"Dengan membaca kamu mengenal dunia. Dengan Menulis kamu dikenal Dunia."

murevi18.blogspot.com

Senin, 30 April 2018

Peradaban dan Pemikiran Pada Masa Dinasti Umayyah



 BAB I
PEMBAHASAN

      A.    Sejarah Pembentukan Dinasti Umayyah
Dinasti Bani Umayyah diambil dari Umayyah bin Abd Al-Syam, kakek Abu Sufyan. Umayyah segenerasi dengan dengan Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW dan Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, Ali bin Abi Thalib segenerasi pula dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ali bin Abi Thalib berasal dari keturunan Bani Hasyim sedangkan Mu’awiyah berasal dari keturunan Bani Umayyah. Kedua keturunan ini merupakan orang-orang yang berpengaruh dalam suku Quraisy.[1]
Cikal bakal dinasti ini bermula ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai Khalifah menggantikan kedudukan Khalifah Usman bin Affan, salah satu kebijakan awal dari Ali adalah mengambil alihan tanah-tanah dan kekayaan Negara yang telah dibagi-bagikan oleh Usman bin Affan kepada keluarganya dan memecat gubernur-gubernur dan pejabat pemerintahan yang diangkat Usman untuk meletakkan jabatannya, namun Muawiyah Gubernur Syria menolak pemecatan itu sekaligus tidak mau membaiat Ali sebagai Khalifah dan bahkan membentuk kelompok yang kuat dan menolak untuk memenuhi perintah-perintah Ali. Dia berusaha membalas kematian khalifah Usman, atau kalau tidak dia akan menyerang kedudukan khalifah bersama-sama dengan tentara Syiria. Desakan Muawiyah akhirnya tertumpah dalam perang Shiffin.[2] Dalam pertempuran itu hampir-hampir pasukan Muawiyah dikalahkan pasukan Ali, tapi berkat siasat penasehat Muawiyah yaitu Amr bin Ash, agar pasukannya mengangkat mushaf-mushaf Al-Quran diujung lembing mereka, pertanda seruan untuk damai dan melakukan perdamaian (tahkim) dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan Muawiyah.[3]
Bukan saja perang itu berakhir dengan tahkim yang tidak menguntungkan Ali, tapi akibat itu pula kubu Ali sendiri menjadi terpecah yaitu yang tetapi setia kepada Ali disebut Syiah dan yang keluar disebut Khawarij. Sejak peristiwa itu, Ali tidak lagi menggerakkan pasukannya untuk menundukkan Muawiyah tapi menggempur habis orang-orang Khawarij, yang terakhir tejadi peristiwa Nahrawan pada 09 Shafar 38 H, dimana dari 1800 orang Khawarij hanya 8 orang yang selamat jiwanya sehingga 8 orang itu menyebar ke Amman, Kannan, Yaman, Sajisman dan ke Jazirah Arab.[4] Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij  membunuh Khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M/ 41 H dan dikenal dengan am jama’ah karena perjanjian ini dipersatukan umat Islam menjadi satu kepemimpinan politik.[5]
Setelah terjadi kesepekatan antara Hasan bin Ali dengan Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M, maka secara resmi Muawiyah diangkat menjadi khalifah oleh umat Islam secara umum. Pusat pemerintahan Islam dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus. Pemerintahan Muawiyah berubah bentuk dari theo-demokrasi menjadi monarchi (monarki/dinasti) yang berbasis Islam, ini terjadi sejak dia mengangkat anaknya Yazid sebagai putra mahkota. Sejak itulah sistem pemerintahan memakai sistem sistem hingga pada halifah terakhir Marwan bin Muhammad, yang tewas dalam pertempuran melawan pertempuran melawan pasukan Abdul Abbas As-Safah dari Bani Abbas Umayyah pada tahun 750 M. dengan tewasnya Marwan bin Muhammad berakhir dinasti Bani Umayyah dan digantikan oleh Dinasti Abbas. Pola pemerintahan menjadi kerajaan ini terjadi karena pada masa itu, umat Islam telah bersentuhan dengan peradaban Persia dan Bizantium, oleh karena itu, Muawiyah juga bermaksud meniru cara suksesnya kepemimpinan yang ada di Persia dan Bizantium yaitu kerajaan tetapi gelar kepemimpinan tetap menggunakan khalifah dengan makna konotatif yang diperbaharui.[6] 
     B.     Perkembangan Peradaban Islam Periode Dinasti Umayyah
Terbentuknya Dinasti Umayyah merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika itu telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai Negara yang berdaulat, juga merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661-750). Perubahan yang dilakukan tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain dibidang sosial politik, keagamaan, intelektual, dan peradaban. Dalam awal perkembangannya, dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus. Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksitensi dinasti yang telah mendapat legitimasi politik dari masyarakay Syria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering mendapatkan serangan-serangan dari rival politiknya.[7]
Kebijakan-kebijakan pada masa  dinasti Umayyah sebagai berikut:
1.      Sistem pergantian kepala negara bersifat Monarchi. Pemindahan sistem kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan khalifah yang empat, dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan dan musyawarah menjadi kerajaan turun temurun (monarch/heridetis).
   2.  Sistem sosial (Arab dan Mawali). Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan masyarakat secara umum dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga masyarakat secara garis besar terdiri Muslim dan non muslim. Pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang non Arab yang masuk Islam harus mau menjadi pendukung mawali bangsa Arab. Dengan demikian masyarakat muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri dua kelompok, yaitu Arab dan mawali.
   3.  Kebijaksanaan dan Orientasi Politik. Selama kurang lebih 90 tahun Dinasti Umayyah ini memerintah, banyak terjadi kebijaksanaan politik yang dilakukan pada masa ini seperti:
      a.   Pemisahan kekuasaan. Terjadi dikoto antara kekuasaan agama di tunjuklah qadhi/hakim dan kekuasaan politik. Dapat dipahami bahwa Muawiyah bukanlah seorang yang ahli dalam bidang keagamaan sehingga diserahkan kepada para ulama.
      b.   Pembagian wilayah. Khlifah Umar bin Khattab terdapat 8 provinsi, maka pada masa Bani Umayyah menjadi 10 provinsi wilayah kekuasaan terbagi dalam 10 provinsi, yaitu: (1) Syria dan Palestina, (2) Kufah dan Irak, (3) Basrah, Persia, khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan Yamamah, (4) Armenia, (5) Hijaz, (6) Karman dan India, (7) Egypt (Mesir); (8) Ifriqiyah (Afrika); (9) Yaman dan Arab Selatan; (10) Andalusia.[8] 
    4.      Bidang Administrasi Pemerintahan. Dibidang pemerintahan, dinasti Umayyah membentuk semacam Dewan Sekretaris Negara (Diwan al Kitabah) untuk mengurusi administrasi pemerintahan daerah diangkat seorang Amir al-Umara (gubernur Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai satu wilayah. Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan oleh empat deparrtemen pokok (diwan) yaitu:
a.       Diwan ar-Rasail (istilah sekarang disebut dengan sekretaris jenderal) diwan ini mengurus surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-surat dari mereka.
b.      Diwan al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang dikepalai oleh Shahib al-Kharaj diangkat oleh khalifah dan ber tanggung jawab langsung kepada khalifah.
c.       Diwan al-Barid. Merupakan badan intilijen negara yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat.
d.      Diwan al-Katam (Departemen Pencatatan). Setiap peraturan yang di keluarkan oleh khalifah harus disalin didalam suatu register, kemudian yang asli harus disegel dan dikirim kelamat yang dituju.

     5.      Politik Arabisasi, dengan tatanan masyarakat yang homogen tersebut, menimbulkan ambisi penguasa dinasti in untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme. Yaitu membangun Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum muslimin.
Adapun khalifah-khalifah Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1.      Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H/661-680 M
2.      Yazid I bin Muawiyah, 61-64 H/ 680-683 M
3.      Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H/683-684 M
4.      Marwan I bin al Hakam, 65-66 H/684-685 M
5.      Abdul Malik bin Marwan, 66-86 H/ 685-705 M
6.      Al Walid I bin Abdul Malik, 86-97 H/ 705-715 M
7.      Sulaiman bin Abdul Malik, 97-99 H/715-717 H
8.      Umar II bin Abdul Aziz, 99-102 H/ 717-720 M
9.      Yazid II bin Abdul Malik, 102-106 H/720-724 M
10.  Hisyam bin Abdul Malik, 106-126 H/724-743 M
11.  Al Walid II bin Yazid II, 126-127 H/ 743-744 M
12.  Yazid III bin al Walid, 127 H/ 744 M
13.  Ibrahim bin al Walid, 127 H/ 744 M
14.  Marwan II bin Muhammad, 127-133 H/ 744-750 M.[9]
Masa kekhalifahan Bani Umayyah selain banyak diisi dengan program-program besar, mendasar, dan strategis, juga banyak melahirkan golongan dan aliran dalam Islam, serta perkembangan ilmu agama, ilmu umum, kebudayaan, dan peradaban. Diantara program besar, mendasar dan strategis di zaman Bani Umayyah adalah perluasan wilayah Islam.[10]
       1.      Perkembangan Ekonomi
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luasitu, menjadikan orang-orang arab bertempat tinggal didaerah penaklukkan dan bahkan menjadi tuan-tuan tanah. Kepada pemilik tanah diwajibkan oleh Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah, namun pajak kepala berlaku kepada penduduk non Muslim sehingga mengakibatkan banyaknya penduduk masuk Islam, akibatnya secara ekonomi penghasilan Negara berkurang, dengan demikian dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi dinasti ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas Negara. Kebijakan dinasti dibidang ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk lalu lintas darat dan laut, lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagnagan keramik, sutera, obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas laut kearah negeri-negeri belahan untuk mencari rempah-rempah bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading dan bulu-buluan. Keadaan demikian membuat membuat kota basrah dan Aden diteluk Persi menjadi lalu lintas perdagangan dan pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal yang dagang dibawah lindungan armada Islam yang menuju Syria dan Mesir hampir tak pernah putus. Perkembangan perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti Umayyah.
     2.      Perkembangan Sosial
Pada masa Dinasti Umayyah bangsa Arab mendapat posisi terhormat dalam masyarakat. Pada umumnya, bangsa Arab merupakan tuan tanah hasil rampasan perang. Adanya dua kelompok masyarakat yang membangun Daulat Umayyah yakni bangsa arab dan non arab, berpengaruh positif pada motivasi orang-orang non arab untuk memeluk agama Islam. Kebijakan ini juga berpegaruh pada perkembangan dan perluasan pemakaian Bahasa Arab dengan cepat. Salah satu permasalahan yang pantas disebutkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah munculnya penolakan para sahabat terhadap sikap Muawiyah yang mengubah system sukses khalifah dari pemilihan terbuka menjadi kerajaan yang mewariskan tahta kepada keturunan raja.[11]
      3.      Pekembangan Bidang Peradaban
Masa Bani Umayyah ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani Abbas merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa ini ilmu Naqliyah mulai berkembang. Perkembangan yang paling menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu hadits. Dan terjadi pengumpulan hadits pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikumpulkan oleh ‘Ashim al-Anshari. Muncul juga ilmu Nahwu (tata Bahasa arab) sehingga Sibawaihi menyusun kitab untuk mempelajari tata Bahasa Arab.khalifah Muawiyah memerintahkan karya-karya bangsa Yunani yang mengandung berbagai macam ilmu. Dengan demikian umat Islam pada masa ini mulai mengenal ilmu kedokteran, ilmu Kalam, seni bangunan dan sebagainya.[12]
Dinasti Umayyah meneruskan tradisi kemajuan dalam berbagai bidang yang telah dilakukan masa kekuasaan sebelumnya, yaitu pada masa kekuasaan Khulafaur rasyidin. Dalam bidang peradaban Dinasti Umayyah telah menemukan jalan yang lebih luas kearah pengembangan dan perluasan berbagai bidang ilmu penegtahuan, dengan bahasa Arab sebagai media utamanya.[13]
     a.       Penyempurnaan Tulisan Al-Quran
Al-Quran yang telah dikodifikasi pada zaman Abu Bakar dan Utsman bin Affan ditulis tanpa titik (sehingga tidak dapat dibedakan antara huruf fa dengan huruf qaf atau antara huruf ba dengan huruf ta, dan huruf tsa, serta tidak menggunakan baris sehingga tidak dapat dibedakan antara dhammar yang berbunyi u, fathah yang berbunyi a, dan kasrah yang berbunyi i).
Menurut salah satu riwayat, ulama pertama yang memberikan baris dan titik pada huruf-huruf Al-Quran adalah Hasan Al Bashri (642-728 M) atas perintah Abd Malik Ibn Marwan (yang menjadi khalifah antara 685-705 M). Abdul Malik Ibn Marwan menginstruksikan kepada Al-Hajjaj untuk menyempurnakan tulisan Al-Quran , Al Hajjaj meminta Hasan Al Bashri untuk menyempurnakannya dan Hasan Al-Bashri dibantu oleh Yahya Ibn Ya’mura (murid Abu Al Aswad Ad-Duwali). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa yang pertama membuat baris dan titik pada huruf-huruf Al-Quran adalah Abu Al-Aswad ad-Duwali.[14]
     b.      Penulisan Hadits
Ketika kaum muslimin telah berusaha memahami Al-Quran, ternyata ada satu hal yang juga sangat mereka butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi yang disebut dengan hadits. Oleh karena itu, timbullah usaha untuk mengumpulkan hadits, menyelidiki asal-usulnya, sehingga akhirnya menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan ilmu hadits.[15]
Umar ibn Abdul Aziz adalah khalifah yang memelopori penulisan (tadwin) hadis. Beliau memerintahkan kepada Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Amr hajm (120 H), gubernur Madinah untuk menuliskan hadis yang ada dalam hafalan-hafalan penghafal hadits, Umar Ibn Abd Aziz menulis surat sebagai berikut:
“Periksalah hadis Nabi Muhammad SAW, dan tuliskanlah karena aku khawatir bahwa ilmu (hadis) akan lenyap dengan meninggalnya ulama dan tolaklah hadis, selain dari Nabi Muhammad SAW, hendaklah hadis disebarkan dan diajarkan dalam majelis-majelis sehingga orang-orang yang tidak mengetahui menjadi mengetahuinya, sesungguhnya hadis itu tidak akan rusak sehingga disembunyikan (oleh ahlinya).[16]
Atas perintah khalifah, pengumpulan hadis dilakukan oleh ulama. Diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zahri (guru imam Malik). Akan tetapi, buku hadis yang dikumpulkan oleh imam Az-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai kepada kita.
     c.       Pengembangan bahasa Arab
Para penguasa Dinasti Umayyah telah menjadikan Islam sebagai daulah (negara), kemudian dikuatkannya dengan dikembangkanlah bahasa Arab dalam wilayah kerajaan Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dalam tata usaha negara dan pemerintahan sehingga pembukuan dan surat-menyurat harus menggunakan bahasa Arab, yang sebelumnya menggunakan bahasa Romawi atau bahasa Persia di daerah-daerah bekas jajahan mereka dan Persia sendiri.
    d.      Marbad Kota Pusat Kegiatan Ilmu
Dinasti Umayyah juga mendirikan sebuah kota kecil sebagai pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan itu dinamakan Marbad, kota satelit dari Damaskus. Dikota inilah berkumpul para pujangga, filsuf, ulama, penyair, cendikiawan lainnya, sehingga kota ini diberikan gelar ukadz nya Islam. Pada masa Dinasti Umayyah ini lahir para ahli qiraat ternama seperti Abdullah bin Qusair (w 120 M) dan Ashim bin Abi Nujud (w 127).
    e.       Ilmu Tafsir
Untuk memahami Al-Quran sebagai kitab suci diperlukan interprestasi pemahaman komprehensif. Minat untuk menafsirkan Al-Quran dikalangan umat Islam bertambah. Pada masa perintisan ilmu tafsir, ulama membukukan ilmu tafsir yaitu Mujahid (w 104 M).[17]
    f .       Ilmu Fiqih
Setelah Islam menjadi daulah, maka para penguasa sangat membutuhkan adanya aturan-aturan untuk menjadi pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mereka kembali kepada Al-Quran dan hadis dan mengeluarkan syariat Islam dari kedua sumber tersebut untuk mengatur pemerintahan dan memimpin rakyat. Al-Quran adalah dasar fiqh Islam, dan pada zaman ini ilmu fiqh telah menjadi sutu cabang ilmu syariat yang berdiri sendiri. Diantara ahli fiqh yang terkenal adalah Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin Abdurrahman, Qasim Ubaidillah, Urwah, dan Kharijah.
    g.      Ilmu Jughrafi dan Tarikh
Jughrafi dan Tarikh pada masa Dinasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu sendiri. Demikian pula ilmu tarikh (ilmu sejarah), baik sejarah umum maupun sejarah Islam pada khususnya. Adanya pengembangan dakwah Islam kedaerah-daerah baru yang luas dan jauh menimbulkan gairah untuk mengarang ilmu jughrafi (ilmu bumi atau geografi), demikian pula ilmu tarikh. Ilmu jughrafi dan ilmu tarikh lahir pada masa Dinasti Umayyah, barulah berkembnag menjadi suatu ilmu yang betul-betul berdiri sendiri pada masa ini.
     h.      Usaha Penerjemahan
Untuk kepentingan pembinaan dakwah Islamiyah, pada masa Dinasti Umayyah dimulai pula penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain kedalam bahasa Arab. Dengan demikian, jelaslah bahwa gerekan penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanay baru berkembang secara pesat pada zaman Dinasti Abbasiyah. Adapun yang mula-mula melakukan penerjemahan yaitu Khalid bin Yazid, seorang pangeran yang cerdas dan ambisius. Didatangkannyalah ke Damaskus para ahli ilmu pengetahuan yang melakukan penerjemahan dari berbagai bahasa. Maka diterjemahkanlah buku-buku tentang ilmu kimia, ilmu astronomi, dan lain sebagainya. Demikianlah berbagai kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Umayyah yang telah berkembangpesat sebagai embrio perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman dinasti Abbasiyah.[18]
Pendidikan pada masa Bani Umayyah secara eksplisit tidak dijumpai. Namun dari berbagai petunjuk bisa diketahui bahwa visinya adalah unggul dalam ilmu agama dan umum sejalan dengan kebutuhan zaman dan amsing-masing wilayah Islam. Misinya adalah: 1) menyelenggarakan pendidikan agama dan umum secara seimbang; 2) melakukan penataan kelembagaan dan aspek-aspek pendidikan Islam; 3) memberikan pelayanan pada seluruh wilayah Islam secara adil dan merata, 4) menjadikan pendidikan sebagai penopang utama kemajuan wilayah Islam; 5) memberdayakan masyarakat agar dapat memcahkan masalahnya sesuai dengan kemampuannya sendiri.
Adapun tujuannya adalah menghasilkan sumber daya manusia yang unggil secara seimbang dalam ilmu agama dan umum serta mampu menerapkannya bagi kemajuan wilayah Islam. Sedangkan yang menjadi sasarannya adalah seluruh umat atau warga yang terdapat diseluruh wilayah kekuasaan Islam, sebagai dasar bagi dalam dirinya dalam membangun masa depan yang lebih baik. Visi, misi, tujuan dan sasaran pendidikan tersebut diatas, secara eksplisit atau tertulis tentu belum ada. Namun dari segi kebijakannya secara umum serta hasil-hasil yang dicapai oleh dinasti ini mengandung visi, misi, tujuan dan sasaran tersebut diatas.[19]
Kurikulum pendidikan pada dinasti Umayyah meliputi: (a) ilmu agama : Al-Quran, Hadits dan Fikih. Sejarah mencatat, bahwa pada masa khalifah Umar bin Abd Aziz dilakukan proses pembukuan hadis, sehingga studi hadis mengalami perkembangan yang pesat; (b) ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah dan riwayat, (c) ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahu, saraf, dan lain-lain; dan (d) filsafat, yaitu ilmu yang pada umunya berasal dari bahasa aing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan hal tersebut, serta ilmu kedokteran.
Kurikulum pelajaran ini selanjutnya diatur lebih khusus pada setiap lembaga pendidikan. Untuk pendidikan di istana misalnya diajarkan Al-Quran, Hadits, Syair-syair yang terhormat, riwayat para hukama (filsuf), membaca, emnulis, berhitung, dan ilmu-ilmu umum lainnya. Lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang pada zaman Dinasti Umayyah, selain masjid, kuttab, dan rumah sebagaimana yang ada telah sebelumnya, juga ditambah dengan lembaga pendidikan seperti: Istana, Badiah, Perpustakaan, Al-Bimaristan.[20]
 
      4.      Perkembangan Intelektual dan Keagamaan
Di zaman pemerintahan Abdul Malik banyak Bahasa yang digunakan dalam administrasi, seperti Bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun atas usaha Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al-Hajjaj, ia mencoba menjadikan Bahasa Arab sebagai Bahasa adminstrasi dan Bahasa resmi diseluruh negeri sehingga perhatian dan upaya penyempurnaan pengetahuan tentang Bahasa Arab mendorong lahirnya ahli Bahasa yaitu Sibawaihi dengan karya tulisnya al-kitab menjadi pegangan dalam soal tata Bahasa Arab.
Dalam bidang keagamaan, pada masa Bani Umayyah ditandai dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang bercorak politik ideologis. Mereka itu antara lain golongan Syi’ah, Khawarij dengan berbagai sektenya: Azariqah, Najdat Aziriyah, Ibadiyah, Ajaridah dan Shafariyah, golongan Mu’tazilah, Maturidiyah, Asy’ariyah, Qadariyah, dan Jabariyah. Berbagai aliran dari berbagai golongan keagamaan ini terkadang melakukan gerakan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.
Aliran-aliran keagamaan pada masa Bani Umayyah sebagai berikut:
     a.       Khawarij adalah kaum yang mendesak Ali untuk menghentikan peperangan pada perang Shiffin dan menjalakkan proses hukum melalui Al-Quran. Namun, kemudian menolak hasil perundingan antara pihak Ali dan Muawiyah. Setelah itu, mereka melakukan pemberontakan di Harura dan melakukan kerusakan di muka bumi. Mereka dibinasakan oleh Ali bin Abi Thalib dalam perang Nahrawand, namun masih banyak yang tersisa dikalangan pasukannya. Salah seorang diantara merekaberhasil membunuh Ali. Pada masa pemerintahan Muawiyah mereka melakukan beberapa kali pemberontakan di Kuffah dan bashrah, hingga kembali melakukan mereka dihancurkan oleh gubernur Bashrah saat itu, yaitu Ziyad Ibnu Abihi dan anaknya Abdullah bin Ziyad. Mereka adalah dua orang yang sangat keras terhadap mereka. Orang-orang Khawarij adalah manusia-manusia kampungan yang yang kaku, keras kepala, dan menginginkan manusia hanya ada dalam dua kubu, yaitu kafir dan mukmin. Barangsiapa yang sesuai dengan pandangan-pandangannya, ia dianggap mukmin; dan barang siapa yang dianggap tidak sesuai dengan pandangannya, ia akan dianggap orang kafir. Mereka menuduh Utsman, Ali, dan Muawiyah sebagai orang kafir. Mereka selalu memerangi siapa saja yang tidak berada di dalam jamaah mereka dan menghalalkan darah kaum muslimin. Mereka adalah manusia-manusia yang sering menimbulkan bencana.
Bagi Khawarij, menyelesaikan sengketa bukan dengan hukum Allah adalah pengingkaran; dan dalam pandangan mereka, tahkim yang dilakukan antara pihak Ali r.a, dengan Muawiyah dilakukan tanpa hukum Allah. Oleh karena itu, Ali Ibn Abi Thalib dan Muawiyah dianggap melakukan dosa besar; dan mereka berpendapat bahwa hukum membelot dari pemimpin yang menyalahi Sunnah Nabi Muhammad SAW adalah wajib. Lebih dari itu, Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar, termasuk para sahabat Nabi Muhammad SAW seperti Ali r.a, Muawiyah, Amr bin Al Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari akan ditempatkan dineraka selamanya.[21]
     b.      Murji’ah, secara bahasa, murjiat berasal dari kata al-irja (mengakhirkan, al-ta’akhir atau memberi harapan (i’ta al-‘aja’). Arti pertama relevan dengan Khawarij karena adagium yang mereka gunakan, yaitu maksiat tidak akan merusak iman, dan taat tidak akan bermanfaat bagi kekafiran. Makna kedua relevan dengan Khawarij karena mereka tidak mau menentukan hukum bagi yang melakukan dosa besar di dunia ini apakah ia akan ditempatkan disurga atau dineraka dan sebagai antitesis dari Syiah yang menempatkan Ali sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW pada deraja yang paling tinggi dan nomor satu, Murji’ah juga berarti kelompok yang menempatkan Ali r.a  pada urutan ke empat. Diantara gagasannya yang terpenting adalah bahwa mukmin yang melakukan maksiat akan disiksa oleh Allah diakhirat nanti, dan setelah disiksa, mereka akan ditempatkan disurga.[22]

         C.    Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Umayyah
Dinasti yang didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan ini, dari beberapa Khalifah yang memegang kekuasaan, hanya beberapa orang saja yang dianggap berhasil dalam menjalankan roda pemerintahannya antara lain: Muawiyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, al-Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik, selain mereka itu merupakan khalifah yang lemah. Dinasti ini mencapai puncaknya pada masa al-Walid I bin Abdul Malik dan kemudian akhirnya menurun dan kekuasaan mereka direbut oelh Bani Abbasiyah pada tahun 750 M. [23]
Banyak sebab yang turut mengakibatkan jatuhnya Bani Umayyah. Menurut Ibnu Khaldun, mundurnya suatu dinasti adalah suatu gejala alamiah sejarah. Usia efektif suatu imperium dinasti tidak bisa lebih dari pada jangka usia manusia. Dan masa 100 tahun pada umumnya merupakan waktu yang paling lama yang dapat diharapkan bagi usia manusia. Bentuk alamiah ini hanya dapat dihindari dengan pembaharuan yang seksama. Dinasti Umayyah telah hidup kira-kira 90 tahun, dan keluarga itu telah memburuk sehingga sama sekali tidak mungkin diperbaiki.[24]
Muawiyah mengesampingkan prinsip pemilihan, dan menyatakan Yazid sebagai putra mahkotanya. Republikanisme diganti dengan monarki turun temurun. Prinsip Islam bahwa kepala negara harus dipilih oleh rakyat, tidak dijalankan. Dengan demikian, bani Umayyah kehilangan dukungan penuh dan kerjasama dari rakyat.
Kelemahan keluarga yang memerintah itu merupakan sebab pertama dan terpenting bagi kejatuhan dinasti Umayyah. Diantara para khalifahnya, kecuali Muawiyah, Abdul Malik, Walid I, dan Umar II, semua yang lain dan lemah dan tidak mampu. Hisyam adalah negarawan yang kelima dan terakhir yang besar dari Umayyah. Keempat penggantinya ternyata tidak mampu jika dikatakan tidak bermoral dan merosot akhlaknya. Harta kekayaan yang melimpah dan jumlah budak yang berlebihan, mereka menjadi tidak mengenal kendali. Bahkan keluarga yang memerintah tidak lagi dapat membanggakan darah Arabnya yang murni. Keburukan yang khas, terutama yang menyangkut minuman keras, perempuan, dan nyanyian, telah menguasai putra-putra padang pasir itu, dan mulai melemahkan semangat hidup masyarakat Arab yang masih muda itu.[25]
Kelalaian di dalam urusan administratif dan tidak adanya perhatian kepada tugas-tugas negarapada banyak khalifah bani Umayyah membuat pemerintahan bani Umayyah sangat tidak disukai. Para pejabatnya banyak yang korup dan mementingkan diri sendiri. Para Khalifah mempercayakan tugas kenegaraan mereka kebanyakan kepada pejabat-pejabat bangsawan-bangsawan yang mementingkan diri sendiri dan korup, yang lebih memperhatikan kepentingan mereka sendiri, sedangkan kepentingan rakyat dan negara diabaikan. Sebagai akibatnya, pemerintahan menjadi lamban dan tidak efisisen.
Persaingan antar suku yang sudah lama, memperlemah dinasti Umayyah. Untuk sementara Islam mempersatukan suku-suku Arab yang suka berperang, tetapi permusuhan antar suku yang lama mulai memperlihatkan diri lagi. Suku-suku Arabia terbagi kedalam dua kelompok, yaitu bangsa Arab sebelah utara disebut Mudhariyah, yang pada umumnya bertempat tinggal dia Irak, dan bangsa Arab sebelah selatan atau Yamaniayah (Himyariyah), yang terutama bertempat tinggal di Siria. Khalifah-khalifah Umayyah mendukung salah satu kelompok bangsa Arab melawan yang lain, menurut mana yang cocok bagi mereka. Kebijakan ini mengguncangkan seluruh imperium Arab kedalam rangkaian pertengkaran berdarah diantara kedua kelompok itu. Polarisasi dunia Islam dengan dualisme kedua kelompok ini mempercayai jatuhnya dinasti Umayyah.[26]
Penentangan kaum Syi’ah juga merupakan faktor yang tidak kurang pentingnya. Mereka tidak pernah melupakan tragedi Karbala dan keditak acuhan serta perlakuan kejam terhadap keluarga Nabi. Kutukan terhadap Ali di dalam khutbah-khutbah dan propaganda anti bani Ali memperkuat gerakan anti-Umayyah. Kaum Syi’ah memperoleh simpati rakyat karena kecintaan mereka yang sepenuh hati terhadap keturunan Nabi.[27]
Hasan Ibrahim Hasan menyatakan ada beberapa factor yang menyebabkan keruntuhan Dinasti Umayyah antara lain sebagai berikut:
     a.       Pengangkatan dua Putra Mahkota, perubahan sister kekuasaan, dari sistem demokrasi kepada monarchi yang dirintis Muawiyah bin Abu Sofyan, berakibat pada tumbuhnya bibit permusuhan dan persaingan antara sesama keluarga dinasti dan ditambah dengan langkah pengangkatan dua dua putera yang diberi mandat, agar putera mahkota yang kedua sebagai pelanjut sesudah yang pertama. Langkah ini tidak hanya menjadi permusuhan dan persaingan diantara sesama anggota keluarga tetapi juga merambat masuk dilingkungan para panglima dan pejabat.
     b.      Munculnya Fanatisme Suku, setelah Yazid bin Muawiyyah meninggal, fanatisme suku menyebar di tengah-tengah kabilah Arab namun belum sampai membahayakan kekuatan Bani Umayyah dari rongrongan kekuatan lain yang menginginkan kehancurannya sebagai pemegang supremasi politik umat Islam. Kondisi tersebut masih dapat dikendalikan terlebh dengan tampilnya Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah, ia seorang yang saleh dan adil. Dalam masa pemerintahannya diisi dengan memperbaiki kerusakan yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah sebelumnya, sehingga legalitas kepemimpinannya diakui dan diterima oleh semua pihak yang tidak mengakui pemerintahan Bani Umayyah. Ia terbebas dari fanatisme suku, karena ia tidak mengangkat seorang menjadi gubernur melainkan berdasarkan kecakapan dan keadilan yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Nanun ketika Umar bin Abdul Aziz wafat, dan kekhalifahan dipegang Yazid bin Abdul Malik, saat itu fitnah dan perselisihan diantara bangsa Arab utara (Arab Mudhar)/ suku Qais dengan Arab Selatan (Arab Yaman)/ Bani Kalb memanas, yang kemudian terjadi perang Murj Rahith, yang mengakibatkan terbunuhnya al-Mulahhab bin Abu Shufrah dari Arab Yaman, ia seorang yang telah mengabdi seluruh hidup potensinya pada Bani Umayyah, yaitu pembelaannya dalam perang al-Azariqah menghadapi kaum khawarij, berjuang memerangi penduduk Khurasan dan al-Khazar serta orang-orang Turki.sepeninggalan al-Mulahhab, tampillah puteranya yang menjadi perhatian dan tumpuan pihak Arab Yamani untuk merongrong kedaulatan kedaulatan Dinasti Umayyah. Namun demikian Bani Umayyah sekali waktu berpihak kepada Arab Qais dan dilain waktu kepada Arab Yaman. Fanatisme suku dapat dilihat ketika Yazid bin Abdul Malik mengangkat saudaranya Maslamah sebagai gubernur wilayah setelah mereka berjasa menumbangkan pemberontakan putera al-Mulahhab, dan juga mengangkat Umar bin Kubairah yang berasal dari suku Qais, ketika Yazid wafat dan saudaranya yaitu Hisyam naik tahta maka khalifah baru menilai posisi orang-orang Qais dalam pemerintahan sudah terlalu kuat hal ini menurut Hisyam adalah membahayakan kelangsungan pemerintahan Bani Umayyah, kemudian ia mengambil tindakan dengan cara mengenyahkan orang-orang Qais dari kekuasaan dan balik berpihak kepada unsur Yamani, ini dimaksudkan agar kedua unsur tersebut berimbang. Untuk itu ia mengangkat Khalid bin Abdullah al Qasari sebagai gubernur Irak, dan juga mengangkat saudara Khalid yaitu Asad sebagai gubernur Khurasan. Dengan demikian kekuatan unsur Yamani kembali berperan dalam kekuatan unsur Qaisi melemah, kemudian orang-orang dan unsur Yamani bersepakat menumpahkan balas dendam mereka kepada orang-orang dari unsur Qaisi. Demikianlah fanatisme suku yang telah mencabik-cabik Dinasti Umayyah. Sehingga Negara menjadi ajang bagi tumbuhnya fitnah dan kerusuhan dan kemudian keruntuhan dinasti in terjadi.
    c.       Terlena dalam Kemewahan, pola hidup sebagian Khalifah dinasti Umayyah yang sangat mewah dan senang berfoya-foya sebagai warisan pola hidup para penguasa Bizantium adalah faktor lain yang telah menanam andil besar bagi keruntuhan dinasti ini. Yazid bin Muawiyah adalah khalifah dari dinasti Umayyah sangat terkenal dengan pengagum berat wanita, memlihara para penyanyi wanita, memelihara burung buas, singa padang pasir dan seorang pecandu minuman keras. Perilaku Yazid bin Abdul Malik juga tidak lebih baik dari Yazid bin Muawiyyah, ia adalah pemuja wanita dan penggemar pesta pora. Begitu pula dengan puteranya yaitu al-Walid, ia seorang khalifah yang sangat senang dengan kehidupan serba mewah dan terlena dengan romantika asmara.
    d.      Fanatik Arab, dinasti Umayyah adalah murni daulat Arab, sehingga ia sangat fanatik kepada bangsa Arab dan kearabannya. Mereka memandang orang non Arab (mawali) dengan pandangan sebelah mata, sehingga menimbulkan fitnah diantara sesama kaum muslimin, disamping itu pula telah membangkitkan nasionalisme didalam Islam. Bibit dari pada gerakan tersebut adalah anggapan bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang paling utama dan paling mulia dan bahasa Arab adalah bahasa yang paling tinggi dibanding dengan yang lain. Tindakan deskriminatif tersebut telah membangkitkan kebencian kaum mawali kepada dinasti Umayyah, akhirnya sebagian kaum tertindas mereka selalu mencari waktu yang tepat untuk melampiaskan kebenciannya. Mereka menggabungkan diri dengan al-Mukhtar dan kaum Khawarij untuk bersekutu ditambah dengan propagandis kaum Abassi untuk memberontak dan menggulingkan Dinasti Umayyah. Sekutu tersebut melakukan gerakan oposisi terhadap Dinasti Umayyah dengan pimpinan Muhammad bin Ali dan kemudian dilanjutkan kedua puteranya yaitu Ibrahim dan Abu Abbas yang didukung oleh masyarakat pendukung Ali di Khurasan. Dibawah pimpinan panglimanya yang tangkas, yaitu Abu Muslim al Khurasani, gerakan ini dapat menguasai wilayah demi wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah dan bahkan dalam pertempuran di Zab Hulu sebelah Mosul, Marwan II khalifah terakhir Dinasti Umayyah dapat dikalahkan, Marwan II dibunuh di Mesir pada bulan Agustus 750 M dan berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus.[28]
Menurut Badri Yatim, secara garis besar faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran yang berujung pada kehancuran Dinasti Umayyah adalah:
     1)      Perebutan kekuasaan antara keluarga anggota keluarga istana, pengaturan yang tidak jelas mengenai pergantian khalifah. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
      2)      Latar belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik yang terjadi pada masa Ali. Sisa-sisa kaum Syiah (pengikut Ali) dan khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti dimasa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintahan.[29]
      3)      Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali, terutama di Irak dan wilayah lainnya merasa tidak puas, karena status mawali itu menggabambarkan suatu inferioritas, ditambah lagi keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
     4)      Lemahnya pemerintahan Daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.
      5)      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas Ibn Abd Muthallib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syiah dan kaum amwali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[30]




BAB III
KESIMPULAN
Nama dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syam bin Abd Manaf. Dinasti Umayyah yang didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan Harb. Selain pendiri Muawiyah juga sebagai khalifah pertama, dan ia juga memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari kufah ke Damaskus. Muawiyah juga mengubah yang mula-mula pemimpin Negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat menjadi kekuasaan raja yang diwariskan turun-temurun (monarchy heredity).
Terbentuknya dinasti Umayyah merupakan awal gambaran bahwa umat Islam ketika itu telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai Negara yang berdaulat, juga merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661-750 M). perubahan-perubahan yang dilakukan, tidak hanya system kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan yang lain dibidang social politik, keagamaan, intelektual, dan perdaban.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Umayyah tidak terlepas dari masa pembentukkannya. Karena masa tersebut merupakan cikal bakal tumbuh dan berkembangnya beberapa faktor penyebab dan kehancuran tersebut.
a.       Sistem penggantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
b.      Latar belakang terbentuknya dinasti Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi pada masa Ali.
c.       Pada masa bani Umayyah, pertentang etnis antar suku Arabia (Bani Qays) dan Arabia Selatan (bani Kalb) yang sudah ada semenjak zaman sebelum Islam makin rucing.
d.      Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana.
e.       Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd Al Muthalib.
DAFTAR PUSTAKA
M. Ya’kub, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2015)
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Pranada Media Group)
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993)
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Amzah, 2009)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015),


[1] M. Ya’kub, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2015) hal. 64
[2] Ibid, hal. 64
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 103
[4] M. Ya’kub, dkk, Sejarah Peradaban Islam, hal. 65
[5] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hal. 104
[6] Ibid, hal. 104
[7] M. Ya’kub, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2015) hal. 67
[8] Ibid, hal. 68
[9] Ibid, hal. 66
[10] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Pranada Media Group) hal. 127
[11] M. Ya’kub, dkk, Sejarah Peradaban Islam, hal. 72
[12] Ibid, hal. 74
[13] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Amzah, 2009) hal. 133
[14] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal.108
[15] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Amzah, 2009) hal. 134
[16] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hal. 108
[17] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, hal. 134
[18] Ibid, hal. 136
[19] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Pranada Media Group) hal. 132
[20] Ibid, hal. 134
[21] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 110
[22] Ibid, hal. 111
[23] M. Ya’kub, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2015) hal. 74
[24] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993) hal. 239
[25] Ibid, hal. 240
[26] Ibid, hal. 242
[27] Ibd, hal. 242
[28] M. Ya’kub, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2015) hal. 77
[29] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015), hal. 48
[30] Ibid, hal. 49
Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar

Pengikut

Definition List

Unordered List

Support