BAB I
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pembentukan Dinasti Umayyah
Dinasti Bani Umayyah diambil dari Umayyah bin Abd Al-Syam, kakek
Abu Sufyan. Umayyah segenerasi dengan dengan Abdul Muthalib, kakek Nabi
Muhammad SAW dan Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, Ali bin Abi Thalib
segenerasi pula dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ali bin Abi Thalib berasal
dari keturunan Bani Hasyim sedangkan Mu’awiyah berasal dari keturunan Bani
Umayyah. Kedua keturunan ini merupakan orang-orang yang berpengaruh dalam suku
Quraisy.[1]
Cikal bakal dinasti ini bermula ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat
sebagai Khalifah menggantikan kedudukan Khalifah Usman bin Affan, salah satu
kebijakan awal dari Ali adalah mengambil alihan tanah-tanah dan kekayaan Negara
yang telah dibagi-bagikan oleh Usman bin Affan kepada keluarganya dan memecat
gubernur-gubernur dan pejabat pemerintahan yang diangkat Usman untuk meletakkan
jabatannya, namun Muawiyah Gubernur Syria menolak pemecatan itu sekaligus tidak
mau membaiat Ali sebagai Khalifah dan bahkan membentuk kelompok yang kuat dan
menolak untuk memenuhi perintah-perintah Ali. Dia berusaha membalas kematian
khalifah Usman, atau kalau tidak dia akan menyerang kedudukan khalifah
bersama-sama dengan tentara Syiria. Desakan Muawiyah akhirnya tertumpah dalam
perang Shiffin.[2]
Dalam pertempuran itu hampir-hampir pasukan Muawiyah dikalahkan pasukan Ali,
tapi berkat siasat penasehat Muawiyah yaitu Amr bin Ash, agar pasukannya mengangkat
mushaf-mushaf Al-Quran diujung lembing mereka, pertanda seruan untuk damai dan
melakukan perdamaian (tahkim) dengan pihak Ali dengan strategi politik yang
sangat menguntungkan Muawiyah.[3]
Bukan saja perang itu berakhir dengan tahkim yang tidak
menguntungkan Ali, tapi akibat itu pula kubu Ali sendiri menjadi terpecah yaitu
yang tetapi setia kepada Ali disebut Syiah dan yang keluar disebut Khawarij.
Sejak peristiwa itu, Ali tidak lagi menggerakkan pasukannya untuk menundukkan
Muawiyah tapi menggempur habis orang-orang Khawarij, yang terakhir tejadi
peristiwa Nahrawan pada 09 Shafar 38 H, dimana dari 1800 orang Khawarij hanya 8
orang yang selamat jiwanya sehingga 8 orang itu menyebar ke Amman, Kannan,
Yaman, Sajisman dan ke Jazirah Arab.[4] Jatuhnya
Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij membunuh Khalifah Ali, meskipun kemudian
tampuk kekuasaan dipegang putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan
kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai
beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah,
namun dengan perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah
diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M/ 41 H
dan dikenal dengan am jama’ah karena perjanjian ini dipersatukan umat
Islam menjadi satu kepemimpinan politik.[5]
Setelah terjadi kesepekatan antara Hasan bin Ali dengan Muawiyah
bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M, maka secara resmi Muawiyah diangkat
menjadi khalifah oleh umat Islam secara umum. Pusat pemerintahan Islam
dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus. Pemerintahan Muawiyah berubah
bentuk dari theo-demokrasi menjadi monarchi (monarki/dinasti) yang
berbasis Islam, ini terjadi sejak dia mengangkat anaknya Yazid sebagai putra
mahkota. Sejak itulah sistem pemerintahan memakai sistem sistem hingga pada
halifah terakhir Marwan bin Muhammad, yang tewas dalam pertempuran melawan pertempuran
melawan pasukan Abdul Abbas As-Safah dari Bani Abbas Umayyah pada tahun 750 M.
dengan tewasnya Marwan bin Muhammad berakhir dinasti Bani Umayyah dan
digantikan oleh Dinasti Abbas. Pola pemerintahan menjadi kerajaan ini terjadi
karena pada masa itu, umat Islam telah bersentuhan dengan peradaban Persia dan
Bizantium, oleh karena itu, Muawiyah juga bermaksud meniru cara suksesnya
kepemimpinan yang ada di Persia dan Bizantium yaitu kerajaan tetapi gelar
kepemimpinan tetap menggunakan khalifah dengan makna konotatif yang
diperbaharui.[6]
B.
Perkembangan Peradaban Islam Periode Dinasti Umayyah
Terbentuknya Dinasti Umayyah
merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika itu telah kembali mendapatkan
identitasnya sebagai Negara yang berdaulat, juga merupakan fase ketiga
kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661-750).
Perubahan yang dilakukan tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa
sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain
dibidang sosial politik, keagamaan, intelektual, dan peradaban. Dalam awal
perkembangannya, dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya yaitu
dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus. Kebijakan
itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksitensi dinasti yang telah mendapat
legitimasi politik dari masyarakay Syria, namun lebih dari itu adalah untuk
pengamanan dalam negeri yang sering mendapatkan serangan-serangan dari rival
politiknya.[7]
Kebijakan-kebijakan pada masa
dinasti Umayyah sebagai berikut:
1. Sistem
pergantian kepala negara bersifat Monarchi. Pemindahan sistem kekuasaan juga
dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa
Nabi dan khalifah yang empat, dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan dan musyawarah
menjadi kerajaan turun temurun (monarch/heridetis).
2. Sistem sosial
(Arab dan Mawali). Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan
masyarakat secara umum dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan,
sehingga masyarakat secara garis besar terdiri Muslim dan non muslim. Pada
Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab,
sedangkan orang non Arab yang masuk Islam harus mau menjadi pendukung mawali
bangsa Arab. Dengan demikian masyarakat muslim pada masa Dinasti Umayyah
terdiri dua kelompok, yaitu Arab dan mawali.
3. Kebijaksanaan
dan Orientasi Politik. Selama kurang lebih 90 tahun Dinasti Umayyah ini
memerintah, banyak terjadi kebijaksanaan politik yang dilakukan pada masa ini
seperti:
a. Pemisahan
kekuasaan. Terjadi dikoto antara kekuasaan agama di tunjuklah qadhi/hakim dan
kekuasaan politik. Dapat dipahami bahwa Muawiyah bukanlah seorang yang ahli
dalam bidang keagamaan sehingga diserahkan kepada para ulama.
b. Pembagian
wilayah. Khlifah Umar bin Khattab terdapat 8 provinsi, maka pada masa Bani
Umayyah menjadi 10 provinsi wilayah kekuasaan terbagi dalam 10 provinsi, yaitu:
(1) Syria dan Palestina, (2) Kufah dan Irak, (3) Basrah, Persia, khurasan,
Bahrain, Oman, Najd dan Yamamah, (4) Armenia, (5) Hijaz, (6) Karman dan India,
(7) Egypt (Mesir); (8) Ifriqiyah (Afrika); (9) Yaman dan Arab Selatan; (10)
Andalusia.[8]
4. Bidang
Administrasi Pemerintahan. Dibidang pemerintahan, dinasti Umayyah membentuk
semacam Dewan Sekretaris Negara (Diwan al Kitabah) untuk mengurusi
administrasi pemerintahan daerah diangkat seorang Amir al-Umara (gubernur
Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai satu wilayah. Pada masa Abdul
Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan oleh empat deparrtemen pokok
(diwan) yaitu:
a. Diwan ar-Rasail (istilah sekarang disebut dengan sekretaris
jenderal) diwan ini mengurus surat-surat negara yang ditujukan kepada para
gubernur atau menerima surat-surat dari mereka.
b. Diwan al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang
dikepalai oleh Shahib al-Kharaj diangkat oleh khalifah dan ber tanggung jawab
langsung kepada khalifah.
c. Diwan al-Barid. Merupakan badan intilijen negara yang
berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah
pusat.
d. Diwan al-Katam (Departemen Pencatatan). Setiap peraturan
yang di keluarkan oleh khalifah harus disalin didalam suatu register, kemudian
yang asli harus disegel dan dikirim kelamat yang dituju.
5. Politik
Arabisasi, dengan tatanan masyarakat yang homogen tersebut, menimbulkan ambisi
penguasa dinasti in untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme.
Yaitu membangun Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum muslimin.
Adapun khalifah-khalifah Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1.
Muawiyah
I bin Abu Sufyan, 41-61 H/661-680 M
2.
Yazid
I bin Muawiyah, 61-64 H/ 680-683 M
3.
Muawiyah
II bin Yazid, 64-65 H/683-684 M
4.
Marwan
I bin al Hakam, 65-66 H/684-685 M
5.
Abdul
Malik bin Marwan, 66-86 H/ 685-705 M
6.
Al
Walid I bin Abdul Malik, 86-97 H/ 705-715 M
7.
Sulaiman
bin Abdul Malik, 97-99 H/715-717 H
8.
Umar
II bin Abdul Aziz, 99-102 H/ 717-720 M
9.
Yazid
II bin Abdul Malik, 102-106 H/720-724 M
10.
Hisyam
bin Abdul Malik, 106-126 H/724-743 M
11.
Al
Walid II bin Yazid II, 126-127 H/ 743-744 M
12.
Yazid
III bin al Walid, 127 H/ 744 M
13.
Ibrahim
bin al Walid, 127 H/ 744 M
14.
Marwan
II bin Muhammad, 127-133 H/ 744-750 M.[9]
Masa kekhalifahan Bani Umayyah
selain banyak diisi dengan program-program besar, mendasar, dan strategis, juga
banyak melahirkan golongan dan aliran dalam Islam, serta perkembangan ilmu
agama, ilmu umum, kebudayaan, dan peradaban. Diantara program besar, mendasar
dan strategis di zaman Bani Umayyah adalah perluasan wilayah Islam.[10]
1.
Perkembangan
Ekonomi
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh
umat Islam secara luasitu, menjadikan orang-orang arab bertempat tinggal
didaerah penaklukkan dan bahkan menjadi tuan-tuan tanah. Kepada pemilik tanah
diwajibkan oleh Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah, namun pajak kepala
berlaku kepada penduduk non Muslim sehingga mengakibatkan banyaknya penduduk masuk
Islam, akibatnya secara ekonomi penghasilan Negara berkurang, dengan demikian
dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium Byzantium,
sesungguhnya kemakmuran bagi dinasti ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas
Negara. Kebijakan dinasti dibidang ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman
untuk lalu lintas darat dan laut, lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke
Tiongkok guna memperlancar perdagnagan keramik, sutera, obat-obatan dan
wewangian, sedangkan lalu lintas laut kearah negeri-negeri belahan untuk
mencari rempah-rempah bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading dan
bulu-buluan. Keadaan demikian membuat membuat kota basrah dan Aden diteluk
Persi menjadi lalu lintas perdagangan dan pelabuhan dagang yang ramai, karena
kapal-kapal yang dagang dibawah lindungan armada Islam yang menuju Syria dan
Mesir hampir tak pernah putus. Perkembangan perdagangan ini telah mendorong
meningkatnya kemakmuran Dinasti Umayyah.
2.
Perkembangan
Sosial
Pada masa Dinasti Umayyah bangsa
Arab mendapat posisi terhormat dalam masyarakat. Pada umumnya, bangsa Arab
merupakan tuan tanah hasil rampasan perang. Adanya dua kelompok masyarakat yang
membangun Daulat Umayyah yakni bangsa arab dan non arab, berpengaruh positif
pada motivasi orang-orang non arab untuk memeluk agama Islam. Kebijakan ini
juga berpegaruh pada perkembangan dan perluasan pemakaian Bahasa Arab dengan
cepat. Salah satu permasalahan yang pantas disebutkan pada masa pemerintahan
Bani Umayyah adalah munculnya penolakan para sahabat terhadap sikap Muawiyah
yang mengubah system sukses khalifah dari pemilihan terbuka menjadi kerajaan
yang mewariskan tahta kepada keturunan raja.[11]
3.
Pekembangan Bidang Peradaban
Masa Bani Umayyah ini merupakan
peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani Abbas
merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa ini ilmu Naqliyah mulai
berkembang. Perkembangan yang paling menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu
hadits. Dan terjadi pengumpulan hadits pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz
yang dikumpulkan oleh ‘Ashim al-Anshari. Muncul juga ilmu Nahwu (tata Bahasa
arab) sehingga Sibawaihi menyusun kitab untuk mempelajari tata Bahasa
Arab.khalifah Muawiyah memerintahkan karya-karya bangsa Yunani yang mengandung
berbagai macam ilmu. Dengan demikian umat Islam pada masa ini mulai mengenal
ilmu kedokteran, ilmu Kalam, seni bangunan dan sebagainya.[12]
Dinasti Umayyah meneruskan tradisi kemajuan dalam berbagai bidang yang
telah dilakukan masa kekuasaan sebelumnya, yaitu pada masa kekuasaan Khulafaur
rasyidin. Dalam bidang peradaban Dinasti Umayyah telah menemukan jalan yang
lebih luas kearah pengembangan dan perluasan berbagai bidang ilmu penegtahuan,
dengan bahasa Arab sebagai media utamanya.[13]
a.
Penyempurnaan
Tulisan Al-Quran
Al-Quran yang telah dikodifikasi
pada zaman Abu Bakar dan Utsman bin Affan ditulis tanpa titik (sehingga tidak
dapat dibedakan antara huruf fa dengan huruf qaf atau antara
huruf ba dengan huruf ta, dan huruf tsa, serta tidak
menggunakan baris sehingga tidak dapat dibedakan antara dhammar yang
berbunyi u, fathah yang berbunyi a, dan kasrah yang
berbunyi i).
Menurut salah satu riwayat, ulama
pertama yang memberikan baris dan titik pada huruf-huruf Al-Quran adalah Hasan
Al Bashri (642-728 M) atas perintah Abd Malik Ibn Marwan (yang menjadi khalifah
antara 685-705 M). Abdul Malik Ibn Marwan menginstruksikan kepada Al-Hajjaj
untuk menyempurnakan tulisan Al-Quran , Al Hajjaj meminta Hasan Al Bashri untuk
menyempurnakannya dan Hasan Al-Bashri dibantu oleh Yahya Ibn Ya’mura (murid Abu
Al Aswad Ad-Duwali). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa yang pertama membuat
baris dan titik pada huruf-huruf Al-Quran adalah Abu Al-Aswad ad-Duwali.[14]
b.
Penulisan
Hadits
Ketika kaum muslimin telah berusaha memahami Al-Quran, ternyata ada satu
hal yang juga sangat mereka butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi yang disebut
dengan hadits. Oleh karena itu, timbullah usaha untuk mengumpulkan hadits,
menyelidiki asal-usulnya, sehingga akhirnya menjadi satu ilmu yang berdiri
sendiri yang dinamakan ilmu hadits.[15]
Umar ibn Abdul Aziz adalah khalifah
yang memelopori penulisan (tadwin) hadis. Beliau memerintahkan kepada Abu Bakar
Ibn Muhammad Ibn Amr hajm (120 H), gubernur Madinah untuk menuliskan hadis yang
ada dalam hafalan-hafalan penghafal hadits, Umar Ibn Abd Aziz menulis surat
sebagai berikut:
“Periksalah hadis Nabi Muhammad SAW,
dan tuliskanlah karena aku khawatir bahwa ilmu (hadis) akan lenyap dengan
meninggalnya ulama dan tolaklah hadis, selain dari Nabi Muhammad SAW, hendaklah
hadis disebarkan dan diajarkan dalam majelis-majelis sehingga orang-orang yang
tidak mengetahui menjadi mengetahuinya, sesungguhnya hadis itu tidak akan rusak
sehingga disembunyikan (oleh ahlinya).[16]
Atas perintah khalifah, pengumpulan
hadis dilakukan oleh ulama. Diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim
Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zahri (guru imam Malik). Akan tetapi, buku hadis yang
dikumpulkan oleh imam Az-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai kepada kita.
c. Pengembangan
bahasa Arab
Para penguasa Dinasti Umayyah telah menjadikan Islam sebagai daulah
(negara), kemudian dikuatkannya dengan dikembangkanlah bahasa Arab dalam
wilayah kerajaan Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab
sebagai bahasa resmi dalam tata usaha negara dan pemerintahan sehingga
pembukuan dan surat-menyurat harus menggunakan bahasa Arab, yang sebelumnya
menggunakan bahasa Romawi atau bahasa Persia di daerah-daerah bekas jajahan
mereka dan Persia sendiri.
d. Marbad Kota
Pusat Kegiatan Ilmu
Dinasti Umayyah juga mendirikan sebuah kota kecil sebagai pusat kegiatan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan itu
dinamakan Marbad, kota satelit dari Damaskus. Dikota inilah berkumpul para
pujangga, filsuf, ulama, penyair, cendikiawan lainnya, sehingga kota ini
diberikan gelar ukadz nya Islam. Pada masa Dinasti Umayyah ini lahir
para ahli qiraat ternama seperti Abdullah bin Qusair (w 120 M) dan Ashim bin
Abi Nujud (w 127).
e. Ilmu Tafsir
Untuk memahami Al-Quran sebagai kitab suci diperlukan interprestasi
pemahaman komprehensif. Minat untuk menafsirkan Al-Quran dikalangan umat Islam
bertambah. Pada masa perintisan ilmu tafsir, ulama membukukan ilmu tafsir yaitu
Mujahid (w 104 M).[17]
f . Ilmu Fiqih
Setelah Islam menjadi daulah, maka para penguasa sangat membutuhkan adanya
aturan-aturan untuk menjadi pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah.
Mereka kembali kepada Al-Quran dan hadis dan mengeluarkan syariat Islam dari
kedua sumber tersebut untuk mengatur pemerintahan dan memimpin rakyat. Al-Quran
adalah dasar fiqh Islam, dan pada zaman ini ilmu fiqh telah menjadi sutu cabang
ilmu syariat yang berdiri sendiri. Diantara ahli fiqh yang terkenal adalah
Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin Abdurrahman, Qasim Ubaidillah, Urwah, dan
Kharijah.
g. Ilmu Jughrafi
dan Tarikh
Jughrafi dan Tarikh pada masa Dinasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu
sendiri. Demikian pula ilmu tarikh (ilmu sejarah), baik sejarah umum maupun
sejarah Islam pada khususnya. Adanya pengembangan dakwah Islam kedaerah-daerah
baru yang luas dan jauh menimbulkan gairah untuk mengarang ilmu jughrafi (ilmu
bumi atau geografi), demikian pula ilmu tarikh. Ilmu jughrafi dan ilmu tarikh
lahir pada masa Dinasti Umayyah, barulah berkembnag menjadi suatu ilmu yang
betul-betul berdiri sendiri pada masa ini.
h. Usaha
Penerjemahan
Untuk kepentingan pembinaan dakwah Islamiyah, pada masa Dinasti Umayyah
dimulai pula penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain kedalam
bahasa Arab. Dengan demikian, jelaslah bahwa gerekan penerjemahan telah dimulai
pada zaman ini, hanay baru berkembang secara pesat pada zaman Dinasti
Abbasiyah. Adapun yang mula-mula melakukan penerjemahan yaitu Khalid bin Yazid,
seorang pangeran yang cerdas dan ambisius. Didatangkannyalah ke Damaskus para
ahli ilmu pengetahuan yang melakukan penerjemahan dari berbagai bahasa. Maka
diterjemahkanlah buku-buku tentang ilmu kimia, ilmu astronomi, dan lain
sebagainya. Demikianlah berbagai kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti
Umayyah yang telah berkembangpesat sebagai embrio perkembangan ilmu pengetahuan
pada zaman dinasti Abbasiyah.[18]
Pendidikan pada masa Bani Umayyah secara eksplisit tidak dijumpai. Namun
dari berbagai petunjuk bisa diketahui bahwa visinya adalah unggul dalam ilmu
agama dan umum sejalan dengan kebutuhan zaman dan amsing-masing wilayah Islam.
Misinya adalah: 1) menyelenggarakan pendidikan agama dan umum secara seimbang;
2) melakukan penataan kelembagaan dan aspek-aspek pendidikan Islam; 3)
memberikan pelayanan pada seluruh wilayah Islam secara adil dan merata, 4)
menjadikan pendidikan sebagai penopang utama kemajuan wilayah Islam; 5)
memberdayakan masyarakat agar dapat memcahkan masalahnya sesuai dengan
kemampuannya sendiri.
Adapun tujuannya adalah menghasilkan sumber daya manusia yang unggil secara
seimbang dalam ilmu agama dan umum serta mampu menerapkannya bagi kemajuan
wilayah Islam. Sedangkan yang menjadi sasarannya adalah seluruh umat atau warga
yang terdapat diseluruh wilayah kekuasaan Islam, sebagai dasar bagi dalam
dirinya dalam membangun masa depan yang lebih baik. Visi, misi, tujuan dan
sasaran pendidikan tersebut diatas, secara eksplisit atau tertulis tentu belum
ada. Namun dari segi kebijakannya secara umum serta hasil-hasil yang dicapai
oleh dinasti ini mengandung visi, misi, tujuan dan sasaran tersebut diatas.[19]
Kurikulum pendidikan pada dinasti Umayyah meliputi: (a) ilmu agama :
Al-Quran, Hadits dan Fikih. Sejarah mencatat, bahwa pada masa khalifah Umar bin
Abd Aziz dilakukan proses pembukuan hadis, sehingga studi hadis mengalami
perkembangan yang pesat; (b) ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang
membahas tentang perjalanan hidup, kisah dan riwayat, (c) ilmu pengetahuan
bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahu, saraf, dan
lain-lain; dan (d) filsafat, yaitu ilmu yang pada umunya berasal dari bahasa
aing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang
berhubungan dengan hal tersebut, serta ilmu kedokteran.
Kurikulum pelajaran ini selanjutnya diatur lebih khusus pada setiap lembaga
pendidikan. Untuk pendidikan di istana misalnya diajarkan Al-Quran, Hadits,
Syair-syair yang terhormat, riwayat para hukama (filsuf), membaca, emnulis,
berhitung, dan ilmu-ilmu umum lainnya. Lembaga-lembaga pendidikan yang
berkembang pada zaman Dinasti Umayyah, selain masjid, kuttab, dan rumah
sebagaimana yang ada telah sebelumnya, juga ditambah dengan lembaga pendidikan
seperti: Istana, Badiah, Perpustakaan, Al-Bimaristan.[20]
4. Perkembangan Intelektual
dan Keagamaan
Di zaman pemerintahan Abdul Malik banyak Bahasa yang digunakan dalam
administrasi, seperti Bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun atas usaha Salih
bin Abdur Rahman, sekretaris al-Hajjaj, ia mencoba menjadikan Bahasa Arab
sebagai Bahasa adminstrasi dan Bahasa resmi diseluruh negeri sehingga perhatian
dan upaya penyempurnaan pengetahuan tentang Bahasa Arab mendorong lahirnya ahli
Bahasa yaitu Sibawaihi dengan karya tulisnya al-kitab menjadi pegangan dalam
soal tata Bahasa Arab.
Dalam bidang keagamaan, pada masa
Bani Umayyah ditandai dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang bercorak
politik ideologis. Mereka itu antara lain golongan Syi’ah, Khawarij dengan
berbagai sektenya: Azariqah, Najdat Aziriyah, Ibadiyah, Ajaridah dan Shafariyah,
golongan Mu’tazilah, Maturidiyah, Asy’ariyah, Qadariyah, dan Jabariyah.
Berbagai aliran dari berbagai golongan keagamaan ini terkadang melakukan
gerakan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.
Aliran-aliran keagamaan pada masa
Bani Umayyah sebagai berikut:
a.
Khawarij
adalah kaum yang mendesak Ali untuk menghentikan peperangan pada perang Shiffin
dan menjalakkan proses hukum melalui Al-Quran. Namun, kemudian menolak hasil
perundingan antara pihak Ali dan Muawiyah. Setelah itu, mereka melakukan pemberontakan
di Harura dan melakukan kerusakan di muka bumi. Mereka dibinasakan oleh Ali bin
Abi Thalib dalam perang Nahrawand, namun masih banyak yang tersisa dikalangan
pasukannya. Salah seorang diantara merekaberhasil membunuh Ali. Pada masa
pemerintahan Muawiyah mereka melakukan beberapa kali pemberontakan di Kuffah
dan bashrah, hingga kembali melakukan mereka dihancurkan oleh gubernur Bashrah
saat itu, yaitu Ziyad Ibnu Abihi dan anaknya Abdullah bin Ziyad. Mereka adalah
dua orang yang sangat keras terhadap mereka. Orang-orang Khawarij adalah
manusia-manusia kampungan yang yang kaku, keras kepala, dan menginginkan
manusia hanya ada dalam dua kubu, yaitu kafir dan mukmin. Barangsiapa yang
sesuai dengan pandangan-pandangannya, ia dianggap mukmin; dan barang siapa yang
dianggap tidak sesuai dengan pandangannya, ia akan dianggap orang kafir. Mereka
menuduh Utsman, Ali, dan Muawiyah sebagai orang kafir. Mereka selalu memerangi
siapa saja yang tidak berada di dalam jamaah mereka dan menghalalkan darah kaum
muslimin. Mereka adalah manusia-manusia yang sering menimbulkan bencana.
Bagi Khawarij,
menyelesaikan sengketa bukan dengan hukum Allah adalah pengingkaran; dan dalam pandangan mereka, tahkim
yang dilakukan antara pihak Ali r.a, dengan Muawiyah dilakukan tanpa hukum
Allah. Oleh karena itu, Ali Ibn Abi Thalib dan Muawiyah dianggap melakukan dosa
besar; dan mereka berpendapat bahwa hukum membelot dari pemimpin yang menyalahi
Sunnah Nabi Muhammad SAW adalah wajib. Lebih dari itu, Khawarij berpendapat
bahwa pelaku dosa besar, termasuk para sahabat Nabi Muhammad SAW seperti Ali
r.a, Muawiyah, Amr bin Al Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari akan ditempatkan
dineraka selamanya.[21]
b. Murji’ah, secara bahasa, murjiat berasal dari kata al-irja
(mengakhirkan, al-ta’akhir atau memberi harapan (i’ta al-‘aja’). Arti
pertama relevan dengan Khawarij karena adagium yang mereka gunakan, yaitu
maksiat tidak akan merusak iman, dan taat tidak akan bermanfaat bagi kekafiran.
Makna kedua relevan dengan Khawarij karena mereka tidak mau menentukan hukum
bagi yang melakukan dosa besar di dunia ini apakah ia akan ditempatkan disurga
atau dineraka dan sebagai antitesis dari Syiah yang menempatkan Ali sebagai
sahabat Nabi Muhammad SAW pada deraja yang paling tinggi dan nomor satu, Murji’ah
juga berarti kelompok yang menempatkan Ali r.a pada urutan ke empat. Diantara gagasannya yang
terpenting adalah bahwa mukmin yang melakukan maksiat akan disiksa oleh Allah
diakhirat nanti, dan setelah disiksa, mereka akan ditempatkan disurga.[22]
C. Kemunduran dan
Kehancuran Dinasti Umayyah
Dinasti yang didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan ini, dari beberapa
Khalifah yang memegang kekuasaan, hanya beberapa orang saja yang dianggap
berhasil dalam menjalankan roda pemerintahannya antara lain: Muawiyah bin Abu
Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, al-Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz
dan Hisyam bin Abdul Malik, selain mereka itu merupakan khalifah yang lemah.
Dinasti ini mencapai puncaknya pada masa al-Walid I bin Abdul Malik dan
kemudian akhirnya menurun dan kekuasaan mereka direbut oelh Bani Abbasiyah pada
tahun 750 M. [23]
Banyak sebab yang turut mengakibatkan jatuhnya Bani Umayyah. Menurut Ibnu
Khaldun, mundurnya suatu dinasti adalah suatu gejala alamiah sejarah. Usia
efektif suatu imperium dinasti tidak bisa lebih dari pada jangka usia manusia.
Dan masa 100 tahun pada umumnya merupakan waktu yang paling lama yang dapat
diharapkan bagi usia manusia. Bentuk alamiah ini hanya dapat dihindari dengan
pembaharuan yang seksama. Dinasti Umayyah telah hidup kira-kira 90 tahun, dan
keluarga itu telah memburuk sehingga sama sekali tidak mungkin diperbaiki.[24]
Muawiyah mengesampingkan prinsip pemilihan, dan menyatakan Yazid sebagai
putra mahkotanya. Republikanisme diganti dengan monarki turun temurun. Prinsip
Islam bahwa kepala negara harus dipilih oleh rakyat, tidak dijalankan. Dengan
demikian, bani Umayyah kehilangan dukungan penuh dan kerjasama dari rakyat.
Kelemahan keluarga yang memerintah itu merupakan sebab pertama dan
terpenting bagi kejatuhan dinasti Umayyah. Diantara para khalifahnya, kecuali
Muawiyah, Abdul Malik, Walid I, dan Umar II, semua yang lain dan lemah dan
tidak mampu. Hisyam adalah negarawan yang kelima dan terakhir yang besar dari
Umayyah. Keempat penggantinya ternyata tidak mampu jika dikatakan tidak
bermoral dan merosot akhlaknya. Harta kekayaan yang melimpah dan jumlah budak
yang berlebihan, mereka menjadi tidak mengenal kendali. Bahkan keluarga yang
memerintah tidak lagi dapat membanggakan darah Arabnya yang murni. Keburukan
yang khas, terutama yang menyangkut minuman keras, perempuan, dan nyanyian,
telah menguasai putra-putra padang pasir itu, dan mulai melemahkan semangat
hidup masyarakat Arab yang masih muda itu.[25]
Kelalaian di dalam urusan administratif dan tidak adanya perhatian kepada
tugas-tugas negarapada banyak khalifah bani Umayyah membuat pemerintahan bani
Umayyah sangat tidak disukai. Para pejabatnya banyak yang korup dan
mementingkan diri sendiri. Para Khalifah mempercayakan tugas kenegaraan mereka
kebanyakan kepada pejabat-pejabat bangsawan-bangsawan yang mementingkan diri
sendiri dan korup, yang lebih memperhatikan kepentingan mereka sendiri,
sedangkan kepentingan rakyat dan negara diabaikan. Sebagai akibatnya, pemerintahan
menjadi lamban dan tidak efisisen.
Persaingan antar suku yang sudah lama, memperlemah dinasti Umayyah. Untuk
sementara Islam mempersatukan suku-suku Arab yang suka berperang, tetapi
permusuhan antar suku yang lama mulai memperlihatkan diri lagi. Suku-suku
Arabia terbagi kedalam dua kelompok, yaitu bangsa Arab sebelah utara disebut
Mudhariyah, yang pada umumnya bertempat tinggal dia Irak, dan bangsa Arab
sebelah selatan atau Yamaniayah (Himyariyah), yang terutama bertempat tinggal
di Siria. Khalifah-khalifah Umayyah mendukung salah satu kelompok bangsa Arab
melawan yang lain, menurut mana yang cocok bagi mereka. Kebijakan ini
mengguncangkan seluruh imperium Arab kedalam rangkaian pertengkaran berdarah
diantara kedua kelompok itu. Polarisasi dunia Islam dengan dualisme kedua
kelompok ini mempercayai jatuhnya dinasti Umayyah.[26]
Penentangan kaum Syi’ah juga merupakan faktor yang tidak kurang pentingnya.
Mereka tidak pernah melupakan tragedi Karbala dan keditak acuhan serta
perlakuan kejam terhadap keluarga Nabi. Kutukan terhadap Ali di dalam
khutbah-khutbah dan propaganda anti bani Ali memperkuat gerakan anti-Umayyah.
Kaum Syi’ah memperoleh simpati rakyat karena kecintaan mereka yang sepenuh hati
terhadap keturunan Nabi.[27]
Hasan Ibrahim Hasan menyatakan ada
beberapa factor yang menyebabkan keruntuhan Dinasti Umayyah antara lain sebagai
berikut:
a.
Pengangkatan
dua Putra Mahkota, perubahan sister kekuasaan, dari sistem demokrasi kepada monarchi yang
dirintis Muawiyah bin Abu Sofyan, berakibat pada tumbuhnya bibit permusuhan dan
persaingan antara sesama keluarga dinasti dan ditambah dengan langkah
pengangkatan dua dua putera yang diberi mandat, agar putera mahkota yang kedua
sebagai pelanjut sesudah yang pertama. Langkah ini tidak hanya menjadi
permusuhan dan persaingan diantara sesama anggota keluarga tetapi juga merambat
masuk dilingkungan para panglima dan pejabat.
b.
Munculnya Fanatisme Suku, setelah Yazid bin Muawiyyah meninggal, fanatisme suku menyebar di
tengah-tengah kabilah Arab namun belum sampai membahayakan kekuatan Bani
Umayyah dari rongrongan kekuatan lain yang menginginkan kehancurannya sebagai
pemegang supremasi politik umat Islam. Kondisi tersebut masih dapat
dikendalikan terlebh dengan tampilnya Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah, ia
seorang yang saleh dan adil. Dalam masa pemerintahannya diisi dengan
memperbaiki kerusakan yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah
sebelumnya, sehingga legalitas kepemimpinannya diakui dan diterima oleh semua
pihak yang tidak mengakui pemerintahan Bani Umayyah. Ia terbebas dari fanatisme
suku, karena ia tidak mengangkat seorang menjadi gubernur melainkan berdasarkan
kecakapan dan keadilan yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Nanun ketika Umar
bin Abdul Aziz wafat, dan kekhalifahan dipegang Yazid bin Abdul Malik, saat itu
fitnah dan perselisihan diantara bangsa Arab utara (Arab Mudhar)/ suku Qais
dengan Arab Selatan (Arab Yaman)/ Bani Kalb memanas, yang kemudian terjadi
perang Murj Rahith, yang mengakibatkan terbunuhnya al-Mulahhab bin Abu Shufrah
dari Arab Yaman, ia seorang yang telah mengabdi seluruh hidup potensinya pada
Bani Umayyah, yaitu pembelaannya dalam perang al-Azariqah menghadapi kaum
khawarij, berjuang memerangi penduduk Khurasan dan al-Khazar serta orang-orang
Turki.sepeninggalan al-Mulahhab, tampillah puteranya yang menjadi perhatian dan
tumpuan pihak Arab Yamani untuk merongrong kedaulatan kedaulatan Dinasti
Umayyah. Namun demikian Bani Umayyah sekali waktu berpihak kepada Arab Qais dan
dilain waktu kepada Arab Yaman. Fanatisme suku dapat dilihat ketika Yazid bin
Abdul Malik mengangkat saudaranya Maslamah sebagai gubernur wilayah setelah
mereka berjasa menumbangkan pemberontakan putera al-Mulahhab, dan juga
mengangkat Umar bin Kubairah yang berasal dari suku Qais, ketika Yazid wafat
dan saudaranya yaitu Hisyam naik tahta maka khalifah baru menilai posisi
orang-orang Qais dalam pemerintahan sudah terlalu kuat hal ini menurut Hisyam
adalah membahayakan kelangsungan pemerintahan Bani Umayyah, kemudian ia
mengambil tindakan dengan cara mengenyahkan orang-orang Qais dari kekuasaan dan
balik berpihak kepada unsur Yamani, ini dimaksudkan agar kedua unsur tersebut
berimbang. Untuk itu ia mengangkat Khalid bin Abdullah al Qasari sebagai
gubernur Irak, dan juga mengangkat saudara Khalid yaitu Asad sebagai gubernur
Khurasan. Dengan demikian kekuatan unsur Yamani kembali berperan dalam kekuatan
unsur Qaisi melemah, kemudian orang-orang dan unsur Yamani bersepakat
menumpahkan balas dendam mereka kepada orang-orang dari unsur Qaisi. Demikianlah
fanatisme suku yang telah mencabik-cabik Dinasti Umayyah. Sehingga Negara
menjadi ajang bagi tumbuhnya fitnah dan kerusuhan dan kemudian keruntuhan
dinasti in terjadi.
c. Terlena dalam Kemewahan, pola hidup sebagian Khalifah dinasti
Umayyah yang sangat mewah dan senang berfoya-foya sebagai warisan pola hidup
para penguasa Bizantium adalah faktor lain yang telah
menanam andil besar bagi keruntuhan dinasti ini. Yazid bin Muawiyah adalah
khalifah dari dinasti Umayyah sangat terkenal dengan pengagum berat wanita,
memlihara para penyanyi wanita, memelihara burung buas, singa padang pasir dan
seorang pecandu minuman keras. Perilaku Yazid bin Abdul Malik juga tidak lebih
baik dari Yazid bin Muawiyyah, ia adalah pemuja wanita dan penggemar pesta
pora. Begitu pula dengan puteranya yaitu al-Walid, ia seorang khalifah yang
sangat senang dengan kehidupan serba mewah dan terlena dengan romantika asmara.
d. Fanatik Arab,
dinasti Umayyah adalah murni daulat Arab, sehingga ia sangat fanatik kepada
bangsa Arab dan kearabannya. Mereka memandang orang non Arab (mawali) dengan
pandangan sebelah mata, sehingga menimbulkan fitnah diantara sesama kaum
muslimin, disamping itu pula telah membangkitkan nasionalisme didalam Islam.
Bibit dari pada gerakan tersebut adalah anggapan bahwa bangsa Arab adalah
bangsa yang paling utama dan paling mulia dan bahasa Arab adalah bahasa yang paling
tinggi dibanding dengan yang lain. Tindakan deskriminatif tersebut telah
membangkitkan kebencian kaum mawali kepada dinasti Umayyah, akhirnya sebagian
kaum tertindas mereka selalu mencari waktu yang tepat untuk melampiaskan
kebenciannya. Mereka menggabungkan diri dengan al-Mukhtar dan kaum Khawarij
untuk bersekutu ditambah dengan propagandis kaum Abassi untuk memberontak dan
menggulingkan Dinasti Umayyah. Sekutu tersebut melakukan gerakan oposisi
terhadap Dinasti Umayyah dengan pimpinan Muhammad bin Ali dan kemudian
dilanjutkan kedua puteranya yaitu Ibrahim dan Abu Abbas yang didukung oleh
masyarakat pendukung Ali di Khurasan. Dibawah pimpinan panglimanya yang
tangkas, yaitu Abu Muslim al Khurasani, gerakan ini dapat menguasai wilayah
demi wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah dan bahkan dalam pertempuran di Zab Hulu
sebelah Mosul, Marwan II khalifah terakhir Dinasti Umayyah dapat dikalahkan,
Marwan II dibunuh di Mesir pada bulan Agustus 750 M dan berakhirlah kekuasaan
Dinasti Umayyah di Damaskus.[28]
Menurut Badri Yatim, secara garis
besar faktor-faktor
yang menyebabkan kemunduran yang berujung pada kehancuran Dinasti Umayyah
adalah:
1)
Perebutan kekuasaan antara keluarga anggota
keluarga istana, pengaturan yang tidak jelas mengenai pergantian khalifah.
Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah merupakan sesuatu
yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
2)
Latar belakang terbentuknya Daulah Bani
Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik yang terjadi pada masa Ali. Sisa-sisa
kaum Syiah (pengikut Ali) dan khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik
secara terbuka seperti dimasa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti
masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan
ini banyak menyedot kekuatan pemerintahan.[29]
3) Pada masa
kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays)
dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin
meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat
kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian
besar golongan mawali, terutama di Irak dan wilayah lainnya merasa tidak puas,
karena status mawali itu menggabambarkan suatu inferioritas, ditambah lagi keangkuhan
bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4) Lemahnya
pemerintahan Daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah
lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat
kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.
5) Penyebab
langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan
baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas Ibn Abd Muthallib. Gerakan ini
mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syiah dan kaum amwali yang
merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[30]
BAB III
KESIMPULAN
Nama dinasti Umayyah dinisbatkan
kepada Umayyah bin Abd Syam bin Abd Manaf. Dinasti Umayyah yang didirikan oleh
Muawiyah bin Abu Sufyan Harb. Selain pendiri Muawiyah juga sebagai khalifah
pertama, dan ia juga memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari kufah ke
Damaskus. Muawiyah juga mengubah yang mula-mula pemimpin Negara dari seorang
yang dipilih oleh rakyat menjadi kekuasaan raja yang diwariskan turun-temurun (monarchy
heredity).
Terbentuknya dinasti Umayyah
merupakan awal gambaran bahwa umat Islam ketika itu telah kembali mendapatkan
identitasnya sebagai Negara yang berdaulat, juga merupakan fase ketiga
kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661-750 M).
perubahan-perubahan yang dilakukan, tidak hanya system kekuasaan Islam dari masa
sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan yang
lain dibidang social politik, keagamaan, intelektual, dan perdaban.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti
Umayyah tidak terlepas dari masa pembentukkannya. Karena masa tersebut merupakan
cikal bakal tumbuh dan berkembangnya beberapa faktor penyebab dan kehancuran
tersebut.
a.
Sistem
penggantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi
tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
b.
Latar
belakang terbentuknya dinasti Umayyah tidak bisa dipisahkan dari
konflik-konflik politik yang terjadi pada masa Ali.
c.
Pada
masa bani Umayyah, pertentang etnis antar suku Arabia (Bani Qays) dan Arabia
Selatan (bani Kalb) yang sudah ada semenjak zaman sebelum Islam makin rucing.
d.
Lemahnya
pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah
dilingkungan istana.
e.
Penyebab
langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan yang
dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd Al Muthalib.
DAFTAR PUSTAKA
M. Ya’kub, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Medan: Perdana
Publishing, 2015)
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 2008)
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Pranada
Media Group)
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan
Sejarahnya,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993)
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta:
Amzah, 2009)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah
II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015),
[1]
M. Ya’kub, dkk,
Sejarah Peradaban Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2015) hal. 64
[2] Ibid, hal. 64
[3] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal.
103
[4] M. Ya’kub,
dkk, Sejarah Peradaban Islam, hal. 65
[5] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hal. 104
[6] Ibid, hal. 104
[7]
M. Ya’kub, dkk,
Sejarah Peradaban Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2015) hal. 67
[9] Ibid, hal. 66
[10] Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Pranada Media Group) hal. 127
[11]
M. Ya’kub, dkk,
Sejarah Peradaban Islam, hal. 72
[12] Ibid, hal. 74
[13]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta:
Amzah, 2009) hal. 133
[14] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
hal.108
[16] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hal. 108
[17]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, hal.
134
[24] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya,(Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1993) hal. 239
[29] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2015), hal. 48
0 Post a Comment:
Posting Komentar