PEMBENTUKAN KARAKTER
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan (virtues) yang diyakininya dan digunakannya sebagai
landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Ada beberapa
cara dalam proses pembentukan karakter pada anak diantaranya adalah dengan
memberikan pendidikan karakter di sekolah , mengenalkan dan membiasakan hal-hal
positif pada anak dalam lingkup kluarga dan memberikan pengarahan atau
pengertian tentang hal- hal positif yang bisa diterapkan dan dilakukan dalam
lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, untuk membentuk/membangun karakter
positif pada anak diperlukan upaya terencana dan sungguh-sungguh diterapkan
yang dikenal sebagai pendidikan karakter. Ada beberapa proses untuk terjadinya
pembentukan yaitu pengenalan, pemahaman, penerapan, pengulangan / pembiasaan,
pembudayaan, internalisasi menjadi karakter.
A.
PENGERTIAN
PROSES PEMBENTUKAN KARAKTER
Karakter
merupakan akar kata dari bahasa latin yang berarti dipahat. Kehidupan seperti
balok besi, bila dipahat dengan penuh kehati- hatian akan menjadi sebuah karya
besar yang mengagumkan. Sama halnya dengan karakter anak, apabila kita
mengarahkan dan menbentuk karakter pada anak dengan penuh kehati-hatian dan
dengan cara yang tepat maka akan dihasilkan karakter anak yang baik pula. Maka
dari itu, karakter merupakan kualitas atas kekuatan mental atau moral, akhlak
atau budi pekerti seseorang yang menjadi kepribadian khusus sebagai pendorong
dan penggerak serta membedakannya dengan yang lain.
Merupakan usaha atau suatu proses yang
dilakukan untuk menanamkan hal positif pada anak yang bertujuan untuk membangun
karakter yang sesuai dengan norma , dan kaidah moral dalam bermasyarakat. Ada
tiga faktor yang sangat penting dalam proses pembentukan karkter anak yaitu
faktor pendidikan (sekolah), lingkungan masyarakat, dan lingkungan keluarga.
Dalam upaya mendidik karakter anak, maka harus
disesuaikan dengan dunia anak tersebut. Selain itu juga harus disesuaikan
sengan pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Melalui pendidikan keluarga,
sekolah, dan lingkungan sosial anak bisa mengetahui dan mengembangkan karakter
yang ia miliki. Sehingga, dalam hal ini ketiga lingkungan tersebut haruslah
menjadi lingkungan yang baik dan positif, terutama lingkungan keluarga.
Keluarga merupakan dunia pertama yang akan ditemui dan di alami anak. Maka dari
itu, orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter
anak. Pendidikan Agama merupakan pendidikan terpenting yang harus diajarkan dan
ditanamkan kepada anak sejak dini. Karena agama sebagai unsur esensi dalam
kepribadian manusia dapat memberikan peranan positif dalam perjalanan kehidupan
manusia, selain kebenarannya masih dapat diyakini secara mutlak. Pendidikan
agama berperan sebagai pengendali dan pengontrol tingkah laku atau perbuatan
yang terlahir dari sebuah keinginan yang berdasarkan emosi. Jika pendidikan agama
sudah terbiasa dijadikannya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari dan
sudah ditanamkannya sejak dini, maka tingkah lakunya akan lebih terkendali dan
terkontrol.
B.
PEMBENTUKAN
KARAKTER DI SEKOLAH
Dalam lingkungan sekolah seorang figur yang
berperan penting dalam pembentukan karakter seorang anak adalah guru. Guru
merupakan salah satu komponen yang vital dalam proses pendidikan. Hal tersebut
dikarenakan proses pendidikan tanpa adanya guru akan menghasilkan hasil yang
tidak maksimal. Fungsi guru bukan hanya sekedar tenaga pengajar tetapi juga
merupakan tenaga pendidik. Mendidik dalam moral dan kualitas peserta didiknya.
Di sekolah, pendidikan karakter juga hendaknya diwujudkan dalam setiap proses
pembelajaran, seperti pada metode pembelajaran, muatan kurikulum, penilaian dan
lain-lain. Selain itu di sekolah juga diajarkan beberapa macam hal yang dapat
membentuk karakter pada anak diantaranya adalah tentang pendidikan religius,
kedisiplinan, toleransi, jujur dan semangat kebangsaan. Semua hal tersebut diajarkan
demi terciptanya seorang anak yang berkarakter positif dalam dirinya.
C.
PEMBENTUKAN
KARAKTER DI LINGKUNGAN MASYARAKAT
Lingkungan adalah salah satu tempat yang
menentukan proses pembentukan karakter diri seseorang. Lingkungan yang positif
bisa membentuk diri seseorang menjadi pribadi berkarakter positif, sebaliknya
lingkungan yang negatif dan tidak sehat bisa membentuk pribadi yang negatif
pula. Lingkungan memiliki peran yang sangat penting dalam membangun
karakter-karakter individu yang ada di dalamnya. Seorang anak kecil yang
terbiasa berkata kotor, tentu saja ia meniru dari sekitarnya. Hal itu terjadi
karena hasil meniru dari lingkungannya. Untuk mengatasinya, lebih baik dengan
cara mengatasi dari sumber masalahnya.
Lingkungan yang berkarakter sangatlah penting
bagi perkembangan individu. Lingkungan yang berkarakter adalah lingkungan yang
mendukung terciptanya perwujudan nilai-nilai karakter dalam kehidupan, sepeti
karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran
/ amanah, diplomatis, hormat dan santun, dermawan, suka tolong-menolong, gotong
royong / kerjasama dan lain-lain. Karakter tersebut tidak hanya pada tahap
pengenalan dan pemahaman saja, namun menjadi kebiasaan dalam kehidupan
sehari-hari. Sangat susah membentuk lingkungan yang berkarakter. Semua itu
harus dimulai dari diri sendiri yang selanjutnya diteruskan dalam
lingkungan keluarga. Diri sendiri harus dibenahi terlebih dahulu sebelum
membenahi orang lain. Biasakan membangun pola pikir positif, melakukan
kebiasaan-kebiasaan yang baik, membangun karakter diri yang pantang menyerah.
D.
PEMBENTUKAN
KARAKTER DALAM KELUARGA
Dalam keluarga yang berperan penting dalam
proses pembentukan karakter pada anak adalah orang tua dan yang paling dominan
adalah ayah atau kepala keluarga yang berkewajiban mempin dalam suatu keluarga.
Dalam kehidupan keluarga kita harus membiasakan menerapkan nilai-nilai
kebiaasaan-kebiasaan positif yang pada akhirnya akan diteruskan oleh si anak
pada lingkungan sosial yang lebih besar, yakni di sekolah dan masyarakat. Dalam
keluarga kita dapat menanamkan sikap jujur dan terbuka pada anak, memberi
kesempatan anak berpendapat dalam menentukansebuah pilihan, mengajak anak
berunding, dan mengajak anak untuk ikut berbagi peran dalam menyelesaikan
pekerjaan rumah tangga. Hal itu bagian dari proses membangun karakter anak.
Saling tolong-menolong sesama anggota keluarga. Membiasakan anak mengeksplor
dirinya. Memberi kesempatan pada anak untuk mengambil keputusan untuk dirinya.
Pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anak hendaknya berorientasi
pada kebutuhan anak sebagai makhluk biopsikososialreligius serta menggunakan
cara-cara yang sesuai dengan perkembangan anak, baik perkembangan
fisik-biologisnya, perkembangan psikisnya, perkembangan sosial serta
perkembangan religiusitasnya. Selain itu dalam keluarga harus dilakukan
pembiasaan sifat – sifat atau sikap – sikap yang baik yang diperoleh dalam
lingkungan sekolah atau masyarakat yang dapat membentuk karakter anak. Cara
yang lain yang dapat dilakukan adalah dengan metode belajar pengalaman (experiential
learning). Salah satu contoh pembiasaan sederhana membentuk karakter anak
dalam keluarga adalah dengan mengajarkan pembiasaan berdoa sebelum melakukan
suatu hal contohnya ketika akan makan, tidur, dll. Pada intinya keluarga adalah
lingkungan yang sangat penting dalam perkembangan pembentukan karakter pada
anak ketika anak sudah tidak dalam lingkungan sekolah atau masyarakat.
E.
PROSES
PEMBENTUKAN KARAKTER
a.
Pengenalan
Pengenalan merupakan tahap pertama dalam proses
pembentukan karakter. Untuk seorang anak, dia mulai mengenal berbagai karakter
yang baik melalui lingkungan keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan
pertama tempat anak belajar dan membentuk kepribadiannya sejak kecil. Apabila
anggota keluarga memberi contoh yang baik, maka anak juga akan meniru perbuatan
yang baik pula. Akan tetapi, apabila keluarga memberi contoh yang tidak baik
maka anak juga akan meniru yang tidak baik pula. Misalnya, orang tua memberi
contoh selalu disiplin dan tepat waktu dalam segala hal, maka secara tidak
langsung si anak akan meniru dan melakukan hal yang sama seperti orang tuanya,
selalu tepat waktu dan bersikap disiplin dalam segala hal. Akan tetapi apabila
orang tua memberi contoh kepada anak untuk selalu menunda-nunda pekerjaan, maka
anak juga akan selalu menunda-nunda apa yang akan ia kerjakan. Maka dari itu
keluarga mempunyai peran penting dalam perkembangan kepribadian anak. Melalui
tahap inilah seorang anak akan mengenal kebiasaan.
b.
Pemahaman
Tahap pemahaman berlangsung setelah tahap
pengenalan. Setelah anak mengenal dan melihat orang tuanya selalu disiplin dan
tepat waktu, bangun pagi pukul lima, selalu sarapan setiap pagi, berangkat ke
sekolah atau kerja tepat waktu, pulang sekolah atau kerja tepat waktu, dan
shalat lima waktu sehari dengan waktu yang tepat dan sebagainya, maka anak akan
mencoba berpikir dan bertanya, “Mengapa kita harus melakukan semuanya dengan
baik dan tepat waktu?” Setelah anak bertanya mengenai kebiasaan orang tuanya,
kemudian orang tuanya menjelaskan, “Apabila kita melakukan sesuatu dengan tepat
waktu maka berarti kita menghargai waktu yang kita miliki, kita akan diberi
kepercayaan oleh orang lain, dapat diandalkan, dan tidak akan mengecewakan
orang lain. Misalnya kalau ayah biasanya pulang kerja pukul empat dan ayah
sebelumnya sudah berjanji setelah ayah pulang kerja kita akan diajak
jalan-jalan, tetapi pada saat itu ayah pulang kerja tidak seperti biasanya
pukul empat melainkan pukul tujuh malam dan kita tidak jadi jalan-jalan bersama,
perasaan adik bagaimana? Sedih dan kecewa kan! Maka dari itu kita tidak boleh
menyia-nyiakan waktu.” Dengan penjelasan yang baik dan pelan-pelan maka si anak
akan berpikir apabila dia pulang sekolah terlambat akan membuat orang tuanya
khawatir dan panik, sehingga ia akan berusaha tidak menyia-nyiakan waktu.
Dengan begitu pemahaman telah ia dapatkan melalui penjelasan orang tuanya.
c.
Penerapan
Setelah si anak telah paham tentang perbuatan
baik yang telah kita ajarkan langkah yang selanjutnya adalah penerapan. Maksud
dari penerapan disini adalah kita memberikan kesempatan pada anak untuk
menerapkan perbuatan baik yang telah kita ajarkan.
d.
Pengulangan /
Pembiasaan
Didasari oleh pemahaman dan penerapan yang
secara bertahap ia lakukan, maka secara tidak langsung si anak akan terbiasa
dengan kedisiplinan yang diajarkan oleh orang tuanya. Setelah setiap hari dia
melakukan hal tersebut hal itu akan menjadi kebiasaan yang sudah biasa ia
lakukan bahkan sampai besar nanti. Pembiasaan ini juga harus diimbangi dengan
konsistensi kebiasaan orang tua. Apabila orang tua tidak konsisten dalam
mengajarkan pembiasaan, maka anak juga akan melakukannya dengan
setengah-setengah. Apabila anak sudah tebiasa, maka hal apapun jika tidak ia
lakukan dengan tepat waktu maka dalam hatinya ia akan merasakan kegelisahan.
e.
Pembudayaan
Apabila kebiasaan baik dilakukan berulang-ulang
setiap hari maka hal ini akan membudaya menjadi karakter. Terminologi
pembudayaan menunjukkan ikut sertanya lingkungan dalam melakukan hal yang sama.
Kedisiplinan seakan sudah menjadi kesepakatan yang hidup di lingkungan
masyarakat, apalagi di lingkungan sekolah. Ada orang yang senantiasa
mengingatkan apabila seseorang telah melanggar peraturan. Sama halnya dengan
masalah kedisiplinan di dalam keluarga, apabila salah satu anggota keluarga
tidak disiplin sesuai peraturan yang ditetapkan, maka anggota keluarga lain
mengingatkan dan saling menegur. Tidak jauh berbeda di lingkungan sekolah,
misalnya seorang siswa datang terlambat ketika guru sudah menerangkan pelajaran
panjang lebar, kemudian siswa tersebut masuk kelas dengan keadaan gugup dan
takut apabila dimarahi oleh gurunya, belum lagi disorakin oleh teman-temannya.
Setelah itu gurunya mengingatkan dan memberi peringatan kepada siswa agar tidak
datang terlambat lagi. Akhirnya dia akan berusaha agar ia tidak datang
terlambat lagi.
f.
Internalisasi
Menjadi Karakter
Tingkatan
berikutnya, adalah terjadinya internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam
suatu sikap atau perbuatan di dalam jiwa seseorang. Sumber motivasi melakukan
suatu respon adalah dari dasar nurani. Karakter ini akan menjadi semakin kuat
jika ikut didorong oleh suatu ideologi atau believe. Dia tidak memerlukan
kontrol social untuk mengekspresikan sikapnya, sebab yang mengontrol ada di
dalam sanubarinya. Disinilah sikap, prilaku yang diepresikan seseorang berubah
menjadi karakter.
Seorang
anak yang dibesarkan dalam keluarga yang suka berbagi, kemudian tinggal dalam
masyarakat yang suka bergotong royong, suka saling memberi, serta memiliki
keyakinan ideologis bahwa setiap pemberian yang dia lakukan akan mendapatkan
pahala, maka suka memberi ini akan menjadi karakternya.
Seorang
anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak menekankan sopan santu, tinggal
dalam lingkungan yang suka bertengkar dan mengeluarkan makian dan kata-kata
kotor, dan tidak memiliki pemahaman ideologi yang baik, maka berkatan kotor
mungkin akan menjadi karakternya.
Tahapan
yang dipaparkan akan saling pengaruh mempengaruhi. Mekanismenya ibaratkan roda
gigi yang sling menggerakkan. Mengenal sesuatu akan menggerakkan seseorang
untuk memahaminya. Pemahaman berikutnya akan memudahkan dia untuk menerapkan
suatu perbuatan. Perbuatan yang berulang-ulang akan melahirkan kebiasaan.
Kebiasaan yang berkembang dalam suatu komunitas akan menjelma menjadi
kebudayaan, dan dari kebudayaan yang didorong oleh adanya values atau believe
akan berubah menjadi karakter.
F.
TAHAP-TAHAP
PEMBENTUKAN KARAKTER
Pembentukan karakter diklasifikasikan dalam 5
tahapan yang berurutan dan sesuai usia, yaitu:
- Tahap pertama adalah membentuk adab, antara usia 5 sampai 6 tahun. Tahapan ini meliputi jujur, mengenal antara yang benar dan yang salah, mengenal antara yang baik dan yang buruk serta mengenal mana yang diperintahkan, misalnya dalam agama.
- Tahap kedua adalah melatih tanggung jawab diri antara usia 7 sampai 8 tahun. Tahapan ini meliputi perintah menjalankan kewajiban shalat, melatih melakukan hal yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi secara mandiri, serta dididik untuk selalu tertib dan disiplin sebagaimana yang telah tercermin dalam pelaksanaan shalat mereka.
- Tahap ketiga adalah membentuk sikap kepedulian antara usia 9 sampai 10 tahun. Tahapan ini meliputi diajarkan untuk peduli terhadap orang lain terutama teman-teman sebaya, dididik untuk menghargai dan menghormati hak orang lain, mampu bekerjasama serta mau membantu orang lain.
- Tahap keempat adalah membentuk kemandirian, antara usia 11 sampai 12 tahun. Tahapan ini melatih anak untuk belajar menerima resiko sebagai bentuk konsekuensi bila tidak mematuhi perintah, dididik untuk membedakan yang baik dan yang buruk.
- Tahap kelima adalah membentuk sikap bermasyarakat, pada usia 13 tahun ke atas. Tahapan ini melatih kesiapan bergaul di masyarakat berbekal pada pengalaman sebelumnya. Bila mampu dilaksanakan dengan baik, maka pada usia yang selanjutnya hanya diperlukan penyempurnaan dan pengembangan secukupnya.
Pendidikan yang diajarkan oleh guru di sekolah
merupakan proses untuk membentuk karakter anak yang kurang baik menjadi yang
lebih baik. Sehingga diusia sekolah anak harus selalu dikontrol dan diawasi
dengan baik. Sehingga pendidikan yang ia peroleh tidak disalahgunakan dan bisa
diterapkan serta diaplikasikan dengan baik dan benar. Unsur terpenting dalam
pembentukan karakter adalah pikiran karena pikiran, yang di dalamnya terdapat
seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya . Program ini kemudian
membentuk system kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya
yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang tertanam tersebut sesuai
dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras
dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan
kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum universal, maka perilkaunya membawa kerusakan dan
menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian
serius.
Proses pembentukan mental tersebut menunjukan
keterkaitan antara fikiran, perasaan dan tindakan. Dari akal terbentuk pola
fikir, dari fisik terbentuk menjadi perilaku. Cara berfikir menjadi visi, cara
merasa menjadi mental dan cara berprilaku menjadi karakter. Apabila hal ini
terjadi terus menerus akan menjadi sebuah kebiasaan.
Seorang anak mendapatkan banyak pembelajaran
berupa penanaman karakter religius/spiritual, kedisiplinan, tanggung jawab,
jujur, saling tolong menolong, gotong royong, solidaritas dan lain sebagainya.
Hal yang paling penting disini adalah sebelum kita merubah karakter seseorang
yang paling utama perubahan itu harus dimulai dari diri kita. Kita harus
membiasakan membangun pola pikir positif, melakukan kebiasaan-kebiasaan yang
baik, dan membangun karakter diri yang pantang menyerah.
G.
PEMBENTUKAN
KARAKTER MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
Sebagai agama yang lengkap, Islam seudah memiliki
aturan yang jelas tentang pendidikan akhlak ini. Didalam al-Quran akan
ditemukan banyak sekali pokok-pokok pembicaraan tentang akhlak atau karakter
ini. Seperti perintah untuk berbuat baik (ihsan), dan kebajikan (al-birr),
menepati janji (al-wafa), sabar, jujur, takut kepada Allah SWT,
bersedekah di jalan Allah, berbuat adil, pemaaf dalam banyak ayat didalam
al-Quran. Kesemuanya itu merupakan prinsip-prinsip dan nilai karakter mulia
yang harus dimiliki oleh setiap pribadi muslim.
Dalam Islam, karakter atau akhlak mempunyai
kedudukan penting dan dianggap mempunyai fungsi yang vital dalam memandu
kehidupan masyarakat. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an surat
An-Nahl ayat 90 sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Ayat diatas menjelaskan tentang perintah Allah
yang menyuruh manusia agar berbuat adil, yaitu menunaikan kadar kewajiban
berbuat baik dan terbaik, berbuat kasih sayang pada ciptaan-Nya dengan
bersilaturrahmi pada mereka serta menjauhkan diri dari berbagai bentuk
perbuatan buruk yang menyakiti sesama dan merugikan orang lain.
Upaya membentuk Insan Muslim berkualitas
melalui pendidikan karakter (TinjauanTafsir surah al-Isra’ ayat 23)
a)
Menjadikan Identitas Keimanan Sebagai Fundamen
Utama dalam Keluarga.
Pesan pertama yang terambil dari surat al-Isra
ayat 23 adalah perintah untuk menyembah Allah SWT. Sebagaimana dalam firman-Nya
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ (Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia), Asy-Sya’rawi, ketika menafsirkan
ayat ini mengatakan bahwa makna qadha yakni hakama (menghukum)
karena seorang Qadhi (hakim) ialah orang yang menghukum. Disamping itu,
ia juga diartikan amara yakni memerintah.
Dalam penggalan ayat ini, Allah menegaskan
tentang hakikat iman yaitu tauhid dan menafikan serikat bagi-Nya. Tidak ada
Tuhan selain Dia yang berhak disembah dan bagi siapa menyekutukan Allah maka,
ia telah tergolong ke dalam syirik kepada-Nya.
Allah SWT berfirman dalam surah al-‘Araf ayat
172 sebagai berikut:
وَإِذْ أَخَذَ
رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى
أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): bukankah Aku ini Tuhanmu/
mereka menjawab: Betul (Engkau tuhan KAmi), kami menjadi saksi, (Kami lakukan
demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami bani
Adam telah lalai terhadap hal yang demikian ini.
Al-Maraghi dalam Tafsirnya menegaskan bahwa
Allah SWT telah menjadikan dalam tiap diri pribadi umat manusia berupa fitrah
keislaman yang disebut gharizah imaniy (naluri keimanan) dan melekat
didalam hati senubari mereka. Sehingga, potensi beriman kepada Allah telah
terlebih dahulu tertanam dalam diri manusia dan baik buruknya pribadi manusia
tersebut tergantung upaya untuk mengembangkan potensi ketuhanan itu.
Jika pendidikan anak jauh dari akidah Islam,
lepas dari ajaran religius dan tidak berhubungan dengan Allah, maka tidak
diragukan lagi bahwa anak akan tumbuh dewasa diatas kefasikan, penyimpangan,
kesesatan, dan kekafiran. Bahkan ia akan mengikuti nafsu dan bisikan-bisikan
setan, sesuai dengan tabiat, fisik, keinginan dan tuntutannya yang rendah.
Dari sini, jelaslah bahwa yang menjadi fundamen
utama yang harus terbina dalam lingkungan keluarga adalah prinsip tauhid. Hal
ini dianggap sebagai prasyarat utama dalam pendidikan karakter bagi anak oleh
orang tuanya sebagai identitas keimanan yang harus ditanamkan sejak dini.
b)
Memberikan Keteladanan
Allah SWT dalam ayat ini menjadikan Rasullullah
SAW sebagai lawan bicara-Nya sebagaimana firman Allah وَقَضَى رَبُّكَ (dan
Tuhanmu telah memerintahkan…). Hal tersebut mengindikasikan bahwa dialah
(Rasulullah SAW) yang telah mencapai level tertinggi sebagai teladan utama
dalam pendidikan dan etika. Karena sesungguhnya Allah SWT sendiri yang secara
langsung mendidiknya sebagaimana dalam sebuah ungkapan:
وأدبه أحسن
تأديبا…
Artinya; Dialah (Allah) yang telah mendidiknya
(Rasulullah) dengan sebaik-baiknya
Lebih lanjut,
Firman Allah dalam surah al-Ahzab ayat 21:
لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Artinya: sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri tauladan yang baik.
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Zamakhsyari
dalam Quraish Shihab mengemukakan maksud keteladanan pada diri Rasulullah.
Pertama dalam arti kepribadian beliau secara totalitas adalah
keteladanan. kedua dalam arti terdapat dalam kepribadian beliau hal-hal yang
patut dilteladani.
Dalam proses perkembangan anak, terdapat suatu
fase yang dikenal dengan fase imitasi. pada fase ini, seorang anak selalu
meniru dan mencontoh orang-orang dewasa di sekitarnya, terutama orang tuanya
atau gurunya. Metode Keteladanan ini sangat cocok diterapkan pada fase ini.
Dalam pendidikan, pendidik (orang tua dan guru) tidak cukup hanya dengan
memberi nasehat dalam arti menyeluruh, tetapi seharusnya memberikan
keteladanan, misalnya menyuruh anak ke mesjid, sementara ia tidak pernah ke
mesjid. tidak satunya kata dan perbuatan, menjadikan orang tua/guru tidak
memiliki wibawaa sebagai pendidik, dan menjadikan anak bingung, karena apa yang
dilihatnya tidak sesuai dengan apa yang didengarnya.
c)
Membiasakan anak untuk Konsisten dalam
beribadah dan beramal sholeh sedini mungkin
Konsekwensi dari perintah Allah untuk menyembah
semata-mata hanya kepada-Nya adalah konsistensi seseorang untuk menunaikan
ibadah dan beramal sholeh.
Salah satu bentuk pendidikan ibadah yang harus
ditanamkan kepada seorang anak sejak dini adalah perintah shalat serta
amal-amal kebajikan yang tercemin dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar
juga nasihat berupa perisai yang membantengi seseorang dari kegagalan yakni
sabar dan tabah.
Dalam Surah Lukman ayat 17 Allah SWT berfirman:
يَا بُنَيَّ
أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ
عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Artinya: Hai Anakku, dirikanlah
shalat dan serulah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Ayat ini tidak hanya menggarisbawahi pentingnya
materi ibadah sebagai suatu hal pokok yang harus ditanamkan sejak dini kepada
anak, akan tetapi seorang anak harus juga diberi arahan sejak awal tentang
urgensi mengerjakan kebaikan dan memerangi kejahatan. Hal ini diisyaratkan dari
perintah untuk amar ma’ruf nahi munkar. Menurut al-Maraghi yang
dimaksud dengan al-Ma’ruf adalah ma istahsanahu al-Syar’ wa al-Aql (sesuatu
yang dipandang baik menurut agama dan akal). Sedangkan al-Munkar adalah
dhidduhu (Lawan atau kebalikan dari yang ma’ruf). Dalam pada itu, Muhammad Abduh mengatakan fa
al-amr bil ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar huffadz al-jama’ah wa siyaj
al-wahdah (amar ma’ruf nahi munkar adalah benteng pemelihara umat dan
pangkal timbulnya persatuan).
Dua hal tersebut yakni, upaya untuk membiasakan
anak dengan ibadah dan menjaga dirinya dengan mengedepankan prinsip amar
ma’ruf nahi munkar dapat dikatakan sebagai fundamen dalam rangka membentuk
kepribadian anak yang berkarakter sejak dini.
d)
Menumbuhkembangkan Kesadaran tentang
Prinsip-Prinsip dan Dasar-Dasar Akhlak.
Allah SWT berfirman dalam ayat ke 23 surat
al-Isra’, وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا (…dan hendaklah kamu berbuat
baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya…) Perintah untuk menyembah
Allah SWT dalam banyak ayat didalam al-Quran senantiasa diringi dengan perintah
untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Hal ini dikarenakan bahwa kedua
orang tua adalah sebab hakiki lahirnya seorang pribadi manusia ke dunia ini
setelah terlebih dahulu Allah SWT menciptakannya.
Dalam surat Lukman ayat 14 Allah berfirman:
أَنِ اشْكُرْ لِي
وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya: …Bersyukurlah kepadaku dan kepada
kedua orangtuamu, dan kepadakulah tempat kembali
Wahbah Zuhailiy ketika memaknai maksud dari
ungkapan syukur kepada kedua orang tua sebagaimana ayat ini adalah anak
dituntut berbuat baik kepada kedua orang tua disebabkan orang tua telah berbuat
ihsan kepada anak; mengandung selama sembilan bulan, memberikan kasih sayang
dan perhatian sejak dari proses kelahiran hingga dewasa.
e)
Menanamkan Sikap, Perilaku, dan Tutur Kata yang
Mulia Kepada Anak.
Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: Jika salah seorang di antara keduanya
atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Kondisi lemah
anak yang masih kecil dalam asuhan orang tua sama halnya dengan kondisi orang
tua yang telah tua renta dalam asuhan anak. Ketika Allah mewajibkan anak untuk
berbuat baik kepada orang tua sebagai balasan orang tua yang telah
memperlakukan anak dengan baik dan susah payah ketika anak kecil, maka secara
otomatis orang tua juga dituntut hal yang sama yakni memperlakukan anak dengan
baik; tidak bersikap yang menunjukkan kebosanan dan kejemuan secara lisan
maupun bahasa tubuh.
Memperhatikan aspek psikologis anak dapat
diwujudkan dengan sikap dan perkataan. Allah mewajibkan anak untuk berkata
lemah lembut dan tidak menghardik orang tua ketika mereka telah pikun karena
orang tua telah berlaku sabar, bersikap lembut dan tidak menghardik anak.
Dengan demikian orang tua juga dituntut untuk lemah lembut dalam perkataan dan
tidak menghardik anak. Anak kecil yang belum bisa berpikir rasional dan logis
sama halnya seperti orang tua yang telah pikun. Anak kecil tentunya akan merasa
senang dengan dunianya. Misalnya anak kecil mempermainkan kotorannya sendiri
yang menurut daya nalar anak apa yang dilakukannya tersebut baik dan
menyenangkan. Meskipun hal demikian belum tentu logis dan baik menurut
pemikiran orang dewasa. Dalam hal ini orang tua perlu bersikap sabar.
Qaulan karima merupakan
perkataan yang baik, lembut dan memiliki unsur menghargai bukan menghakimi.
Dengan demikian anak akan bisa menilai kadar keperdulian orang tua terhadap
dirinya melalui perkataan yang didengarnya. Di samping memberikan dampak secara
psikologis, qaul karim juga menjadi acuan bagi anak untuk mengikuti pola
yang serupa. Sebagai konsekuensinya anak berbicara dengan perkataan yang baik
kepada orang tua sehingga akan terjalin ikatan emosional antara anak dan orang
tua.
Perkataan kasar dan caci maki, sebagai
kebalikan dari pendapat di atas, akan membuat anak terbiasa dengan kata-kata
tersebut. Terbiasa di sini dimaksudkan bahwa ketika orang tua melontarkan
cacian kepada anak sebagai tanda marah, anak tidak akan menghiraukan lagi. Dan
membentak anak sekalipun ia masih sangat kecil, berarti penghinaan dan celaan
terhadap kepribadiannya sesuai kepekaan jiwanya. Dampak negatif ini tumbuh dan
berkembang hingga menghancurkan kepribadian dan mengubah manusia menjadi ahli
maksiat dan penjahat yang tidak lagi peduli dengan perbuatan dosa dan haram.
Dengan demikian orang tua dalam usaha mendidik
dan mengarahkan anak berusaha untuk memposisikan diri pada sudut pandang anak
yang masih kecil tersebut kalau tidak
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang
dapat diambil berdasarkan penjelasan di atas adalah :
- Pendidikan adalah usaha yag dilakukan oleh orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk membimbing/memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan agar berguna bagi diri sendiri dan masyarakatnya
- Karakter berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi orang berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian pendidikan adalah membangun karakter, yang secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk.
- Tujuan dari pendidikan karakter adalah untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
- Untuk membentuk karakter pada anak dibutuhkan suatu proses, tidak dengan cara yang instan. Proses tersebut yaitu, pengenalan, pemahaman, penerapan, pengulangan, pembudayaan, dan internalisasi menjadi karakter.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter
“Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional”. Jakarta: Bumi Aksara.
2.
Budiyono, Kabul. 2007. Nilai-nilai
Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia.
Bandung: Alfabeta.
3.
Aat Syafaat dan Sohari Sahrani. 2008. Peranan
Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah
Kenakalan Remaja. Serang: Rajawali
Pers.
4.
Sain, Syahrial. 2001. Samudera Rahmat. Jakarta:
Karya Dunia Pikir.
5.
Miya Nur Andina.2013 Peran Pendidikan
Agama Islam Sebagai Pembentukan Karakter Anak.