaya memberi jawaban, penjelasan dan
menyelesaikan masalah-masalah yang timbul yang di sebabkan adanya kejadian (peristiwa) atau
adanya pertanyaan.
Sedangkan maksud nuzul Al-Quran adalah suatu pembahasan mengenai
turunnya ayat-ayat Al-Quran yang dimulai dari surah Al-Alaq dan di akhiri
dengan dengan surah Al Maidah ayat 3. Pendapat lain juga disebutkan bahwa Nuzul
Al-Quran adalah turunnya ayat Al-Quran yang dimulai pada malam Al Qadar yang
bertepatan pada tanggal 17 Ramadhan.
1.
Macam-macam Asbab Al Nuzul
Fakta sejarah menunjukkan bahwa turunnya ayat Al-Quran itu terbagi
kepada dua macam, yaitu :
a.
Turunnya
ayat-ayat Al-Quran didahului oleh suatu sebab
b.
Turunnya
ayat-ayat al-Quran tanpa didahului oleh suatu sebab
Topik yang sedang kita bahas dalam bab ini adalah yang pertama
yaitu turunnya ayat yang di dahului oleh suatu sebab (asbabun nuzul).
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan turunnnya ayat secari garis
besar ada 2 kategori :
a)
Adanya
peristiwa yang terjadi
b)
Adanya
pertanyaan-pertanyaan dari kalangan umat islam sendiri ataupun pertanyaan yang
datang dari kalangan lainnya yang ditujukan kepada Nabi.[4]
Asbabun nuzul yang berupa adanya peristiwa yang terjadi itu terbagi
menjadi tiga macam :
1)
Peristiwa
berupa pertengkaran,[5]
Ibnu Ishaq dan Abusy Syekh meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dia berkata,”Pada
suatu hari Syas bin Qais seorang Yahudi, melintasi orang-orang dari kabilah Aus
dan Khazraj yang sedang berbincang-bincang. Syas tidak suka dengan keakraban
kedua kabilah tersebut setelah permusuhan yang sekian lama terjadi antara
mereka. Maka dia menyuruh seorang pemuda Yahudi yang bersamanya untuk ikut
bergabung bersama orang-orang Aus dan Khazraj tersebut, lalu mengingatkan
mereka tentang hari Bi’ats. Pemuda itu pun melakukan perintah Syas. Akibatnya
orang-orang Aus dan Khazraj pun saling berselisih dan saling
membangga-banggakan kanilah mereka. Hingga seorang dari Aus yang bernama Aus
bin Qaizhi dan seorang dari Khazraj yang bernama Shakar melompat berdiri dan
saling mencela. Amarah kedua kabilah tersebut memuncak dan mereka sudah
bersiap-siap untuk berperang. Lalu kejadian itu sampai kepada Rasulullah, Maka
beliau mendatangi mereka, lalu menyampaikan nasihat kepada mereka. Mereka pun
mendengarkan dan menaati nasehat Rasulullah tersebut. Maka turunlah surat
turunlah surah Ali Imran ayat 101:[6]
وَكَيۡفَ
تَكۡفُرُونَ وَأَنتُمۡ تُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ ءَايَٰتُ ٱللَّهِ وَفِيكُمۡ رَسُولُهُۥۗ
وَمَن يَعۡتَصِم بِٱللَّهِ فَقَدۡ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ١٠١
Artinya
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi
kafir, Padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada
di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah,
Maka Sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”.(QS. Ali Imran: 101)[7]
Adapun
Tafsir ayat diatas yang di kutip dari kitab Tafsir Muyassar menjelaskan bahwa
“Bagaimana kalian pantas kafir kepada Allah wahai kaum mukminin, sedang
ayat-ayat Al-Quran turun dibacakan kepada kalian, dan ditengah kalian terdapat
Rasulullah, Muhammad Saw, yang menyampaikannya kepada kalian ? Barang siapa
bertawakkal kepada Allah dan berpegang teguh dengan Al-Quran dan as-Sunnah,
maka sungguh dia telah memperoleh taufik menuju jalan terang dan jalur yang
lurus.[8]
2)
Peristiwa
yang kesalahan yang serius,[9]
seperti turunnya surat An-Nisa’ ayat 43. Menurut riwayat Abu Dawud,
at-Tarmidzi, an-Nasa’I dan al-Hakim, yang bersumber dari Ali dimana Ali
berkata: Abdurrahman bin ‘Auf membuat makanan untuk kami (Ali dan kawan-kawan).
Lalu diundanglah kami, yang dihidangkan diantaranya khamar (arak dan minuman
keras), maka terganggulah pikiran kami. Sewaktu datang waktu sholat orang-orang
memilih Ali menjadi imam. Lalu Ali membaca surat al-Kafirun dengan keliru.[10]
Akibat kesalahan membaca ayat tersebut,peristiwa itu lalu di
sampaikan kepada Nabi, kemudian Allah menurunkan ayat guna meluruskan
kekeliruan itu agar tidak terulang lagi. Ayat yang turun ketika itu adalah
surat An-Nisa’ ayat 43:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ
تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ
تَغۡتَسِلُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ
مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ
فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ
إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا ٤٣
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan
junub terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit
atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. “(QS.
An-Nisa’:43)[11]
Di
dalam tafsir Muyassar dijelaskan bahwa “Wahai orang-orang yang beriman kepada
Allah dan mengikuti Rasul-Nya serta melaksanakan syariat-Nya janganlah kalian
mendekati sholat dan jangan beranjak untuk melaksanakannya saat dalam keadaan
mabuk sampai kalian membedakan dan menyadari apa yang kalian ucapkan. Dan
larangan ini berlaku sebelum pengharaman yang tegas terhadap khamar (minuman
keras) dalam seluruh keadaan.[12]
3) Peristiwa
yang berupa cita-cita dan keinginan,[13] di
riwayatkan oleh Ibnu abi Hatim dan Ibnu Mardawaih dari Jabir, dia
berkata,”ketika Nabi Saw melakukan tawaf, Umar berkata kepada beliau, Apakah
ini tempat berdiri ayah kami, Ibrahim ? Beliau menjawab, Ya, Umar kembali
bertanya “Mengapa tidak kita jadikan tempat sholat ? lalu turunlah ayat Al Baqarah ayat 125 :[14]
وَإِذۡ جَعَلۡنَا ٱلۡبَيۡتَ
مَثَابَةٗ لِّلنَّاسِ وَأَمۡنٗا وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٰهِۧمَ
مُصَلّٗىۖ وَعَهِدۡنَآ إِلَىٰٓ إِبۡرَٰهِۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ أَن طَهِّرَا
بَيۡتِيَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلۡعَٰكِفِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ ١٢٥
Artinya :
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah)
tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah sebahagian
maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan
Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang
i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud".
(QS. Al Baqarah : 125)[15]
Adapun tafsir ayat di atas di jelaskan bahwa “Ingatlah Wahai Nabi,
ketika kami menjadikan Ka’bah sebagai tujuan bagi manusia yang mereka datangi
lalu mereka pulang kembali menuju keluarga mereka kemudian mereka kembali lagi
mengunjunginya, dan sebagai tempat berkumpul bagi mereka dalam ibadah haji,
umrah, thawaf dan sholat, serta lokasi yang aman bagi mereka, dimana musuh
tidak akan menyerang mereka didalamnya. Dan kami berfirman,“Jadikanlah sebagian
dari Maqam Ibrahim sebagai tempat sholat,’ yaitu batu yang menjadi tempat
pijakan Ibrahim saat berdiri ketika membangun Ka’bah. Dan telah Kami wahyukan
kepada Ibrahim dan putranya Ismail, “Bersihkanlah rumahKu dari segala najis dan
kotoran bagi orang-orang yang beribadah didalamnya dengan thawaf di sekeliling
ka’bah atau beri’tikaf di mesjid dan sholat disana.”[16]
Sedangkan ayat-ayat yang turun akibat dari adanya pertanyaan dapat
di klasifikasikan pada tiga bagian yaitu:
1)
Pertanyaan
yang berhubungan dengan masa yang telah lalu, yang terjadi dalam rentang waktu
yang tidak terlalu lama. Seperti dalam surat al-Kahfi ayat 83 dimana turunnya
ayat setelah lima belas hari persoalan tersebut.
وَيَسَۡٔلُونَكَ
عَن ذِي ٱلۡقَرۡنَيۡنِۖ قُلۡ سَأَتۡلُواْ عَلَيۡكُم مِّنۡهُ ذِكۡرًا ٨٣
Artinya:
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain,
Katakanlah: Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.” (Q.S Al Kahfi :83)[17]
Menurut al Wahidi sebagaimana pendapat Qatadah, ayat ini turun
karena adanya pertanyaan orang Yahudi kepada Nabi Muhammad tentang sejarah
manusia yang bernama Dzulkarnain.[18]
Di dalam tafsir Muayassar ayat di atas menjelaskan bahwa
orang-orang musyrik dari kaummu, wahai Rasul, bertanya kepadamu menegenai
Dzulkarnain, seorang raja raja yang shalih. Katakanlah kepada mereka,” Aku akan
ceritakan kepada kalian kisahnya yang akan kalian ingat dan kalian ambil
pelajaran darinya.[19]
2) Pertanyaan
yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu, seperti
dalam surat Al-Isra’ ayat 85:
وَيَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِۖ
قُلِ ٱلرُّوحُ مِنۡ أَمۡرِ رَبِّي وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ إِلَّا
قَلِيلٗا ٨٥
Artinya:
“Dan mereka bertanya kepada mu tentang roh. Katakanlah roh itu
termasuk urusan Tuhan-Ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit” (Q S. Al Isra’ : 85)[20]
Adapun sebab turunnya ayat ini sebagaimana yang diriwayatkan
Abdillah bahwa ketika dia bersama Nabi Saw, lewat sekelompok orang-orang
Yahudi, sebagian dari mereka
berkata,’bagaimana kalau kita menanyainya ? lalu mereka pun
berkata,”Ceritakanlah kepada kami perihal ruh! Rasulullah berdiri beberapa saat
lamanya sambil menengadahkan kepalanya. Aku tahu beliau sedang menerima wahyu.
Setelah selesai, beliau berucap seperti seperti ayat di atas.[21]
c) Pertanyaan yang
berhubungan dengan masa yang akan datang, seperti dalam surah al-A’raf ayat
187:
يَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلسَّاعَةِ
أَيَّانَ مُرۡسَىٰهَاۖ قُلۡ إِنَّمَا عِلۡمُهَا عِندَ رَبِّيۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقۡتِهَآ
إِلَّا هُوَۚ ثَقُلَتۡ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ لَا تَأۡتِيكُمۡ إِلَّا
بَغۡتَةٗۗ يَسَۡٔلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنۡهَاۖ قُلۡ إِنَّمَا عِلۡمُهَا
عِندَ ٱللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ١٨٧
Artinya :
“Mereka menanyakan
kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah:
"Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku;
tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat
itu Amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat
itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka
bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah:
"Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah,
tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui". (QS. Al-A’raf : 187)[22]
Ibnu jabir dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Hamal
bin Abi Qusyair dan Samuel bin Zaid berkata kepada Rasulullah,”Beri tahu kami
kapan akan terjadi kiamat kalau engkau benar seorang nabi sebagaimana kamu
kalim, sebab kami tahu kapan terjadinya!, Maka Allah menurunkan firman-Nya
yaitu surat Al-A’raf ayat 187.[23]
Adapun tafsir ayat diatas menjelaskan bahwa “Orang-orang kafir
Makkah akan bertanya kepadamu wahai Rasul tentang Hari Kiamat, kapan waktu
kesatangannya ? katakanlah kepada mereka,”Pengetahuan tentang terjadinya hanya
ada di sisi Allah, tidak ada yang mengetahui kepastiannya kecuali Dia.
Pengetahuan tentangnya amat berat, dan tertutup bagi penghuni langit dan bumi.
Tidak ada yang mengetahui saat terjadinya, baik malaikat yang di dekatkan
(kepada Allah) maupu Nabi yang di utus sekalipun. Kiamat tidak datang kecuali
dengan tiba-tiba.” Dan mereka bertanya kepadamu seolah-olah kamu orang yang
amat antusias tentangnya lagi pernah menanyakannya secara detail tentangnya.
Katakanlah kepada mereka ,”Sesungguhnya pengetahuan yang tentangnya hanya ada
di sisi Allah. Yang maha mengetahui perkara ghaib yang ada di langit dan di
bumi.” Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui bahwa perkara tersebut
tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.[24]
Dari keterangan di atas nampaklah contoh-contoh dari asbab al
nuzul baik dalam bentuk peristiwa yang terjadi maupun bentuk pertanyaan,
dan masih banyak lagi ayat-ayat yang memiliki asbab al nuzul.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Quran tidak
semuanya memiliki asbab al nuzul. Maka untuk mengetahui mana ayat-ayat yang
memakai asbab al nuzul perlu pengkajian yang lebih serius lagi. Asbab
al-nuzul di peroleh dari sahabat. Karena sahabat Nabi banyak yang
menyaksikan langsung turunnya ayat Al-Quran. Akan tetapi sebagaimana yang di
katakana Muhammad bin Sirrin bahwa orang-orang yang mengetahui turunnya
ayat-ayat Al-Quran sudah tiada. Tapi walaupun demikian, kebiasaan sahabat
ketika hidupnya adalah menyampaikan dan menceritakan peristiwa yang di alaminya
bersama Rasulullah.[25]
2.
Ayat-ayat yang memiliki Asbab Al Nuzul
Adapun surah atau ayat yang memilki asbabun nuzul adalah :
1.
Al-Baqarah ; dari 286 ayat dalam surah al-Baqarah yang memiliki asbabun nuzul
sebanyak 99 ayat, yaitu : 1-20, 26, 27, 44, 62, 76, 79, 80, 89, 94, 97-100,
102, 104, 106, 108, 109, 113, 115, 118-120, 125, 130, 142-144, 150, 154, 158,
159, 163, 164, 170, 174, 177, 178, 184, 186-202, 204, 207, 208, 214, 215,
217-224, 228-232, 238, 240,241, 245, 256, 257, 267, 272, 274, 278, 279,
284-286.
2.
Al-Maidah ; dari 120 ayat dalam surah Al-Maidah yang memiliki asbabun nuzul
adalah 37 ayat, yaitu : ayat 2-4, 6, 11, 15, 19, 33, 39, 41-45, 49, 50, 55, 57,
59, 64, 67, 68, 82, 83, 86, 90-93, 100, 101, 106-108.
3.
Demikian
juga pada surat-surat yang lain tidak semua ayat dalam satu surat yang memiliki
asbab al-nuzul.[26]
3.
Perbedaan Asbab al Nuzul dengan Nuzul Al-Quran
a.
Asbab al Nuzul
1)
Ayat
Al-Quran tidak semuanya memiliki asbab al nuzul, hanya beberapa ayat saja dalam
satu surat, dan hanya 101 surat.
2)
Asbabun
al nuzul muncul karena adanya peristiwa yang terjadi dan adanya
pertanyaan-pertanyaan.
3)
Ayat-ayat
yang memiliki asbab al nuzul ditandai dengan ungkapan-ungkapan.
b.
Nuzulul Quran
1)
Turunnya
seluruh ayat Al-Quran dengan cara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22
hari.
2) Munculnya
bukan karena peristiwa atau pertanyaan, tapi karena Allah hendak mengutus Rasul
terakhirnya yang membawa kitab Al-Quran.
3)
Nuzul
Al-Quran di turunkan untuk membawa risalah kepada manusia, sebagai kitab
penutup dari kitab-kitab sebelumnya. Tidak ada lagi kitab yang turun setelah
ini.[27]
B.
Perdebatan Sekitar Signifikan Asbab Al Nuzul
Asbab al nuzul mempunyai peranan penting dalam
upaya mengetahui dan memahami maksud suatu ayat dan hikmah yang terkandung di
dalamnya. Asbab al nuzul juga di butuhkan terutama untuk menetapkan
tujuan atau sasaran yang ingin di capai Al Quran ("ideal moral"
Alquran) atau sebab berlakunya hukum (ratiolegis). Hampir semua ulama sepakat
bahwa asbab al nuzul itu penting dan mendasar untuk menemukan makna dan
signifikansi ayat-ayat Al Quran. Al wahidi salah seorang ulama yang mengawali
penulisan kitab “asbab al nuzul” menyatakan bahwa tidak mungkin bisa
menafsirkan ayat dan mengetahui maknanya, tanpa mengetahui kisah dan sebab
turunnya.[28]
Namun demikian ada juga yang berpendapat bahwa pengaruh asbab
al nuzul terhadap pemahaman Al Quran tidak begitu penting. Mereka
beralasan, karena tidak seluruh ayat dan surat dalam Al Quran memiliki asbab
al nuzul. Kalaupun di hitung jumlahnya tidak signifikan. Bahkan Muhammad
Syahrur berpendapat bahwa Al Quran sebenarnya tidak memiliki asbab al nuzul,
karena kandungan Al Quran sudah terprogram sejak di lauhul mahfud yang
tercermin dalam terminologi Al kitab, Al makmun, dan fi Imam mubin.[29]
Di samping bahwa Al Quran di turunkan dalam satu paket wahyu yang utuh pada
bulan Ramadhan, karenanya tidak ada kaitan antara peristiwa qurani yang
diceritakan dalam al hadis dengan ayat-ayat tersebut. Sebagaimana firman Allah:
إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي
لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ ١
Artinya
:
“Sesungguhnya
kami menurunkannya pada malam qadr”(QS. Al Qadr:1)[30]
شَهۡرُ
رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ
مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ
وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ
عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٨٥
Artinya
:
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur. (QS. Al Baqarah:185)[31]
Meskipun asbab al nuzul sangat penting dalam
menyingkapkan makna teks, namun mengetahui secara pasti dan meyakinkan sebab-sebab
sejumlah besar teks Al Quran diturunkan tidak selalu mudah. Sebab, terkadang
kita dapatkan banyak riwayat yang melontarkan sejumlah sebab yang berbeda bagi
turunnya suatu ayat itu sendiri (ta'addud al asbab wa al nazil wahid),
dan terkadang sebab yang sama berkaitan dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud
alnazil wa al sabab wahid). Apakah asbab al nuzul itu hanya berkenaan
dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat di generalisasikan. Di kalangan
mufassirin terjadi ikhtilaf apakah pelajaran (al 'ibrah) itu bersifat
spesifik (bi khusus al sabab) atau umum (bi umum al lafdz).
Masalah yang lain adalah dalam hal kebahasaan, kalimat istifham (kalimat
Tanya) umpamanya, adalah sekedar suatu kalimat. Namun ia bisa mempunyai
pengertian yang lain, seperti taqrir (penegasan), nafi (penafian)
dan pengertian-pengertian yang lainnya.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, memang patut di pertanyakan
lagi pendapat yang menyatakan bahwa tidak mungkin memahami Al Quran tanpa
mengetahui tentang asbab al nuzulnya. Sejalan dengan pendapat ini, M.
Roem Rowi berpendapat bahwa pernyataan seperti di atas terkesan memutlakkan posisi
asbab al nuzul dalam pemahaman Al Quran. Padahal kalau di teliti secara
seksama, hanya sebagian kecil saja di antara ayat-ayat Al Quran yang tidak bisa
dipahami secara akurat kecuali dengan mengetahui sebab turunnya. Adapun
sebagian besar lainnya tetap bisa di pahami meskipun tidak memakai asbab al
nuzul-nya, baik itu dengan pendekatan kebahasaan dengan sesama ayat, konteks
ayat dan cara-cara lainnya.[32]
C.
Cara-cara Mengetahui Asbab Al Nuzul
Asbab al-Nuzul” merupakan
peristiwa sejarah yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw selaku pengemban
al-Qur’an. Oleh karenanya, tidak ada cara lain untuk mengetahuinya, selain
merujuk kepada periwayatan yang diakui keabsahannya dari orang-orang yang
memiliki integritas kepribadian yang dipercaya selaku pengemban dalam periwayatan
tersebut. Orang-orang tersebut menegaskan keberadaan dirinya yang mendengar
langsung tentang turunnya al-Qur’an. Hal ini menuntut kehati-hatian dalam
menerima riwayat-riwayat yang berkaitan dengan “asbab al-Nuzul”.
Untuk
mengetahui Sebab Nuzul tidak boleh hanya dengan melalui akal atau pendapat, yaitu
Bi al-Ra’yi ((بالرأى, tetapi mestilah
dengan riwayat yang sahih dan pendengaran, juga hendaklah mereka itu
menyaksikan sendiri ayat itu diturunkan atau pun mereka yang mengetahui
sebab-sebabnya dan mengkaji tentangnya terdiri daripada sahabat, tabi’in dan
mereka yang bertukus-lumus mengkaji ilmu ini yang terdiri daripada kalangan
ulama yang dipercayai.[33]
Para ulama
umumnya, baik dulu maupun sekarang tetap bersikap ekstra hati-hati dan ketat
dalam menerima riwayat yang berkaitan dengan“asbab al-Nuzul”. Ketetatan
dan ketelitian mereka di fokuskan kepada seleksi pribadi orang yang membawa
riwayat (ruwwat), sumber riwayat (isnad) dan redaksi riwayat (matan).
Al-Wahidi misalanya, dengan tegas menyatakan:
لا يحل القول في أسباب نزول الكتاب
إلا بالرواية والسماع ممن شاهدوا التنزيل, ووقفوا على الأسباب وبحثوا عن علمها
وجدوا في الطلب.
Artinya: “Tidak dibenarkan mengemukakan pandangan
terkait dengan Asbab Nuzul al-Qur’an, kecuali berdasarkan riwayat dan informasi
yang didengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan secara langsung
peristiwa turunnya ayat, mencermati sebab-sebab tersebut, dan bersungguh-sungguh
dalam mencarinya”.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap
riwayat tentang “asbab al-Nuzul” yang di kemukakan oleh
para sahabat dapat diterima begitu saja, tanpa pengecekan dan penelitian lebih
cermat. Hal ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan tentang “asbab
al-Nuzul” suatu ayat merupakan pekerjaan yang sulit, sehingga menimbulkan
perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang beberapa riwayat yang terkait
dengannya.[34]
Dalam menelaah asbab al nuzul suatu ayat, di perlukan
ketelitian dalam rangka mendapatkan data yang akurat dan valid. Ada tiga hal
dari asbab al nuzul yang perlu mendapat perhatian, yaitu dari segi
redaksi, periwayatan, dan peristiwanya. Al-Dahlawi
mengidentifikasi sumber kesulitan dalam riwayat “asbab al-Nuzul”. Ketiga segi
inilah yang menjadi problematika asbab al nuzul.
1.
Redaksi Asbab Al Nuzul
Asbab al nuzul diketahui melalui beberapa bentuk
susunan redaksi. Bentuk-bentuk redaksi itu akan memberikan penjelasan apakah
suatu peristiwa itu merupakan asbab al nuzul atau bukan. Redaksi dari
riwayat-riwayat yang shahih tidak selalu berupa nash sharih (pernyataan
yang jelas) dalam menerangkan sebab turunnya ayat. Diantara nash ersebut
ada yang menggunakan pernyataan yang konkret, dan ada pula yang menggunakan
bahasa yang samar, yang kurang jelas maksudnya. Mungkin yang di maksudkannya
adalah sebab turunnya ayat atau hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.
Redaksi yang digunakan para sahabat untuk menunjukkan sebab
turunnya Alquran tidak selamanya sama. Redaksi-redaksi itu berupa beberapa
bentuk. pertama, redaksi asbab al nuzul berupa ungkapan yang
jelas dan tegas, seperti نزلت هذه الأية كذا Kedua,
redaksi asbab al nuzul tidak ditunjukkan dengan lafadz sebab, tetapi
dengan menggunakan lafadz fa ta’qibiyah yang masuk kedalam ayat yang
dimaksud secara langsung setelah pemaparan suatu peristiwa atau kejadian. Ketiga,
asbab al nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Dalam hal ini
rosulullah ditanya oleh seseorang, maka ia diberi wahyu dan menjawab pertanyaan
itu dengan ayat yang baru diterimanya. Keempat, asbab al nuzul
tidak disebutkan dengan redaksi sebab secara jelas, tidak dengan menggunakan fa
ta’qibiyah yang menunjukkan sebab, dan tidak pula berupa jawaban yang
dibangun atas dasar pertanyaan, akan tetapi dengan redaksi نزلت هذه الأية فى كذا Redaksi seperti itu tidak secara
definitif menunjukkan sebab, tetapi redaksi itu mengandung dua kemungkinan,
yaitu bermakna sebab turunnya (tentang hukum kasus) atau persoalan yang sedang
dihadapi.[35]
2.
Periwayatan Asbab Al Nuzul
Keterangan dari riwayat-riwayat tentang asbab al nuzul
tidak semua bernilai shahih (benar), seperti halnya riwayat-riwayat
hadis. Oleh karena itu perlu di lakukan penelitian yang seksama terhadap
keterangan-keterangan (riwayat-riwayat) tentang asbab al nuzul, baik
tentang sanad-sanadnya (perowi-perowi) maupun matan- matannya.
Untuk mengetahui apakah ayat itu benar memiliki asbab al
nuzul dapat dilihat dari sahabat melalui:
Pertama : riwayat yang di peroleh para sahabat tidak pernah
berijtihad dalam meriwayatkan hadis, dan juga hadis yang mereka riwayatkan
marfu’ kepda Rasul.
Kedua: riwayat yang di peroleh dari tabi’in, yang di dukung
oleh riwayat-riwayat mursal yang lain. Dan apabila terjadi riwayat yang
variatif tentang asbab al nuzul suatu ayat tertentu, maka sikap
dilakukan adalah:
a.
Apabila semua riwayat menggunakan redaksi yang tidak tegas
dalam menjelaskan asbab al nuzul, maka semua muatan riwayat itu di pandang
sebagai penafsiran.
b.
Apabila terdapat redaksi yang tegasdari suatu riwayat sedangkan
riwayat yang lain tidak terdapat ketegasan seperti redaksi, maka yang di
jadikan pegangan adalah redaksi riwayat yang tegas.
c.
Apabila semua redaksi riwayat tentang asbab al nuzul
jelas dan tegas namun salah satu di antaranya ada yang berpredikat shohih, maka
redaksi riwayat yang berpredikat shohih inilah yang di lakukan pegangan.
d.
Apabila terdapat semua terdapat riwayat yang shohih,
tetapi salah satu di antaranya memiliki keunggulan, maka yang diambil adalah
pentarjihan riwayat yang memiliki keunggulan dan kelebihan, yang di tandai
dengan hadirnya rawi dalam satu kisah.
e.
Seandainya semua riwayat memiliki nilai keshohihan yang sama
dan tidak mungkin melaksanakan tajrih, maka solusi yang di tempuh adalah
melalui upaya taufiq (mengkompromikan) semua riwayat tersebut yang akhirnya
riwayat-riwayat dipandang sebagai sebab-sebab yang berbeda. Jika upaya taufiq
tidak memungkinkan karena rentang waktu yang cukup lama berarti ayat tersebut
turun berulang-ulang.[36]
3.
Peristiwa Asbab Al Nuzul
a.
Interval waktu antara peristiwa dan nuzul ayat
Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama jarak yang
memisahkan antara terjadinya peristiwa atau pernyataan dengan turunnya ayat
Alquran, sehingga peristiwa tersebut dapat dianggap sebagai asbab al nuzul.
a) Sebagian ulama berpendapat bahwa jarak antara turunnya ayat
dengan peristiwa yang dianggap sebagai asbab al nuzul ayat tidak harus
dekat, tetapi boleh berjarak waktu yang cukup lama. Al wahidi berpendapat bahwa
surat Al fill turun karena peristiwa terjadinya penyerangan tentara
gajah ke ka’bah yang terjadi sekitar 40 tahun lebih sebelum turunnya
ayat.
b) Pendapat lain menyatakan bahwa jarak antara peristiwa dengan
ayat yang diturunkan harus dekat, sehingga ayat yang turun jauh setelah
peristiwa tersebut tidak dapat dipandang sebagai asbab al nuzul ayat.
Maka peristiwa serangan tentara gajah bukanlah merupakan asbab al nuzul
surat Al fill.
b.
Banyak nuzul dengan satu sebab ( ta’addut al nazil
wa asbab wahid)
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya
satu. Dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu
banyak ayat yang turun berkenaan dengan satu peristawa. Statemen Al qattan
diatas benar apabila yangdimaksud dengan “satu sebab” adalah satu tema asbab
al nuzul yang sama, yang kemudian dianggap satu sebab.
c.
Beberapa ayat yang turun untuk satu orang
Terkadang seorang sahabat mengalami beberapa peristiwa, yang
Alquran turun mengenai peristiwa-peristiwa tersebut. Oleh karena itu, banyak
ayat Alquran yang turun mengenai dirinya sesuai dengan banyaknya peristiwa yang
terjadi. Misalnya, apa yang diriwayatkan oleh bukhori dalam kitab Al adab Al
mufrad dari saad bin abi waqas yang menyatakan bahwa ada empat ayat yang
turunberkenaan denganku.[37]
Pertama, ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan minum sebelum
aku meninggalkan Muhammad, lalu Allah menurunkan ayat ke-15 surat Luqman.
وَإِن
جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا
تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ
أَنَابَ إِلَيَّۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ
تَعۡمَلُونَ ١٥
Artinya
“Jika
keduanya (ibu bapakmu) memaksa supaya engkau mempersekutukan Aku (Allah) dengan
sesuatu yang lain, yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, maka
janganlah engkau ikuti keduanya dan bergaullah dengan keduanya di dunia secara
ma’ruf (baik) dan turutlah jalan orang yang bertaubat kepada-Ku, kemudian
tempat kembalimu kepada-Ku, akan kubawakan kepadamu apa-apa yang telah kamu
kerjakan” (QS.
Luqman: 15).[38]
Kedua, ketika aku mengambil sebilah pedang
dan mengaguminya, maka aku berkata kepada Rosulullah, wahai Rosulullah
berikanlah pedang ini kepadaku, maka Allah menurunkan ayat pertama surat Al
Anfal ayat 1 :
يَسَۡٔلُونَكَ
عَنِ ٱلۡأَنفَالِۖ قُلِ ٱلۡأَنفَالُ لِلَّهِ وَٱلرَّسُولِۖ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ
وَأَصۡلِحُواْ ذَاتَ بَيۡنِكُمۡۖ وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ إِن كُنتُم
مُّؤۡمِنِينَ ١
Artinya
“Mereka
itu menanyakan kepada engkau tentang harta rampasan perang, katakanlah: harta
rampasan perang itu untuk Allah dan rosul, sebab itu takutlah kepada Allah dan
perbaikilah urusan diantaramu dan ikutlah Allah dan Rosul-Nya jika kamu orang
beriman” (QS. Al
Anfal: 1).[39]
Ketiga, ketika aku sedang sakit, Rosulullah
mengunjungiku. Aku bertanya kepadanya: wahai Rosuluulah, aku ingin membagikan
hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuhnya? Ia menjawab tidak. Aku bertanya
lagi bagaimana kalau sepertiganya? Rosuluulah diam. Maka wasiat dengan
sepertiga harta itulah yang diperbolehkan. Keempat, ketika aku sedang
minum minuman keras (khamr), salah seorang diantara merka memukul hidungku
dengan tulang rahang unta, lalu aku datang kepada Rosulullah. Maka Allah
menurunkan larangan minum khamr.
D.
Hubungan Kontekstualitas dengan Asbab Al Nuzul
Cikal-bakal tafsir kontekstual adalah ayat-ayat al-Qur`an yang
memiliki asbāb al-nuzūl, terutama yang berkaitan dengan fenomena sosial pada
saat itu. Sebab, sebagaimana biasanya, pemahaman ayat yang paling sempurna
adalah dengan memperhatikan setting sosial yang melingkupi turunnya ayat. Ada
kalanya setting sosial tersebut hanya berlaku pada masa tertentu, individu
tertentu, dan di tempat tertentu, tetapi ada kalanya berlaku sepanjang masa,
pada siapa saja, dan di mana saja. Sementara itu, ayat-ayat akidah tidak
mengenal batas-batas tersebut. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila usia
tafsir kontekstual setua ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki asbāb al-nuzūl.
Asbāb al-nuzūl merupakan tonggak utama tafsir kontekstual. Sebab ia
merupakan ilustrasi rekaman historis suatu peristiwa sosial kemasyarakatan yang
melatarbelakangi dan mengiringi turunnya ayat. Sayangnya, hanya segelintir ayat
saja yang memiliki asbāb al-nuzūl. Namun demikian, menurut Budhy
munawar-Rachman, asbāb al-nuzūl hendaknya tidak dipandang sebagai penentu atau
alasan yang tanpanya ayat tidak akan diturunkan. Dalam kenyataannya, tidak ada
banyak teks mengenai satu peristiwa. Setidaknya dari asbāb al-nuzūl dapat di peroleh
informasi tentang nilai-nilai sosial yang ada dan berkembang saat itu.
Nilai-nilai sosial ini bisa berupa adat-istiadat, karakter masyarakat atau
individu, relasinya dengan zaman sebelumnya; apakah sudah ada sebelumnya dan
berkembang hingga masa itu atau hanya ada pada masa itu saja, dan
perkembangannya setelah turunnya ayat; apakah menjadi lebih baik atau malah
balik menantang seraya tidak menggubrisnya.
Pada tahap berikutnya, informasi itu di pilah-pilih dan di cocokkan
dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang di hadapi para sarjana Muslim
yang terlibat dalam penafsiran al-Qur`an, baik sarjana Muslim yang menuangkan
penafsirannya dalam sebuah karya tafsir atau tidak. Pada tahap ini, informasi
mengenai metode penafsiran, pendekatan serta pertimbangan, dan hasilnya bisa
didapat. Lebih jauh lagi, informasi ini juga di pilah-pilih dan dicocokkan
dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang ada saat ini seraya tetap
mempertimbangkan konteks sosial kemasyarakatan pada saat turunnya ayat.[40]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Asbabun
Nuzul merupakan bentuk Idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi
Asbabun Nuzul adalah Sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu.
Sedangkan sescara terminology atau istilah Asbabun Nuzul dapat diartikan
sebagai sebab-sebab yang mengiringi diturunkannya ayat-ayat al-Quran kepada
Nabi Muhammad SAW karena ada suatu peristiwa yang membutuhkan penjelasan atau
pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
Sejak zaman sahabat
pengetahuan tentang Asbabun Nuzul dipandang sangat penting untuk bisa memahami
penafsiran Al-Qur’an yang benar. Karena itu mereka berusaha untuk mempelajari
ilmu ini. Mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang sebab-sebab turunya ayat atau
kepada sahabat lain yang menjadi saksi sejarah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.
Dengan demikian pula para tabi’in yang datang kemudian, ketika mereka harus
menafsirkan ayat-ayat hukum, mereka memerlukan pengetahuan Asbabun Nuzul agar
tidak salah dalam mengambil kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA
Syamsu Nahar, (2015), Studi
Ulumul Quran, Medan : Perdana Publishing
Asnil Aidah
Ritonga, (2013), Ilmu-ilmu Al-Quran, Bandung: Citapustaka Media Perintis
Jalaluddin
As-Suyuthi,(2013), Sebab Turunnya Ayat Al-Quran, Jakarta: Gema Insani
Syaikh
al-Allamah Shalih bin Muhammad Alu asySyaikh,(2016), Tafsir Muyassar 1,
Jakarta: darul Haq
Quraish Shihab
(2004) Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet. XIX; Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus
Abu Anwar, (2002). Ulumul Qur’an.
Pekanbaru: Amzah
Departemen
Agama RI,(2010), Al-Quran dan Terjemahannya,
Ayatullah Muhammad Baqir hakim, (20016),Ulumul Qur’an, Jakarta :diterj.
Nashirul Haq, Al-Huda
Didin saefudin
Buchori, (2005), Pedoman Memahami
Kandungan Al-Qur’an, Bogor:Granada Pustaka
[1]
Asnil Aidah Ritonga, (2013), Ilmu-ilmu Al-Quran, Bandung: Citapustaka
Media Perintis, h. 36
[3] Asnil
Aidah Ritonga, (2013), Ilmu-ilmu Al-Quran, h.37
[6] Jalaluddin As-Suyuthi,(2013), Sebab
Turunnya Ayat Al-Quran, Jakarta: Gema Insani, h.128
[8] Syaikh al-Allamah Shalih bin Muhammad Alu asy
Syaikh,(2016), Tafsir Muyassar 1, Jakarta: darul Haq, h.186
[11] Departemen RI,(2010), Al-Quran dan Terjemahannya,
Bandung: CV Diponegoro, h. 67
[12] Syaikh al-Allamah Shalih bin
Muhammad Alu asySyaikh,(2016), Tafsir Muyassar 1, Jakarta: darul Haq, h.
254
[14]
Jalaluddin
As-Suyuthi,(2013), Sebab Turunnya Ayat Al-Quran, Jakarta: Gema Insani,
h.54
[16] Syaikh al-Allamah Shalih bin
Muhammad Alu asySyaikh,(2016), Tafsir Muyassar 1, Jakarta: darul Haq, h.
57
[19] Syaikh al-Allamah Shalih bin
Muhammad Alu asySyaikh,(2016), Tafsir Muyassar 1, Jakarta: darul Haq, h.927
[22]
Departemen
RI,(2010), Al-Quran dan Terjemahannya,
h.139
[24]
Syaikh
al-Allamah Shalih bin Muhammad Alu asySyaikh,(2016), Tafsir Muyassar 1,
Jakarta: darul Haq, h. 524
[26] Ibid, h. 42-43
[27]
Ibid,
h.42
[28]
Didin saefudin
Buchori, (2005), Pedoman Memahami
Kandungan Al-Qur’an, Bogor:Granada Pustaka, h.80
[30] Departemen Agama RI,(2010), Al-Quran dan
Terjemahannya, h.479
[31] Ibid, h.22
[34] Ibid, h.82
[37]
Quraish
Shihab (2004) Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet. XIX; Jakarta: Penerbit Pustaka
Firdaus, h. 85.
[38]
Departemen
Agama RI,(2010), Al-Quran dan Terjemahannya, h.329
[40]
Ayatullah Muhammad Baqir hakim, (20016),Ulumul Qur’an, Jakarta :diterj.
Nashirul Haq, Al-Huda, h. 70
0 Post a Comment:
Posting Komentar