"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Jumat, 23 Maret 2018

Perkembangan Jiwa Beragama pada Remaja




                                                  


     A.    Pengertian Remaja
Istilah remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya adolescantia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental, emosional, social dan fisik. Kata tersebut mengandung aneka kesan, ada yang berkata bahwa remaja merupakan kelompok yang potensinya dapat dimanfaatkan dan kelompok bertanggung jawab terhadap bangsa dan masa depan. Masa remaja merupakan masa perkembangan menuju kematangan jasmani, seksualitas, pikiran dan emosional. Masa remaja kadang panjang kadang pendek tergantung lingkungan dan budaya dimana remaja itu hidup.
Kehidupan remaja itu sendiri merupakan salah satu fase perkembangan dari diri manusia. Fase ini adalah masa transisi dari kanak-kanak dalam menggapai kedewasaan. Disebut masa transisi ksrena terjadi saling pengaruh antara aspek jiwa dengan aspek yang lain, yang kesemuanya akan mempengaruhi keadaan kehidupan remaja.
Neidahart menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dan keterganrungan pada masa anak-anak kemasa dewasa, dan pada masa ini remaja dituntuk untuk mandiri. Pendapat ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Ottorank bahwa masa remaja merupakan masa perubahan yang drastis dari keadaan tergantung menjadi keadaan mandiri, bahkan Daradjat mengatakan masa remaja adalah masa munculnya berbagi kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya kekuatan dan kemampuan fisik yang lebih jelas dan daya fikir yang matang. (Psikologi Agama, Jalaluddin, hal 30)

    B.     Perkembangan Agama Pada Masa Remaja
Masa remaja merupakan masa pencapaian identitas bahkan bias dikatakan perjuangan pokok pada masa remaja adalah antara identitas dan kekacauan peran. Pada waktu orang remaja menumukan siapa dirinya  yang sebenarnya atau identitas diri, tumbuhlah kemampuan untuk mengikat kesetiaan kepada  suatu pandangan atau ideology.
Pada usia remaja, sering kali kita melihat mereka mengalami kegoncangan dan ketidakstabilan dalam beragama misalnya, mereka kadang-kadang sangat tekun sekali menjalankan ibadah, tetapi pada waktu lain enggan melaksanakannya. Bahkan menunjukkan sikap seolah-olah anti agama. Hal tersebut karena perkembangan jasmani dan rohani yang terjadi pada masa remaja turut mempengaruhi perkembangan agamanya. Dengan pengertian bahwa penghayatan terhadap ajaran dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan factor perkembangan jasmani dan mereka.
Zakiah daradjat, starbuch dan William James sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda.
Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut :
1.       Masa awal remaja (13-18 tahun)  dapat dibagi dalam tiga sub tahapan sebagai berikut:
Pertama: Sikap negative (meskipun tidak terang-terangan) disebabkan alam pikirannya kritis melihat kenyataan orang-orang beragama hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatanya. Mereka meragukan agama bukan karena igin menjadi agnostic atau atheis, melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.
Kedua: Pandangan dalam ketuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
Ketiga: Penghayatan rohaninya cenderung skeptic (meliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.


2.      Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikut:
Pertama:  Sikap kembali pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjalani kedewasaan.
Kedua:  Pandangan dalam Ketuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
Ketiga: Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah malalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan ajaran agama sebagai doktrin dan ajaran dan manusia penganutnya, yang baik shahih dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.
Perkembangan pengetahuan keagamaan
Perkembangan pengetahuan keagamaan berkaitan dengan keterlibatan diri terhadap pemilian pengetahuan yang meliputi semua aspek keagamaan, perkembangan intelektual remaja merupakan fase formal operation. Unsure pokok pemikirannya adalah pemikiran deduktif, induktif dan abstraktif. Mereka memecahkan permasalahan yang dihadapi dengan reasoning dan logika. Pemikiran keagamaanyang tertanam pada usia anak yang akan muncul lagi disertai daya kritik dan evaluasi terhadap pemikiran.
Etika keagamaan
            Perkembangan etika keagamaan erat hubungan dengan perkembangan moral, yaitu aspek jiwa yang berkaitan dengan dorongan untuk  berprilaku sesuai dengan aturan moral dilingkungannya. Perkembangan moral pada usia remaja disebut fase autonomy, yaitu fase ketika orientasi moral dididasarkan pada prinsip-prinsip aturan yang telah terinternalisasikan dalam hati nurani melalui otoritas eksternal dan orientasi social.
Perkembangan orientasi social keagamaan
            Kelompok kawan sebaya merupaan factor pemberi pengaruh yang cukup kuat terhadap perkembangan remaja, karena kelompok kawan sebayanya merupakan media pengembangan dorongan kemandiriannya. Kelompok teman sebaya seagama akan menjadi sumber proses aplikasi prilaku dan juga menambahkan rasa kepedulian social keagamaan, sebagai dorongan diri yang diperlukan untuk dasar aplikasi ajaran agama tentang ikatan social kemasyarakatan. (perkembangan rasa keagamaan pada remaja, Nurhayati)
    C.    Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Remaja
Perkembangan rasa keagmaan pada masa remaja sangat dipengaruhi  oleh tumbuhnya hati nurani keagamaan, baik kualitasnya pada akhir usia anak maupun perkembangan pada usia remaja. Hati nurani yang sudah tumbuh kuat pada akhir pada akhir anak-anak akan memudahkan perkembangan rasa keagamaan pada masa remaja.
Factor consience atau hati nurani ini mempunyai padanan pada kata super ego, inner light dan inner policeman. Pada masa remaja, anak masuk ke dalam tahap pendewasaan, dimana hati nurani (conscience) sudah mulai berkembang melalui perkembangan dan pengayaan pada usia anak melalui proses sosialisasi. Proses sosialisasi nilai tersebut terlaksana melalui proses identifikasi anak terhadap perilaku orang tuanya dan juga orang-orang disekelilingnya yang memiliki kesan dominan secara kejiwaan, sehingga terjadi proses imitasi sikap dan prilaku. Kekuatan dari kata hati sebagiannya justru terletak pada ketidak mengertian anak, karena dengan begitu konsep nilai yang masuk dalam diri anak terbentuk melalui proses tanpa Tanya, begitu saja terserap tanpa adanya reaksi dari dalam.
Proses kerja hati nurani dibantu oleh gejala jiwa yang lain disebut rasa bersalah (guilt)dan rasa malu (shame), yang akan muncul setiap kali ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya. Clark menyatakan bahwa kapasitas untuk memiliki kata hati adalah merupakan potensi bawaan bagi setiap manusia, tetapi subtansi dari kata hati merupakan hasildari proses belajar.
Rasa bersalah (guilt) adalah perasaan yang tumbuh jika dirinya tidak meletakkan sesuatu sesuai dengan hati nuraninya. Beriringan dengan itu kemudian muncul rasa malu (hame), yaitu reaksi emosi yang tidak menyenangkan terhadap perkiraan penilaian negative dari orang lain terhadap dirinya. Kata hati, rasa bersalah dan rasa malu dalam perkembangan religiusitas adalah mekanisme jiwa yang terbentuk melalui proses internalisasi nilai-nilai keagamaan pada usia anak, yang akan berfungsi sebagai pengontrol dasar pegangan hidupnya dalam bermasyarakat.

Menurut W. Stabuck, pertumbuhan dan perkembangan agama dan tindak lanjut keagamaan remaja sangat berkaitan dengan :
1.      Pertumbuhan dan Pikiran Mental
Pertumbuhan kognitif memberi kemungkinan terjadi perpindahan/transisi dari agama yang lahiriah menuju agama yang bathiniah. Perkembangan kognitif memberi kemungkinan remaja untuk meninggalkan agama anak-anak yang diperoleh dari lingkungan dan mulai memikirkan konsep serta bergerak menuju “iman” yang sifatnya sungguh-sungguh personal.
2.      Perasaan Beragama
Masa remaja adalah masa bergejolaknya bermacam-macam perasaan yang kadang-kadang bertentangna satu sama lain. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan emosi yang begitu cepat dalam diri manusia. Ketidakstabilan perasaan remaja kepada tuhan/agama, perasaan remaja pada agama adalah ambivalesi.
3.      Perkembangan Moral
Pertumbuhan dan perkembangan moral melalui pengalaman-pengalaman dan pembiasaan yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua. Perkembangannya baru dapat dikatakan mencapai kematangan pada usia remaja.        
Sikap Remaja Terhadap Agama
Setelah mengetahui factor-faktor dan unsure-unsur yang mempengaruhi sikap remaja terhadap agama, maka dapatlah kita bagi sikap remaja tersebut sebagai berikut:
a.       Percaya turut-turutan
Sesungguhnya kebanyakan remaja percaya kepada tuhan dan menjalankan ajaran agama, kerena mereka terdidik dalam lingkungan yang beragama, karena bapak dan ibunya orang beragama, teman dan masyarakat sekelilingnya rajin beribadah, maka mereka ikut percaya dan melakanakan ibadah dan ajaran-ajaran agama, sekedar mengikuti suasana lingkungan dimana ia hidup. Percaya yang seperti inilah yang dinamakan percaya turut-turutan. Mereka seolah-olah apatis, tidak ada perhatian untuk meningkatkan agama, dan tidak mau aktif dalam kegiatan-kegiatan agama.
Kenyataan seperti ini, dapat kita lihat dimana-mana sehingga banyak sekali remaja yang beragama hanya karena orang tuanya beragama. Cara beragama seperti ini merupakan lanjutan dari beragama dimasa kanak-kanak seolah tidak terjadi perubahan apa-apa dalam pikiran mereka terhadap agama. Kepercayaan ini biasanya terjadi apabila orang tua memberikan didikan agama dengan cara menyenangkan jauh dari pengalaman pahit diwaktu kecil, dan setelah menjadi remaja tidak mengalami pula peristiwa atau hal-hal yang menggoncangkan jiwanya, sehingga cara kekanak-kanakan dalam beragama terus berjalan, tidak perlu ditinjaunya kembali. Akan tetapi apabila dalam usia remaja, menghadi peristiwa yang mendorongnya untuk meneliti kembali peristiwa waktu kecilnya maka ketika itu kesadarannya akan timbul dan sehingga ia menjadi bersemangat sekali, ragu-ragu atau anti agama.
Percaya turut-turutan seperti ini biasanya tidak lama, dan banyak terjadi pada masa-masa remaja pertama (13-16). Sesudah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan lebih sadar.
b.      Percaya dengan kesadaran
Setelah kegoncangan remaja pertama agak reda, yaitu sekitar usia 16 tahun, dimana pertumbuhan jasmani hampir selesai, kecerdasan juga sudah dapat berfikir lebih matang dan pengetahuan bertambah. Kesadaran dan semangat agama pada masa remaja itu dimulai dengan cenderungnya remaja dari meninjau dan meneliti kembali caranya beragama dimasa kex=cil dulu. Biasanya semangat agama itu tidak terjadi sebelim usia 17 atau 18 tahun, yaitu semangat agama ini memiliki dua bentuk, yaitu semangat positif dan khurafi. 
c.       Percaya, tapi agak ragu-ragu (bimbang)
Kebimbangan remaja terhadap agama itu berbeda antara individu satu dengan individu lainnya sesuai dengan kepribadian masing-masing. Ada yang mengalami keseimbangan ringan yang dengan cepat dapat diatasi dan ada yang sangat berat sampai pada berubah agama. Dari hasil penelitian  yang dilakukan oleh Dr. Al-Malighy terbukti bahwa sebelum usia 17 tahun keseimbangan beragama tidak terjadi. Puncak keseimbangan itu terjadi antara 17-20 tahun.
Sesungguhnya keseimbangan beragama itu bersangkut paut dengan semangat agama. Keseimbanagan beragama menimbulkan rasa dosa pada remaja. Biasanya setelah keraguan itu selesai timbullah semangat agama yang berlebihan baik dalam beragama maupun dalam mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan yang dapat memperkuat keyakinan.
d.      Tidak percaya sama sekali cenderung kepada atheis
Salah satu perkembanagan yang mungkin terjadi pada akhir remaja adalah mengingkari wujud tuhan dan menggatinya dengan keyakinan lain. Atau mungkin pula hanya tidak mempercayai adanya tuhan secara mutlak. Ketidak percayaan yang tidak sungguh-sungguh itu, terjadi sebelum usia 20 tahun. Mungkin sekali seorang remaja mengalami bahwa dirinya atheis. Namun jika dianalisis akan diketahui bahwa dibalik keingkaran yang sungguh-sungguh itu tersembunyi kepercayaan kepada tuhan.
            Secara psikologis maupun sosiologis, remaja umumnya memang rentan terhadap pengaruh-pengaruh eksternal. Karena proses pencarian jati diri yang belum kunjung berakhir, mereka mudah sekali terombang ambing dan masih merasa sulit menentukan tokoh panutannya. Mereka juga mudah terpengaruh oleh gaya hidup masyarakat sekitarnya.  Diberbagai komunitas  dan dikota besar metropolitan, jangan heran jika huru hara, seks bebas, menghisap ganja dan zat adiktif lainnya cenderung mudah menggoda para remaja. Siapakah yang harus dipersalahkan tatkala kita menjumpai remaja yang terpelosok pada prilaku yang menyimpang dan melanggar hokum atau paling tidak melanggar tata tertib yang berlaku dimasyarakat . (Psikologi Agama, Arifin, hal 23)
    D.    Materi Pembelajaran Agama Pada Masa Remaja
Pendidikan agama pada remaja merupakan hala yang sangat penting dalam mengatasi masalah-masalah psikologis yang mendua yang dihadapi remaja. Pendidikan (materi pembelajaran) agama yang paling penting  pada remaja antara penanaman akidah, pembiasaan ibadah, pendidikan seks dan pembinaan akhlak.
1.      Penanaman Akhlak
Penanaman akidah adalah upaya menanamkan keimanan yang diberikan kepada remaja.  Didalam al-Qur’an diceritakan bagaimana Ya’kub keimanan kepada anak-anaknya. 
Rasulullah pernah mengajarkan akidah kepada seorang remaja yahudi. Kisah ini ditemukan dalam hadis Rasul yang artinya :
Sesungguhnya Nabi SAW mempunyai seorang tetangga yahudi yang akhlaknya cukup baik. Ia sedang sakit, lalu Rasulullah saw bersama sahabat-sahabatnya datang menjenguknya. Kemudian beliau bersabda : “Maukah engkau mengucapakan kaliamat laa ilaaha illallaah wa annii rasulullah ?” ia melihat bapaknya, tetapi bapaknya diam dan remaja itupun diam. Beliaupun mengulangi kedua kali dan ketiga kalinya. Pada ketiga kalinya bapaknya berkata : “Ucapanlah seperti yang beliau katakana kepadamu”  Remaja itupun melaksanakannya, kemudian ia meninggal. Orang-orang yahudi  ingin mengurus jenazahnya, namun Rasululah saw bersabda : “kami lebih berhak mengurusnya dari pada kalian.” Rasulullah lalu memandikannya, mengkafaninya, membaringkannya, lalu mensholatkannya. ( HR. Abdurrazaq)
2.      Pembiasaan Ibadah
Pembiasaan melakukan ibadah sudah diajarkan sejak masa anak-anak kemudian dilanjutkan pada masa remaja. Jika pada masa anak-anak orang tua hanya mengajarkan sholat, tetapu setelah remaja orang tua dianjurkana memukul anak yang tidak sholat setelah diajaran sholat pada waktu kanak-kanak.  Hadis Rasulullah tentang perintah mengajarkan sholat sebagai berikut yang artinya : “ Biasakanlah anak-anak untuk sholat ketika usianya mencapai tujuh tahun. Anggota keluarganya jangan sampai usia Sembilan tahun sianak masih meninggalkan sholat, pukullah ( HR. Abu Daud)
Cara memelihara diri dari api neraka adalah dengan melaksanakan ibadah secara rutin dan meninggalkan segala larangan Allah. Rasulullah bersabda : “amal yang pertama kali yang akan dihisab untuk seorang hamba nanti pada hari kiamat ialah sholat, maka apabila sholatnya baik (lengkap), maka baiklah seluruh amalnya yang lain, dan jika sholatnya rusak (kurang lengkap) maka rusaklah segala amalannya yang lain (HR. Thabrani) dan Rasulullah bersabda yang artinya :” Amal yang paling disenangi oleh Allah, ialah amal yang teru-menerus dikerjakan, walaupun sedikit (HR. Bukhori dan Muslim)

. 
3.      Pendidikan Seks
Remaja menghadapi dua problem besar. Problem pertama adalah problem intern ini secara alami akan terjadi pada remaja. Hasrat seksual yang berasal dari naluri seksualnya., mulai mendorong untuk dipenuhi. Hal ini sangat fitrah karena fisiknya secara primer maupun sekunder sudah mulai berkembang. Misalnya mulai berfunsinya hormone testosterone pada laki-laki menyebabkan pertumbuhan bulu pada daerah fisik tertentu, berubahnya suara menjadi lebih besar. Pada remaja putrid mulai berfungsinya hormone progesterone yang menyebabkan perubahan fisik didadnya, dan sekaligus mengalami menstruasi. Perkembangan fungsi hormone ini selalu menyebabkan remaja sulit mengendalikan diri dalam bergaul dengan lawan jenis.
Problem kedua adalah problem eksternal. Inilah yang terkatagori dalam pembentukan lingkungan tempat remaja berkiprah. Factor terpenting membuat remaja “selamat” dalam pergaulannya adalah factor pemikiran dan factor rangsangan. Pemikiran adalah sekumpulan ide tentang kehidupan yang diambil dan penetrasikan oleh remaja itu kedalam benaknya sehingga menjadi sebuah pemahaman yang mendorong setiap perilakunya. Pemikiran penting yang membentuk remaja adalah : makna kehidupan, standart kebahagiaan hidup, dan standart prilaku. Misalnya ketika seseorang remaja memahami bahwa makna kehidupan ini adalah misteri, kebahagiaan adalah kekayaan, dan standart prilaku adalah yang penting  ada manfaat agar jadi kaya, makna kita akan menemukan remaja seperti ini tidak akan memahami resiko perbuatannya. Baginya mencuri, narkoba sambil mendagangkannya, seks bebas adalah kenikmatan dan tujuan hidupnya. Remaja seperti ini akan banyak ditemukan dalam lingkungan masyarakat sekuler (menjauh dari agama)
4.      Pembinaan Akhlak
Akhlak akan menjaga seseorang terbebas dalam melakukan berbagai kejahatan yang dapat merugikan  orang lain, seperti pemukulan, pencurian, pembunuhan dan perkelahian selalu terjadi pada remaja.
Ada beberapa pendapat para ahli pembelajaran akhlak terhadap sesama sebagai berikut :
1.      Menjungjung tinggi kehormatan sesama kaum Muslimin, mendidik manusia untuk selalu saling menghargai dan menjaga kehormatan mereka. Pendidikan yang dapat mewujudkan sikap enjunjung tinggi kehormatan kaum muslimi dapat dilakukan dengan menggunakan metode keteladanan dalam keluarga. Remaja yang dapat menghormati orang lain adalah remaja yang hidup dalam lingkungan kelaurga yang saling menghormati. Disamping metode keteladanan metode kisah, metode nasehat, dan metode pembiasaan dapat digunakan untuk menumbuhkan sikap menjunjung tinggi kehormatan orang lain.
2.      Taubat mendidik manusia agar senantiasa mensucikankan jiwa mereka. Sehingga wujud dari taubat dengan beramal shaleh dapat dilaksanakan dalam kehidupan nya. Dalam rangka menanamkan sikap bertaubat pada remaja, maka orang tua atau guru pendidik sebaiknya menggunakan beberapa  metode: metode pembiasaan dan metode ceramah. Metode pembiasaan diajarkan kepada anak didik untuk selalu memohon ampun kepada Allah apabila anak tersebut berkata kasar, maka harus dibiasakan dengan kalimat ampunan yaitu mengucap istighfar sebagai pembiasaan untuk selalu melakuan taubat jika melakukan dosa atau taubat.
3.      Husnuzzan mendidik anak untuk selalu berfikir positif agar hidup menjadi lebih produktif, sehingga energy tidak terkuras hanya untuk memikirkan hal-hal yang belum pasti kebenarannya.  Upaya menanamkannya sikap husnuzzan dapat dilakukan metode nasihat. Metode nasihat merupakan metode yang sering digunakan orang tua dalam mendidik anaknya menjadi manusia yang lebih baik. Seorang pendidik harus mampu menjelaskan pentingnya husnuzzan dan hikmah yang terkandung didalamnya. Agar metode ini dapat terlaksana dengan baik, maka dalam penjelasannya perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu :
a.       Gunakan bahasa yang baik dan sopan serta mudah dipahami anak didik.
b.      Jangan sampai menyinggung perasaan orang yang dinasehati atau orang disekitarnya.
c.       Sesekali selingi nasehat dengan rumor yang bias membuat suasana lebih nyaman bagi anak dengan tidak melanggar aturan yang melanggar islam, seperti berbohong.
Disamping metode nasihat, metode pembiasaan bias digunakan oleh pendidik sekaligus orng tua agar terbiasa husnuzzan. Misalnya orangtua mengingatkan anak jika mencela kekurangan saudaranya.
4.      Ta’aruf mendidik manusia untuk selalu saling menjalin komunikasi dengan sesame, karena banyaknya relasi merupakan salah satu cara untuk mempermudah datangnya rezeki. Rasulullah bersabda tentang pentingnya saling mengenal dan menyambung silaturrahmi yang artinya : Anas bin malik r.a berkata, saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dilanjutkan umurnya, hendaklah ia menyambung hubungan family (kerabat). (HR. Bukhari)
5.      Egaliter mendidik manusia untuk bersikap rendah hati, sedangkan rendah hati merupakan pakaian orang-orang yang beriman yang akan mengangkat derajatnyaa disisi Allah swt.
Terkait dengan upaya menanamkana sikap persamaan derajat diantara sesama maka seorang pendidik bias menggunakan metode ceramah dan nasihat. Pendidik hendaknya memberikan pengertian kepada muridnya bahwa kedudukan semua manusia adalah sama,tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, kulit hitam maupun putih, pitar dan bodoh. Karena semua itu tolak ukur yang sifatnya sementara. Sedangkan orang yang paling mulia adalah orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Oleh karenanya, tidak perlu menyombongkan diri ketika memiliki kelebihan disbanding yang lain. Bahkan seharusnya orang kaya membantu yang miskin yang pintar membantu yang bodoh. Metode keteladananpun bias digunakan oleh pendidik dalam rangka menanamkan sikap persamaan derajat. ( psikologi Agama, masganti hal: 70)
    E.     Metode Pengajaran  Agama Pada Remaja
Telah diketahui bersama bahwa anak adalah asset terbesar bagi orang tua, anak adalah amanah Allah yang perlu didik. Oleh karena itu, agama harus ditanamkan pada diri mereka. Dalam mengajarkan agama pada remaja diperlukan berbagai metode. Adapun metode yang digunakan untuk mengajarkan agama pada remaja telah dicintohkan Rasulullah SAW antara lain:
1.      Metode Keteladanan
Keteladanan dalam pendidikan merupakan etode yang berpengaruh dalam aspek moral spiritual anak dalam remaja mengingat pendidik adalah figur terbaik dala pandangan anak. Metode ini dapat diterapkana pada usia remaja misalnya contohkan sholat, mengaji dan ibadah-ibadah atau perbuatan baik lainnya.
2.      Metode Demonstarsi
Metode demonstarsi adalah cara mengajarkan dengan menggunakan peragaan atau memperlihatkan bagaimana berjalannya suatu proses tertentu kepada yang diajar. Metode ini dapat digunakan untuk mengajarkan agama pada remaja, misalnya mendemonstarsikan langsung seperti, praktek sholat, wudhu atau praktek penyelenggaraan sholat jenazah.
3.      Metode Pemberian Tugas
Termasuk metode pengajaran agama pada remaja yang cukup berhasil dalam membentuk aqidah remaja dan mempersiapkannya baik secara moral, maupun emosional adalah pendidikan anak dengan petuah dan memberikannya nasihat-nasihat. Karena nasihat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membuka mata anak remaja  akan hakikat sesuatu, mendorong untuk menghiasi dirinya dengan akhlak mulia.
Adapun metode nasihat, dicontohkan oleh Luqmanul Hakim yang diabadikan dalam Al Qur’an QS. Al Luqman ayat 13 dan 17. Terjemahnnya :
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar” (13) hai anakku, dirikanlah shoalt dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (17)
Menurut Abudinata bahwa nasehat ini cocok untuk remaja karena dengan kalimat-kalimat yang baik dapat menentukan hati untuk mengarahkannya kekpa ide yang dikehendakinya. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa metode nasihat itu sasaranya adalah untuk menimbulkan kesadaran pada orang yang dinasehati agar mau insaf melaksanakan ajaran yang digariskan atau diperintahkan kepadanya. (Perkembangan rasa keagamaan pada remaja, Nurhayati hal: 18)


BAB II
KESIMPLAN
Istilah remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental, emosional social dan fisik, masa remaja merupakan masa peralihan dan ketergantungan pada masa anak-anak kemasa dewasa, dan pada masa ini remaja dituntut untuk mandiri.
Perkembangan fisik pada remaja mengalami perkembangan dengan cepat lebih cepat dibanding dengan masa kanak-kanak dan dewasa. Segala fungsi jasmaniah pada fase ini mulai atau telah dapat bekerja. Kekuatan jasmani mereka dapat dianaggap sama dengan orang dewasa, dalam aspek psikis, pada usia ini pribadi mereka masih mengalami kegoncangan dan ketidak pastian.
Diantara factor yang mempengaruhi agama remaja adalah hati nurani, pertumbuhan dan pikiran mental, perasaan beragama, pertimbangan social dan perkembangan moral.
Materi pembelajaran agama pada masa remaja yaitu:
a.       Penanaman Aqidah
b.      Pembiasaan Ibadah
c.       Pendidikan Seks
d.      Pembinaan Akhlak
Metode pengajaran agama pada remaja, yaitu :
a.       Metode Keteladanan
b.      Metode Demonstasi
c.       Metode Pemberian Tugas



DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Bambang Syamsul, 2008, psikologi agama, Bandung ; Pustaka Setia
Sit masganti, 2011, Psikologi Agama, medan; Perdana Publishing
Jalaluddin, 2004, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Nurhayati, Tati, 2007 Perkembangan Rasa Keagamaan Pada Usia Remaja dalam jurnal Al Tarbiyah edisi XX, vol 1 juni














   







Share:

Hakikat Metode Dalam Filsafat Pendidikan Islam


Bismillahirrohmanirrohim
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada roh junjungan alam baginda Rasulullah SAW, sekeluarga dan para sahabat serta pengikutnya.
Penyususnan tugas ini bertujuan untuk memenuhi dan kewajiban kami sebagai mahasiswa serta agar mahasiswa yang lain dapat melakukan kegiatan seperti kami lakukan.  Dalam tugas ini kami akan membahas mengenai “Review 8 Jurnal Filsafat Pendidikan Islam” dengan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung kami terutama kepada dosen mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam bapak Prof. Dr. Dja’far Siddiq, M.A dan Buk Dr. Salminawati SS, MA selaku dosen pembimbing.
Tiada gading yang tak retak, demikian pepatah menagatakan. Kami sadar tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga kami dapat memperbaiki kesalahan kami.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih. Semoga tugas ini bermanfaat dan berguna bagi kita semua.


                                                                                                         Medan, UIN SU
Sabtu, 13 Januari 2018


           Pemakalah


BAB I
PENDAHULUAN

Mempelajari Filsafat Pendidikan Pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematis, logis, dan menyeluruh (uviversal) tentang pendidikan, yang tidak hanya dilator belakangi oleh ilmu pengetahuan agama Islam, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Melakukan pemikiran filosofis pada haikatnya adalah usaha menggerakkan semua potensi psikologis manusia seperti pikiran, kecerdasan, kemauan, perasan, ingatan serta pengamatan panca inderatentang gejala kehidupan, terutama manusia dan alam sekitarnya sebagai ciptaan Tuhan. Seluruh pemikiran tersebut didasari oleh teori-teori dari berbagai disiplin ilmu dan dengan pengalaman-pengalaman yang mendalam sertaluas tentang masalah kehidupan, kenyataan dalam alam raya, dan dalam dirinya sendiri.
Begitu pula dengan halnya metode Pendidikan Islam, dalam pandangan filosofis metode merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Namun, bagaimanapun bentuk dan kemampuan sesuatu metode, penggunaan suatu macam metode dalam proses kependidikan adalah mutlak. Mungkin dibidang lain orang lain dapat mengerjakan sesuatu tugas pekerjaan tanpa menggunakan suatu metode, melainkan harus memakai suatu teknik mengerjakannya saja.
Dalam hubungan proses pendidikan Islam, terdapat suatu kaidah bahwa segala alat yang dipergunakan untuk mencapai sesuatu yang wajib, hukumnya wajib pula. Didalam makalah ini akan membahas mengenai hakikat  metode pendidikan dalam perspektif Islam, yang meliputi  Pengertian Metode Pendidikan Islam, Dasar Metode Pendidikan Islam, Prinsip Metode Pendidikan Islam, Macam-macam Metode dalam Al-Quran, Metode Pendidikan Menurut pakar Pendidikan Islam, Metode Mengajar Dalam Pendidikan Islam, Karakteristik Metode Pendidikan Islam.




BAB II
PEMBAHASAN

HAKIKAT METODE PENDIDIKAN DALAM PERSFEKTIF FILSAFAT ISLAM

Pendidikan Islam merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen penting yang saling berhubungan. Diantara komponen yang ada dalam sistem tersebut adalah metode. Pengkajian terhadap metode yang memenag menjadi bahan diskusi yang tetap aktual dan menarik, sebab metode turut menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan yang di laksanakan dalam mencapai tujuan. Untuk itu, metode mesti dikembangkan secara dinamis sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan zaman.[1]
Dalam pengertian umum, metode diartikan sebagai cara mengerjakan sesuatu. Cara itu mungkin baik mungkin tidak baik. Baik dan tidak baiknya sesuatu metode banyak bergantung kepada beberapa faktor yang melatar belakanginya. Faktor-faktor itu mungkin berupa situasi dan kondisi, pemakai metode itu sendiri yang kurang memahami penggunaanya atau tidak sesuai dengan seleranya, atau secara objektif metode itu kurang cocok dengan kondisi dari objek. Hal itu semua sangat bergantung pada metode itu diciptakan di satu pihak, dan pada pihak sasaran yang akan digarap dengan metode itu di lain pihak.
Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang di pergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat itu mempunyai fungsi ganda, yaitu yang bersifat polipragmatis dan monopragmatis. Polipragmatis, bila mana itu mengandung kegunaan yang serba ganda (multipurpose). Suatu metode tertentu pada suatu situasi dan kondisi yang tertentu dapat dipergunkan untuk merusak, pada situasi dan kondisi yang lain dapat dipergunakan untuk membangun atau memperbaiki.[2]
Sebaiknya, metode sebagai alat yang bersifat monopragmatis adalah alat yang hanya dapat dipergunakan untuk mencapa satu macam tujuan saja. Misalnya, labotarium ilmu alam, hanya dapat dipergunakan untuk eksperimen-eksperimen bidang ilmu alam, tidak dapat di pergunakan eksperimen bidang lain, seperti ilmu sosial atau kedokteran.
Namun, bagaimana pun bentuk dan kemampuan sesuatu metode, penggunaan suatu macam metode dalam proses pendidikan adalah mutlak. Metode mengandung implikasi bahwa proses penggunaannya bersifat konsisten dan sistematis, mengingat sasaran metode itu manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Jadi, penggunaan metode dalam proses kependidikan dan hakikatnya adalah pelaksanaan sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik/mengajar.
Dalam hubungan proses pendidikan Islam, terdapat suatu kaidah bahwa “segala alat yang dipergunakan untuk mencapai sesuatu yang wajib, hukumnya wajib pula”. Kaidah ini berasal dari Ushul Fikih, bila dilihat dari pelaksanaan proses kependidikan Islam yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim dan muslimat, maka penggunaan suatu metode yang sesuai adalah wajib pula hukumnya.[3]   
       A.    Pengertian Metode Pendidikan Islam
Istilah “metode” berasal dari dua kata yaitu kata meta dan hodos. Meta artinya “melalui”, sedangkan hodos berarti “jalan atau cara”. Jadi, metode bisa dipahami sebagai jalan yang harus di tempuh atau di lalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka metode adalah jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan.[4]
Dalam bahasa arab metode dikenal dengan istilah thariqah yang berarti jalan, cara, sistem, langkah-langkah strategis yang yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Bila dihubungkan dengan pendidikan maka metode itu harus diwujudkan dalam proses pendidikan, dalam rangka mengembangkan sikap mental dan kepribadian agar peserta didik menerima pelajaran dengan mudah, efektif dan dapat dicerna dengan baik.[5]
Dari pendekatan kebahasaan tersebut tampak bahwa metode lebih menunjukkan kepada jalan dalam arti jalan yang bersifat non fisik, yakni jalan dalam bentuk ide-ide yang mengacu kepada cara yang mengantarkan seseorang untuk sampai pada tujuan yang diinginkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Ahmad Tafsir secara umum membatasi bahwa metode pendidikan adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik. Kemudian Mulkan, mengemukakan bahwa metode pendidikan adalah suatu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak didik.
Sementara itu, Al-Syaibany menjelaskan bahwa metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan peserta didiknya, dan suasana alam sekitarnya serta tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang di inginkan dan perubahan yang di kehendaki pada tingkah laku mereka.[6]
Dengan demikian, metode tersebut memiliki posisi penting dalam mencapai tujuan. Metode adalah cara yang paling cepat dan tepat dalam memperoleh tujuan yang diinginkan. Jika metode dapat dikuasai makan akan memudahkan jalan dalam mencapai tujuan dalam lapangan apapun termasuk dalam pendidikan Islam.
Berdasarkan beberapa defenisi di atas dapat di simpulkan oleh pemakalah bahwa metode merupakan jalan atau teknik yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran agar siswa mudah memahami materi yang disampaikan oleh guru tersebut dan dapat memudahkan dalam mencapai tujuan yang sudah ditentukan dari pembelajaran tersebut.
Dalam pendidikan yang diterapkan Barat, metode pendidikan hampir sepenuhnya tergantung kepada kepentingan peserta didik. Para pendidik hanya bertindak sebagai motivator, stimulator, ataupun hanya sebagai instruktur. Sistem ini cenderung meletakkan peserta didik sebagai pusat (child centre) pendidikan dan menghargai adanya perbedaan individu para peserta didik. Hal ini menyebabkan para pendidik hanya bersikat merangsang dan mengarahkan para peserta didik untuk belajar dan diberi kebebasan untuk mengembangkan pembelajaran. Sedangkan pembentukan karakter hampir kurang menjadi perhatian pendidik. Akibat penerapan metode yang demikian, menyebabkan pendidikan kurang membangun watak dan kepribadian peserta didik, terutama bila dihubungkan dengan fenomena yang timbul dimasyarakat dewasa ini dimana pendidik semakin tidak dihormati oleh peserta didiknya.
Batasan di atas memperlihatkan perbedaan besar antara metode pendidikan Islam (yang dianggap sebagai metode pendidikan tradisional) dengan metode pendidikan Barat (yang dianggap sebagai metode modern). Metode pendidikan Islam sangat menghargai kebebasan individu, selama kebebasan tersebut sejalan dengan fitrah-Nya. Akan tetapi sebaliknya, pendidik harus bertanggung jawab dalam membentuk karakter peserta didiknya. Pendidik tidak boleh duduk dia ketika peserta didiknya memilih jalan yang salah.[7] 
Upaya pendidik untuk memilih metode yang tepat dalam mendidik peserta didik adalah yang disesuaikan pula dengan tuntunan agama. Jadi dalam berhadapan dengan peserta didik, seorang pendidik harus mengusahakan agar pelajaran yang diberikannya mudah diterima. Pendekatan ini tidak cukup dengan bersikap lemah lembut saja. Pendidik harus pula memikirkan metode yang cocok untuk digunakannya, seperti memilih waktu yang tepat, materi yang cocok, pendekatan yang baik, efektivitas penggunaan metode dan sebagainya. Selain itu, harus pula diperhatikan tahapan-tahapan penggunaan metode.[8]

B.     Dasar Metode Pendidikan Islam
Dalam penerapannya, metode pendidikan Islam menyangkut permasalahan individual atau sosial peserta didik dan pendidik itu sendiri. Untuk itu, dalam menggunakan metode seorang pendidik harus memperhatikan dasar-dasar umum metode pendidikan Islam. Sebab metode pendidikan merupakan sarana atau jalan menuju tujuan pendidikan, sehingga jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik haruslah mengacu pada dasar-dasar metode pendidikan tersebut. Dalam hal ini tidak bisa terlepas dari dasar agamis, biologis, psikologis dan sosiologis.
1. Dasar Agamis
Pelaksanaan metode pendidikan Islam dalam prakteknya merupakan interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam sebuah proses pembelajaran. Dalam konteks ini, agama merupakan salah satu dasar metode pendidikan dan pengajaran oleh Al-Quran dan Hadits tidak bisa dilepaskan dari pelaksanaan metode pendidikan Islam. Dalam kedudukannya sebagai dasar ajaran islam, maka dengan sendirinya, metode pendidikan Islam harus merujuk pada kedua sumber ajaran tersebut. Untuk itu, segala penggunaan dan pelaksanaan metode pendidikan Islam tidak boleh menyimpang dari tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Misalnya mata pelajaran olahraga, seorang pendidik harus mampu menggunakan metode yang didalamnya terkandung ajaran Al-Quran dan Hadits, seperti masalah pakaian yang Islami dan alat-alat yang digunakan.[9]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan pemakalah bahwa metode pendidikan Islam berlandaskan pada agama. Sedangkan agama Islam merujuk pada sumber ajarannya yaitu, Al-Quran dan Hadits. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, berbagai metode yang digunakan oleh pendidik hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan yang muncul secara efektif dan efesien yang dilandasi keduanya yaitu Al-Quran dan Hadits.

2. Dasar Biologis
Pertumbuhan jasmani dan kondisi jasmani memegang peran yang sangat penting dalam proses pendidikan. Sehingga dalam menggunakan metode pendidikan seorang pendidik harus memperhatikan kondisi biologis peserta didik. Seorang peserta didik yang cacat akan berpengaruh terhadap prestasi peserta didik baik pengaruh positif maupun negatif. Hal ini memberikan hikmah dari penciptaan tuhan maka dengan harapan besar pendidik dapat memberikan pengertian secukupnya pada peserta didiknya untuk menerima penciptaan Allah yang sedemikian rupa. Oleh karena itu kondisi biologis anak menjadi acuan dalam memilih metode.[10]
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dipahami bahwasannya perkembangan jasmani dan kondisi jasmani memegang peranan penting dalam proses pendidikan. Untuk itu, pendidik harus cerdas dalam memilih dan menyesuaikan metode dalam pembelajaran. Hal ini agar pserta didik yang dengan keterbatasannya dapat dan mudah memahami pembelajaran yang diajarkan oleh pendidik.
3.      Dasar Psikologis
Metode pendidikan Islam baru dapat diterapkan secara efektif bila di dasarkan pada perkembangan dan kondisi psikologis peserta didik. Sebab, perkembangan dan kondisi psikologis peserta didik akan memberikan pengaruh yang sangat dilaksanakan. Dalam kondisi yang labil (jiwa yang tidak normal) pemberian ilmu pengetahuan dan internalisasi nilai akan berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Secara teori, perkembangan psikologis seseorang berjalan sesuai dengan perkembangan biologis. Untuk itu, dalam menggunakan metode pendidikan Islam, pendidik harus memperhatikan perkembangan biologis dan terutama psikologis peserta didiknya. Sebab, tatkala seseorang yang secara biologis mengalami kelainan, maka akan berdampak terhadap kondisi psikologisnya.[11]
Kondisi rohani yang menjadi dasar dalam metode pendidikan Islam yang merupakan kekuatan bagi peserta didik dalam proses pembelajaran. Kondisi psikis tersebut meliputi motivasi, emosi, minat, sikap, keinginan, kesediaan, bakat-bakat dan kecakapan akal (intelektualnya). Sehingga seorang pendidik dituntut untuk mengembangkan potensi psikologis yang ada dalam diri peserta didik.[12]
3. Dasar Sosiologis
Interaksi yang terjadi antara sesama peserta didik dan interaksi antara pendidik dan peserta didik, merupakan interaksi timbal balik dan saling memberikan dampak pada keduanya. Dalam kenyataannya, seseorang secara individu dapat memberikan pengaruh lingkungan sosial masyarakatnya. Oleh karena itu, dalamp proses interaksi dengan peserta didiknya, seorang pendidik hendaklah memberian ketauladanan dalam bersosiologi dengan pihak lainnya, seperti di kala berhubungan dengan peserta didik, sesama pendidik, karyawan, dan kepala sekolah.[13]
Interaksi pendidikan dalam masyarakat justru memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan peserta didik dikala mereka di lingkungan masyarakatnya. Bahkan, kadang-kadang peserta didik dapat membawa model interaksi dari lingkungan yang dipengaruhi oleh masyarakatnya ke dalam lingkungan kelas dan sekolahnya, atau sebaliknya.
Pada dasarnya penggunaan metode pendidikan dalam proses pendidikan dimaksudkan untuk mentransfer nilai-nilai sosial kepada peserta didik. Oleh karenanya, diharapkan pendidik mampu mengembangkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut dengan memperhatikan perkembangan kebudayaan dan peradaban yang muncul.
Selain itu, yang harus dipahami para pendidik adalah ciri atau karakteristik dari metode pendidikan Islami. Secara umum, hal-hal yang menjadi ciri atau karakteristik metode pendidikan Islami adalah:
a.       Penerapan dan pengembangannya didasarkan pada nilai-nilai Islam;
b.      Berorientasi pada penegakan al-akhlaq al-karimah
c.       Keseimbangan antara teori dan praktik
d.      Menekankan nilai-nilai keteladanan (mencontoh Rasul)
e.       Menekankan kebebasan berkreasi dan mengambil prakasa
f.       Mengedepankan dialog kreatif (hikmah, pengajaran, dan argumentasi)
g.      Mempermudah proses pembelajaran.[14]
Dengan pendekatan ini diharapkan semua upaya pendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan mempunyai nilai aplikatif dalam kehidupan peserta didik selanjutnya.
Dengan pendekatan di atas dapat dipahami bahwa, salah satu dasar penggunaan metode pendidikan Islam adalah dasar sosiologis, baik dalam interaksi yang terjadi antara peserta didik dengan pendidik, peserta didik dengan pendidik, peserta didik dengan masyarakat, maupun pendidik dengan masyarakat, bahkan antara komponen pendidikan dengan pemerintah.

         C.    Prinsip Metode Pendidikan Islam
Dalam penggunaanya, metode pendidikan Islam perlu memperhatikan prinsip-prinsip yang mampu memberikan pengarahan dan petunjuk tentang pelaksanaan metode pendidikan tersebut. Dengan prinsip-prinsip ini diharapkan metode pendidikan Islam dapat berjalan dengan efektif dan efesien dengan tidak menyimpang dari tujuan semula pendidikan Islam. Oleh karena itu, seorang pendidik perlu memperhatikan prinsip-prinsip metode pendidikan, sehingga pendidik mampu menerapkan metode yang pas dan cocok sesuai dengan kebutuhannya. Diantara prinsip-prinsip dalam memilih metode pendidikan adalah:[15]
1. Prinsip Kemudahan.
Metode pendidikan yang digunakan pendidik pada dasarnya adalah menggunakan sebuah cara yang memberikan bagi peserta didik untuk menerapkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sekaligus mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan keterampilan tersebut. Dalam menggunakan metode pendidikan, seorang pendidik hendaknya memformulasikan metode yang tidak membuat peserta didik menjadi jemu dan bosan ataupun tertekan dengan materi-materi yang sulit, sementara peserta didik belum memiliki bekal yang cukup untuk memahami materi yang berikan.
2. Prinsip Berkesinabungan.
Berkesinabungan menjadi prinsip metode pendidikan Islam, karena dengan asumsi bahwa pendidikan Islam adalah sebuah proses yang akan berlangsung terus-menerus.untuk itu, dalam menggunakan metode pendidikan, seorang pendidik perlu memperhatikan kesinabungan pelaksanaan pemberian materi. Metode pendidikan yang digunakan pendidik pada waktu yang lalu merupakan landasan dan pijakan metode yang akan digunakan. Sementara yang sekarang dipakai menjadi dasar perencanaan bagi metode berikutnya, demikian seterusnya. Dengan beraneka matode yang saling berkesinabungan tersebut, dimungkinkan materi pendidikan dan pengajaran dapat berjalan dengan sistematis dan gambling. Oleh katena itu, setelah menggunakan metode tertentu, seorang pendidik perlu memperhatikan letak kekurangan dan kelemahan metode yang digunakan sebelumnya untuk memformulasikan metode yang lebih baik pada pelaksanaan proses pembelajaran selanjutnya.
3. Prinsip Fleksibel.
Metode pendidikan Islam harus digunakan dengan prinsip fleksibel dan dinamis. Sebab, dengan kelenturan dan kedinamisan metode tersebut, pemakaian metode tidak hanya monoton dengan satu macam metode. Seorang pendidik mampu memilih salah satu dari berbagai alternatif yang ditwarkan oleh pakar yang dianggapnya cocok dan pas dengan materi, multi kondisi peserta didik, sarana dan prasarana, situasi dan kondisi lengkungan, serta tujuan yang ingin dicapai. Dengan memperhatikan prinsip fleksibel dan dinamis dalam pemilihan sebuah metode, diharapkan akan muncul metode-metode yang reelatif baru dari para pendidik Islam. Prinsip kelenturan dan kedinamisan ini, memberikan peluang yang sangat luas bagi para pendidik untuk mengembangkan metode yang sudah ada.[16]
Dari uraian diatas kiranya dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam memberikan keluasan dan kebebasan bagi para pendidik untuk mengembangkan metode yang sudah dikenal. Dalam menetapkan suatu metode pendidik berusaha mempertimbangkan nilai efektif dan efesien pendekatan yang dilakukan.
        D.    Macam-macam Metode Dalam Al-Quran
Dapat dikemukan bahwa ada beberapa macam metode qur’ani yang dapat dipergunakan dalam aktivitas pendidikan islam, diantara :
1.      Metode Kisah Qur’ani
Dalam keseluruhan proses pendidikan islam, kedudukan kisah sangat penting sebagai metode yang juga berpengaruh. Disebabkan beberapa faktor : (1) kisah selalu memikat hati dan mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya dan merenungkan maknanya, (2) kisah Qur’ani an Nabawi dapat menyentuh hati manusia, sebab biasanya kisah akan menyentuh kehidupan yang menyeluruh yaang ditampilkan tokoh sentral dalam kisah itu, (3) kisah Qur’ani mendidik perasaan keimanan dengan cara membengkitkan perasaan takut (khauf), ridha dan cinta yang melibatkan emosional keagamaan pendengar dalam kisah tersebut.[17]

Prinsip dasar metode ini diambil dari Al-Quran :
۞إِنَّ قَٰرُونَ كَانَ مِن قَوۡمِ مُوسَىٰ فَبَغَىٰ عَلَيۡهِمۡۖ وَءَاتَيۡنَٰهُ مِنَ ٱلۡكُنُوزِ مَآ إِنَّ مَفَاتِحَهُۥ لَتَنُوٓأُ بِٱلۡعُصۡبَةِ أُوْلِي ٱلۡقُوَّةِ إِذۡ قَالَ لَهُۥ قَوۡمُهُۥ لَا تَفۡرَحۡۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡفَرِحِينَ ٧٦
Artinya:
Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri" (QS. Al-Qashah: 76)[18]
Dan selanjutnya QS. Hud: 120
وَكُلّٗا نَّقُصُّ عَلَيۡكَ مِنۡ أَنۢبَآءِ ٱلرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِۦ فُؤَادَكَۚ وَجَآءَكَ فِي هَٰذِهِ ٱلۡحَقُّ وَمَوۡعِظَةٞ وَذِكۡرَىٰ لِلۡمُؤۡمِنِينَ ١٢٠
Artinya:
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman (QS. Hud : 120)[19]
Cerita Al-Quran secara lebih spesifik bertujuan memberikan kekuatan psikologis kepada Nabi Saw, dalam perjuangan menghadapi kaum kafirin. Orang yang sering ditimpa kesukaran atau musuh, mungkin bakal frustasi dan kecil hati. Namun jika dia tahu bahwa dia dalam perjuangan dari kesulitan itu tidak mengalami sendiri dan masih banyak orang yang mengalami hal yang serupa dan ternyata berhasil, dia bakal yakin dengan dirinya yang pada gilirannya menyampaikan kepada keberhasilan yang diperjuangkannya. Orang-orang semacam ini harus dijadikan teladan untuk diikuti. Cerita-cerita tentang Nabi dan Rasul telah terdahulu sangan relevan untuk menghadapi situasi yang dihadapi nabi dari kaum muslimin.[20]
Dalam pendidikan Islam, terutama pendidikan agama Islam, kisah sebagai metode pendidikan amat penting, alasannya sebagai berikut:
a.  Kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya. Selanjutnya, makna-makna itu akan menimbulkan kesan dalam hati pembaca atau pendengar;
b.   Kisah Qurani dan Nabawi dapat menyentuh hati manusia karena kisah itu menampilkan tokoh dalam konteks yang menyeluruh. Karena tokoh cerita ditampilkan tokoh dalam konteks yang menyeluruh, pembaca atau pendengar dapat ikut menghayati atau merasakan isi kisah itu,seolah ia sendiri yang menjadi contohnya;
c.       Kisah Qurani mendidik perasaan keimanan dengan cara:
1)      Membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, rida, cinta;
2)   Mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada suatu puncak, yaitu kesimpulan kisah;
3) Melibatkan pembaca atau pendengar kedalam kisah itu sendiri sehingga terlibat secara emosional.

Metode Hiwar (dialog atau percakapan)
Merupakan metode percakapan silih berganti anatara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik dan dengan sengaja diarahkan untuk mecapai suatu tujuan yang hendak dicapai oleh guru.
Metode ini memberikan pengaruh yang dalam terhadap proses pembinaan pribadi disebabkan beberapa hal : (1) dialaog yang berlangsung secara dinamis, karena melibatkan kedua belah pihak dalam dialog yang tidak membosankan, (2) pendengar tertarik untuk mengikuti terus pembicaraan itu karena ingin tahu kesimpulannya, (3) dapat membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam jiwa yang membantu mengarahkan seseorang menemukan sendiri kesimpulannya, (4) apabila metode dialog (hiwar) dilakukan dengan baik membantu pembentukan akhlak islam, sebab sikap pergaulan dan menghargai akan terbentuk dengan sendirinya.

Didalam Al-Quran Allah Berfirman:
إِذۡ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوۡمِهِۦ مَا هَٰذِهِ ٱلتَّمَاثِيلُ ٱلَّتِيٓ أَنتُمۡ لَهَا عَٰكِفُونَ ٥٢ قَالُواْ وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا لَهَا عَٰبِدِينَ ٥٣ قَالَ لَقَدۡ كُنتُمۡ أَنتُمۡ وَءَابَآؤُكُمۡ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ ٥٤
قَالُوٓاْ أَجِئۡتَنَا بِٱلۡحَقِّ أَمۡ أَنتَ مِنَ ٱللَّٰعِبِينَ ٥٥ قَالَ بَل رَّبُّكُمۡ رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلَّذِي فَطَرَهُنَّ وَأَنَا۠ عَلَىٰ ذَٰلِكُم مِّنَ ٱلشَّٰهِدِينَ ٥٦ وَتَٱللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصۡنَٰمَكُم بَعۡدَ أَن تُوَلُّواْ مُدۡبِرِينَ ٥٧
Artinya:
(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?. Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata". menjawab: "Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?. Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya: dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu". Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya. (QS Al Anbiya’: 52-57)[21]
            Dalam dialog ini, pertanyaan pertama yang masuk dalam ayat 52 surat al Anbiya’ bertujuan memaksa mereka mengekspresikan atau mendefenisikan keyakinan mereka. Langkap pertama adalah menjadikan mereka menyadari keadaan atau situasi yang ada. Untuk menjadikan mereka mendeteksi kesalahan kepercayan mereka, namun mereka disuruh pergi dan menanyakan kepada berhala mereka yang terbesar. Tujuan ini adalah untuk membuat mereka bingung, dan ini tercapai ketika mereka mendapati berhala terbesar mereka tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan. Tujuan pada tahap ini adalah menjadikan mereka beralih dari menyembah berhala kepada menyembah Allah.[22]
            Metode dialog (hiwar) mempunyai dampak yang dalam bagi pembicara dan juga bagi pendengar pembicaraan itu. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal:
a.    Dialog itu berlangsung secara dinamis karena kedua pihak terlibat langsung dalam pembicaraan. Kedua pihak saling memperhatikan kebenaran dan kesalahan dapat terkoreksi.
b.      Pendengar tertarik untuk terus pembicaraan itu karena ia ingin tahu kesimpulannya.
c.     Metode ini dapat membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam jiwa,yang membantu mengarahkan seseorang menemukan sendiri kesimpulannya.
d.     Bila hiwar dilakukan dengan baik, memenuhi akhlak tuntunan Islam, maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat, itu akan mempengaruhi peserta sehingga pengaruh berupa pendidikan akhlak, sikap dalam berbicara dan sebagainya. 
                    Metode Amtsal (perumpamaan)
Perumpamaan yang banyak dalam Al-Qur’an dapat dan sering digunakan ustadz, penceramah dalam pengajian-pengajian dan majelis taklim. Pengungkapannya hampir sama dengan metode kisah yaitu berceramah atau membaca teks. Kebaikan metode ini dari beberapa segi, yaitu : (1) memperkuat peserta pengajian (jamaah) memahami konsep abstrak, (2) dapat merangsang kesan terhadap makna yang dipakai dalam pengajaran, (3) biasanya perumpamaan yang digunakan bersifat logis agar mudah untuk dipahami, (4) perumpamaan Qur’ani dan Nabawi memberikan motivasi kepada pendengar atau jamah majelis taklim untuk berbuat amal baik dan menjauhi kejahatan. Hal inilah yang penting dalam pendidikan Islam.[23]
Metode amtsal merupakan suatu cara mengajar dimana guru menyampaikan materi pembelajaran dengan membuat/melalui contoh atau perumpamaan.
Prinsip dasar metode ini dalam Al-Quran (QS. Al-Baqarah : 17)
مَثَلُهُمۡ كَمَثَلِ ٱلَّذِي ٱسۡتَوۡقَدَ نَارٗا فَلَمَّآ أَضَآءَتۡ مَا حَوۡلَهُۥ ذَهَبَ ٱللَّهُ بِنُورِهِمۡ وَتَرَكَهُمۡ فِي ظُلُمَٰتٖ لَّا يُبۡصِرُونَ ١٧
Artinya:
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat (QS. Al-Baqarah : 17)[24]

Dalam metafora (amtsal), benda-benda nyata digunakan untuk memfasilitasi pemahaman konsep yang sedang diperhatikan. Penjelasan tentang konsep-konsep abstrak dengan perumpamaan yang konkrit sangat terkait serta dengan dengan konsepsi Al-Quran tentang persepsi melalui indera yang diberi peran penting. Fakta seperti ini mempunyai aplikasi penting dalam kelas. Segala yang eksis dialam, dan dapat membantu pemahaman tentang konsep harus dimanfaatkan. Abstraksi hanya mungkin dilakukan setelah pencari kebenaran (siswa) disodori data nyata yang dapat dikonseptualisasi.
4.      Metode Keteladan
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak cenderung suka dan senang meniru tingkah laku guru atau pendidik. Bahwa setiap pribadi secara psikologis akan mencari tokoh yang dapat diteladani bahkan bagi anak-anak sikap meniru tidak hanya yang baik bahkan yang jelekpun bisa saja ditirunya, itulah sebab keberhasilan pendidikan Islam, formal, informal maupun non-formal keberadaan metode keteladanan itu sangat penting sekali.
Sementara keteladanan bagi para guru, ustadz dan da’i adalah Rasulullah. Guru tidak boleh meneladani tokoh lain secara berlebihan kecuali Rasulullah saw. Sebab rasul merupakan teladan yang baik, dimana Rasullullah tetap meneladankan bagaimana kehidupan yang dikehendaki oleh Allah swt.[25]
Seperti dalil QS. Al Ahzab ayat 21 :
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
artinya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS. Al-Ahzab : 21)[26]

            Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial. Allah Swt, juga telah mengajarkan bahwa Rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah samawi kepada umat manusia, adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat luhur, baik spiritual, atau intelektual. Sehingga manusia belajar darinya, memenuhi panggilannya, menggunakan metode nya dalam hal kemuliaan, keutamaan dan akhlak terpuji. Dia mengutus Muhammad Saw sebagai teladan yang baik bagi umat manusia disepanjang sejara, dan bagi umat manusia disetiap saat dan tempat sebagai pelita yang menerangi dan purnama yang member petunjuk.[27] 
            Keteladanan dalam pendidikan adalah metode influensif yang paling menetukan keberhasilan dalam mempersiapkan dan membentuk sifat, dan perilaku moral, spiritual dan sosio anak, yang akan ditirunya dalam segala tindak tanduknya, dan sopan santunya, disadari atau tidak bahkan jiwa dan perasaan seorang anak sering menjadi suatu gambaran pendidiknya. Metode keteladanan ini juga penting bagi orag dewasa.[28]
            Metode Pembiasaan
Dalam pembentukan sikap, metode pmebiasaan sebenarnya cukup efektif. Orang yang terbiasa bersih akan memilih hidup bersih, tidak hanya bersih secara fisik tetapi juga berdampak pada bersihnya fikiran dan hatinya. perlu diingat bahwa, pembiasaan juga berguna untuk menguatkan hafalan. Rasulullah berulang-ulang berdoa dengan doa yang sama, akibatnya dia hafal benar doa itu dan sahabatnya yang mendegarkan doa yang berulang-ulang itu juga turut menjadi hafal.[29]
Allah berfirman QS an Nur ayat 27:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَدۡخُلُواْ بُيُوتًا غَيۡرَ بُيُوتِكُمۡ حَتَّىٰ تَسۡتَأۡنِسُواْ وَتُسَلِّمُواْ عَلَىٰٓ أَهۡلِهَاۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٢٧
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Demikianlah yang sebaiknya untuk mu semoga kamu mendapat pelajaran (QS. An Nur : 27)[30]
            Dalam kehidupan manusia sehari-hari, sangat banyak kebiasaan yang berlangsung otomatis dalam bertutur kata dan bertingkah laku. Kebiasaan sebenarnya berintikan pengalaman. Apa yang dibiasakan ?, yang dibiasakan adalah sesuatu yang diamalkan. Inti pembiasaan ini adalah pengulangan. Jika seorang guru setiap masuk kelas mengucapkan salam, itu sudah dikatakan membiasakan. Bial murid masuk kelas tidak mengucapkan salam, maka guru mengingatkan, ini juga termasuk membiasakan. Metode pembiasaan ini sangat baik digunakan karena yang kita biasakan adalah benar. Kita tidak boleh membiasakan anak kita atau anak didik kita berprilaku jelek.[31] 
6.      Metode Ibrah dan Mauizah
Metode ibrah yang sering digunakan dalam pendidikan Islam ialah pembentukan suatu kondisi psikis yang menyampaikan mausia kepada intisaru sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi dengan menggunakan nalar yang menyebankan hatinya mengikutinya. Sedangkan metode mau’izah ialah nasihat yang lembut yang diterima dengan cara menjelaskan pahala atau nacaman.
Pemanfaatan metode ibrah (pelajaran) dari suatu kisah hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang berfikir dan berzikir. Sedangkan mau’izah merupakan nasihat dengan cara menyentuh kalbu.[32]

Allah berfirman:
لَقَدۡ كَانَ فِي قَصَصِهِمۡ عِبۡرَةٞ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِۗ مَا كَانَ حَدِيثٗا يُفۡتَرَىٰ وَلَٰكِن تَصۡدِيقَ ٱلَّذِي بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَتَفۡصِيلَ كُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ ١١١
Artinya:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman (QS. Yusuf : 111)[33]
Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ibrah dengan suatu kondisi yang dapat mengantarkan pengetahuan, dari pengetahuan kongkrit menuju pengetahuan abstrak, baik melalui perenungan (ta’amul) ataupun pemikiran (tafakur). An Nahlawi memberikan arti ibrah dengan kondisi psikis manusia yang dapat mengantarkan maksud pengetahuan yang disaksikan, melalui upaya mengobservasi, membandingkan, menganalogikan, dan memberi keputusan yang rasional, sehingga sampai pada suatu kondisi yang dapat memberi dorongan, khususnya hati tanpa mengabaikan kesuaian dengan akhir pemikiran sosial.[34]
7.      Metode Taghrib dan Tarhib
Targhib ialah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan. Matode tarhib bertujuan agar oran mematuhi aturan Allah demikian pula metode tarhib namun penekanannya untuk meninggalkan kejahatan, sedangkan targhib agar seseorang melakukan kebaikan.
Berdasarkan kajian diatas dapat disimpulkan bahwa metode mengajar adalah pengethuan yang membicarakan tentang metode yang digunakan sebagai cara dalam menyampaikan bahan pelajaran kepada peserta didik agar tercapai tujuan pembelajaran (kompetensi dasar) yang ditetapkan.[35]
            Prinsip dasar metode ini adalah dalam QS. Al zalzalah : 7-8)
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ ٧ وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ ٨
Artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Al Zalzalah : 7-8)[36]
            Targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam berbeda dengan metode ganjaran dan hukuman dalam pendidikan Barat. Perbedan utamanya adalah Targhib dan Tarhib berdasarkan ajaran Allah, sedangkan ganjaran dan hukuman berdasarkan duniawi. Implikasi dari perbedaan itu antara lain: 
a.       Targhib dan Tahrib lebih tegus karena akarnya berada dilangit, sedangkan teori hukuman dan ganjaran hanya berdasarkan sesuatu yang duniawi. Targhib dan Tarhib itu mengandung aspek iman, sedangkan metode ganjaran dan hukuman tidak.
b.      Secara operasional, Targhib dan Tarhib sudah ada dalam Al-Quran dan Hadits Nabi, sedangkan hukuman dan ganjaran dalam metode Barat harus ditemukan guru sendiri.
c.       Targhib dan Tarhib bersifat universal, dapat digunakan kepada siapa saja, hukuman dan ganjaran tidak.
d.      Dipihak lain Targhib dan Tarhib lebih lemah dari pada hukuman dan ganjaran karena hukuman dan ganjaran lebih nyata dan langsung itu juga, sedangkan Targhib dan Tarhib tidak langsung diterima di akhirat.[37]
        E. Metode Pendidikan Menurut Pakar Pendidikan Islam
Para ahli didik Islam telah merumuskan berbagai metode pendidikan Islam di antaranya :
Al-Ghazali
Seyogyanya agama diberikan kepada anak usia sejak dini, sewaktu dia menerimanya dengan hafala diluar kepada. Ketika ia menginjak dewasa, sedikit demi sedikit makna agama tersingkap baginya. Jadi, prosesnya dimulai dengan hafalan, diteruskan dengan pemahaman. Demikian pula keimanan tumbuh pada anak tanpa dalih terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan bukti-bukti (dalil) yang dapat memperkuat keyakinannya. Proses penuntunan anak dalam pendidikan ibarat penanaman benih. Sedangkan penanaman keyakinan dilakukan dengan memberikan keterangan ibarat proses penyiraman dan pemeliharaan. Benih ini dapat tumbuh, berkembang dan meninggi bagaikan sebuah pohon yang baik lagi kokoh. Akarnya tertancap kekar dan cabangnya menjulang tinggi kelangit.[38]
Al Ghazali mengambil sistem yang berasaskan keseimbangan antara kemampuan rasional dengan kekuasaan tuhan, antara kemampuan penalaran dengan pengalaman mistik yang memberikan ruang bekerjanya akal pikiran, dan keseimbangan antara berfikir deduktif logis dengan pengalaman empiris manusia. Atas dasar pandangan Al-ghazali yang bercorak empiris itu maka tergambar pula dalam metode pendidikan yang diinginkan. Diantaranyalebih menekankan pada perbaikan sikap dan tingkah laku para pendidik dalam mendidik, seperti berikut:

a)      Guru harus bersikap mencintai muridnya bagaikan anaknya sendiri;
b)      Guru tidak usah mengharapkan upah dari tugas pekerjaannya;
c)    Guru harus memberi nasehat pada muridnya agar menuntut ilmu tidak untuk kebanggan diri atau untuk mencari keuntungan pribadi;
d)     Guru harus menolong muridnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat;
e)      Guru harus memberi contoh yang baik dan teladan yang indah dimata anak didik sehingga anak didik senang untuk mencontoh tingkah lakunya;
f)       Guru harus mengajarkan apa yang sesuai dengan tingkat kemampuan akal anak didik;
g)      Guru harus mengamalkan ilmunya, karena ia menjadi idola dimata anak;
h)      Guru harus memahami jiwa anak didiknya;
i)        Guru harus dapat mendidik keimanan kedalam pribadi anak didiknya.
Dengan demikian jelaslah kepada kita bahwa metode pendidikan yang harus dipergunakan oleh para pendidik/pengajar adalah yang berprinsip child centered yang lebih mementingkan anak didik dari pada pendidik sendiri.[39]
Omar Mohammad al Thoumy al Syaibany
Metode adalah:
    1. Metode pengambilan kesimpulan secara induktif. Metode ini dimulai dengan membahasa bagian-bagian yang kecil untuk sampai pada undang-undang umum.
    2. Metode perbandingan (qiyasiyah)
c.           Metode kuliah dengan menyiapkan pelajaran dan kuliah, mencatat materi yang penting, mengutarakan secara sepintas tentang penting tersebut, kemudian menjelaskan denagn terperinci
                3 Metode dialog dan perbincangan,
e.       Metode lingkaran (halaqah), riwayat, mendengarkan dan membaca, dikte, hafalan, pemahaman lawatan.
        
        Abdullah Nashih Ulwan
Abdullah Nashih Ulwan menguraikan, paling tidak ada empat macam yang harus dilakukan oleh pendidik dirumah tangga (orang tua) dan tanggung jawabnya mendidik dan memenuhi keinginan anak, yaitu:
a.       Menyuruh anak-anak semenjak awal membaca la ilaha Ilallah,
b.      Memperkenalkan sejak awal tentang pemikiran hokum halal dan haram,
c.       Menyuruh anak beribadah semenjak umur tujuh tahun;
d.      Mendidik anak cinta kepada Rasul dan keluarganya serta cinta membaca Al Quran

        Abd. al Rahman al-Nahlawi
Al Nahlawi mengemukakan karyanya, bahwa metode Quran dan hadits yang dapat menyentuh perasaan, meliputi:
a.       Metode hiwar (percakapan)
b.      Mendidik dengan kisah
c.       Mendidik dengan amtsal
d.      Mendidik dengan member ketauladan
e.       Mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman
f.       Mendidik dengan mengambil ‘ibrah (pelajaran) dan mau’izah (peringatan)
g.      Mendidik dengan membuat senang (taghrib) dan membuat takut (tarhib)[40]

5.      Abdurrahman Saleh Abdullah
Mengemukakan beberapa metode pendidikan dan peranannya, yaitu:
a.     Metode cerita dan ceramah. Tujuan yang hendak dicapai dari metode cerita dan ceramah adalah untuk memberikan dorongan psikologis kepada peserta didik;
b.  Metode diskusi, Tanya jawab atau dialog. Teknik ini akan membawa kepada penarikan kesimpulan secara deduksi. Dalam pendidikan deduksi merupakan suatu metode pemikiran logis yang bermanfaat;
c.       Metode perumpamaan atau metafora. Penjelasan konsep-konsep abstrak dengan makna-makna kongkrit member gambaran yang jelas bagi peserta didik;
d.      Metode hukuman dan ganjaran. Efektifitas metode hukuman dan ganjaran berasal dari fakta yang menyatakan bahwa metode ini secara kuat berhubungan dengan kebutuhan individu. Seorang peserta didik yang yang menerima ganjaran akan memahaminya sebagai tanda penerimaan kepribadiannya membuat merasa aman. Keamanan merupakan salah satu kebutuhan psikologis. Sementara hukuman yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak disukainya akan dapat menguatkan rasa aman tersebut.[41]
Dari kutipan-kutipan diatas, terlihat bahwa metode mengajar yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dilaksanakan sejak dini, bertahap, berkesinabungan dan tuntas, serta dengan bijaksana, penuh kasih saying, tauladan yang baik, yang sesuai dengan perkembangan anak, yang dapat meningkatkan minat dan dengan cara yang praktis. Semua metode tersebut sebenarnya sudah terkandung dalam metode mengajar dalam Al-Quran yang ditempuh melalui tiga cara yaitu: (1) al-hikmah; (2) al mau’izhah hasanah; (3) mujadalah bi hiya ahsan.  

Sesuai dengan firman Allah Swt.
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥
Artinya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. An Nahl : 125)[42]
Metode Qurani tersebut diatas menuntut kepada pendidikan untuk berorientasi kepada “educations needs” dari anak didik dimana faktor “human nature” yang potensial tiap pribadi anak dijadikan sentrum proses kependidikan sampai kepada batas maksimal perkembangan. Pelaksanaan dan pemilihan metode yang tepat guna selain memudahkan bahan pengajaran untuk diterima peserta didik, juga hubugan pendidik dengan peserta didik tidak terputus. Hubungan yang demikian ini sangat penting untuk membina karakter peserta didik dan kewibawaan pendidik yang harus dihormati dan dimuliakan. Peserta didik akan mengenal pendidiknya dan pendidik akan mengenal peserta didiknya dengan seksama. Saling menghormati hanya akan tercipta kalau ada saling mengenal. Tanggung jawab pendidik terhadap peserta didik selain dari menghargai fitrah dan membina pembentukan karakter mereka, juga memberikan perasaan aman dan ketentraman pada peserta didik.[43]
F.     Metode Mengajar Dalam Pendidikan Islam
Metode mengajar dalam pendidikan Islam sebenarnya dapat saja mengadopsi metode yang dipakai dalam pengajaran secara umum asalkan tidak bertentangan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang mendasarinya dalam Al-Quran dan hadis. Metode-metode tersebut diantaranya : (1) metode ceramah, (2) metode diskusi, (3) metode Tanya jawab, (4) metode demonstrasi, (5) metode karyawisata, (6) metode penugasan, (7) metode pemecahan masalah, (8) metode simulasi, (9) metode eksperimen, (10) metode unit, (11) metode sosio drama, (12) metode kelompok, (13) metode studi kemasyarakatan, (14) metode modul, (15) metode berprogram, (16) dan lain-lain.
Disamping metode mengajar, dikenal pula istilah teknik mengajar dalam pendidikan Islam. Berbeda dengan metode, teknik lebih bersifat spesifik. Hadari Nawawi menawarkan beberapa teknik pendidikan Islam.[44]
a.       Mendidik melalui keteladanan.
Rasulullah adalah panutan terbaik bagi umatnya, pada diri beliau senantiasa ditemukan tauladan yang baik serta keteladanan mulia. Sifat-sifat yang ada pada beliau adalah siddiq, amanah, fathonah, dan tabligh. Pribadi seperti yang ditauladankan Rasulullah adalah manusia pilihan yang dimuliakan Allah Swt.
Dalam proses pendidikan, setiap pendidik harus berusaha menjadi tauladan bagi peserta didiknya. Ketauladanan dalam semua kebaikan dan bukan sebaliknya. Dengan ketauladanan tersebut, dimaksudkan peserta didik dapat untuk dapat senantiasa mencontoh segala sesuatu yang baik-baik dalam perkataan maupun perbuatan seorang pendidik.  
b.      Mendidik melalui kebiasaan
Faktor ini perlu diterapkan pada peserta didik sejak dini. Contoh sederhana misalnya, membiasakan mengucapkan salam pada waktu masuk dan keluar rumah, membaca basmallah setiap memulai sesuatu pekerjaan dan mengucapkan hamdallah setelah menyelesaikan pekerjaan. Faktor pembiasaan hendaknya secara kontiniu. Faktor ini harus dilakukan dengan menghilangkan kebiasaan buruk. Ada dua jenis pembiasaan yang harus ditanamkan melalui proses pendidikan, yaitu : 1) kebiasaan yang bersifat otomatis, 2) kebiasaan yang dilakukan atas dasar pengertian dan kesadaran akan manfaat dan tujuan.
c.       Mendidik melalui nasehat dan cerita
Dalam mewujudkan interaksi antara pendidik dan peserta didik, nasehat dan cerita merupakan cara mendidik yang bertumpu pada bahasa, baik lisan maupun tertulis. Cara ini banyak sekali dalam Al-Quran. Nasehat dan cerita pada dasarnya bersifat penyampaian pesan dari sumbernya kepada pihak yang dipandang memerlukannya. Dalam Al-Quran banyak dijumpai ayat tentang nasehat dan cerita mengenai para Rasul atau Nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad Saw yang bertujuan menimbulkan kesadaran bagi yang mendengarkan atau yang membacanya. Dengan pendetan ini diharapkan akan meningkatkan keimanan peserta didik untuk berbuat amal kebaikan dalam menjalani kehidupannya. Demikian Al-Quran berfungsi sebagai penerang bagi seluruh manusia, petunjuk serta pelajaran bagi orang yang bertaqwa.[45]  
d.      Mendidik melalui disiplin
Kehidupan ini penuh dengan berbagai pelaksanaan kebiasaan dan pengulangan kegiatan secara rutin dari hari ke hari yang berlangsung tertib. Didalam kebiasaan dan kegiatan yang dilakukan secara rutin itu, terdapat nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tolak ukur tentang benar atau tidaknya sesuatu yang dilakukan seseorang. Peserta didik sejak dini harus dikenalkan dengan nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia. Pengenalan dini ini berguna bagi dirinya agar hidup secara tertib, efesien, dan efektif. Dengan kata lain, setiap peserta didik harus dibantu hidup secara disiplin.
e.       Mendidik melalui partisipasi
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri tanpa manusia lain. Ia saling membutuhkan satu sama lain, sehingga perlu bekerja sama untuk saling percaya dan mempercayai dan hormat menghormati. Kehidupan seperti ini mengharuskan manusia diperlakukan sebagai subyek dan bukan sekedar sebagai obyek. Dalam interaksi pendidikan, disatu sisi anak tidak boleh diperlakukan sebagai manusia kecil yang tidak patut berpartisipasi dengan semua kegiatan orang dewasa. Disisi lain anak tidak boleh pula diperlakukan sebagai orang dewasa yang berbadan kecil, sehingga harus memikul tanggung jawab dan ikut berpartisipasi terhadap semua aktivitas orang dewasa.
Banyak aktivitas orang dewasa yang yang dapar diikut sertakan kepada peserta didik yang pada gilirannya dapat mengantarkannya pada tingkat kedewasaan. Sebaliknya banyak pula aktivitas orang dewasa yang tidak pantas diikuti oleh anak, sebab akan berakibat buruk pada perkembangan psikisnya. Pendidik harus memberikan kesempatan peserta didik berpartisipasi melalui proses bertukar pikiran antara pendidik dan peserta didik. Untuk itu, setiap peserta didik hendaknya diberikan kesempatan beraktivitas sesuai dengan taraf umur dan dari perkembangan untuk ikut serta memikirkan masalah, baik yang datang dari anak maupun dari lingkungan keluarga, bahkan masyarakat sekitarnya.
f.       Mendidik melalui pemeliharaan
Setiap anak yang lahir dalam keadaan lemah dan tak berdaya dan dalam keadaan belum dewasa. Sementara kedewasaan merupakan syarat mutlak bagi kehidupan manusia, baik secara individual maupun sebagai anggota masyarakat. Salah satu bentuk pemeliharaan bahwa sang ibu akan menyusukan bayinya. Pemeliharaan itu akan semakin rumit manakala anak-anak tumbuh dan berkembang, khususnya yang berkenaan dengan masalah aqidah, akhlak dan syari’ah. Dalam masalah ini, anak-anak memerlukan perlindungan agar terhindar dari pengaruh buruk dari kawan-kawan atau masyarakat sekitarnya. Disaat ini pula anak-anak membutuhkan kasih sayang dan perhatian ekstra cukup. Getaran kasih sayang kerelaan melindungi dan memelihara dalam interaksi edukatif ini sangat penting karena anak-anak sangat sensitif terhadap sentuhan ini. Banyak kasus terjadi, tatkala seorang anak dalam perkembangannya menghadapi masalah, sementara kedua orang tak mampu memahami perkembangan dan tak mampu menyelesaikan secara baik persoalan yang dihadapi anak, maka acapkali anak mencari jalan keluarnya sendiri secara keliru. Akibatnya, banyak anak yang salah dalam menentukan kehidupanya dengan jalan yang nista dan bertentangan dengan norma agama.[46]
Beberapa teknik yang telah dikemukakan diatas tidak berdiri sendiri secara terpisah. Penggunaannya dapat dilakukan bersama-sama atau saling menunjang satu sama dengan yang lain. Misalnya mendidik melalui disiplin akan lebih efektif bila diikuti dengan cara ketauladanan. Sedangkan ketauladanan akan berlangsung efektif pula apabila sejak awal pendidikan melalui pemeliharaan yang didasari cinta dan kasih sayang, kerelaan dan kewibawaan, telah menjiwai interaksi antara pendidik dan anak didik. Demikian pula mendidik melalui disiplin akan berlangsung efektif, bila mana pada anak-anak telah dikembangkan kebiasaan-kebiasaan hidup yang baik, manusiawi, dan diridhoi Allah Swt.
        G.    Karakteristik Metode Pendidikan Islam
Karakteristik metode pendidikan Islam tentunya sesuai dengan karakteristik sistem pendidikan Islam itu sendiri. Karakteristik yang paling menonjol adalah pendidikan Islam yang berdasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah serta Pendidikan Islam sarat nilai bukan nilai bebas. Maka metode pendidikan yang diterapkan dan dikembangkan harus berlandaskan kepada semangat Al-Quran dan Sunnah serta sarat akan nilai yang sesuai dengan sumber Islam itu sendiri. Lebih lanjut, Nizar dan Al-Rasyidin merumuskan ada delapan yang menjadi karakteristik metode pendidikan Islam, yaitu:
1. Keseluruhan proses penerapan metode Pendidikan Islam dimulai pembentukannya, penggunaannya sampai pada pengembangannya tetap didasarkan pada nilai-nilai asasi Islam sebagai ajaran yang universal. 
2.  Proses pembentukkan, penerapan dan pengembangannya tetap dapat dipisahkan dengan konsep al-akhlak al karimah sebagai tujuan tertinggi dan Pendidikan Islam. 
3.   Metode pendidikan Islam bersifat luwes dan fleksibel dalam artian senantiasa membuka diri dan dapat menerima perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupi proses kependidikan Islam tersebut, baik dari segi peserta didik, pendidik, materi pelajaran, dan lain-lain. 
4.   Metode pendidikan berusaha sungguh-sungguh untuk menyeimbangkan antar teori dan praktek. 
5.  Metode pendidikan Islam dalam penerapannya menekankan kebebasan peserta didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa dalam batas-batas kesopanan dan al-akhlakul karimah. 
6.  Dari segi pendidik, metode pendidikan Islam lebih menekankan nilai-nilai keteladanan dan kebebasan pendidik dalam menggunakan serta mengkobinasikan berbagai metode pendidikan yang ada dalam mencapai tujuan pengajarannya. 
7.  Metode pendidikan Islam dan penerapannya berupaya menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan terciptanya interaksi edukatif yang kondusif 
8.  Metode pendidikan Islam merupakan usaha untuk memudahkan proses pengajaran dalam mencapai tujuannya secara efektif dan efisien.
Seluruh karakteristik tersebut harus diketahui dan dipahami oleh para pendidikmuslim. Dalam konteks ini, menurut Arifin, persoalan terpenting yang harus dilihat para pendidik adalah prinsip bahwa penggunaan metode dalam proses kependidikan Islam harus mampu membimbing, mengarahkan dan membina anak didik menjadi manusia yang matang atau dewasa dalam sikap dan kepribadiannya, sehingga tergambar dalam dirinya tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.[47]
Ada tiga aspek tujuan pendidikan Islam yang harus diperhatikan pendidik supaya dapat memilih dan menentukan metode yang akan dipakai, yaitu:
    a.       Membentuk manusia didik yang mengabdi kepada Allah Swt.
    b.      Bernilai edukatif yang mengacu kepada petunjuk Al-Quran dan Hadits;
    c.       Berkaitan dengan motivasi dan kedisiplinan sesuai dengan ajaran Islam.[48]


BAB III
PENUTUP
       A.    KESIMPULAN

Metode pendidikan Islam merupakan salah satu bagian penting dalam bangunan pendidikan sebagai suatu sistem. Metode memiliki nilai signifikansi yang mempermudah dan mempercepat atau menjadikan tujuan dapat dicapai melalui cara yang paling cepat dan tepat. Dalam menggunkan metode tersebut tentunya diperlukan dasar-dasar yang kokoh yang dapat menunjang dan menjadikan metode tersebut dapat metode tersebut dapat digunakan secara baik dan efektif. Diantaranya dasar tersebut adalah dasar agama, dasar social, psikologis, dan biologis.
Dalam penggunaan metode juga perlu memperhatikan prinsip-prinsip penggunaannya. Prinsip-prinsip ini menjadi koridor bagi pelaksanaan metode terutama dalam pelaksanaan pembelajaran agar tujuan pendidikan dapat dicapai secara efektif dan efesien.
Al-Quran telah banyak memberikan contoh metode-metode yang dapat digunakan dalam mendidik peserta didik. Metode-metode tersebut dapat digunakan dalam situasi-situasi yang relevan. Metode-metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan yang penting adalah asas-asas penggunaan metode tersebut dilaksanakan.
Dalam prosedur pembuatan metode, hal yang harus diperhatikan adalah tujuan pendidikan, anak didik, situasi, fasilitas, dan pribadi pendidik. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut efektifitas penggunaan metode akan terbukti dan dapat menyampaikan kepada tercepainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
 
DAFTAR PUSTAKA
Salminawati SS, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:Citapustaka Media Printis, 2011)
Muzayyin Arifin, Filsafat pendidikan Islam,(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014),
Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam,(direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009)
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,(Yogyakarta: CV Diponegoro, 2010)
Ramaliyus dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: kalam Mulia, 2010),
Syafaruddin, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta Selatan: Hajri Pustaka Utama, 2017),
Al Rasydin, Falsafah Pendidikan Islami,(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008)


[1] Salminawati SS, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:Citapustaka Media Printis, 2011), hal.150
[2] Muzayyin Arifin, Filsafat pendidikan Islam,(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014), hal. 89
[3] Ibid, hal. 90
[4] Salminawati SS, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 150
[5] Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam,(direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009) hal. 234
[6] Salminawati SS, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:Citapustaka Media Printis, 2011), hal.151-152
[7]  Ramaliyus dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: kalam Mulia, 2010), hal. 115
[8] Ibid, hal. 216
[9] Ibid, hal. 116

[10]  Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam,(direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009)  hal. 236

[11] Ramaliyus dan Samsul  Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: kalam Mulia, 2010), hal. 118
[12] Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam,(direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009) hal. 236
[13] Ibid, hal. 236
[14] Al Rasydin, Falsafah Pendidikan Islami,(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008) hal. 180
[15] Ramaliyus dan Samsul  Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: kalam Mulia, 2010), hal. 220
[16] Ibid, hal. 222
[17] Syafaruddin, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta Selatan: Hajri Pustaka Utama, 2017), hal.125
[18] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,(Yogyakarta: CV Diponegoro, 2010) hal. 315
[19] Ibid, hal. 187
[20] Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam,(direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009) hal. 246
[21] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,(Yogyakarta: CV Diponegoro, 2010) hal. 260-261
[22] Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam,(direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009) hal .249
[23]  Syafaruddin, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta Selatan: Hajri Pustaka Utama, 2017), hal.
[24] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,(Yogyakarta: CV Diponegoro, 2010) hal. 4
[25]  Syafaruddin, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta Selatan: Hajri Pustaka Utama, 2017), hal.
[26] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,(Yogyakarta: CV Diponegoro, 2010) hal. 336
[27] Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam,(direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009) hal. 252
[28] Ibid, 254
[29]  Syafaruddin, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta Selatan: Hajri Pustaka Utama, 2017), hal. 128
[30] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,(Yogyakarta: CV Diponegoro, 2010) hal. 281
[31] Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam,(direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009) hal. 255
[32]  Syafaruddin, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta Selatan: Hajri Pustaka Utama, 2017), hal. 129
[33] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,(Yogyakarta: CV Diponegoro, 2010) hal. 198
[34] Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam,(direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009) hal .256
[35]  Syafaruddin, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta Selatan: Hajri Pustaka Utama, 2017), hal.
[36] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,(Yogyakarta: CV Diponegoro, 2010) hal. 480
[37]  Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam,(direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009) hal .257
[38]  Ramaliyus dan Samsul  Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: kalam Mulia, 2010), hal. 222
[39] Muzayyin Arifin, Filsafat pendidikan Islam,(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014), hal.94
[40] Ibid, hal. 224
[41] Ibid, hal. 225
[42] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,(Yogyakarta: CV Diponegoro, 2010) hal. 224
[43] Ramaliyus dan Samsul  Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: kalam Mulia, 2010), hal. 226
[44] Ibid, hal. 227
[45] Ibid, hal. 228
[46] Ibid,hal. 229
[47] Salminawati SS, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:Citapustaka Media Printis, 2011), hal. 153
[48] Ibid, hal. 155



Share:

Pengikut

Definition List

Unordered List

Support