"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Rabu, 06 Agustus 2025

SELAMATKAN PUASAMU


Oleh: Mhd. Reza Fahlevi ZA


Rasulullah Saw. Bersabda:

“Puasa adalah perisai, selama ia tidak memecahkannya.”

(HR. An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Hakim)

 

Ibadah puasa itu bagaikan perisai. Jadi, bisa dikatakan orang yang berpuasa diumpamakan seperti melindungi diri dari musuh, yaitu syaitan. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (QS. Yasin: 60).

Dalam hadis diberitakan bahwa puasa dapat menyelamatkan pelakunya dari azab Allah Swt. Riwayat lain menyebutkan bahwa puasa dapat menyelamatkan dari api neraka. Pada suatu ketika, seseorang bertanya kepada Nabi Saw., “Apakah yang menyebabkan puasa itu rusak?” Jawab beliau, “Berdusta dan menggunjing.”

Hadis di atas menekankan kepada kita agar menjauhkan diri dari perbuatan yang menyebabkan puasa menjadi sia-sia. Karena perintah puasa di khususkan untuk orang yang beriman dan salah satu ciri perilaku orang beriman adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya baik itu perbuatan maupun ucapan. Allah Swt. berfirman: “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” (QS. Al Mu’minun: 3). Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Di antara kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang sia-sia.” (HR. Tirmidzi).

Sebagian alim ulama mengatakan bahwa berbohong dan menggunjing adalah perkara yang membatalkan puasa sebagaimana makan dan minum. Namun, sebagian besar ulama berpendapat bahwa hal itu tidak sepenuhnya membatalkan puasa, tetapi dapat menghilangkan keberkahannya.

Syekh Abdul Qadir Jailani dalam kitab Sirrur Asrar menjelaskan tentang puasa syariat dan puasa tarekat. Puasa syariat adalah puasa yang dilakukan oleh orang-orang awam yaitu menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan pada siang hari. Sedangkan puasa tarekat adalah menahan seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan yang diharamkan yang dilarang dan sifat-sifat tercela, seperti ujub, sombong, bakhil, dan lainnya lahir batin dan siang malam. Semua itu jika dilanggar maka dapat membatalkan puasa tarekat. Puasa syariat terbatas oleh waktu, sedang puasa tarekat selamanya, sepanjang usia.

Oleh karena itu Rasulullah Saw. bersabda: “Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa melainkan hanya lapar dan dahaga.”

Saat anda berpuasa perhatikan enam perkara ini agar puasa tetap terpelihara puasa tersebut.

Pertama, menjaga pandangan dari hal-hal yang dilarang. Bahkan ada yang melarang melihat dengan nafsu terhadap istri sendiri, apalagi melihat wanita yang bukan mahramnya. Nabi Saw. bersabda: “Pandangan mata adalah anak panah dari anak-anak syaitan. Barangsiapa takut kepada Allah lalu ia menjauhkan diri dari melihat maksiat, maka Allah akan mengkaruniakannya kekuatan, kemanisan, dan kelezatan iman di dalam hatinya.” Para ahli sufi mengatakan bahwa pandangan yang berlebihan itu dapat melalaikan hati dari mengingat Allah Swt.

Kedua, memlihara lidah dari berkata dusta, berbicara sia-sia, memfitnah, mengumpat dan sebagainya. Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa puasa adalah perisai bagi pelakunya. Oleh sebab itu, orang yang berpuasa hendaknya menjauhi berbicara sia-sia, senda gurau, bertengkar, dan sebagainya. Jika ada orang lain mengajak bertengkar, maka katakanlah, “Aku sedang berpuasa” dengan kata lain, jangan terpancing untuk bertengkar, hindarilah pertengkaran. Dan yang paling utama yamg harus di jauhi dengan adalah dusta dan ghibah. Sebagian ulama secara jelas menyatakan bahwa kedua hal itu dapat membatalkan puasa, sebagaimana makan dan minum.

Ketiga, menjaga telinga dari mendengarkan yang makruh. Rasulullah Saw. bersabda: “Di dalam ghibah, orang yang membicarakan atau yang mendengarkannya sama-sama bersekutu dalam dosa.”

Keempat, menjauhkan anggota badan lainnya dari perbuatan dosa dan hal-hal yang diharamkan. Misalnya, tangan jangan menyentuh sesuatu yang dilarang, kaki jangan berjalan kearah yang dilarang. Demikian juga halnya dengan perut; ketika ifthar hendaknya berhati-hati agar benda-benda haram dan syubhat tidak masuk ke dalam perut kita. Orang yang berpuasa kemudian berbuka dengan makanan yang haram atau dari hasil yang haram ibarat orang sakit yang minum obat yang dibubuhi racun. 

Kelima, jangan terlalu kenyang saat berbuka. Tujuan puasa adalah untuk menahan syahwat dan nafsu hewani kita serta meningkatkan nurani dan ruhani kita. Selama sebelas bulan kita bebas dari makan dan minum. Maka, apakah pengurangan penguranagn makan pada bulan ramadhan akan membahayakan kita? Kita memiliki kebiasan buruk pada bulan ramadhan yaitu makan berlebihan ketika berbuka untuk mengganti makanan yang hilang (tidak makan di siang hari). Demikian juga, ketika sahur kita makan sekenyang-kenyangnya untuk persiapan pada siang harinya. Bahkan kita makan sangat banyak melebihi kebiasaan di luar bulan ramadhan. Menu makanan yang yang biasanya tidak di makan pada bulan lain justru di makan pada bulan ramadhan. Kebiasaan ini sama sekali bertolak belakang dengan semangat ramadhan dan tujuan berpuasa.

Berkata Imam Al-Ghazali rahimahullah, “Tujuan berpuasa adalah menundukkan hawa nafsu dan melawan iblis. Lalu bagaimana hal itu dapat tercapai jika berbuka puasa dengan berlebihan dengan niat mengganti makanan yang telah hilang?”

Keenam, siapapun orang yang telah berpuasa hendaknya merasa khawatir apakah puasanya diterima atau tidak. Demikian juga berlaku pada ibadah-ibadah lainnya, jangan merasa selesai begitu saja. Siapa saja tahu, barangkali ada hal-hal yang tertinggal atau kurang yang tidak diperhatikan sama sekali, sehingga akan dilemparkan ke muka kita. Rasulullah Saw. bersabda: “Banyak sekali yang membaca Al-Quran, tetapi Al-Quran melaknat mereka.”

Akibat yang disebutkan di atas adalah hasil dari buruknya niat. Oleh sebab itu, seseorang yang berpuasa hendaknya menjaga kelurusan niatnya dan selalu berharap kepada Allah Swt. menerima puasanya disertai doa agar semua itu dikerjakan semata-mata karena Allah Swt. Selain smeua ini, hal yang mesti diingat adalah bahwa kekhawatiran kita terhadap amal kita yang tidak diterima merupakan satu hal, dan berharap pada kemurahan Allah Swt. adalah hal yang lain. Jika kemaksiatan saja terkadang Allah Swt. mengganti dengan pahala, bagaimana halnya dengan amal ibadah (walau penuh dengan kekurangan)?

Enam perkara yang disebutkan di atas merupakan perkara yang sangat penting bagi orang yang mengharapkan gelar takwa. Bagi orang-orang yang lebih tinggi ketakwaannya, yaitu muqarrabin, bisa ditambah satu menjadi tujuh perkara. Yaitu, hendaknya hati jangan sampai berpaling kepada siapapun melainkan hanya kepada Allah Swt., bahkan tidak perlu mengkhawatirkan makanan untuk berbuka. Sebagian ulama menganggap suatu kekeliruan jika seseorang memikirkan makanan untuk berbuka puasa atau berusaha mendapatkan sesuatu untuk berbuka, karena hal itu berarti menunjukkan keyakinannya yang kurang terhadap janji Allah Swt. yang telah menjamin rezeki manusia. Allah Swt. berfirman: “Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediaman dan tempat penyimpanannya.” (QS. Hud: 6)

Al-Quran memerintahkan, “Puasa telah diwajibkan ke atasmu.” Para ahli tafsir Al-Quran menyatakan bahwa berdasarkan ayat ini dapat di simpulkan bahwa berpuasa diwajibkan bagi seluruh anggota tubuh. Semoga dengan kekuatan iman dan takwa yang kita miliki saat ini mampu melindungi dan menjadikan perisai serta terpelihara puasa lahir dan batin kita.

 

Share:

Kamis, 05 Oktober 2023

Pengertian dan Klasifikasi Hadis Aḥād

 

Pengertian hadis aḥād

Menurut bahasa berasal dari kata aḥād adalah jamak dari wāhid atau aḥād yang artinya “satu”.

Menurut istilah seperti yang ditulis oleh Mahmūd Ṭahhan dalam bukunya “Taisīr fī Musṭalaḥi al-ḥadīṡ” adalah: “Hadis yang tidak memenuhi syarat hadis mutawātir”

Klasifikasi hadis Aḥād

Hadis Masyhūr

Masyhūr menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah popular. Menurut Istilah hadis masyhūr adalah: “Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawātir”.

Keterangan :

Hadis ini dinamakan hadis masyhūr karena diriwayatkan oleh 3 orang rijāl al- ḥadīṡ atau lebih dan belum sampai derajat mutawātir, adapun sanadnya adalah sebgai berikut:

1.      Ṭabaqah pertama (sahabat) 3 orang (Jabir, Abu musa, Abdullah bin Umar).

2.      Ṭabaqah kedua (tabi’īn kabir) 4 orang (Abu Zubair, Abu Burdah bin Abi Musa, Abi al-Khair, as-Sya’bi).

3.      Ṭabaqah ketiga (tabi’īn shaghir) 5 orang (Ibnu Juraih, Abu Burdah bin Abdullah, Yazid, Isma’il, dan Abi Safar).

4.      Ṭabaqah ke empat (atba’ tabi’īn kabir) 4 orang (Abu Ashim, Yahya, Ibn alHaris, Syu’bah).

5.      Ṭabaqah ke lima (atba’ tabi’īn shaghir) 4 orang (Hasan, Abdullah bin Humaid, Said, Ibn Wahab, Adam bin Abbas).

6.      Ṭabaqah selanjutnya Abu Tahir, Bukhari dan Muslim.

Selain hadis masyhūr secara definitif (istilahi) juga ada hadis masyhūr yang berarti terkenal. Adapun macam-macam masyhūr ghairu isthilahi adalah sebagai berikut;

Masyhūr khusus dikalangan ahli hadis seperti:

 


Masyhūr dikalangan ahli hadis, ulama dan orang umum, seperti:

 

Masyhūr dikalangan Uṣuliyyin seperti:

Masyhūr dikalangan umum seperti:

Hukum mengamalkan hadis masyhūr boleh dijadikan hujjah jika hadis derajat hadisnya ṣaḥīḥ atau ḥasan dan jika derajadnya ḍa'īf tidak boleh dijadikan hujjah untuk menentukan halal haram.

Nama lain hadis masyhūr adalah hadis “mustafiḍ”, namun hal ini masih berbeda pendapat dikalangan ulama sebagaimana mereka mendefinisikan hadis mustafiḍ adalah:

Menurut bahasa “intisyār” tersebar.

Menurut istilah, ulama berbeda pendapat:

Sama dengan masyhūr .

Lebih khusus dari masyhūr : karena Mustafiḍ syaratnya harus di awal sanad (ṭabaqah sahabat).

Lebih umum dari masyhūr: karena masyhūr syaratnya harus di awal sanad (ṭabaqah sahabat).

Hadis ‘Azīz

Hadis ‘azīz menurut bahasa berarti hadis yang mulia atau hadis yang kuat atau hadis yang jarang, karena memang hadis ‘azīz itu jarang adanya.

Para ulama memberikan definisi sebagai berikut: hadis ‘azīz adalah: “Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang periwayat tersebut terdapat pada satu ṭabaqah saja, kemudian setelah itu orang-orang pada meriwayatkannya”.

Definisi menurut Mahmud Tahhān adalah: “Hadis ‘azīz adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh dua orang rijāl al-ḥadīṡ disalah satu dari semua tingkatan sanad.”

Contoh:

“Rasulullah Saw. bersabda : “Kita adalah orang yang paling akhir (di dunia), dan yang paling dulu di hari kiamat”.

Hadis ini dinamakan hadis ‘azīz karena ditingkat sahabat hanya dua orang yaitu Hużaifah bin al-Yaman dan Abu Hurairah, biarpun ṭabaqah setelahnya diriwayatkan oleh rijāl al-ḥadīṡ yang jumlahnya banyak.


Hadis garīb

Hadis garīb menurut bahasa berarti hadis yang terpisah atau menyendiri dari yang lain.

Menurut istilah: “Hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang sendirian dalam meriwayatkannya, disalah satu dari semua tingkatan sanad”.

Ditinjau dari segi tempat sendiriannya periwayat, hadis garīb terbagi menjadi dua macam. Yaitu garīb muṭlaq dan garīb nisbi.

Hadis garīb muṭlaq

Apabila periwayat yang sendirian tersebut pada tingkatan sanad yang pertama; jika hadisnya marfū’ maka periwayat pertama yang sendirian tersebut adalah sahabat, jika ḥadīṡnya mauqūf maka periwayat pertama yang sendirian tersebut adalah tabi’īn. Jika hadisnya maqṭū’ maka periwayat yang pertama yang sendirian tersebut adalah atba’ tabi’īn.

Garīb muṭlaq juga disebut al-farḍu al-muṭlaq atau al-farḍu saja.

“Nabi Muhammad Saw. bersabda :”Iman itu bercabang-cabang 73 cabang. Dan malu itu salah satu cabang dari iman”.

Hadis ini dinamakan hadis garīb muṭlaq, karena ṭabaqah pertamanya yaitu Abu Hurairah sendirian.

Contoh lain:

Hadis garīb nisbi

Garīb Nisbi adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang rijāl al- ḥadīṡ disalah satu dari semua tingkatan sanad selain tingkatan sanad yang pertama (sahabat).

Hadis garīb nisbi ada 3 bentuk yaitu;

Sendiriannya seorang ṡiqah

Yaitu hadis yang sanadnya satu atau lebih, namun di salah satu tingkatan sanad selain tingkatan sanad yang pertama hanya ada satu rijāl yang ṡiqah.

Definisi lain yaitu: hadis yang sanadnya banyak, namun yang ṡiqah hanya satu. Namun definisi ini lemah.

Seperti ada ucapan “tidak ada orang yang ṡiqah yang meriwayatkan kecuali fulan”.

Hadis ini dinamakan garīb nisbi (Sendiriannya sorang ṡiqah) karena hadis ini sanadnya lebih dari satu, namun pada ṭabaqah ke-IV yang ṡiqah hanya Imam Mālik saja sedangkan yang lain seperti Ibnu Lahi’ah tidak ṡiqah.

Sendiriannya periwayat tertentu dari syekh tertentu

Yaitu: hadis yang sanadnya satu atau lebih dari satu, namun ada periwayat tertentu yang hanya sendirian menerima hadis dari syekh tertentu.

Hadis ini diriwayatkan oleh orang banyak dari Sufyan ibnu Uyainah, dari Wa’il bin Daud, dari Bakar bin Wa’il, dari Ibnu Syihab Az-Zuhri, dari Anas bin Mālik dan dari Utsman bin Affan.

Tidak ada rijāl satu pun yang meriwayatkan hadis ini dari Wa’il bin Daud kecuali Bakar bin Wa’il.

Sendiriannya Periwayat Suatu Kota tertentu

Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu sanad atau lebih namun hanya disuatu kota tertentu, sedangkan dikota lain tidak ada satupun rijāl al- ḥadīṡ yang meriwayatkannya.

Sehingga ada muḥaddiṡ yang mengatakan “Fulan hafal hadis sendirian dari penduduk Makkah”, dan lain-lain.

Hadis riwayat Muslim dari Abdullah bin Zaid tentang sifat wuḍunya Rasulullah dan mengusap rambut kepalanya dengan air yang bukan sisa tangan beliau. Namun Imam al-Hakim mengkomentari hadis ini bahwa hadis ini garīb karena hanya penduduk mesir yang meriwayatkan hadis ini dan tak satupun dari kota lain meriwayatkannya.

Contoh lain:

Kedudukan hadis aḥād

Hadis aḥād tidak pasti berasal dari Rasulullah Saw., tetapi hanya dugaan saja (ẓanni atau maẓnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadis aḥād mungkin benar berasal dari Rasulullah Saw., dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau.

Karena hadis aḥād itu tidak pasti (gairu qaṭ’i atau gairu maqṭū’), tetapi diduga (ẓanni atau maẓnun) berasal dari Rasulullah Saw., maka kedudukan hadis aḥād, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadis mutawātir.


Sumber : Buku Ilmu Hadis Kelas XI

NB : Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah

 

 

 

Share:

Kamis, 21 September 2023

KEJUJURAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Hadis riwayat Imam Muslim dari ‘Abdullah bin Mas’ud RA.

Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair telah menyampaikan hadis kepada kami, Abu Mu’awiyah dan Waki’ telah menyampaikan hadis kepada kami, keduanya berkata al-A’masy telah menyampaikan hadis kepada kami. Tahwil (perpindahan jalur sanad). Dan Abu Kuraib telah menyampaikan hadis kepada kami, Abu Mu’awiyah telah menyampaikan hadis kepada kami, al-A’masy telah menyampaikan hadis kepada kami, dari Syaqiq, dari ‘Abdillah (bin Mas’ud) RA. berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Tetaplah kalian bertindak jujur. Sungguh kejujuran membimbing kepada kebajikan dan sungguh kebajikan membimbing ke surga. Seseorang (yang jujur) senantiasa bertindak jujur dan menuntut untuk jujur hingga ditetapkan di sisi Allah sebagai shiddiq (ahli jujur). Dan berhati-hatilah kalian dari kebohongan karena sungguh kebohongan membimbing kepada kejahatan dan sungguh kejahatan membimbing ke neraka. Dan seseorang (yang berbohong) senantiasa berbohong dan menuntut untuk berbohong hingga ditetapkan di sisi Allah SWT. sebagai kazzab (tukang bohong)”. (HSR. Muslim: 6805). Diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari: 6094.

Sebelum mendalami hadis dia atas, ada baiknya dikaji terlebih dahulu tentang lafaz sidqu dan kizbu sebagai lawan katanya. Dalam Al quran, kata sidq diulang sebanyak 14 kali (‘Abd al-Baqi’: tth., 513-516), tidak termasuk turunannya. Berikut salah satu ayat yang mengajarkan pentingnya kejujuran yang dikaitkan dengan iman dan takwa, yaitu: QS. 9: 119 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan jadilah kamu bersama orang-orang yang jujur.

Sidq berasal dari kata sadaqa–yasduqu–sadqan aw sidqan yang berarti diddu kazib, lawan kata berbohong. (Ma’luf: 2005, 419-420). Menurut al-Manawi, sidq adalah alikhbar ‘ala wafqi al-waqi‘ (menyatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan). (al-Manawi: 2006, 2/456). Sidq dapat disebut sebagai kebenaran dan kejujuran, yaitu: keadaan yang menunjukkan keselarasan antara pernyataan dan kenyataan. Dalam istilah lain, jujur adalah bersatunya kata dan perbuatan. Tidak ada kebohongan, pemalsuan, pengkhianatan, dan sebagainya dalam mengungkapkan sesuatu. Dengan demikian, sikap jujur senantiasa berlawanan dari sikap dusta atau tindakan menipu.

Sementara kazib (berdusta), (al-Manawi: 2006, 2/457), adalah menyatakan sesuatu berlawanan dengan kenyataan (al-ikhbar bi khilafi al-waqi‘). Karenanya, antara kejujuran dan kebohongan sangatlah jauh berbeda. Kejujuran melahirkan kebaikan dan bermuara kepada surga. Sedangkan kebohongan melahirkan yang kebohongan lebih besar dan menyeret pada tindakan kejahatan serta akan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Lebih dari itu, setiap kebohongan akan selalu melahirkan kebohongan yang lebih besar untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Kemudian kebohongan kedua itupun akan diteruskan dengan kebohongan selanjutnya. Sebagai gambaran, seorang pegawai pengadaan barang menggelembungkan biaya belanja kantor dari Rp1 juta menjadi Rp1,5 juta. Pada tahap selanjutnya, ia akan melakukan hal yang sama atau bahkan menambah jumlah mark up tersebut. Karenanya, ia akan tetap mempertahankan kebiasaan bohong itu, sebelum tertangkap dan diberi hukuman setimpal. (Nur Achmad: 2007, 225-226).

Kejujuran adalah kemuliaan. Siapa yang menjaganya, berarti menjaga kemuliaan diri dan agamanya. Sebaliknya, siapa yang mengkhianatinya, berarti telah mengganti wajah kemuliaan dengan kehinaan. Hal ini berlaku pula bagi lembaga atau institusi, swasta maupun pemerintah. Shidiq adalah salah satu sifat dasar para nabi dan rasul Allah. Karenanya, kejujuran menjadi tolak ukur untuk membedakan antara manusia mukmin dan munafik. Dalam hadis yang sangat populer dinyatakan: Dari Abi Hurairah, dari Nabi SAW. bersabda: «Tanda orang munafik ada tiga; Jika berbicara, berdusta; Jika berjanji, ingkar; Dan jika dipercaya, berkhianat» (HR. Bukhari: 33 dan Muslim: 59).

Islam sangat menjunjung tinggi prinsip kejujuran. Betapa pentingnya, hingga seseorang yang tidak jujur dinilai tegas sebagai orang munafik yang tercela, baik menurut Al-Quran maupun hadis. Orang munafik diibaratkan sering berganti-ganti wajah atau topeng luar. Nabi Muhammad saw. mengistilahkannya dengan żu al-wajhain, (pemilik dua muka) dan dicap sebagai salah satu syarr al-nas (manusia yang buruk). (HR. Abu Dawud: 4872). Orang yang demikian suatu ketika bertopeng “saleh” dan dermawan, namun di kala lain bertingkah laku curang. Begitu pula di satu sisi, ia rajin beribadah, di sisi lain gemar korupsi, bahkan hasilnya digunakan sebagai modal dalam beribadah. Ia tidak peduli apakah ibadah tersebut diterima atau bernilai di mata Allah swt. atau hanya sia-sia. (Nur Achmad: 2007, 226).

Hadis yang menjadi fokus kajian di atas menunjukkan beberapa pesan penting, antara lain: Pertama, betapa indahnya Islam yang secara tegas membedakan kejujuran dan kebohongan, kebaikan dan kejahatan, dan antara surga dan neraka. Di dalam hadis sangat tampak jelas bedanya (sidqu dan kizbu), jelas cara meraihnya (birru dan fujuru), dan jelas pula hasil akhirnya (jannah dan nar). Secara tidak langsung Nabi Muhammad SAW. mengajarkan bahwa output yang baik (surga), sangat ditentukan oleh input yang baik (jujur, sidqu) dan proses yang baik pula (kebajikan, birru). Begitu pula sebaliknya.

Kedua, konsistensi dalam hidup. Jika manusia bertujuan meraih kebahagiaan dalam hidup yang disimbulkan dengan surga, maka ia harus konsisten dengan sikap hidup jujur dan senang kebajikan. Sebaliknya, jika manusia hendak masuk surga, namun tidak menempuh jalan kejujuran dan kabajikan maka tidak akan sampai ke surga, bahkan akan sampai ke neraka.

Ketiga, pembiasaan diri dalam kejujuran dan kebaikan. Semua hal ada latihannya. Semua prestasi diperoleh setelah melalui latihan dan belajar yang panjang. Seseorang menjadi baik dan shalih pun tidak mendadak. Begitu pula sebaliknya, semua keburukan dan kejahatan tidak terjadi pada seseorang secara tiba-tiba. Semua didahului oleh pembiasaan. Orang yang bersikap jujur akan terus memelihara kejujuran dan menuntut diri untuk jujur serta berjuang agar terus dapat hidup dalam kejujuran hingga Allah SWT. menetapkannya menjadi ahli kejujuran (shiddiq). Sebaliknya, orang yang bersikap dusta/berbohong atas kebenaran akan terus berusaha dusta, mencoba-coba diri untuk dusta, serta terbiasa bergaul dengan orang yang senang berdusta hingga akhirnya ditetapkan oleh Allah SWT. sebagai pendusta/pembohong. Seringkali orang yang berbohong akan berusaha menutupi kebohongannya dengan kebohongan baru, dan demikian seterusnya. Para pencuri kekayaan negara/rakyat, semula mereka mencuri kecil-kecilan, lama-kelamaan semakin besar dan semakin besar lagi. Hingga akhirnya ditangkap oleh pihak berwenang dengan hasil curian yang sangat besar. Na’uzu billahi min zalik. Seorang suami/istri yang kemudian berlaku khianat kepada pasangannya, semula melakukannya secara kecil-kecilan, lama-kelamaan bertambah dan akhirnya tertangkap sudah sangat jauh dari prinsip setia pada keluarga.

Keempat, al-jannah (surga) dan al-nar (neraka) dinyatakan sebagai muara dari kehidupan dan penantian panjang umat manusia. Dunia yang sementara ini akan berakhir dan dilanjutklan dengan alam barzakh/kubur yang tidak lama kemudian akan berlanjut lagi ke kehidupan akhirat yang abadi. Pada akhirnya manusia akan menuai apa yang selama hidup di dunia ditanamnya. Kejujuran dan kebaikan akan berujung ke kehidupan bahagia dunia akhirat dan sebaliknya, kedustaan dan kejahatan akan berakhir dalam kehidupan yang mengenaskan di dunia dan akhirat.

Sumber: Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas XII

 

Share:

NILAI DEMOKRATIS DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Tidak bisa dihindari lagi bahwa pola interaksi dalam kehidupan modern khususnya di perkotaan mempertemukan orang orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Kota memang merupakan tempat pertemuan orang-orang yang berbeda-beda asal daerahnya, kesukuannya, adat istiadat dan budayanya, agamanya, afiliasi politiknya, organisasi profesinya dan lain sebagainya. Orang-orang dengan berbagai perbedaan latar belakang itu tentu mempunyai kepentingan yang berbeda-beda pula.

Kepentingan yang berbeda-beda itu pada saat tertentu dapat menjadi faktor yang menyebabkan konflik antar anggota suatu komunitas. Untuk menghindari konflik itu diperlukan suatau institusi atau lembaga yang dapat menampung aspirasi banyak orang. Lembaga itu sudah dikenal dalam ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis yaitu syura atau musyawarah.

Melalui musyawarah itu, kaum muslimin berembug untuk menetapkan suatu persoalan yang mereka hadapi, antara lain pada saat mereka akan memilih pemimpin sebagai pengganti Rasulullah saw setelah beliau wafat. Dewasa ini orang sering menyamakan antara musyawarah dengan demokrasi. Padahal antara keduanya terdapat perbedaan. Dalam musyawarah tidak dikenal penghitungan suara terbanyak untuk membuat keputusan sebagaimana diterapkan dalam demokrasi. Musyawarah lebih menekankan pencapaian hasil terbaik melalui tukar pendapat. Sedangkan demokrasi lebih memihak kepada aspirasi yang disampaikan oleh orang-orang dengan jumlah yang lebih banyak. Ada dua hadis yang akan kita pelajari terkait demokrasi.

Hadis pertama:

Auf bin Malik Al Asyja›i berkata, «Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‹alaihi wasallam bersabda: «Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian mendo›akan mereka dan mereka mendo›akan kalian. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka pun mengutuk kalian.» Mereka berkata, «Kemudian kami bertanya, «Wahai Rasulullah, tidakkah kami memerangi mereka ketika itu?» beliau menjawab: «Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian, tidak selagi mereka masih mendirikan shalat bersama kalian. Dan barangsiapa dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian dia melihat pemimpinnya bermaksiat kepada Allah, hendaknya ia membenci dari perbuatannya dan janganlah ia melepas dari ketaatan kepadanya.» (HR Muslim)

Hadis kedua

Dari Abu Hurairah berkata: Ketika Nabi shallallahu ‹alaihi wasallam berada dalam suatu majelis membicarakan suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui lalu bertanya: «Kapan datangnya hari kiamat?» Maka Nabi shallallahu ‹alaihi wasallam bersabda: «Apabila sudah hilang amanah maka tunggulah terjadinya kiamat». Orang itu bertanya: «Bagaimana hilangnya amanat itu?» Nabi shallallahu ‹alaihi wasallam menjawab: «Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka akan tunggulah terjadinya kiamat».

Sebelum membahas kandungan kedua hadis di atas, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian demokrasi dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” dan “kratos”. Demos berarti rakyat, sedangkan kratos berarti pemerintahan. Jadi demokrasi berarti suatu bentuk pemerintahan yang mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut soal-soal kenegaraan dan kepentingan bersama. Dengan pengakuan terhadap hak-hak rakyat ini, pemerintahan demokrasi dapat disebut “governance from the people, by the people, for the people. Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat artinya rakyatlah yang sesungguhnya berdaulat atau berkuasa, karena pada dasarnya semua manusia memiliki kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama.

Padangan lain mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu sistem politik dan sosial yang membangun hubungan antar individu, masyarakat dan negara, serta keikutsertaan mereka secara bebas dalam membuat undang-undang atau hukum yang mengatur kehidupan umum yang mengacu kepada prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kekuasaan dan sumber hukum. Dengan demikian secara istilah dapat dikatakan bahwa demokrasi pada hakekatnya adalah suatu bentuk pemerintahan yang menganut sistem kedaulatan rakyat.

Sebagaimana telah disinggung dalam renungan pengantar, bahwa dalam Islam telah dikenal intistusi atau lembaga yang disebut syura atau musyawarah yang diambil dari kata syawara yang artinya meminta pendapat dan mencari kebenaran. Adapun secara terminologi atau istilah, syura atau musyawarah adalah memunculkan pendapatpendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai kepada kesimpulan yang paling tepat.

Sesungguhnya apa yang menjadi prinsip syura adalah bermusyawarah untuk mencapai mufakat (kesepakatan) pada suatu kebenaran. Syura tidak mungkin dilakukan untuk membuat kesepakatan yang menyalahi ketentuan dalam agama. Dalam Islam tidak dimungkinkan orang-orang bermusyawarah untuk menetapkan apakah perkawinan sesama jenis akan dilegalkan atau disahkan, karena hal itu sudah menjadi hukum yang pasti dari al-Qur’an bahwa pernikahan sesama jenis adalah haram. Inilah yang membedakan antara syura dalam Islam dengan demokrasi. Dalam demokrasi yang dijalankan oleh negara-negara sekuler, hukum agama tidak dipertimbangkan. Sehingga dengan alasan demokrasi mereka dapat saja menyepakati disahkannya undang-undang yang melegalkan atau menghalalkan perjudian, pelacuran, penjualan minuman keras, homoseksual, lesbian, hidup bersama tanpa pernikahan, dan lain sebagainya.

Karena itulah, beberapa ulama dan cendekiawan mengusulkan istilah yang lebih tepat untuk diterapkan dalam masyarakat beragama, yaitu istilah Theo Democracy atau demokrasi berketuhanan. Dengan demokrasi berketuhanan ini, maka umat Islam tidak akan membuat kesepakatan yang melanggar ajaran Islam.

Dalam sejarah awal Islam, Nabi Muhammad saw telah menjalankan syura dalam menetapkan berbagai urusan. Misalnya dalam menangani musuh-musuh Islam yang dikalahkan dan menjadi tawanan dalam perang Badar. Saat itu Nabi bermusyawarah dengan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Abu Bakar mengusulkan agar tawanan itu dikembalikan kepada keluarga mereka dengan syarat membayar tebusan. Sedangkan Umar mengusulkan agar mereka dihukum mati agar di kemudian hari mereka tidak akan lagi menghina, memusuhi, dan menyerang Islam dan kaum Muslimin. Dan akhirnya Nabi mengikuti pendapat Abu Bakar. Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabatnya mengenai apa yang harus dilakukannya terhadap Aisyah, istrinya yang telah difitnah dan dituduh telah berbuat maksiat. Akan tetapi kemudian turunlah ayat yang membebaskan Aisyah dari fitnah dan tuduhan palsu tersebut. Nabi juga bermusyawarah dalam menetapkan posisi pasukan perangnya pada saat perang Uhud. Kemudian Nabi mengikuti pendapat mayoritas ketika itu, dengan menempatkan pasukan pada posisi yang mereka pandang tepat. Walaupun kemudian ternyata pilihan itu salah sehingga pasukan Muslim dikalahkan oleh pasukan kafir Quraisy.

Penerapan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari mudah dilakukan. Misalnya dalam membuat peraturan, atau undang-undang yang akan diberlakukan kepada seluruh warga. Hal itu dapat dilakukan melalui musyawarah para tokoh yang mewakili seluruh warga untuk memutuskan peraturan-peraturan apa yang akan ditetapkan dan diberlakukan. Itulah yang disebut sebagai demokrasi perwakilan. Dalam memilih pemimpin, seperti bupati, walikota, gubernur, dan presiden, juga pernah dilakukan secara musyawarah oleh wakil-wakil rakyat yang ada di DPRD dan DPR RI. Akan tetapi berdasarkan undang-undang yang berlaku sekarang ini, pemilihan bupati, walikota, gubernur dan presiden dilakukan melalui pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh warga yang telah memenuhi persyaratan.

Pembahasan Hadis

Pembahasan demokrasi pada bab ini, akan mengulas dua hadis yang juga terkait dengan kepemimpinan. Dalam hadis pertama disebutkan bahwa pemimpin yang paling baik adalah yang mencintai dan dicintai warganya. Pemimpin yang demikian adalah pemimpin yang menyadari hak dan tanggung jawabnya. Dia menyadari bahwa rakyat telah memilihnya sebagai pemimpin, karena itu dia menjalankan kewajibannya terhadap rakyat. Dia tidak hanya berpikir bagaimana menarik pajak dari rakyat, tetapi juga memanfaatkan pajak itu sebaik-baiknya untuk pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dia akan membangun infrastruktur yang dibutuhkan seperti jalan raya, jembatan, pasar, rumah sakit, gedung sekolah dsb. Pemimpin yang baik tidak hanya memikirkan bagaimana meningkatkan pendapatan daerah atau pendapatan negara dari Badan Usaha yang dimilikinya seperti Bank, Sarana Transportasi, Listrik, pertambangan dsb. Akan tetapi juga memikirkan bagaimana menyalurkan pendapatan digunakan sebaik-baiknya untuk kemajuan bangsa.

Pemimpin yang demikian tidak hanya dicintai oleh rakyat, tetapi juga akan didoakan oleh mereka semoga berhasil menjalankan tugas dan sukses memimpin warganya. Sebaliknya pemimpin yang baik itu pun mendoakan rakyatnya agar dapat hidup sejahtera dibawah kepemimpinannya.

Sedangkan pemimpin yang buruk adalah pemimpin yang membenci dan dibenci oleh rakyatnya sendiri, pemimpin yang mengutuk dan dikutuk oleh rakyatnya. Hal itu mungkin saja terjadi apabila pemimpin lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan keluarganya dari pada kepentingan rakyatnya. Pendapatan daerah atau negara yang diperoleh melalui pajak dan badan usaha tidak digunakan sebagaimana mestinya, bahkan dimanipulasi dan dikorupsi.

Menghadapi pemimpin yang berlaku jahat itu, para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw apakah boleh memerangi mereka. Rasulullah saw. menjawab “Tidak boleh, selama pemimpin itu masih menjalankan shalat bersama kalian”. Bahkan kemudian Rasulullah menambahkan: “siapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian pemimpin itu bermaksiat kepada Allah, maka dia boleh membenci perbuatannya, tetapi harus tetap taat kepadanya”. Maksudnya adalah dalam menghadapi pemimpin yang jahat, tidak kompeten, dan bermaksiat, tidak perlu memerangi dan memberontak untuk mencopot jabatannya. Karena hal itu akan membawa kepada keadaan yang lebih buruk apabila pemimpin ini beserta para pendukungnya melakukan tindakan yang lebih buruk akibatnya kepada warga. Adapun jabatannya sebagai pemimpin pada akhirnya akan berhenti.

Dalam hadis lain Rasulullah saw menganjurkan umatnya yang menghadapi pemimpin yang demikian untuk tetap menjalankan kewajiban mereka dan berdoa kepada Allah untuk mendapatkan hak-hak mereka yang tidak diberikan oleh pemimpin.

Dari Ibnu Mas›ud dari Nabi saw, beliau bersabda: «Sungguh akan terjadi sifat-sifat egoisme yang kalian ingkari». Mereka bertanya; «Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan untuk kami (bila zaman itu kami alami)? ‹. Beliau menjawab: «Kalian tunaikan yang menjadi kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah apa yang menjadi hak kalian». (HR Bukhari)

Jadi faktor ketidaksukaan kepada pemimpin apapun penyebabnya, tidak bisa menjadi alasan bagi rakyat untuk membangkan dari kewajiban-kewajiban mereka kepada negara seperti membayar pajak, mentaati aturan berlalu lintas, mematuhi undang-undang dsb. karena semua itu sudah dibuat secara demokratis melalui musyawarah.

Kehancuran lokal itu tidak mesti berarti kehancuran secara fisik, akan tetapi bisa juga dipahami sebagai kekacauan sosial dan ketidakteraturan organisasi masyarakat. Hal seperti itu dapat terjadi apabila urusan yang menyangkut orang banyak diserahkan kepada orang yang tidak tepat, termasuk dalam hal menyerahkan kepemimpinan. Jika urusan kepemimpinan diserahkan kepada orang yang tidak tepat maka akan timbul kehancuran dalam pengertian kekacauan sosial dan ketidakteraturan organisasi masyarakat.

Sumber: Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas XII

 

Share:

AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR

Hadis Riwayat Imam Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri RA

Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menyampaikan hadis kepada kami, Waki’ telah menyampaikan hadis kepada kami, dari Sufyan. Tahwil (pindah jalur sanad). Muhammad bin al-Musanna telah menyampaikan hadis kepada kami. Muhammad bin Ja’far telah menyampaikan hadis kepada kami, Syu’bah telah menyampaikan kepada kami, keduanya dari Qais bin Muslim, dari Tariq bin Syihab. (dan ini hadis lafaz Abu Bakar bin Abi Syaibah), berkata: orang yang pertama memulai khutbah di Hari Id sebelum shalat adalah Marwan, lalu berdiri seorang laki-laki dan berkata: “Shalat (Id, dulu) sebelum khutbah”. Lalu periwayat hadis berkata: “Sungguh sudah ditinggalkan apa yang sejak dulu dilakukan (shalat Id sebelum khutbah). Kemudian Abu Sa’id (al Khudri) berkata: “Adapun hal ini (mencegah sesuatu yang mungkar) sudah ditentukan hukumnya seperti yang pernah saya dengar dari Rasulullah SAW. bersabda: “Siapa saja di antara kalian melihat suatu kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya (kekuasaannya). Jika tidak mampu, hendaklah dengan dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim: 186).

Hadis Riwayat Ibnu Majah dari Qais bin Hazim RA.

Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menyampaikan hadis kepada kami, ‘Abdullah bin Numair dan Abu Usamah telah menyampaikan hadis kepada kami, dari Isma’il bin Abi Khalid, dari Qais bin Abi Hazim berkata, Abu Bakar (al-Siddiq) berdiri (untuk berpidato sebagai Khalifah) lalu memuji Allah SWT. dan menyanjung-Nya, kemudian berpidato: “Wahai manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat ini, (artinya): “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian. Orang yang tersesat tidak akan membawa bahaya atas kalian, jika kalian berpegang teguh pada petunjuk”, dan kami telah telah mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Sungguh manusia itu jika melihat kemungkaran dan tidak mengubahnya, maka hampir-hampir Allah akan meratakan hukuman-Nya kepada mereka”. (HR. Ibnu Majah: 4005)

Hadis Riwayat Imam Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri

Hadis di atas menjelaskan tentang salah satu prinsip dalam Islam yaitu perjuangan amar ma’ruf dan nahi munkar. Amar makruf adalah kegiatan menyuruh, mendorong atau memerintahkan makruf/kebaikan yang sering dipasangkan dengan kegiatan nahi mungkar, yakni mencegah atau melarang terjadinya kemungkaran/ketidakbaikan. Makruf adalah semua yang dinilai baik oleh agama dan akal sehat. Sebaliknya, mungkar adalah semua yang buruk dalam penilaian agama dan akal sehat. Agama didasarkan pada Al-Quran dan Hadis Nabi yang maqbul (dengan status sahih atau hasan). Sedangkan akal sehat adalah akal yang berada dalam bimbingan agama, akal murni, al-‘aqlu al-khalis yang tidak tercampur oleh kecenderungan hawa nafsu.

Amar makruf dapat berupa gerakan pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, dan politik ke arah kondisi yang lebih baik. Kampanye kebersihan desa/kota adalah contoh amar makruf yang nyata. Begitu pula kampanye penanaman pohon kembali untuk penghijauan dan pemeliharaan lingkungan dan kampanye antipenebangan hutan liar merupakan tindakan amar makruf nahi mungkar. Kampanye antikorupsi dan antinarkoba merupakan contoh dari nahi mungkar. Jika seorang pelajar membangun persaudaraan pelajar dan menolak tindakan permusuhan dan perkelahian pelajar dapat diketgorikan sebagai amar makruf dan nahi mungkar. Amar makruf dan nahi mungkar adalah pasangan. Ketika menjalankan amar makruf, tentu juga sekaligus bernahi mungkar. Begitu sebaliknya, bernahi mungkar, juga sekaligus beramar makruf, seperti membangun masjid adalah mengajak beriman dan menolak tindakan syirik/ kufur. Membangun sekolah adalah mengajak mengkaji dan mengembangkan ilmu dan menolak kebodohan. Memberdayakan kaum fakir miskin adalah juga memberantas pengangguran dan kemiskinan.

Kaum mukminin yang menjadi mukhatab (pihak yang diajak berbicara) dalam hadis di atas diperintahkan untuk mencegah terjadinya kemungkaran. Kemungkaran harus disikapi dengan perubahan (tagyir, proses terus-menerus untuk mengubah) atau advokasi yang disertai dengan tekad kuat memperbaiki (islah) keadaan ke arah yang lebih baik. Selain hadis di atas, konsep perubahan (tagyir) atas keadaan dari yang tidak baik menuju yang lebih baik ini juga didorong oleh Alquran, antara lain: Surat al-Ra’d, 13:11: Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada jiwa (diri) mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Allah.

Ketika menerjemahkan ayat ini, tim penerjemah Al-Quran Kementerian Agama RI, memberikan penjelasan bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan mereka (suatu kaum), selama mereka tidak mengubah hal-hal yang menjadi penyebab kemunduran mereka. (Mushaf terjemah Al-Quran: 1412, 370).

Dalam Al-Quran, penyebutan amar makruf nahi mungkar senantiasa dalam konteks iman atau perwujudan dari iman, antara lain: QS. 3: 104, 110, 114; QS. 7:157; QS. 10: 67, 71, 112; QS. 22: 41; QS. 31:17. Allah SWT. dalam QS. 10:71 menegaskan bahwa orangorang mikmin, laki-laki dan perempuan, satu sama lain adalah penolong bagi lainnya, mereka menyuruh pada kebaikan/makruf dan mencegah dari kemungkaran. Sementara sebaliknya, amar mungkar (menyuruh yang buruk) dan nahi makruf (melarang yang baik) dilekatkan pada sifat kaum munafik, seperti disebutkan dalam QS. 10: 67, yang artinya: “orang-orang munafik, laki-laki dan perempuan, sebagian merupakan bagian dari lainnya, mereka menyuruh yang mungkar dan mencegah yang makruf...” .

Pencegahan kemungkaran tersebut, pertama dapat dilakukan dengan tindakan riil dengan memperbaiki sistem kekuasaan (yad) sehingga bersih atau bebas dari segala bentuk kemungkaran. Bila tidak ada kemampuan dengan cara riil di atas atau tidak memiliki kekuasaan (dalam arti luas) untuk menciptakan kondisi yang lebih baik, maka mengambil jalur alternatif kedua dengan menguatkan strategi lisan. Strategi ini diwujudkan dengan seruan, pendidikan publik, dan penyadaran kepada semua pihak dengan berbagai media untuk senantiasa berani menolak kemungkaran.

Dan bila kedua strategi tersebut, tidak mampu juga, maka ditempuhlah strategi pencegahan dan pertahanan dari dalam dengan hati nurani. Pencegahan kemungkaran dengan hati (qalb) atau sikap batin untuk senantiasa menolak segala tindakan kemungkaran. Sikap menolak dalam hati ini adalah benteng terakhir di level individu untuk melawan dan agar terhindar dari kemungkaran.

Menurut Kuntowijoyo, berdasarkan hadis di atas, perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik dapat dilakukan dengan strategi struktural, kultural, dan mobilitas sosial. Mengubah dengan “tangan” berarti perubahan struktural. Mengubah dengan “lidah” berarti perubahan kultural. Sedangkan mengubah dengan “hati” adalah perubahan sosial tanpa usaha tertentu. (Kuntowijoyo: 1997, 227). Artinya, melawan dalam hati dengan diam (secara fisik) tanpa gerakan-gerakan tertentu dengan tetap berdoa untuk tidak ikut serta menambah jumlah pelaku kemungkaran. Pendekatan ketiga ini lebih bersifat pasif, tidak aktif seperti dua pendekatan sebelumnya. Karenanya, langkah bersifat pasif ini disebut sebagai selemah-lemah iman (ad‘afu al-iman). Ia hanya menunggu waktu berjalan, sembari berjuang dalam hati dan risiko yang tidak seberat perjuangan struktural dan kultural. (Kuntowijoyo: 1997, 227).

Hadis Riwayat Ibnu Majah dari Qais bin Hazim RA.

Sedangkan pada hadis kedua dijelaskan bahwa manusia yang tidak melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi mungkar diancam oleh Nabi bahwa hampir saja Allah SWT. menimpakan siksa yang merata di dunia. Ini menunjukkan pentingnya doktrin amar makruf nahi mungkar bagi keberlangsungan umat manusia, baik di ranah keluarga, lingkungan sosial yang kecil, hingga lingkup negara dan peradaban dunia. Amar makruf nahi mungkar hukumnya fardhu kifayah, yakni kewajiban kolektif, ketika sudah ada pihak tetentu yang melakukannya, gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun jika satu pun tidak ada yang mencegah kemungkaran dan kemungkaran itu berkembang meluas di mana-mana, maka pada saatnya, hukuman (iqab) dari Allah akan diturunkan. Sebagai ilustrasi yang mudah, misalnya ada seorang yang iseng membuang oli bekas atau paku di jalan raya, namun tidak ada satupun orang yang mencegah dan menegurnya, maka dipastikan banyak pengguna jalan akan terjatuh dari kendaraan atau terpeleset karena licin atau karena pecah ban.

Dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan bahwa ada orang-orang yang kurang peduli lingkungan dengan membuang sampah di sungai setiap pagi atau sore. Semakin lama, semakin penuh sungai tersebut. Dampaknya ketika hujan deras, sungai meluap dan terjadilah banjir. Belum hilang dari ingatan bahwa di penghujung atau seperempat akhir tahun 2015, banyak hutan terbakar atau dibakar oleh pihak-pihak tertentu dan tidak ada yang menegur dan menangkap. Pengalihfungsian hutan multikultur menjadi hutan monokultur secara membabi buta. Pembakaran hutan menjadi modus untuk membuka lahan sawit yang baru secara instan. Dampaknya, banjir asap di mana-mana, banyak warga yang mengalami sakit pernapasan akut, banyak sekolah diliburkan, pabrik dan kantor diliburkan, penerbangan pesawat yang terganggu asap sehingga dibatalkan, dan seterusnya. Hal tersebut juga meluas hingga ke negara tetangga, Brunei, Singapura, dan Malaysia.

Tidak hanya di situ, ketika tiba musim penghujan, banjir terjadi di mana-mana dan itu merugikan semua sektor kehidupan, baik pertanian, kesehatan, pendidikan, perindustrian, transportasi, infrastruktur kota/daerah, kerugian negara dan rakyat umum. Anehnya, tidak ada pengadilan yang serius dan berkeadilan atas kejahatan pembakaran hutan yang menyebabkan bencana nasional dan regional tersebut. Tentu dampaknya ke depan, pelaku-pelaku pembakaran tidak akan jera, bahkan akan merajalela di kemudian hari dan dampaknya akan semakin parah lagi.

Di hadis yang lain, Rasulullah SAW. juga mengingatkan umatnya untuk lebih bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas amar makruf nahi mungkar. Rasulullah bersabda: Qutaibah telah menyampaikan hadis kepada kami, ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad telah menyampaikan hadis kepada kami, dari ‘Amr bin Abi ‘Amr dan ‘Abdullah al-Anshari, dari Khuzaifah dari al-Yaman, dari Nabi SAW. bersabda: “Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaklah kalian sungguh-sungguh menyuruh kemakrufan dan sungguh-sungguh mencegah kemungkaran atau hampir saja Allah sungguh-sungguh mengirimkan hukuman dari-Nya atas kalian lalu kalian berdoa kepada-Nya namun tidak dikabulkan bagi kalian.” Abu ‘Isa (al-Tirmizi) berkata: “Ini hadis hasan.” (HR. Tirmizi: 2169)

Hadis di atas lebih menekankan lagi dan menunjukkan keduanya, yakni amar makruf dan nahi mungkar, sebagai ajaran yang saling mengisi dan bekerja sama. Tugas amar makruf nahi mungkar dalam suatu negara, terutama dibebankan kepada para pemangku kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang masing-masing dibantu para petugasnya. Dalam hal-hal tertentu, pelaksanaannya dapat dibantu oleh warga masyarakat sesuai dengan kesanggupan dan kapasitasnya tanpa melanggar hukum. Menyuruh makruf seperti memprogramkan rakyat berilmu dan rakyat sehat harus disertai dengan pendirian sekolah dan rumah sakit/klinik dengan sejumlah perangkatperangkatnya yang memadai. Program pemberantasan pengangguran dan kemiskinan haruslah disertai dengan kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung program berhasil. Hal-hal yang dapat menghalangi suksesnya program, dapat ditekan sedemikian rupa.

Contoh lain, melarang membuang sampah di kali adalah dengan menyediakan tempat sampah berikut sistem manajemen sampah yang aman, sehat, dan efektif serta disiapkan juga sanksi bagi yang melanggar berupa denda yang menjerakan. Dengan denda yang sepadan, diharapkan tidak ada warga yang merusak kali, saluran air, lingkungan lainnya. Mencegah kemungkaran seperti melarang korupsi dengan memberikan penyuluhan antikorupsi kepada warga dan para pejabat negara serta dibarengi dengan menciptakan sistem hukum yang adil dan jujur dalam mengawal program pemberantasan korupsi. Hal ini sesuai dengan kaidah dalam Ushul fiqh, menyuruh sesuatu adalah juga menyuruh penyediaan sarananya (amrun bisy-syai’ amrun bi wasa’ilihi).

Dengan pelaksanaan amar makruf dan nahi mungkar yang komprehensif dan didukung oleh segenap kekuatan di masyarakat dan negara, akan tercipta kehidupan yang baik, adil, makmur dan sejahtera, bahagia dunia dan akhirat. Sebaliknya, pengabaian terhadap kedua doktrin ini akan berakibat rusaknya tata kehidupan masyarakat, baik ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang akan berakibat rusaknya kehidupan manusia. Betapa Islam sudah memberikan dasar-dasar yang baik dan lengkap bagi pengembangan peradaban menuju lebih baik.

 

Sumber: Hadis Ilmu Hadis Kementerian Agama RI

NB: Untuk Kalangan Siswa Madrasah Aliyah Kelas XII

 

 

Share:

Pengikut

Definition List

Unordered List

Support